Keluar dari Kuldesak


Sengkarut yang menimpa Direktorat Jenderal Pajak akibat imbas kasus penganiayaan yang dilakukan salah satu anggota keluarga pegawai pajak sudah sampai ke tahap yang di luar masuk akal.

Imbas itu dirasakan oleh teman-teman unit vertikal di bawah. Layanan chat imbauan kepada wajib pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan dibalas oleh wajib pajak dengan pertanyaan, “Sudahkan lapor LHKPN?” atau dalam bentuk makian dan teror lainnya.

Continue reading Keluar dari Kuldesak

Advertisement

PNS, CPNS, DAN MALINDA DEE


PNS, CPNS, DAN MALINDA DEE

 

Dua kali mengetes kejujuran para kondektur Metromini 640 Jurusan Tanah Abang Pasar Minggu, hasilnya kurang memuaskan. Caranya? Diam-diam saya membayari ongkos Metromini teman satu instansi saya, walau tidak kenal. Saya memberi uang 4000 perak kepada kondektur untuk ongkos angkut saya dan teman yang ada di depan. Saya tunjuk dari belakang seorang perempuan berjilbab. Saya yakini betul kondektur itu untuk tidak menagih lagi ongkos padanya.

    Kondektur melewati teman saya walau ia sudah menyodorkan uangnya. Dan ketika sudah sampai ke tujuan dan ia hendak turun, teman saya itu kembali menyerahkan uang dua ribuannya kepada kondektur. Kondektur itu melihat dulu ke arah saya, karena dia tahu saya mengawasinya, ia cuma bilang “sudah dibayari sama yang di belakang.” Teman saya bingung siapa lagi yang bayari dia. Saya pura-pura melihat ke arah lain. Apa coba yang terjadi kalau saya tidak memelototi kondektur itu?

    Hari yang lain juga sama. Untuk ini saya serahkan uang enam ribu rupiah kepada kondektur buat dua orang teman saya yang ada di depan, tentu tanpa sepengetahuan mereka. Kondektur melewati mereka. Namun karena dua teman saya itu tak tahu ada yang membayari mereka maka pada saat turun mereka tetap menyerahkan uangnya kepada kondektur. Kondektur itu menerimanya walau tahu mereka sudah dibayari saya. Seharusnya kondektur itu bilang, “ada yang bayarin.” Apa susahnya?

    Dua orang kondektur itu bagi saya masih diragukan kejujurannya. Tapi eksperimen saya masih sumir karena mengambil sampel yang cuma sedikit. Yang membanggakan adalah teman-teman saya dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini, integritas mereka teruji sudah. Merasa belum bayar, mereka tidak langsung menyimpan uangnya kembali ke saku, memanfaatkan kesempatan lupanya kondektur untuk mengirit dua ribu perak, tetapi membiarkan uang itu tetap dipegang di tangannya dan akan diserahkannya pada saat turun nanti.

    Akan ada yang berpikir begini bahwa mereka—teman-teman saya ini—belum teruji karena cuma disodorkan kesempatan “menilap” uang recehan yang tidak bernilai itu. Kalau uang milyaran di depan mata, siapa tak akan mau? Sebenarnya jawabannya mudah. Kalau yang kecil saja tidak bisa ditolak bagaimana mungkin akan menolak yang bernilai besar? Semua itu dimulai dari hal-hal yang kecil. Hari itu saya bangga mempunyai teman seperti mereka.

Di kesempatan lain, ada teman yang pernah menjadi calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah Kalimantan namun meninggalkan kesempatan besar untuk menjadi PNS itu hanya karena banyak hal yang bertentangan dengan idealismenya. Saya ingin menceritakannya sepintas.

Seperti kita ketahui bersama, begitu banyak orang terpikat untuk menjadi PNS, oleh karenanya saat lowongan penerimaan PNS dibuka, ribuan orang turut serta berbondong-bondong untuk mendaftarkan diri. Bagi yang tak mau capek dan ingin hasil yang instan, segala cara bisa dipakai. Mulai dari menggunakan jalur koneksi, dukun, sampai sogok menyogok. Seringkali pada akhirnya mereka hanya menjadi korban penipuan saja.

    Tak masalah jika dari hasil seleksi itu yang diterima adalah mereka yang benar-benar berkualitas. Masalahnya adalah jika mereka yang tak mau capek dan memakai segala cara itu ternyata ikut diterima juga. Lalu akan jadi birokrat seperti apa mereka? Pun, apakah mereka yang diterima dengan cara yang benar dijamin akan menjadi seorang birokrat yang mampu memegang idealismenya? Tentu ini tergantung antara lain dari budaya yang ada di tempat kerjanya, keteladanan para seniornya, dan komitmen para pemangku kepentingan utama untuk menjalankan good corporate governance.

