APAKAH TRANSAKSI DI BULAN MARET 2010 BOLEH DIBUATKAN FAKTUR PAJAK DI BULAN APRIL 2010?


APAKAH TRANSAKSI DI BULAN MARET 2010 BOLEH DIBUATKAN FAKTUR PAJAK DI BULAN APRIL 2010?

Pembaca sekalian dengan adanya penerapan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terbaru, teman saya juga ada yang bertanya kepada saya mengenai transaksi yang dibuat pada bulan Maret 2010. Bagaimana dengan perlakuannya apakah masih menggunakan undang-undang lama atau harus memakai yang baru?

Karena konsekuensinya ketika memakai Undang-undang PPN yang baru maka faktur pajak atas transaksi yang terjadi di bulan Maret 2010 harus dibuat di bulan Maret 2010 semuanya dan tidak boleh dibuat sampai paling lambat akhir April 2010.

Terbukti pelanggan perusahaan teman saya itu menolak faktur pajaknya karena atas transaksi bulan Maret 2010 ia buat faktur pajaknya di bulan April 2010. Takut kalau pelanggan teman saya itu ketika diperiksa oleh Pemeriksa Pajak akan dikoreksi karena dianggap sebagai faktur pajak cacat dan tidak dianggap sebagai kredit pajak.

Oleh karena itu teman saya meminta penjelasan kepada saya apakah atas transaksi bulan Maret 2010 masih bisa diterbitkan faktur pajak pada Bulan April 2010?

Oke, karena dia bertanya kepada saya, maka saya jawab pertanyaannya.

Bahwa Undang-undang PPN yang lama seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, antara lain mengatur:

Pasal 13 ayat (4) Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Aturan di bawahnya juga seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, antara lain mengatur:

Pasal 2 ayat (1) Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :

  1. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
  2. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
  3. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
  5. pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Sedangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, antara lain mengatur :

  1. Pasal 13 ayat (1a), bahwa Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
    1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
    2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
    3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
    4. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

  2. Pasal II, bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.

Maka berdasarkan ketentuan di atas saya menyimpulkan bahwa dikarenakan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010 maka sepanjang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terjadi pada bulan Maret 2010, Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:

  1. pada akhir bulan April 2010 dalam hal pembayaran diterima setelah bulan April 2010;
  2. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan April.

Tak selayaknya pelanggan perusahaan teman saya itu menolak faktur pajak ini. Pemeriksa Pajak juga tidak sebego yang mereka kira. Mereka juga baca aturan ini. Tapi kekhawatiran ini patut dimaklumi juga agar tidak menjadi masalah dikemudian hari.

Semoga bermanfaat artikel ini.

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

02.31 01 Mei 2010

citayam dinihari masih panas juga

tulisan ini didekasikan untuk teman saya dimaksud juga untuk masyarakat perpajakan indonesia

Pajak, PPN, UU PPN baru, UU PPN Lama, UU no.8 tahun 1983, uu PPN no.42 tahun 2009, uu ppnno. 18 tahun 2000, faktur pajak standard, faktur pajak standar, faktur pajak ppn, pajak masukan, pajak kelauran, pemeriksa pajak, auditor pajak, masa transisi, per.13/pj/2010, spt masa ppn, pajak pertambahan nilai,

FAKTUR PAJAK STANDARD MASIH BISA DIPAKAI?


APAKAH FAKTUR PAJAK YANG MASIH MENCANTUMKAN KATA STANDARD MASIH BISA DIPAKAI?

Bulan Maret dan April 2010 ini saya sering sekali ditanya oleh Wajib Pajak berkenaan dengan penerapan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terbaru yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 /PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.

Dengan ketentuan tersebut tidak ada lagi pembagian faktur pajak menjadi faktur pajak standard dan faktur pajak sederhana. Masalahnya—seperti yang sering diungkapkan oleh Wajib Pajak—adalah ketentuan tersebut tidak mengakomodir masa transisi buat Wajib Pajak agar dengan mudah menerapkan ketentuan tersebut.

Pada akhirnya banyak Wajib Pajak komplain dan bertanya pada saya masih dapatkah faktur pajak yang lama dipakai? Karena mereka beralasan bahwa cetakan faktur pajak yang lama itu masih banyak. Apalagi buat Wajib Pajak yang dalam penerbitan faktur pajaknya memakai sistem dan terintegrasi dengan sistem keuangan lainnya, sehingga untuk melakukan perbaikannya butuh waktu dan dana yang tidak sedikit.

Jadi mereka bertanya apakah pencantuman kata standard dalam faktur pajak tersebut
akan menyebabkan faktur pajak cacat?

Bagi saya faktur pajak itu tidak cacat dan tidak masalah, walaupun dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-13/PJ/2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur pajak, bentuk faktur pajaknya hanya tertulis dengan judul “FAKTUR PAJAK” tidak ada kata standardnya.

