Kukila dan Perempuan yang Melelehkan Bening dari Matanya yang Telaga


Tulislah sebuah surat untuknya. Tulislah dengan memakai tangan. Tidak perlu dengan cetakan printer. Permintaan coach dari sebuah Life Academy itu aku turuti.

Aku menulis banyak dengan menggunakan pena, menggunakan tangan kananku, di atas lembaran-lembaran kertas putih. Dengan penuh kesungguhan seperti para pecinta zaman pujangga lama menulis surat.

Aku suka menulis surat seperti orang zaman dulu yang belum terpapar dengan Android, komputer, dan mesin tik. Menulis surat yang panjang. Seringnya berakhir di keranjang sampah. Beberapa di antaranya menjadi cerita pendek.

Namun M. Aan Mansyur lebih bagus dan mahir dalam membuat puisi daripada cerita-cerita pendeknya. Kesimpulan yang bukanlah nujuman ini kudapatkan setelah membaca Kukila. Tetapi bukankah seorang penyair juga terkadang adalah penulis cerita pendek?

Kukila adalah kumpulan 16 cerita pendek Aan Mansyur. Beberapa di antaranya pernah terbit sebagai antologi di buku yang lain. Budaya Sulawesi Selatan menjadi latar belakang dari sejumlah cerita pendek di dalamnya. Aan sendiri memang memiliki darah Bone.

Kukila menjadi nama tokoh di beberapa cerita pendeknya. Engkau bisa mengeceknya di Kamus Besar Bahasa Indonesia apa arti Kukila. Engkau akan mendapatkan nama itu berarti burung.

Satu cerita pendek utamanya berjudul Kukila (Rahasia Pohon Rahasia) yang menjadi cerita pendek pembuka buku ini. Alurnya yang lambat dan teknik penceritaan “aku” yang berganti-ganti tokoh membingungkan. Atau butuh pembaca seperti Ernest Hemingway untuk bisa memahaminya?

Ketika aku mengatakan alurnya yang lambat, ini benar agaknya karena aku usai membaca novel Jonas Jonasson yang berjudul The 100-Year-Old-Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared.

Dari semua yang Aan Mansyur tulis di buku itu, aku lebih menyukai satu cerita pendeknya yang berjudul Tiba-tiba Aku Florentina Ariza. Ini yang kusebut, “Ini baru cerpen.”

Lihat satu paragraf Aan ini:

Mulutku masih kaku dan gagu hingga suara pintu yang ditutup dari luar mengagetkan aku. Menyadari apa yang telah terjadi, tiba-tiba aku merasa menjadi Florentina Ariza—pemuda dalam kisah Love at the Time of Cholera. Pemuda lugu yang perjakanya direnggut dengan cepat dan mendadak dalam kegelapan toilet kapal oleh perempuan yang tidak dikenalnya. Novel karya Gabriel Garcia Marquez itu masih ada di Kasur.

Kalau aku menyebut nama Florentina Ariza, maka aku lebih mengingat nama Gabriel Garcia Marquez. Pemenang Nobel Sastra dari Kolombia pada 1982.

Herannya pas aku menulis ini pun aku sedang membaca ulasan tentang The Autumn of the Patriarch. Novel Marquez yang lain.

Di buku Kukila aku juga menyukai cerpen Aan Mansyur lainnya berjudul Lebaran Kali ini Aku Pulang. Cerita tentang orang yang tidak pulang kampung selama 20 tahun dan ia menemukan banyak perubahan di kampungnya itu. Satire.

Tidak banyak aku komentari dari Kukila ini. Selain pula lead menarik dari cerita pendek terakhir di buku itu. “Sepi digigit anjing tetangga lagi. Ekornya nyaris putus.”

Sepi cuma seekor kucing. Dan aku ingin menyelipkan satu cerita tentang kucing di sini. Engkau janganlah bosan.


**

Kucing kecilku diculik. Ini baru dugaanku. Saat empat kucing kampung mengantarku ke masjid untuk salat Isya berjamaah tadi malam. Tiga dari mereka kembali. Satu tak kembali. Entah ke mana.

Kucing jantan kecil ​​yang hilang ini tidak kuberi nama. Bulunya hitam dan putih. Dengan hitam yang mendominasi. Buntutnya panjang dengan bulu yang lebat.

Ia adalah salah satu anggota dari 4 kucing kecilku. Akan kuceritakan dari mana mereka berasal.