    Ceritanya, teman saya ini diterima sebagai CPNS dengan cara yang jujur dan langsung ditempatkan di salah satu dinas di sana ketika lulus. Hanya empat bulan dia bertahan dengan suasana yang penuh ujian terhadap integritasnya. Mulai dari disuruh me-markup laporan pertanggungjawaban, lembur dan rapat fiktif, menerima uang tidak jelas sebesar 50 ribu sampai 100 ribu rupiah sehari, atau sekadar dicatut namanya pada kegiatan tertentu lalu ia tinggal menikmati hasilnya. Ia protes atas semua itu.

    Ia yang sudah diajarkan tentang nilai idealisme dan menyampaikan kebenaran walau pahit sejak kecil, merasa menjadi PNS bukan dunianya lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya, keluar dari menjadi Calon PNS. Dengan meninggalkan kesempatan untuk menjadi PNS, gaji Rp3,5 juta waktu itu dan akan bertambah besar, serta mendapatkan jaminan pensiun kelak. Dan ia bersedia untuk membayar Rp10 juta untuk pengunduran dirinya. Sekarang ia hanya menjadi seorang guru SDIT saja. Mendengar ceritanya, hari itu saya bangga mempunyai teman sepertinya.

    Dua cerita ini menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan saya sendiri pada saat diskusi di dalam bus yang membawa kami pulang dari Pengadilan Pajak. Masih adakah orang jujur untuk melanjutkan reformasi birokrasi yang dirasa berjalan lambat ini dan karena adanya peristiwa-peristiwa yang mencederai semangat reformasi itu? Faktanya ada. Masih banyak orang jujur. Tidak hanya di DJP, di luar DJP juga tidaklah sedikit.

Begitu pula potensi korupsi dan orang-orang yang tidak jujur tidak hanya ada pada instansi pemerintah, tetapi juga pada instansi swasta yang profesional dan kredibel, seperti Citibank misalnya. Sebagaimana sudah diketahui kalau Citibank ini adalah bank terkenal, mendunia, disebut juga sebagai universitas perbankan, mempunyai kultur kerja yang baku, nilai-nilai yang sudah inheren, sistem perbankan yang canggih dan modern. Tetapi sebutan itu tak berdaya di hadapan seorang Malinda Dee yang disangka telah membobol lebih dari Rp17 milyar selama 3 tahun.

Malinda diuntungkan karena tempatnya bekerja. Dia tidak langsung disebut sebagai seorang koruptor ketika menyelewengkan uang nasabah, cuma penggelap. Beda dengan teman-teman saya di atas jika tidak melakukan perbuatan tidak jujur itu. Stigma koruptor langsung melekat. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring disebutkan pelaku yang menyelewengkan uang Negara atau perusahaan adalah koruptor.

Jarang pengamat yang menyalahkan sistem perbankkannya yang bobrok, semuanya mengarah pada niat dan kesempatan terbuka yang dimanfaatkan oleh Malinda. Tidaklah sama dengan yang diterima institusi pemerintahan seperti DJP yang berusaha untuk menjadikan sistem pelayanannya diterima masyarakat dengan baik. Seberapa bagusnya sistem tersebut, selain orang yang disalahkan maka sistemnya pun menjadi ajang terbuka untuk dihujat. Inilah risiko ketika reformasi birokrasi dimulai dari sebuah awal yang buruk berupa stigma masa lalu: birokrasi korup.

Pada akhirnya teman-teman saya di atas, PNS dan CPNS itu, terbukti lebih bersahajanya daripada Malinda Dee ketika kesempatan itu terbuka di depan mata.

 

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

4.32 04 april 2011

 

Tags: citibank, kejahatan perbankan, integritas, jujur, kalimantan, kbbi, Malinda dee

Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2011/04/05/pns-cpns-dan-malinda-dee/

 

 

DKNY


DKNY

 

Wanita berkerudung di depan saya menyerahkan sebuah kantong plastik berisikan bungkusan besar yang tertutup koran. “Ini buat bapak?”

“Apa isinya, Bu?”

“Tas wanita buat Istri Bapak.”

“Tak perlu, Bu. Bawa saja lagi.” Saya bisa memperkirakan bahwa tas itu selevel dengan tas-tas yang dijual di gerai-gerai seluruh dunia dengan label “DKNY”. Maklum perusahaan tempat wanita itu bekerja adalah subkontraktor dari eksportir yang menyuplai tas buat butik terkenal itu.