Mengapa menurut saya itu tidak mengapa? Oke saya uraikan sedikit dasr hukumnya sebagai berikut:

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, antara lain mengatur :

  1. Pasal 13 ayat (1), bahwa Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
  2. Pasal 13 ayat (5), bahwa Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
    1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
    2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
    3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
    4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
    5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
    6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
    7. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
  3. Pasal 13 ayat (8), bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Peraturan yang dibawahnya yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 /PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, antara lain mengatur:

  1. Pasal 6 ayat (1), bahwa bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai;
  2. Pasal 7, bahwa Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dan pengisiannya sesuai dengan tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Jadi saya bertitik tolak pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan di atas bahwa bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.

Lalu bagaimana kalau faktur pajak yang masih ada tulisan standardnya tersebut digunakan untuk transaksi dengan Wajib Pajak yang tidak ada NPWP atau alamatnya? Jadi sepertinya terlihat tidak sesuai dengan standardisasinya. Bagi saya tak mengapa pula, karena yang menentukan standard dan tidaknya adalah Pengusaha Kena Pajaknya sendiri. Yang terpenting adalah transaksi dengan Wajib Pajak yang tidak punya NPWP atau alamatnya tidak jelas itu sudah dibuatkan faktur pajak dan telah dinomori.


Jadi berdasarkan ketentuan di atas sepanjang pengisian pada Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN diatas, maka Faktur Pajak tersebut adalah Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan dan tidak dianggap sebagai Faktur Pajak cacat.

Masalahnya adalah Pengusaha Kena Pajak siap tidak untuk menerima penolakan dari kliennya karena khawatir faktur pajaknya itu tidak dapat dikreditkan. Mereka biasanya bersikeras untuk meminta Pengusaha Kena Pajak untuk menghilangkan kata standardnya. Dan biasanya Pengusaha Kena Pajak juga akan mengikuti keinginan kliennya daripada duit tidak masuk…iya enggak.

Penolakan itu terjadi karena klien takut ketika diperiksa oleh pemeriksa pajak untuk mendapatkan restitusi pajaknya akan mendapatkan persepsi yang berbeda dari pemeriksa pajak itu. Nah daripada ngotot-ngototan dengan mereka lebih baik klien cari amannya saja. Terkecuali klien mendapatkan surat penegasan dari Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak bahwa faktur pajak yang mencantumkan kata standard masih diperbolehkan untuk dipakai.

Menurut pemikiran saya, Wajib Pajak yang mempersengketakan masalah ini di Pengadilan Pajak akan dimenangkan juga oleh Majelis Hakim, yang penting duit PPNnya sudah masuk ke kas negara. Biasanya begitu.

Jadi, terserah kepada Anda wahai Pengusaha Kena Pajak untuk masih tetap memakai faktur pajak yang ada kata standardnya atau tidak. Keputusan ada di tangan Anda.

***

Catatan penting: Apa yang ditulis di atas adalah merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan pendapat atau keputusan instansi DJP tempat saya bekerja.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09:55 22 April 2010



CARA ALAMIAH DJP LEBIH BERSIH LAGI


CARA ALAMIAH DJP UNTUK BERSIH-BERSIH

Sabtu, pukul 10.34 WIB, saya bersama istri sudah berada di Puskesmas Bojonggede. Niatnya kami ingin meminta surat rujukan Askes untuk periksa di rumah sakit di Jakarta. Ternyata ketika sampai di loket kami ditolak dengan alasan Kartu Askes kami yang baru belum bisa diaplikasikan di sistem administrasi Puskesmas. Jadi kami harus pakai kartu Askes kami yang lama. Padahal kami tidak membawanya.

Terpaksa saya harus pulang kembali ke rumah dalam jangka waktu 20 menit, karena pendaftaran Puskesmas ditutup pada pukul sebelas siang. Istri bersama Kinan saya tinggal di Puskesmas. Saya langsung ngebut. Alhamdulillah, ketika sampai di Puskesmas, masih ada waktu dua menit lagi menurut jam HP saya. Tapi loket pendaftaran sudah ditutup dengan tirai. Petugas langsung mengerti bahwa saya adalah warga yang tadi sudah datang sebelum jam sebelas. Akhirnya kami dapat diterima.

Ketika mulai pemeriksaan, kami di panggil masuk oleh dua orang dokter yang ada di dalam suatu ruangan. Lalu kami ditanyai tentang problem kesehatan kami. Sampai suatu saat, wanita dokter yang memeriksa istri saya bertanya, “Ibu dari instansi mana?”

“Kementrian Keuangan,” jawab istri saya.

“Dari pajak, Bu?”

“Bukan, noh…dia yang dari pajak,” kata istri sambil menunjuk saya.

Dua wanita dokter itu langsung tertawa, sambil menyindir-nyindir saya.

“Bapak dapat berapa milyar dari Bahasyim?” tanya salah satu dari mereka.

