RIHLAH RIZA #31: SHAHRUKH DAN LIANG KUBUR


RIHLAH RIZA #31: SHAHRUKH DAN LIANG KUBUR

 

 

Shahrukh Mirza adalah anak keempat dari Timur Lenk, penakluk besar Asia. Selama 42 tahun kekuasaannya, Shahrukh berhasil mempertahankan dinasti Timurid dari perpecahan dan kebangkrutan. Di Herat, pusat pemerintahannya, ia mengumpulkan para cendekiawan untuk menjadikan kota itu sebagai corong peradaban Islam. Ia membangun perpustakaan besar untuk mendukung keilmuan. Kegiatan ilmiah dan perekonomian pun akhirnya berkembang pesat.

**

Kalau sudah hari Jumat, mess ini harus sudah siap-siap ditinggalkan penghuninya. Kebanyakan teman-teman satu mess pulang ke Medan atau Pekanbaru. Lengkap sudah sepi yang saya rasakan di Tapaktuan kalau kebetulan pas saya tidak pulang ke Citayam. Salah satu kegiatan yang biasa saya lakukan untuk membunuh sepi ini adalah dengan membaca buku. Tidak banyak buku yang saya bawa dari Citayam ke Tapaktuan ini. Namun internet memudahkan semuanya, ketika tidak ada lagi buku yang belum dibaca, mengunduh ebook menjadi jalan satu-satunya agar saya dapat terus membaca buku.


Sedikit buku itu (Foto koleksi pribadi).

 

Kebetulan membaca buku sudah menjadi tradisi keluarga kami. Profesi bapak saya yang mendukung tradisi itu. Salah satu profesi bapak adalah penjual majalah bekas, novel, dan teka-teki silang. Bapak beli majalah, buku, dan TTS itu di Pasar Senen, Jakarta. Otomatis sejak kami kecil kami sudah terbiasa membaca. Dari mulai majalah anak-anak, remaja, sampai ibu-ibu. Sampai sekarang saya masih ingat tentang sebuah cerita pendek yang biasa menjadi sisipan di majalah ibu-ibu. Saya lupa nama majalah itu, entah Femina, Kartini, atau Kartika atau yang lainnya. Garis besarnya demikian.

Ada seorang pemuda berkenalan dengan seorang perempuan di sebuah taman. Setiap hari mereka bertemu di sana. Sampai kemudian timbul benih-benih cinta di antara mereka berdua. Tapi tidak berapa lama perempuan itu menyatakan dengan sebenarnya kepada sang lelaki kalau hubungan ini harus diakhiri. Tidak bisa diteruskan. Cerita yang dituturkan dari pihak lelaki ini berakhir dengan sebuah kenyataan, sang lelaki harus menerima bahwa cinta yang mulai tumbuh ini kandas di tengah jalan karena perempuan itu sebenarnya adalah banci.

Tahun delapan puluhan masih belum ada majalah islami. Jadi jangan harap ketemu majalah Sabili dan Annida di lapak dagangan bapak. Dua majalah ini baru saya baca sewaktu kuliah di STAN bertahun-tahun kemudian. Pun, majalah Panji Masyarakat sebagai majalah islami yang penyebarannya paling luas saat itu tidak menjadi barang dagangan bapak, mungkin karena peminat dan pembelinya sedikit.

Membaca itu jendela dunia. Bisa tahu semua. Bisa tahu apa saja. Bukannya sombong, guru geografi di SMP sampai bosan melihat saya yang selalu pertama kali mengacungkan tangan setiap ada pertanyaan yang diajukannya. Kalau pak guru itu tahu, majalah intisari bekas inilah yang sebenarnya menjadi bacaan yang bergizi buat saya saat itu sehingga mampu menjawab pertanyaannya.

Bapak juga pembaca buku. Ada buku yang menjadi kitab wasiatnya. Selalu dibaca terus menerus walau sudah berulang kali khattam. Buku yang sudah lapuk dan menguning. Ditulis oleh Dale Carnegie yang berjudul Bagaimana Menghilangkan Cemas & Memulai Hidup Baru. Buku yang harus dijaga hati-hati oleh kami dan jangan bergeser dari tempatnya ditaruh kecuali oleh dirinya sendiri. Kalau tidak, seisi rumah akan dimarahinya. Sayang buku itu terbakar habis bersama kamar yang ditempati bapak waktu kejadian kebakaran rumah saya di tahun 2010 lalu.