“Benar loh Pak ini tidak ada kaitannya dengan tugas Bapak. Kami tulus memberikannya. Dan ini perintah atasan saya. Karena dia menilai Bapak banyak membantu kami.”

“Enggak Bu, saya tidak bisa menerimanya. Saya hargai semua ini. Tapi saya minta maaf, sekali lagi, saya tidak bisa menerimanya. Dan saya tetap beranggapan bahwa Ibu ngasih itu karena saya orang pajak. Coba kalau saya cuma orang yang ada di pinggir jalan itu apa Ibu mau memberi sesuatu kepada saya?”

“Enggak kok Pak, kita-kita yang karyawan juga dikasih oleh bos saya. Tidak hanya Bapak. Dan bos saya malahan enggak ngasih kepada orang yang sengaja minta-minta. Contohnya saat ada petugas pemda yang datang dan minta tas ini, bos saya bilang tidak bisa.”

Dengan sedikit ngotot dan berulang kali saya harus meminta maaf agar tidak menyinggung dia disertai penjelasan beberapa poin dari kode etik akhirnya wanita itu memahami komitmen saya ini. Lebih baik ditolak dari awal.

Ada cerita lain. Teman saya menitipkan dokumen kepada saya untuk diserahkan kepada Wajib Pajak yang akan datang hari ini—kebetulan dia pergi ke luar kantor karena ada keperluan yang mendesak. Dokumen itu berupa surat keputusan bebas pajak yang bernilai besar.

Karena ini amanah, maka ketika Wajib Pajak itu datang dan duduk di ruang tamu saya serahkan saja surat keputusan itu tanpa basa-basi. Sebagai penghormatan tentunya saya tidak berdiri sebelum tamu tersebut pamit pulang terlebih dahulu. Namun tiba-tiba ada jeda waktu tanpa pembicaraan di antara kami. Dan ini ditanggapi lain oleh Wajib Pajak.

“Tidak ada apa-apa lagi nih Pak?” kata Wajib Pajak.

“Maksudnya?” tanya saya karena saya benar-benar tidak mengerti.

“Berapa yang harus kami bayar?” tanyanya lagi dan ini mengagetkan saya.

“Ooo…enggak ada pak. Ini gratis.” Suasana kaku dan posisi saya yang tidak segera beranjak dari kursi tamu mungkin membuat Wajib Pajak merasa tidak enak dan ada sesuatu yang ditunggu oleh saya. Oleh karenanya setelah saya berkata itu saya jabat tangannya dan segera mengucapkan terima kasih atas kedatangannya.

***

Cerita ini saya ceritakan bukan karena saya adalah makhluk suci tanpa dosa dan cela. Kalau demikian namanya malaikat, sang makhluk ghaib. Bukan pula sebangsa makhluk halus, lelembut, dedemit, memegik, ataupun jin merakayangan. Saya cuma makhluk kasar bertubuh kasar terbuat dari tanah.

Tapi cerita ini membuat saya mengerti (mengerti bukan berarti memahami dan menerima resiko apa yang ada di dalamnya yah…) tentang perlunya sebuah mutasi dalam sebuah organisasi kami. Mutasi diperlukan salah satunya selain untuk mengatasi kejenuhan juga untuk menghindari adanya kedekatan-kedekatan antara petugas pajak dengan Wajib Pajak. Yang pada akhirnya mengakibatkan timbulnya ketidakprofesionalan. Baik dari petugas pajak itu sendiri atau Wajib Pajak.

Tapi bagi saya selain karena berusaha menegakkan sikap profesionalisme—walaupun dengan tertatih-tatih dan terengah-engah—ada sebuah nasehat dan pemahaman yang luar biasa dari orang rumah kepada saya: “Itu tidak seberapa. Allah akan kasih yang lebih besar, lebih banyak, dan lebih berkah sebagai penggantinya.” Ini yang memotivasi saya sehingga mampu untuk melakukan itu.

Dan saya yakin betul tidak hanya saya yang melakukan ini. Banyak kawan-kawan sejawat saya yang telah berbuat lebih dari ini dan mempunyai cerita-cerita sejenis di atas yang lebih dahsyat, lebih dramatis lagi. Yang karena saking tawadhunya mereka, cukup pengalaman itu buat mereka sendiri dan tidak mau menceritakannya kepada yang lain.

***

Cerita kedua membuat saya bertambah mengerti lagi, kalau nilai-nilai modernisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)—setelah sekian lama—juga belum semuanya dimengerti oleh Wajib Pajak. Buktinya masih ada juga Wajib Pajak yang menawar-nawarkan sesuatu kepada petugas pajak.