“Rumahnya mewah dong Pak.”

Istri saya langsung jawab, “Bu, tergantung orangnya. Kalau benar ada uang milyaran sih, kami enggak mungkin tinggal di CItayam.”

“Kan bisa tinggal disini. Untuk kamuflase gitu…”

“Bu, kalau benar dugaan itu, tentu kami tidak akan datang ke sini untuk meminta surat rujukan Askes. Ngapain kami datang capek-capek kemari,” kata saya menambahkan.

Tapi memang semua itu saya anggap sebagai guyonan belaka. Saya tanggapi dengan senyuman. Karena mau apalagi, sudah jelas-jelas Bahasyim Asyifii itu adalah orang pajak yang punya banyak harta. Walaupun dia tidak bekerja lagi di pajak sejak tahun 2007.

Saya enggak kenal dengan Bahasyim. Saya tidak dapat apa-apa dari Bahasyim. Tapi getahnya kami-kami ini juga yang merasakan. Sabar saja deh saya menanggapinya. Percuma saya tanggapi karena mereka lebih percaya kepada media. Mungkin ini juga pengaruh dari suasana saat itu. Coba kalau tidak dalam suasana dikejar-kejar oleh waktu, saya mungkin akan memberikan penjelasan panjang lebar.

Seperti pada saat hari Ahad pekan yang lalu (4/4), dalam sebuah seminar yang saya ikuti, saya berteriak lantang ketika pembicaranya menyerempet-nyerempet masalah Gayus Tambunan. Katanya Gayus itu ketahuan karena apes, tertangkap cuma satu padahal masih banyak yang lainnya.

Sungguh saya tersinggung kali ini. Saya bilang di hadapan ratusan peserta seminar itu, “Perkataan Anda membuat saya tersinggung. Tidak betul apa yang Anda katakan itu. Berikan kesempatan kepada saya untuk menjelaskannya agar tidak terjadi generalisasi yang semena-mena.”

Pada sesi tanya jawab itulah saya menerangkan dengan panjang lebar tentang permasalahan Gayus. Bahkan saya menantang kepada siapapun peserta seminar ini kalau memang ada dari instansi Bea dan Cukai, lebih bersih mana antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)? Saya meyakinkan kepada para peserta seminar bahwa DJP setidaknya lebih bersih daripada DJBC pada saat ini. Saya minta maaf kepada teman-teman dari BC, ini fakta loh. Tapi saya juga tidak menggeneralisir semua orang dari Instansi Anda. Saya yakin ini juga oknum.

Ya, saya berani mengungkapkan itu karena saya yakin DJP itu tidak sebejat yang mereka pikirkan. Permainan Gayus bukan permainan sebuah sistem tetapi permainan yang dilakukan oleh orang per orang untuk mengumpulkan harta tidak halal sebanyak-banyaknya.

Tetapi entah kenapa Allah kemudian menunjukkan kepada saya tentang masih banyaknya permainan yang dilakukan oleh oknum pegawai DJP selain Gayus. Oh… memang ternyata masih ada juga pegawai yang seperti itu. Tetapi tetap dengan sebuah keyakinan bahwa itu hanyalah sebagian kecil saja. Bukan kebanyakan dari pegawai pajak. Tetapi tetap saja kelakuan mereka seperti tusukan dari belakang. Sakit sekali. Kita berusaha menciptakan citra DJP yang bersih ternyata saudara-saudara kita yang ada di DJP masih melakukan itu. Sungguh mengecewakan. Tapi itu harus diakui, karena mereka eksis.

Lalu dengan pemikiran itu saya pun bersikap defensif saja. Hujatan dan makian saya terima walaupun dengan hati yang gondok. Manusiawi bukan?

Saya berharap bahwa ini adalah upaya Allah untuk membersihkan DJP dari oknum-oknum seperti itu. Saya terima saja. Ibarat kata ketika seorang pendulang emas ingin menemukan bongkahan emas, maka apa yang ia lakukan coba? Ia mengayak tanah yang mengandung emas itu dengan keras. Lalu menyortir dan menelitinya, lagi dan lagi. Ketika tidak diketemukan, segera ia kemudian mencelupkan tanah itu dengan air dan mengayaknya lagi. Apatah lagi ditambah dengan campuran zat kimia air raksa yang menyakitkan itu. Keras dan keras.

Lalu apa yang ditemukan oleh pendulang emas itu pada akhirnya? Mendapatkan emas yang ia cari lama-lama dengan sekuat tenaga itu, menyisihkannya dari tanah yang tidak punya arti itu. Lalu mengumpulkan emas itu dengan emas-emas yang lainnya. Dan apa yang terjadi dengan sisa tanah yang ada? Dibuang jauh-jauh. Karena ia tidak berguna, tak berarti apa-apa.

