Karena Aku Siput


 

Karena aku siput yang selalu membawa ruangmu ke mana-mana.
Lelah.
Karena aku siput yang meninggalkan rindu di ujung daun mengkudu.
Rebah.

***

Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
29 Juli 1976
Via @discoverocean

Tetapi Aku Mengenalmu


Tetapi aku mengenalmu– Seperti pinggan yang mengumpulkan nasi uduk, tempe orak-arik, krupuk, bihun, bawang goreng, dan ikan peda– Bersemayam di ufuk pagi– Ah, aku ingin mengambil seremah nasi yang menempel di sudut bibirmu dengan jemari sajakku.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
24 Juli 2018

Menggambar Langit-langit Malam Semarang


Aku menggambar langit-langit malam Semarang menjadi terang dengan bunga-bunga api, warna-warni, dan segala pekik. Seterang pikiran yang tanpa gelisah mendesahkan dari bibir sepotong takbir ke sudut-sudut luka dan kota yang lama telah mengering. Hujan, hujan, hujan yang menua dan purba datangi, basahi, rintiki segantang jantung yang berdegup kencang dan tak mau untuk tak menyebut namamu dan ukuran sepatumu. Sepatu yang tak boleh basah dan bergetah ketika datang ke sebuah pertemuan-pertemuan kecil di sebuah pesta. Bibir-bibir kecil menyebut-nyebut ya sittir, ya sittir, ya sittir.

 

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
01 Syawal 1439 H
Photo by @yasyalmanfaluthi check out his feed for more.

Perahuku Bernama Lupa


Perahuku bernama lupa
mencintai sepucuk bunga
yang jatuh meleleh di pipimu.
kauambil selembar waktu
untuk kauusap
segala bias setengah nyata.

perahuku bernama lupa
tak pernah abadi
karena ia cuma kertas
bukanlah besi karsani
buat menentang serantang badai
sambil bertanya:
siapa aku? siapa kamu?

perahuku bernama lupa
cuma gula dalam kopi.
aku akan berlayar mengaduk
gurun yang memar.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 03 Juni 2015

Komidi Putar


Ramadan-ramadan yang macam-macam mencari-cari cara-cara agar aku yang kaku ini masih fasih mengingat sore-sorenya di suatu waktu ketika aku pergi jalan-jalan ke pasar malam menikmati azan yang sebentar lagi singgah lelah. Maka aku pilih komidi putarnya sembari mengingatmu yang tak mau kuajak untuk duduk di atasnya dan berputar-putar seperti darwis kota ini mencari cinta-Nya. Engkau yang pernah bilang kepadaku, “Biar aku di bawah saja, karena cinta-Nya kutemukan disudut-sudutmu, maka aku mencintaimu.” Sejak itu, aku selalu ingin menaiki komidi putar,  agar aku bisa tetap berada di pikiranmu, walaupun engkau sudah menghilang bersama huruf terakhir ikamah suatu Magrib. Aku ingin berbuka dengan pikiran yang manis tentangmu.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Sahur, 02 Juni 2018
Photo by @mmuheisen check out his feed for more.

Di Tubuh Perkamen


Petang ini didaulat untuk membacakan beberapa bait puisi yang sedang merayakan hari jadinya ke-49. 

Kaucatat sajak di tubuh perkamen
yang warnanya semerbak
menjadi bahan bakar suluh
di sebuah duli

Kausemat ucapan selamat datang di gerbang praja
yang lelah dari semua hiruk pikuk
menjadi bedinde
di janabijana

Kautabuh kata-kata  di gendang telinga
Berdebum-debum perihal agar benderang
menjadi Harun
di sisi Musa

Hari ini,
Kauundang waktu datang ke sebuah pesta
Ia yang  menjadi badut tambun
bersekutu  dengan apa saja

Hari ini,
Waktu yang kauundang
menghentikan dirinya sendiri
membacakan kisah abadi
akhir ceritanya:
Raharja selamanya
Untuknya
Untukmu.