Buku Carnegie ini menjaga pikiran bapak agar tetap positif. Saya menyetujuinya. Waktu kecil dulu saya sudah baca buku itu sampai habis. Puluhan tahun kemudian, di Tapaktuan ini, saya bawa dan baca buku yang ditulis oleh Dale Carnegie Associate. Sudah pernah saya sebutkan di tulisan saya sebelumnya. Buku sejenis lainnya adalah bukunya ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni yang berjudul Don’t be Sad: Cara Hidup Positif Tanpa Pernah Sedih & Frustasi.

Mau tidak mau buku tersebut menjaga dan membawa nilai-nilai positif buat saya. Berusaha untuk tidak berburuk sangka, dendam, putus asa, benci, cemas, dan takut. Selalu bekerja dengan lebih baik dan berusaha sebarkan kebaikan karena saya yakin kebaikan itu akan datang kembali kepada saya dengan energi yang lebih besar lagi. Terpenting lagi adalah berusaha mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan begitu banyak kepada saya. Puas dengan apa yang diberikan Allah membuat kita menjadi orang yang terkaya di dunia. Inilah yang disebut saya, di Tapaktuan ini, di sebuah tempat yang jauh dari orang-orang yang saya cintai, sebagai upaya menjaga nalar tetap positif.

Tapi menurut saya tidak berhenti di situ, semata menjaga nalar positif, melainkan perlu juga menjaga amal tetap positif. Ketika waktu berlebih dan beban kerja tidak sedahsyat di Jakarta, sudah semestinya kalau amal-amal yang terkait dengan ruhiyah tetap juga pada kuadran positif. Maka bacaan yang sangat menunjang itu adalah Kitab Hadis Riyadhus Shalihin yang ditulis oleh Imam Nawawi. Kitab yang direkomendasikan para ulama untuk dapat dimiliki oleh setiap keluarga muslim. Membacanya pun perlu trik. Tak perlu sekaligus dibaca, melainkan baca satu hadis dalam sehari namun konsisten membacanya. Renungi lalu amalkan.

Ah, terlalu banyak cakap awak ini. Tapi memang inilah obat sepi saya dalam kesendirian. Benar, karena dalam kesendirian ada keinsafan dan kesadaran. Kesadaran tentang bahwa kita nanti pun akan sendiri. Sendiri dengan sebenar-benarnya sendiri. Siapa coba yang akan menemani kita kala dipendam dalam tanah nanti? Almutanabbi, pujangga Arab, pernah mengatakan, “Tempat duduk yang paling mulia di dunia ini adalah pelana kuda. Dan teman yang paling baik sepanjang zaman adalah buku.”

Tapi saat itu, bukan buku lagi sebagai teman melainkan amal. Yang baik atau yang buruk? Itu tergantung dari apa yang kita kumpulkan selama hidup. Amal baik itu menjelma menjadi sosok rupawan yang akan menemani kita di liang kubur sampai kiamat tiba. Tapi sebaliknya amal buruk itu menjelma menjadi sosok buruk rupa dan bau yang kita pun akan jijik didekatinya.

Sebuah syair Arab menyatakan, “Untuk medan pertempuran, prajurit-prajurit telah diciptakan baginya, dan bagi buku, penulis dan penyairlah tempatnya. Shahrukh sebagai penakluk bekerja di atas pelana kuda mengarungi medan pertempuran untuk dapat mempersatukan kembali wilayah yang pernah digenggam bapaknya. Al-Mutanabbi dan al-Hasan al-Lu’lu’i telah disediakan buat mereka buku sebagai temannya. Untuk liang kubur, saya atau kita telah disiapkan baginya. SOS, siapa teman sejati yang akan menemani kita? Amal baik atau amal buruk?

Karena dalam kesendirian ada keinsafan dan kesadaran.

 


Patung dada Shahrukh Mirza (Wikipedia).

 


The Great Arab Poet, Abu al Tayyeb al Mutanabbi (Gambar dari sini)

 

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 15 Maret 2014

Advertisement