Ibarat itulah. Saya selalu berbaik sangka, bahwa semua hujatan, kecaman, dan kritikan yang masyarakat berikan kepada kami adalah dalam rangka memilih emas yang berharga dan mengubur dalam-dalam tanah yang tak bernilai itu. Mengumpulkan yang bersih-bersih agar yang kotor-kotor itu tidak ikut dalam sistem lagi. Sekali lagi walaupun pahit untuk dirasa oleh kita. Selama kita sendiri yakin kalau kita idealis, silahkan diobok-obok.

Biarlah yang kotor itu tersingkir dengan proses yang alamiah. Mungkin beginilah seleksi alam yang harus dialami oleh DJP, cara halus tidak bisa sehingga harus diobok-obok dulu agar senantiasa bersih sebagaimana harapan masyarakat.

Ya, saya senantiasa berharap bahwa prahara yang dialami oleh DJP ini segera cepat berakhir. DJP lebih bisa berbenah lagi. Mendapatkan kepercayaan masyarakat lagi. Lalu saya pun tak perlu disindir-sindir lagi oleh yang lain.

Saya berdoa pada Allah semoga dijauhkan dari segala fitnah. Allahumma inni a’udzubika minal fitani. Amin.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

00.15 11 April 2010

Kepada semua kawan di DJP,

tunjukkan kepada masyarakat

bahwa kita masih punya

integritas yang tinggi.


PESAN-PESAN PENDEK


PESAN-PESAN PENDEK

Pesan pendek muncul di layar telepon genggam made in China saya. Dari seorang perempuan yang saya kenal. Mantan financial manager sebuah perusahaan yang memproduksi pembalut wanita pasca melahirkan. Perusahaannya masih saya awasi dan layani sampai saat ini. Karena saya adalah account representative (AR) mereka di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Empat.

“Masalah GT kok jadi ruwet ya Pak, rasanya sy pgn teriak protes krn sy termasuk yg selalu mendapat perlakuan baik dan fair dari petugas pajak, AR yg sgt membantu dan sy tdk pernah menyuap pemeriksa dan semua urusan pajak clear, kan tdk bisa semua disamain dgn GT ya Pak, nah yg ok2 aja kok ngga ngomong ya” (01 April 2010, pesan diterima 06.59)

Pesan di atas apa adanya saya tulis di sini. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi satu huruf pun kecuali tanda kutip sebagai penanda saja.

Saya jawab pesannya sekaligus meminta padanya untuk membuat surat pembaca yang dikirim ke media. Sebagai bahan pembanding dan penyeimbang tentunya.

Selanjutnya ia mengirimkan pesan lagi.

“Iya tuh dia Pak sy mau kirim ke dirjen pajak dan menkeu aja pak, terjadinya korupsi juga bisa krn kesempatan dari pihak wp seperti sy dulu kok pak, mrk jg dpt bagian, yg bilang sy munak dulu di PIER juga banyak tp buktinya banyak fiscus yg profesional, berarti kan jg tergantung wp nya pak, kalau pajak mrk beres, yg mmg terhutang dibayarkan tdk ada apa2, kok skg mrk mlh menghujat kan aneh, maaf smsnya panjang nih, selamat bekerja Pak, have a great day”

Dua pesan pendek itu menentramkan kami. Ya, karena pesan itu saya sampaikan juga ke teman-teman AR yang lain. Ada Wajib Pajak yang mengapresiasi upaya kami selama ini. Bukannya ingin kebaikan kami diungkit-ungkit dan ingin dipuji sehingga mabuk pujian bahkan sampai gila pujian. Tapi terkadang memang apresiasi Wajib Pajak pada saat-saat tertentu bisa mengangkat moral kami sebagai petugas pajak.

Terakhir, ia mengirimkan pesan ini, “sudah diprint nih, dikirim ke kompas ya pak.”

Terserahlah Bu…Btw, kita mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas usaha tersebut.

***

Cukup sampai di sini. Saya tidak bisa melanjutkan lagi.

GT = Gayus Tambunan.

PIER = Pasuruan Industrial Estate Rembang, nama suatu komplek industri di Pasuruan, akronim.

Fiscus = Aparatur Pajak.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

TAK SEMUA BEJAT


TAK SEMUA BEJAT

(dimuat di opini detik.com)

di sini

Awalnya saya tidak berusaha mau tahu tentang kasus yang menimpa Gayus Tambunan. Tentang pemberitaannya di media pun selalu saya lewatkan untuk dibaca. Apalagi saya jarang untuk melihat televisi. Biasanya kalau pun ada tema tentang Gayus dalam sebuah ruang diskusi tentang makelar kasus pajak ini saya langsung memindahkan salurannya. Tak peduli. Titik.

