Human behaviour ke baare me uss din humne kuch jaana,
Dost fail ho jaye toh dukh hota hai,
lekin dost first aa jaye toh jyada dukh hota hai.
Kami memahami satu lagi tingkah laku manusia,
Jika temanmu gagal, kau akan merasa sedih.
Tapi jika temanmu menjadi yang terbaik, kau akan lebih sedih.
~~Farhan Quresyi dalam 3 idiots.
Kamis kemarin lusa, orang-orang dari masa lalu datang menyapa saya. Yang satu, dari aplikasi Whatsapp, ia mengirimkan sebuah foto pada saat sidang banding di Pengadilan Pajak. He’s my Teammate, yang sudah resign dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hampir dua tahun lalu.
Seorang ustad, alhafidz, berintegritas, jenius, analis tajam, dan pendebat ulung. Sampai-sampai kalau lagi debat dengan Majelis Hakim saya cuma bisa melongo bego. Debat mereka jika dalam dunia kang ouw, seperti pertempuran dua pendekar mumpuni, yang terlihat cuma bayangan mereka saja karena saking cepatnya mereka bergerak dan ilmu ginkang yang mereka miliki. Sayang sekali orang hebat seperti dirinya keluar dari DJP.
Satunya lagi, melalui SMS ia menyapa saya, menanyakan kabar, dan mengajukan sebuah pinta agar saya membuatkan sebuah puisi perpisahan buat acara di kantornya. Nomornya tak dikenal. Saya mencoba melacaknya di hp lainnya, tempat nomor hp teman-teman lengkap tersimpan. Jreng…Ibu itu.
Ia adalah atasan saya sewaktu saya jadi pelaksana di Subseksi Pengawasan Pembayaran Masa Seksi Pajak Penghasilan Pemotongan dan Pemungutan (PPh Potput) Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga. Tepatnya dari tahun 1997 sampai dengan 2002.
Karena saya sudah terlalu lama jadi pelaksana di seksi itu saya dipindah ke Seksi Penagihan. Saya masih ingat ketika saya diajak ngobrol olehnya pada saat terakhir di Seksi PPh Potput. Suaranya bergetar dan matanya telaga—atau ini cuma perasaan saya saja—saat ia menjelaskan kebijakan permutasian itu kepada saya. It’s ok Bu. Saya minta maaf belum bisa menjadi anak buah yang baik buat Ibu dan terima kasih atas bimbingannya selama ini.
Lalu, ada modernisasi institusi. Kami jadi Account Representative di tahun 2004, masih di kantor yang sama. Tahun 2006, kami di mutasi ke Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Empat. Seksi Pengawasan dan Konsultasi II adalah seksi kami. Kemudian, ia naik jabatan menjadi kepala seksi tapi bukan di DJP melainkan di Pengadilan Pajak. Berpisahlah kami.
Tahun 2010, saya menjadi Penelaah Keberatan, tepatnya menjadi petugas untuk menangani perkara banding dan gugatan di Pengadilan Pajak. Saya bertemu dengannya kembali. Ia menjadi panitera di sebuah majelis. Bukan di sebuah majelis hakim yang diamanahkan kepada tim kami. Tapi pada akhirnya, kami pernah dalam satu majelis, di bulan-bulan terakhir saya bertugas di sana.
Pertengahan 2013 saya sudah tidak bersidang lagi. Sudah tidak bertemu dan berkomunikasi dengannya lagi. Sampai kemarin lusa itu. “Insya Allah,” balasan atas sms dari wanita yang tak pernah marah kepada anak buahnya ini. Malamnya saya kebut bikin satu puisi dengan bantuan “clue” darinya tentang sosok itu. Sosok hakim jelang purnabaktinya yang juga pernah saya kenal dan sempat bersidang di depannya. Selesai juga.
Tunggu dulu, sebelum lanjut cerita lagi, saya habiskan sebentar gelas kopi kedua di samping laptop ini. Sebelum menulis, saya tadi keluar untuk beli kopi di Simpang Terapung. Kopi ini jadi teman sunyi saya di mes, di akhir pekan ini. Semua penghuni mes, kecuali saya tentunya, pada pulang kampung berjumpa dengan keluarga tercintanya masing-masing. Mengumpulkan energi sebagai bekal untuk tidak gila di Tapaktuan. Mari lanjut.
Dua orang dekat saya, dua orang baik dari masa lalu, dua orang yang sudah lama tak bersua, dua orang yang mempunyai irisan tak berbeda pada satu institusi yang bernama Pengadilan Pajak, pada hari yang sama mengirim pesan-pesannya kepada saya. Pesan-pesan istimewa. Pesan foto dan pinta. Bahkan doa. Terima kasih.
Dua orang ini, menurut saya, adalah orang-orang yang layak dimuliakan dan berhak untuk dihormati. Ada hikmah atas pemuliaan dan penghormatan. Dua hal terakhir ini lebih baik daripada harta karena harta itu bisa habis. Lebih baik daripada keterpeliharaan dari rasa takut, menyiapkan perbekalan perang, dan bisnis yang menguntungkan. Itu yang saya baca dari sebuah kitab 18 Tapak Penakluk Naga karangan Jin Yong karangan Muhammad Nawawi bin Umar Aljawi, biasa disebut Muhammad Nawawi Albantani, berjudul Nashaihul Ibad.
Dalam suatu bab di dalam kitab tersebut diceritakan bahwa Luqman pernah berkata kepada anaknya (yang bernama Tsaron): “Wahai anakku, hikmah itu adalah engkau melakukan sepuluh hal, yaitu: 1. Menghidupkan hati yang mati; 2. Bergaul dengan orang-orang miskin; 3. Tidak terlalu dekat dengan penguasa; 4. Memuliakan orang yang disia-siakan; 5. Memerdekakan hamba-hamba sahaya; 6. Melindungi tamu; 7. Menolong orang fakir; 8. Memuliakan orang yang berhak dimuliakan; dan 9. Menghormati orang yang berhak dihormati; 10. (dalam teks aslinya tidak ada).
Dua orang yang menyapa saya bersamaan ini setidaknya bukan untuk membincang dan membangkitkan romantisme masa lalu, melainkan mampu membuat saya berpikir dan menulis tentang mereka. Ini hikmahnya, pemuliaan dan penghormatan ini, memberikan saya satu gagasan untuk ditulis. Serupa satu tetes hujan di sabana Serengeti di akhir musim keringnya.
Dua orang ini, teman kehidupan saya, tapi bukan untuk menjelma sedih ketika mereka menjadi lebih baik daripada saya. Shukriya.
Kami dulu di Seksi Pengawasan dan Konsultasi II
***
Riza Almanfaluthi
Kopinya sudah habis
dedaunan di ranting cemara
Tapaktuan, 6 Desember 2014
Shukriya buat Akhi Arifin Purnomo dan Ibu Linda Napitupulu.