Induk kucing tiba-tiba sudah berada di depan garasi rumahku. Dengan tiga bayi kucing yang masih tak kuasa membuka kelopak matanya. Mereka baru dilahirkan. Bersama induknya mereka dibuang oleh siapa.

Agar rumahku tak jadi hunian tetap pendatang baru ini, kutaruh mereka di rumah kosong. Letaknya beberapa rumah saja dari rumahku. Eh, kucing betina itu tetap saja kembali sambil membawa anak-anaknya di mulutnya itu.

Berkali-kali mereka aku pindahkan, berkali-kali mereka kembali. Sampai kemudian aku menerima takdir untuk menyambut kehadiran mereka dengan tangan dan hati terbuka.

Sampai mereka tumbuh dan menjelma anak-anak kucing yang bisa makan sendiri, tanpa nenen lagi sama ibunya. Pun, karena sang ibu sudah mulai mengamuk, mencakar, dan mengedau kalau ada anak-anaknya mendekati perutnya. Sudah putus menyusui. Mereka sudah gede. Tak boleh ngempeng lagi.

Oh ya, anak-anak kucing itu terdiri dari dua jantan dan satu betina. Kucing yang kuceritakan di atas itu salah satunya. Kucing jantan lain memiliki bulu berwarna sama, hitam dan putih. Namun warna putih lebih mendominasi. Buntutnya pendek. Sedangkan anak kucing betina itu memiliki tiga warna, kuning, hitam, dan putih. Belang-belang begitu. Aku lebih menyukai dua kucing jantan itu

Nah, pada saat mereka masih menyusui, tiba-tiba datang anak kucing lainnya yang dibuang atau tersesat juga. Jenis kelaminnya betina dengan warna bulu hitam legam. Ia sempat menyusui pada induk kucing dari tiga anak kucing pertama.

Mereka jadi akur sampai kemudian mereka ditinggalkan induk mereka yang sedang mencari kucing pejantan tangguh lainnya.

Empat anak kucing itu kupelihara dalam suka dan duka. Yang kujaga sekali adalah kotorannya jangan sampai dibuang sembarangan apalagi di dalam rumah. Sudah dua kali kejadian. Tak akan kuceritakan hal ini kepadamu.

Mereka tidur di luar rumah. Kalau ada bunyi gerendel pintu rumah terbuka mereka berebut masuk. Kalau aku ke masjid mereka akan mengikutiku sampai ke masjid.

Atau kalau tidak mereka akan menungguku di ujung jalan. Lalu bersama-sama denganku mereka pulang sambil berharap ada biskuit rasa tuna buat mereka.

Aku biasa memanggil mereka dengan bebunyian seperti ini, “Cek…cek…cek…cek!!!” Mereka akan datang dari mana pun mereka berada dan sedang apa pun mereka.

Sampai salah satu dari mereka tak mendengar bunyiku lagi. Malam itu, bebunyian dari mulutku tak bisa masuk ke telinganya. Entah di mana. Kuduga ia diculik oleh orang yang menyukai kelucuan, ketampanan, dan kepanjangan ekornya. Atau untuk dijual kembali. Perdagangan binatang. Kuduga. Kuduga.

Engkau ada di mana?

**

Engkau tahu? Akan aku kutip satu alinea dalam novelnya Andrea Hirata, Ayah.

Tahun kedelapan tak ada lagi yang melihat Sabari di rumahnya. Atap rumbia yang jatuh akibat sapuan angin selatan dan tetap tergeletak di beranda, menandakan tak ada lagi umat manusia di rumah itu. Rupanya Sabari sudah meminggatkan diri sendiri dari rumah. Dia hidup menggelandang di platform pasar ikan bersama Abu Meong dan puluhan kucing pasar dan anjing kurap di sana. Pasar selalu menjadi tempat orang membuang anak-anak kucing dan anjing yang tak diinginkan. Sabari merasa terbuang, tak diinginkan oleh cinta. Dia pun merasa nasibnya tak ubahnya nasib Florentino Ariza.

Sang Aku pada “Tiba-tiba Aku Florentina Ariza” dan Sabari pada “Ayah” senasib sepenanggungan menjadi seperti Florentina Ariza. Terenggut dan tercampakkan.

Dan aku mendengar kabar, di suatu malam, perempuan yang membaca tulisan tangan dalam suratku itu melelehkan bening dari matanya yang telaga. Duh…

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
29 Desember 2018

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.