Karena bagi saya, kelakuan oknum selalu tidak merepresentasikan keseluruhan anggota organisasi. Yang penting saya tidak berbuat, tetap pada jalur yang benar, menjunjung tinggi kode etik, memegang teguh integritas, maka apapun celaan bahkan pujian sekalipun tak menggoyahkan niat saya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan bersama-sama mencapai tujuan organisasi.

Tapi, Jum’at (26/3) malam saya ditelepon oleh saudara di kampung. Berondongan pertanyaan mengular keluar dari pengeras suara telepon genggam. Siapa itu Gayus? Kenal tidak dengan Gayus? Adik kelasnya saja punya uang milyaran, apalagi kakak kelasnya. Golongan IIIa saja sudah segitu, apalagi pejabatnya.

Saudara saya menanyakan demikian tentu karena kegundahan melihat ketidakberesan ini. Wajar. Tapi ini membuat saya termenung dan tidak bisa tidur. Akhirnya berita tentang Gayus pada banyak koran hari itu saya baca. Layar televisi saya buka lebar-lebar. Di mana-mana ada Gayus. Dari malam sampai paginya lagi.

Mulai dari artis cantik, pengacara klimis, facebooker, pemerhati kepolisian yang lebih garang daripada Densus 88, sampai ketua asosiasi yang katanya fokus mengurusi perpajakan Indonesia tetapi masih saja salah dengan menyebut ada jabatan kepala subseksi di atas Gayus dan bahkan berani menuduh aliran uangnya sampai Menteri Keuangan, semua ikut berbicara. Dan jatuh pada sebuah kesimpulan yang sama: tak bisa membedakan oknum dan tidaknya. Generalisasi yang semena-mena.

Modernisasi DJP

Reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah dirintis sejak tahun 2000. Kemudian sejak tahun 2002 DJP mendirikan kantor pelayanan pajak (KPP) modern dengan adanya KPP Wajib Pajak Besar. Lalu berlanjut memodernisasikan KPP di seluruh Indonesia secara bertahap hingga selesai pada tahun 2008.

Ini adalah reformasi birokrasi jilid I yang bercirikan adanya restrukturisasi organisasi di tubuh DJP, pelayanan yang berorientasi kepada Wajib Pajak, pemberian remunerasi yang tinggi buat pegawainya, penegakan disiplin, pengembangan dan penguatan budaya antikorupsi dengan adanya kode etik.

Semuanya butuh pengorbanan. Semuanya tertatih-tatih mewujudkan niat baik ini. Karena menyadari perubahan adalah sebuah keniscayaan. Yang tidak mau berubah siap-siap saja untuk terlindas zaman.

Pelan-pelan kepercayaan masyarakat tumbuh pada DJP. Para pelaku bisnis pun mengakui adanya perubahan yang tidak main-main. Walaupun di sana-sini masih banyak kekurangan hingga ada saja pegawai DJP yang dipidana dalam kasus penggelapan pajak, tapi diyakini itu hanyalah sebuah proses seleksi dan cuma batu kerikil yang tidak akan menghalangi jalannya mesin perubahan itu. Masyarakat masih menerima.

Sebagian kecil rekam jejak perubahan itu terekam dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh DJP dan diluncurkan pada saat hari ulang tahun keuangan di bulan Oktober 2009, buku Berbagi Kisah dan Harapan: Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak. Buku ini menceritakan tentang upaya keras dari para pegawai pajak sebelum dan setelah modernisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Mulai dari yang berkejaran dengan waktu demi sebuah mesin absensi, komitmen pada penghasilan yang halal hingga tak sanggup untuk menjenguk anaknya yang sakit karena tak punya uang untuk membeli tiket pesawat terbang, sampai yang menolak dengan tegas semua pemberian Wajib Pajak.

Buku yang bagus dan menjadi bekal untuk menjalani reformasi birokrasi jilid 2. Tapi sebuah ironi, tak lama kemudian kasus Gayus muncul. Ini seperti menuangkan tinta hitam di atas selembar kain putih. Seperti membuat upaya keras modernisasi yang dijalankan DJP itu menjadi tidak berguna lagi. Seperti debu yang diterbangkan angin.

Kepercayaan masyarakat mulai sedikit menurun. Ditambah dengan blow-up yang terus menerus terhadap kasus Gayus hingga politisasinya oleh sebuah televisi yang ditengarai pemiliknya sedang dibidik oleh DJP dalam kasus lain.

Tak Semua Bejat

Celaan yang bertubi-tubi seharusnya tak menyurutkan semangat modernisasi. Pertunjukkan tetap harus jalan. Tak semua pegawai bejat. Karena saya yakin masih banyak pegawai pajak yang jujur-jujur dan mempunyai integritas tinggi. Masih banyak pegawai pajak yang masih ngontrak dan belum punya mobil—kalau memang ukuran kekayaan adalah rumah dan mobil sebagaimana pengacara klimis itu bilang.

