PEMANDI MAYAT


PEMANDI MAYAT

    Yang menulis dan membaca artikel ini adalah calon mayat. Tentunya tak perlu tersinggung untuk dikatakan demikian. Karena sewaktu-waktu kita akan menjadi layon tak berguna. Entah sedetik setelah ini atau 100 tahun yang akan datang.

    Sudah siap? Belum. Saya mau hidup seribu tahun lagi. Itu kata-kata kita di dalam hati. Tapi sayangnya malaikat maut tak mau mendengar kata hati itu. Ia cuma sudah siap bergerak sesuai dengan waktunya. Tak maju dan tak mundur.

    Sayangnya saya sering lupa kalau malaikat maut senantiasa mengincar kehidupan. Yang ada adalah bagaimana mengejar kenikmatan duniawi selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Menggesakan obsesi. Memburu antusiasme. Melelahkan diri bergumul dengan cita dan sejuta keinginan.

    Barulah tersadar kalau ada pengumuman di masjid: “Innalillaahi wainnailaihi rooji’uun 3x. Telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang Bapak Fulan bin Fulan pada pukul 23.00 WIB hari ini di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong. Jenazah akan dikuburkan besok hari. Kita doakan semoga segala amalnya diterima Allah swt.”

    Dan setelah itu, pengurus Rukun Tetangga (RT) akan datang ke rumah meminta kepada saya agar tim pengurusan jenazah masjid kami bersiap untuk mengurus semuanya. Memandikan, mengafankan, menyolatkan, serta mengantarkannya ke liang lahat.

    Tubuh yang kaku menyadarkan saya betapa kenikmatan yang diburu setiap saat itu tak berguna lagi. Tak bisa menolongnya. Perlahan setiap usapan berbalur sabun, siraman air ke seluruh tubuh, sekaan handuk kering, gotongan tubuh ke kain putih yang terhampar, peletakan kapas di setiap lubang dan persendian, pembungkusan yang membebatkan, simpulan dengan tujuh ikatan, membuat saya senantiasa ingat betapa saya akan menjadi objek dari semua itu. Suatu saat.

    Dzikrul maut (mengingat kematian) betul momen itu. Malamnya, saya cuma bisa tercenung. Merenung wajah almarhum di pelupuk mata. Merenung seberapa banyak amal yang akan dibawa sebagai bekal.

    Dunia? Cita? Obsesi? Nafsu? Hasrat? Syahwat? Sirna semuanya ke laut. Tidak butuh. Terlupakan. Tergantikan. Seperti dijatuhkan dari pesawat yang sedang terbang di ketinggian 10000 kaki. Untuk tersadar dari mimpi dan angan yang muluk-muluk. Pantas saja disebut dalam agama kalau maut adalah pemutus segala kenikmatan. Buat yang mati dan yang hidup—yang mau memikirkannya tentu.

    Saya bersyukur saya dapat bergabung dalam tim itu. Tim yang walaupun dulu banyak anggotanya, sekarang cuma dua orang saja, saya dan pengurus masjid yang lain. Bersyukur kenapa? Sudah pasti, selalu diingatkan tentang nasehat besar itu.

    Tapi yang namanya dunia dengan segala pesonanya atau lemahnya imun iman saya, terkadang dzikrul maut itu hanya bisa bertahan dua atau tiga hari. Setelahnya sama saja dengan hari-hari biasa. Apa harus memandikan mayat lagi baru ingat mati? Apa harus ada yang meninggal dulu lalu ingat mati kembali. Tanya yang kebanyakan tak berjawab.

    Dzikrul maut itu ibarat vitamin. Terlalu sedikit tak berefek apa-apa. Terlalu banyak malah jadi penyakit. Tidak menjadi peka. Sensitivitasnya berkurang. Bisa diuji pada para penunggu kamar jenazah di rumah-rumah sakit atau para penggali kuburan.

    Maka wajarlah Umar bin Khaththab menjarangkan untuk datang ke Ka’bah di masjidil haram, karena takut ia tidak akan bisa merindu lagi saat jauh darinya. Takut sensitivitasnya hilang.

    Saudaraku, tak perlu menunggu kematian untuk dapat mengingat tentang sebuah ajal dan kemudian kita bisa merenunginya serta mengambil hikmah, karena akhir hayat itu bisa datang kapan saja. Oleh karenanya yang terpenting adalah sudahkah kita packing amal kebajikan ke dalam tas perjalanan abadi kita?

    Belum dan belum banyak? Ayo bareng-bareng dengan saya mempersiapkannya. Tapi patut dicatat, bukan sebagai pemandi mayat peran itu saya lakoni.

***

Artikel ini untuk teman-teman di forum shalahuddin. Semoga bermanfaat.

 

 

 

    Riza Almanfaluthi

    dedaunan di ranting cemara

21.32 16 Desember 2010

 

Tags: dzikrul maut, memandikan jenazah, mengurus jenazah, umar bin khaththab, umar al faruq, antikebal, ilmu kebal, belajar ilmu kebal, cara pengurusan jenazah, fikih janaiz

Advertisement

One thought on “PEMANDI MAYAT

  1. assalamualikum wr wb
    Mengingatkan saya akan mati.
    Dalam hati ada niat dan keinginan untuk berlaku seperti anda, sebagai pemandi mayat.
    Di daerah saya pekerjaan ini tidak begitu diminati. Saya pun tak punya referensi harus belajar dimana, selain dari membaca buku, melihat VCD dan turut serta menjadi asisten pemandi mayat yang sekarang ada. untuk kedua langkah sudah saya laksanakan namun langkah ketiga belum.
    Dari buku dan VCD yang saya baca dan lihat, penerapannya berbeda ketika di lapangan seperti saat pemandi mayat memandikan mayat salah satu keluarga saya. Beliau (pemandi mayat) menggunakan air siraman yang bermacam-macam ( 7 macam) dan salah satunya mengandung tanah. Hal-hal seperti ini tidak ada dalam kedua referensi saya sebelumnya. Apakah itu merupakan bid’ah?
    Semoga Allah memberikan petunjuknya kepada saya.
    Terimakasih artikel-artikel anda banyak membantu saya.

    wassalamualikum wr wb

    Like

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.