Saya memaklumi kalau Wajib Pajak bersikap demikian. Karena faktanya kalau kita pun berurusan dengan birokrasi di instansi pemerintahan dan urusan kita telah selesai, kita merasa enggak enak kalau enggak memberikan sesuatu. Padahal kita sudah tahu kalau semua urusan itu tidak dipungut biaya ataupun kalau ada biaya tentu dengan tarif resmi yang telah ditetapkan.

Masalahnya adalah mau atau tidak birokrasi tersebut untuk mengembangkan budaya menolak pemberian itu kepada seluruh penggawanya. Saya yakin mereka bisa asal ada niat baik dari para pucuk tertinggi birokrasi tersebut. Kalau DJP saja bisa, tentu yang lainnya bisa. Apalagi setelah rencana pemberian remunerasi akan direalisasikan kepada seluruh instansi pemerintahan—walaupun masih secara bertahap mengingat keuangan negara yang belum memungkinkan untuk melakukannya secara serentak.

Nah, ternyata kawan-kawan di DJP punya tugas mulia mengumpulkan penerimaan negara sebanyak-banyaknya sebagai sarana untuk menjadikan aparat birokrasi lebih mulia, terhormat, bermartabat dan Indonesia lebih baik lagi. Berharap banget…

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

08.19 26 september 2010

dimuat di situs kitsda.

TAK SEMUA BEJAT


TAK SEMUA BEJAT

(dimuat di opini detik.com)

di sini

Awalnya saya tidak berusaha mau tahu tentang kasus yang menimpa Gayus Tambunan. Tentang pemberitaannya di media pun selalu saya lewatkan untuk dibaca. Apalagi saya jarang untuk melihat televisi. Biasanya kalau pun ada tema tentang Gayus dalam sebuah ruang diskusi tentang makelar kasus pajak ini saya langsung memindahkan salurannya. Tak peduli. Titik.

Karena bagi saya, kelakuan oknum selalu tidak merepresentasikan keseluruhan anggota organisasi. Yang penting saya tidak berbuat, tetap pada jalur yang benar, menjunjung tinggi kode etik, memegang teguh integritas, maka apapun celaan bahkan pujian sekalipun tak menggoyahkan niat saya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan bersama-sama mencapai tujuan organisasi.

Tapi, Jum’at (26/3) malam saya ditelepon oleh saudara di kampung. Berondongan pertanyaan mengular keluar dari pengeras suara telepon genggam. Siapa itu Gayus? Kenal tidak dengan Gayus? Adik kelasnya saja punya uang milyaran, apalagi kakak kelasnya. Golongan IIIa saja sudah segitu, apalagi pejabatnya.

Saudara saya menanyakan demikian tentu karena kegundahan melihat ketidakberesan ini. Wajar. Tapi ini membuat saya termenung dan tidak bisa tidur. Akhirnya berita tentang Gayus pada banyak koran hari itu saya baca. Layar televisi saya buka lebar-lebar. Di mana-mana ada Gayus. Dari malam sampai paginya lagi.

Mulai dari artis cantik, pengacara klimis, facebooker, pemerhati kepolisian yang lebih garang daripada Densus 88, sampai ketua asosiasi yang katanya fokus mengurusi perpajakan Indonesia tetapi masih saja salah dengan menyebut ada jabatan kepala subseksi di atas Gayus dan bahkan berani menuduh aliran uangnya sampai Menteri Keuangan, semua ikut berbicara. Dan jatuh pada sebuah kesimpulan yang sama: tak bisa membedakan oknum dan tidaknya. Generalisasi yang semena-mena.

Modernisasi DJP

Reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah dirintis sejak tahun 2000. Kemudian sejak tahun 2002 DJP mendirikan kantor pelayanan pajak (KPP) modern dengan adanya KPP Wajib Pajak Besar. Lalu berlanjut memodernisasikan KPP di seluruh Indonesia secara bertahap hingga selesai pada tahun 2008.

Ini adalah reformasi birokrasi jilid I yang bercirikan adanya restrukturisasi organisasi di tubuh DJP, pelayanan yang berorientasi kepada Wajib Pajak, pemberian remunerasi yang tinggi buat pegawainya, penegakan disiplin, pengembangan dan penguatan budaya antikorupsi dengan adanya kode etik.

Semuanya butuh pengorbanan. Semuanya tertatih-tatih mewujudkan niat baik ini. Karena menyadari perubahan adalah sebuah keniscayaan. Yang tidak mau berubah siap-siap saja untuk terlindas zaman.