Padahal kalau mereka tahu, sebagian orang pajak sekarang memiliki semuanya itu dengan cara kredit bertahun-tahun. Dan remunerasi yang tinggi memungkinkan mereka untuk dapat memiliki kebutuhan dasar itu agar tidak tergoda dengan hal lainnya.

Membangun Kepercayaan

Nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu menangisi susu yang telah tumpah. Saatnya saya dan DJP kembali berbenah diri. Mengakui ada salah satu pegawainya yang salah adalah sebuah kejujuran. Orang sekelas Akio Toyoda saja mampu berkata jujur bahwa memang produk Toyotanya ada yang bermasalah. Akhirnya konsumen memberikan apresiasi yang besar kepadanya. Penjualan Toyota hanya turun 9% jauh dari perkiraan pengamat di Amerika Serikat yang memperkirakan sampai 50%.

Account Representative dan Seksi Pelayanan KPP sebagai ujung tombak yang berhadapan dengan Wajib Pajak adalah garda terdepan untuk dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat.

Sekecil laporan ataupun aduan dari masyarakat harus dengan serius untuk ditindaklanjuti. Karena tak ada asap kalau tak ada api. Saya ingat pepatah cina yang ditulis oleh teman saya di dinding Facebook-nya. Ini terekam kuat dalam benak saya. “Bermula dari paku yang lepas dari tapal kuda. Tapal kuda pun lepas. Kuda tak bisa lari. Pesan tak tersampaikan. Pasukan pun kalah.” Jangan biarkan hal yang kecil menjadi besar.

Kemudian dicari format internalisasi kode etik yang tidak sekadar menjadi ritual tahunan dan seremonial belaka. Pemberian reward yang pasti dan tidak termakan inflasi serta pemberian hukuman yang tegas dan seadil-adilnya adalah salah satu jalan lain agar kasus ini tidak terjadi lagi.

Semoga setelah ini, masyarakat kembali dengan tenang dapat menikmati pembangunan dari uang rakyat yang dikumpulkan para petugas pajak.

Maraji’: Apa Kabar Indonesia Malam. TV One, Jum’at, 26 Maret 2010

Riza Almanfaluthi

PNS DJP

Golongan IIIb dua tahun enam bulan rumah masih bocor

dedaunan di ranting cemara

4:23 29 Maret 2010

KAMI BENCI KORUPSI


SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS Tahun 2009 (Ketiga)


SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS Tahun 2009(Ketiga)

(Setelah membaca artikel ini harap untuk membaca artikel terbaru tentang tema yang sama dengan ini di sini)

Karena adanya peraturan yang berubah-ubah tentang SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS, di bawah ini akan saya tulis kronologis peraturan yang mengatur masalah ini.

Perlu saya beritahukan terlebih dulu, bahwa artikel ini berkaitan dengan artikel saya terdahulu di blog ini. Tepatnya di yang pertama dan yang kedua.

Oke, saya langsung saja. Berikut kronologisnya dari awal sampai akhir:

  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-161/PJ/2007 tanggal 14 Nopember 2007 bahwa yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS  adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:
    • yang hanya mempunyai penghasilan bruto dari satu  pemberi kerja;
    • penghasilan tersebut tidak melebihi Rp30.000.000,00 setahun;
    • tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan dari bunga bank atau koperasi;
    • hanya untuk penghasilan yang didapat selama tahun pajak 2007.

Catatan kecil:

Ketentuan batas penghasilannya telah berubah dengan peraturan terbaru setelah ini.

2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-8/PJ/2008  tanggal 13 Maret 2008 yang isinya menaikkan batas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh memakai formulir 1770 SS menjadi tidak lebih dari Rp48.000.000,00 setahun.

Catatan kecil:

Peraturan ini masih berlaku sampai sekarang hanya untuk pengisian SPT 1770 SS tahun pajak 2007. Jadi kalau Anda memenuhi kriteria di atas pada nomor satu dan dua dan belum melaporkan penghasilan Anda sampai saat ini maka gunakan ketentuan perpajakan ini.

3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2008 tanggal 05 Juni 2008 yang isinya antara lain bahwa yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS  adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

  • yang hanya mempunyai penghasilan bruto dari satu  pemberi kerja;
  • penghasilan tersebut tidak melebihi Rp48.000.000,00 setahun;
  • tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan dari bunga bank atau koperasi;
  • hanya untuk penghasilan yang didapat selama tahun pajak 2008 dan seterusnya.

Catatan kecil:

Ketentuan batas penghasilannya telah berubah dengan peraturan terbaru setelah ini. Dan terbukti pula bahwa setelahnya nanti ketentuan ini hanya berlaku untuk penghasilan yang didapat di tahun 2008 saja, tidak untuk seterusnya.

4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-7/PJ/2009 tanggal 02 Februari 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2008 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya.

Isinya antara lain menaikkan batas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh memakai formulir 1770 SS menjadi tidak lebih dari Rp60.000.000,00 setahun.

