Kalau sudah begini, aku ingat di suatu masa, di muara Kali Bluwak, jauh di batas Alas Kencono Wungu yang mulai gundul, di tepianku. Saat pacarmu menghilang di kejauhan lalu engkau diterkam kesenyapan sampai menggigit jantungmu sendiri. Aku datang membawa sedikit kabar. Kabar yang kuambil dari sobekan koran. Di sana, di halaman kedua, ada judul yang ditulis besar: Lepas dari Penjara, Bramacorah Sadis Berkeliaran. Engkau tak tahu, ialah yang menjadi pacarmu untuk kesekian kali. Dan untuk kesekian kali itulah aku hanya menjadi pelipurmu, melihatmu dari jauh, menjilati jari-jari kakimu yang sengaja kau masukkan ke dalamku. Seringkali kubisikkan kepadamu, jangan kau menunggunya, karena setiap hari ia menghilang membawa kenang, dan setelahnya kau berperang dengan kenelangsaan. Lagi-lagi aku datang kembali menghibur membawa mahkota putih buih di sekujur untukmu. Tetapi kautetap tak peduli. Engkau masih menunggunya, sedangkan aku yang selalu ada setiap saat, siang dan malam, kau abaikan. Kau hanya mendengar deruku saja. Selainnya tidak. Senja, bramacorah itu, memang tak tahu diuntung. Dan aku tetap yang tak beruntung.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
8 Mei 2018