Pelan-pelan kepercayaan masyarakat tumbuh pada DJP. Para pelaku bisnis pun mengakui adanya perubahan yang tidak main-main. Walaupun di sana-sini masih banyak kekurangan hingga ada saja pegawai DJP yang dipidana dalam kasus penggelapan pajak, tapi diyakini itu hanyalah sebuah proses seleksi dan cuma batu kerikil yang tidak akan menghalangi jalannya mesin perubahan itu. Masyarakat masih menerima.

Sebagian kecil rekam jejak perubahan itu terekam dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh DJP dan diluncurkan pada saat hari ulang tahun keuangan di bulan Oktober 2009, buku Berbagi Kisah dan Harapan: Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak. Buku ini menceritakan tentang upaya keras dari para pegawai pajak sebelum dan setelah modernisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Mulai dari yang berkejaran dengan waktu demi sebuah mesin absensi, komitmen pada penghasilan yang halal hingga tak sanggup untuk menjenguk anaknya yang sakit karena tak punya uang untuk membeli tiket pesawat terbang, sampai yang menolak dengan tegas semua pemberian Wajib Pajak.

Buku yang bagus dan menjadi bekal untuk menjalani reformasi birokrasi jilid 2. Tapi sebuah ironi, tak lama kemudian kasus Gayus muncul. Ini seperti menuangkan tinta hitam di atas selembar kain putih. Seperti membuat upaya keras modernisasi yang dijalankan DJP itu menjadi tidak berguna lagi. Seperti debu yang diterbangkan angin.

Kepercayaan masyarakat mulai sedikit menurun. Ditambah dengan blow-up yang terus menerus terhadap kasus Gayus hingga politisasinya oleh sebuah televisi yang ditengarai pemiliknya sedang dibidik oleh DJP dalam kasus lain.

Tak Semua Bejat

Celaan yang bertubi-tubi seharusnya tak menyurutkan semangat modernisasi. Pertunjukkan tetap harus jalan. Tak semua pegawai bejat. Karena saya yakin masih banyak pegawai pajak yang jujur-jujur dan mempunyai integritas tinggi. Masih banyak pegawai pajak yang masih ngontrak dan belum punya mobil—kalau memang ukuran kekayaan adalah rumah dan mobil sebagaimana pengacara klimis itu bilang.

Padahal kalau mereka tahu, sebagian orang pajak sekarang memiliki semuanya itu dengan cara kredit bertahun-tahun. Dan remunerasi yang tinggi memungkinkan mereka untuk dapat memiliki kebutuhan dasar itu agar tidak tergoda dengan hal lainnya.

Membangun Kepercayaan

Nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu menangisi susu yang telah tumpah. Saatnya saya dan DJP kembali berbenah diri. Mengakui ada salah satu pegawainya yang salah adalah sebuah kejujuran. Orang sekelas Akio Toyoda saja mampu berkata jujur bahwa memang produk Toyotanya ada yang bermasalah. Akhirnya konsumen memberikan apresiasi yang besar kepadanya. Penjualan Toyota hanya turun 9% jauh dari perkiraan pengamat di Amerika Serikat yang memperkirakan sampai 50%.

Account Representative dan Seksi Pelayanan KPP sebagai ujung tombak yang berhadapan dengan Wajib Pajak adalah garda terdepan untuk dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat.

Sekecil laporan ataupun aduan dari masyarakat harus dengan serius untuk ditindaklanjuti. Karena tak ada asap kalau tak ada api. Saya ingat pepatah cina yang ditulis oleh teman saya di dinding Facebook-nya. Ini terekam kuat dalam benak saya. “Bermula dari paku yang lepas dari tapal kuda. Tapal kuda pun lepas. Kuda tak bisa lari. Pesan tak tersampaikan. Pasukan pun kalah.” Jangan biarkan hal yang kecil menjadi besar.

Kemudian dicari format internalisasi kode etik yang tidak sekadar menjadi ritual tahunan dan seremonial belaka. Pemberian reward yang pasti dan tidak termakan inflasi serta pemberian hukuman yang tegas dan seadil-adilnya adalah salah satu jalan lain agar kasus ini tidak terjadi lagi.

Semoga setelah ini, masyarakat kembali dengan tenang dapat menikmati pembangunan dari uang rakyat yang dikumpulkan para petugas pajak.

Maraji’: Apa Kabar Indonesia Malam. TV One, Jum’at, 26 Maret 2010

Riza Almanfaluthi

PNS DJP

Golongan IIIb dua tahun enam bulan rumah masih bocor

dedaunan di ranting cemara

4:23 29 Maret 2010