Catatan kecil:

Peraturan ini masih berlaku sampai sekarang hanya untuk pengisian SPT 1770 SS tahun pajak 2008. Jadi kalau Anda memenuhi kriteria di atas pada nomor tiga dan empat dan belum melaporkan penghasilan Anda sampai saat ini maka gunakan ketentuan perpajakan ini.

5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-34/PJ/2009 tanggal 04 Juni 2009 bahwa yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS  adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

  • yang hanya mempunyai penghasilan bruto dari satu  pemberi kerja;
  • tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan dari bunga bank atau koperasi;
  • hanya untuk penghasilan yang didapat selama tahun pajak 2009 dan seterusnya.

Catatan kecil:

Coba lihat ketentuan ini tidak mengatur batasan penghasilan yang dimiliki Wajib Pajak yang diperkenankan mengisi SPT 1770 SS. Akankah seperti ini? Ternyata tidak,  sudah ada keluar peraturan terbaru mengenai batasan penghasilannya. Supaya Wajib Pajak tidak bingung katanya.

Pun, akankah peraturan ini berlaku untuk tahun pajak 2009 dan seterusnya? Kita lihat saja nanti. Kalau berubah alasan yang akan muncul biasanya adalah dinamisasi peraturan.

6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-66/PJ/2009 tanggal 21 Desember 2009 yang mengubah PER-34/PJ/2009. Dengan peraturan ini maka yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS  adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

  • yang hanya mempunyai penghasilan bruto dari satu  pemberi kerja;
  • penghasilan tersebut tidak melebihi Rp60.000.000,00 setahun;
  • tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan dari bunga bank atau koperasi;
  • hanya untuk penghasilan yang didapat selama tahun pajak 2009 dan seterusnya.

Catatan kecil:

Tentang batas penghasilan yang boleh mengisi SPT 1770 SS ini balik lagi ke PER-7/PJ/2009 yaitu sebesar Rp60.000.000,00 setahun. Dan kalau kita cermati maka di tahun 2009 terdapat tiga peraturan yang mengatur masalah SPT 1770 SS.

Akankah peraturan ini berubah lagi? Kita tunggu saja.

Jadi sekarang Anda tak perlu bingung-bingung lagi, kalau Anda mau melaporkan  SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi tahun pajak 2009 dengan menggunakan formulir 1770 SS maka syaratnya—sekali lagi saya ulangi—adalah:

a. mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja;

b. mempunyai penghasilan dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 setahun;

c. yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi.

Semoga bermanfaat.

Tags: pajak, taxes, tax, pajak penghasilan, pph, wajib pajak orang pribadi, spt, surat pemberitahuan, spt tahunan, WPOP, 2008, konsultasi perpajakan, konsultasi gratis.

dedaunan di ranting cemara

riza almanfaluthi

03:11 09 Januari 2010

DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT


DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT

(Dimuat di Situs Kitsda)

Apresiasi perlu disematkan kepada semua pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang naskahnya terpilih dalam buku Berkah, Berbagi Kisah & Harapan, Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak. Karena tak semua mampu untuk mengungkapkan apa yang ada dalam kepala dan menuangkannya dalam bentuk tulisan tentang apa yang setidaknya menjadi cita-cita bersama kita semua yakni menjadi pegawai DJP yang mempunyai integritas, profesionalitas, inovasi, dan mampu bekerja sama.

Pertanyaannya adalah apakah cukup sampai di situ? Seharusnya para penulis buku itu akan mampu berteriak tidak dengan lantang. Ya, karena capaian itu adalah baru capaian yang seharusnya disikapi dengan biasa saja. Tak perlu euforia karena terbuai dengan ucapan selamat bertubi-tubi.

Sejatinya dua hal yang akan menumpulkan pena dan mematikan sebuah kreativitas dalam kepenulisan adalah mabuk pujian dan cepat berpuas diri. Selayaknya pujian adalah obat atau multivitamin yang apabila diminum secara overdosis bukannya menyembuhkan tapi sebaliknya, bahkan ia akan menjadi racun.

Terjebak dalam pujian hanya akan membuat punggung terbungkuk-bungkuk ke tanah karena beban yang berat agar bisa menulis sebuah tulisan yang minimal sama dengan yang sudah diberikan penghargaan tersebut. Padahal tak selamanya penulis mampu dalam keadaan prima serta menghasilkan sebuah karya yang bagus. Pada akhirnya, karena terbebani ia tidak menulis dengan hati tapi menulis sesuai apa kata orang. Sejak saat itu matilah sebuah kreativitas.

Lalu bagaimana dengan berpuas diri? Sama saja. Kalau itu yang dilakukan cukuplah kita menjadi kutu anjing yang seharusnya dalam keadaan normal mampu untuk meloncat setinggi 2 meter tapi karena ia dimasukkan ke dalam kotak korek api selama dua pekan maka ia cuma akan bisa meloncat setinggi kotak korek api saja. Sungguh akan ada potensi luar biasa yang tercerabut dan lenyap. Mengerikan.