Selamat ulang tahun, Pak.

 

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
29 Mei 2018
Photo by @rorahtrk

Menunggu Kartu Lebaran


Aku menunggu kartu lebaran
di penghujung bulan
untuk kau kirimkan
pada masa silam

Aku menunggu coretan
di kertas karangan
sambil membayangkan
bulan bertengger di kegelapan

Aku menunggu kartu lebaran
diantar pak pos
mengetuk-ngetuk pintu pagar
Ada suraaaaat!!!

Aku menunggu coretan
maaf lahir dan batin
dari jemarimu yang semesta
seharum tepian surgaloka

Aku menunggu kartu lebaran
untuk kusemat di dada
sepanjang rusuk waktu
dan helaian kenangan

Aku menunggu coretan
yang tak pernah ada lagi
diganti huruf-huruf tegak
itu juga asal kopas.

Aku menunggu kartu lebaran
musnah kaubakar sendirian
abunya sampai di pikiran:
engkau yang masih rebahan

:di gigir ramadan.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
18 Mei 2018
Photo by @fennelmk. Check out his feed for more. 

Bagaimana Rasanya Kopi Ini?


IMG-20180510-WA0020_1

Bagaimana rasanya kopi ini? tanyamu kepadaku di suatu pagi yang meringkuk. Aku memetik semua partikel di udara kemudian memasukkannya ke dalam lumbung hidungku. Seperti pertapa di Kathmandu yang merajang dingin, aku menjawabnya sederhana: rasanya kopi, tanpa warna.

Di sepanjang titik-titik, engkau berkehendak mengecat seluruh kain yang ada di kota ini serupa warna kerudungmu yang pernah kaupakai di sebuah malam. Tetapi warnanya tak cukup satu. Dan engkau hanya bisa berteriak, nyatanya yang kau dapatkan hanya hitam jelaga.

Esok pagi, kutemui kau sedang berdiri di gerbang kota. Mengetuk dada setiap orang yang lewat, mendengar degup mereka satu-satu. Untuk kaucari warna jembatan nirwana. Di jantung orang yang sedang jatuh cinta.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11 Mei 2018

Di Hadapanmu


Pastinya, lama-kelamaan samudra yang kautatap adalah tempat bersahaja untuk sudra sepertiku.
Ikarus yang kecipak kepak sayapnya dimamah lemah, meluruh jatuh, karam bersama sayu.
Dan engkau tetaplah maharani di puncak kertap matahari magrib.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
8 Mei 2018

Kalau Sudah Begini



Kalau sudah begini, aku ingat di suatu masa, di muara Kali Bluwak, jauh di batas Alas Kencono Wungu yang mulai gundul, di tepianku. Saat pacarmu menghilang di kejauhan lalu engkau diterkam kesenyapan sampai menggigit jantungmu sendiri. Aku datang membawa sedikit kabar. Kabar yang kuambil dari sobekan koran. Di sana, di halaman kedua, ada judul yang ditulis besar: Lepas dari Penjara, Bramacorah Sadis Berkeliaran. Engkau tak tahu, ialah yang menjadi pacarmu untuk kesekian kali. Dan untuk kesekian kali itulah aku hanya menjadi pelipurmu, melihatmu dari jauh, menjilati jari-jari kakimu yang sengaja kau masukkan ke dalamku. Seringkali kubisikkan kepadamu, jangan kau menunggunya, karena setiap hari ia menghilang membawa kenang, dan setelahnya kau berperang dengan kenelangsaan. Lagi-lagi aku datang kembali menghibur membawa mahkota putih buih di sekujur untukmu. Tetapi kautetap tak peduli. Engkau masih menunggunya, sedangkan aku yang selalu ada setiap saat, siang dan malam, kau abaikan. Kau hanya mendengar deruku saja. Selainnya tidak. Senja, bramacorah itu, memang tak tahu diuntung. Dan aku tetap yang tak beruntung.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
8 Mei 2018