Maka momen Berkah bukan momen narsis sambil mematut-matut diri di cermin. Tapi titik awal agar mampu menulis lebih baik lagi, kontinyu, dan mencerahkan. Bagaimana caranya? Tiada hari tanpa pengamatan, mencerna dan menuliskannya dengan menggunakan otak kanan—otak yang menyukai kebebasan dan tidak suka yang berbau urut dan tata tertib—dan biarkan ia mengalir apa adanya, lalu menyuntingnya dengan menggunakan otak kiri. Selanjutnya terserah kita.

Publikasi pun menjadi titik penting lainnya. Karena siapa yang akan tercerahkan kalau apa yang Anda tulis tidak diketahui dan bukan untuk siapa-siapa? Koran, majalah, blog, forum diskusi internet, facebook bisa jadi tempat yang tepat untuk itu. Bahkan situs Kepegawaian DJP selayaknya pula menyediakan tautan terbuka untuk menyalurkan kreatifitas kepenulisan ini.

Berhenti? Lagi-lagi tidak! Selesai suatu urusan maka kerjalanlah urusan yang lain. Menulislah lagi. Jangan berhenti. Setelah itu tawadhu’lah, berrendahhatilah, karena di luar masih banyak penulis-penulis yang lebih hebat dan lebih jago. Pun, ada kredo nan elok dan tak akan pernah mati: di atas langit masih ada langit.

Ayuk, tetap Semangat menulis.

***

sekadar curahan hati malam mingguan

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

13:12 11 November 2009

PTKP DARI MASA KE MASA


PTKP DARI MASA KE MASA

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah komponen pengurang penghasilan neto untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Wajib Pajak Orang Pribadi. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan di bidang ekonomi dan moneter serta harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat maka ketentuan yang mengatur besaran PTKP seringkali diubah atau disesuaikan.

Artikel kali ini hanya sekadar mencatat perubahan PTKP itu dari masa ke masa, berlakunya, dan beleid yang mendasarinya. Ini diawali dari yang paling teranyar atau yang pada saat tulisan ini dibuat sedang berlaku. Semoga bermanfaat.

ptkp

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Publikasi pada tanggal 11 Februari 2009

Telah diperbaharui pada tanggal 18 Oktober 2016.

SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS (KEDUA)


Penghasilan 60 Juta Rupiah ke Bawah Boleh Pakai SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS

(Lihat artikel terbaru dan berkaitan mengenai ini di sana)

Dulu saya pernah menulis tentang Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi bentuk Formulir 1770 SS di sini. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS salah satunya adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan bruto dari pekerjaan tidak melebihi Rp30.000.000,00 setahun.

Ketentuan itu berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-161/PJ/2007 tanggal 14 Nopember 2007 tentang SPT Orang Pribadi Sangat Sederhana Tahun 2007. Yang kemudian diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-8/PJ/2008 tanggal 13 Maret 2008 yang isinya menaikkan batas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh memakai formulir tersebut menjadi tidak lebih dari Rp48.000.000,00 setahun.

Namun di tahun 2009 ini Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan ketentuan baru yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-7/PJ/2009 tanggal 02 Februari 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2008 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya.

Isi dari beleid itu kembali menaikkan batas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang diperbolehkan untuk menggunakan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi Formulir 1770 SS yaitu menjadi tidak lebih Rp60.000.000,00 setahun. Jadi dengan adanya peraturan ini maka dapat disebutkan di sini bahwa SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi terdapat tiga bentuk formulir yang kriterianya masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Formulir 1770 dan Lampirannya untuk Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:

  • a. dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
  • b. dari satu atau lebih pemberi kerja;
  • c. yang dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final; dan/atau
  • d. penghasilan lain.

2. Formulir 1770 S dan Lampirannya untuk WAjib Pajak yang mempunyai penghasilan:

  • a. dari usaha atau lebih pemberi kerja;
  • b. dari dalam negeri lainnya; dan/atau;
  • c. yang dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final.

3. Formulir 1770 SS bagi Wajib Pajak:

  • a. yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja;
  • b. yang mempunyai penghasilan dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 setahun;
  • c. yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi

Jadi Anda memakai formulir yang mana itu tergantung dari mana dan seberapa besar penghasilan Anda diperoleh dalam setahun tersebut. Sila untuk menghitung-hitung, memilah, dan memilih.

Semoga bermanfaat.

Tags: pajak, taxes, tax, pajak penghasilan, pph, wajib pajak orang pribadi, spt, surat pemberitahuan, spt tahunan, WPOP, 2008, konsultasi perpajakan, konsultasi gratis.

dedaunan di ranting cemara

riza almanfaluthi

16:35 10 Februari 2009