FPI, ULIL, DAN MEREKA


FPI, ULIL, DAN MEREKA

Front Pembela Islam (FPI) teriak-teriak demo menuntut penutupan tempat maksiat tetapi belum tentu tempat maksiat itu segera ditutup. Tapi orang sekelas gubernur DKI Jakarta seperti Sutiyoso dengan hanya bermodal torehan tinta hitam di atas surat keputusannya, tempat maksiat sebesar apapun, sementereng apapun, dengan bekingan siapapun bisa ditutup dalam waktu semalam.

    Tanpa meremehkan apa yang telah dilakukan FPI dalam pemberantasan kemaksiatan di tanah air, fakta bahwa kekuasaan merupakan sarana paling efektif untuk merubah sesuatu adalah hal yang sulit terbantahkan. Maka banyak orang sangat ingin berkuasa, entah untuk merubah sesuatu ke arah yang lebih baik atau sebaliknya.

    Ini yang dilakukan oleh salah satu pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Absar Abdilla, setelah kalah dalam ajang perebutan kepemimpinan di Nahdhatul Ulama (NU) beberapa waktu yang lalu. Ulil sepertinya nyaman diajak bergabung ke partai penguasa, Partai Demokrat pimpinan Anas Urbaningrum. Dan yang pasti Ulil tahu betul kalau dekat-dekat dengan partai penguasa ia akan memperoleh keuntungan. Minimal untuk menyebarkan ide-ide pluralismenya secara lebih luas.

     Terbukti, pada saat ada momen pengusiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ribka dan Rieke, dalam sebuah pertemuan di Banyuwangi yang dilakukan oleh ormas Islam salah satunya FPI, maka Ulil langsung berteriak kencang dan melakukan penggalangan opini untuk membubarkan musuh ideologi lamanya itu. Menurut dia, FPI adalah ormas yang sering melakukan kekerasan secara sistematis dalam setiap kegiatannya. Sehingga pewacanaan pembubaran FPI harus terus menerus digaungkan.

    Kini Ulil sudah punya tempat strategis agar suaranya bisa didengar lebih kencang lagi. Dulu mungkin hanya kalangan tertentu saja—baik kawan atau lawan—yang tahu begitu rupa tentang Ulil dan pemikirannya. Dengan bergabungnya dia dengan lingkaran kekuasaan dia dapat bebas dan mudah untuk semakin menggalang kekuatan melalui jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kiri dan liberalnya. Yang berarti pula Ulil semakin dekat dengan media yang akan sering menjadikannya narasumber. Ini semakin tidak mudah buat para pegiat Islam yang sering bertarung pemikiran dengannya.

    Maka bagi para muslim yang biasa bergerak dalam dunia pergerakan Islam, selayaknya untuk merapatkan barisan, konsisten dalam mewujudkan visi dan misinya, tak perlu berselisih dan saling melontarkan kecaman serta menuduh pergerakan Islam lainnya telah keluar dari garis perjuangan.

Tak perlu alergi dengan kekuasaan. Karena bila kekuasaan berada di tangan orang-orang yang sholeh tentunya kekuasaan itu diarahkan kepada perbaikan. Maka memperbanyak orang-orang sholeh dalam dan dekat dengan pusat kekuasaan menjadi sebuah kemestian.

Mereka yang telah berada dalam sistem kekuasaan itu diharapkan semakin bekerja lebih keras lagi dalam membumikan nilai-nilai Islam pada setiap kebijakan yang akan diambil, menunjukkan kebersihan dan kepeduliannya pada mustad’afin (orang-orang lemah). Mereka yang berada di luar sistem tentunya harus lebih dapat memberikan pencerahan kepada umat, membangun jaringan, mengalirkan semangat persatuan para qiyadah (pemimpin) setiap pergerakan kepada akar rumput dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya.

Maka jika itu benar terwujud, tak perlu khawatir FPI akan dibubarkan dan terserah Ulil mau ngomong apa.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di tengah Paraguay kesulitan menjebol gawang Jepang

11.07 29 Juni 2010

Advertisement

Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi, Haram?


HUKUM MEMBACA DAN MENULIS CERITA FIKSI,
HARAM?

A. Pendahuluan

Dalam sebuah forum diskusi yang membahas sebuah cerita fiksi, ada sebuah celetukan
yang muncul di sana seperti ini, “Tulisan bohong seperti itu memang bermanfaat?” atau dengan celetukan yang
lain seperti ini, “namanya juga khayalan yang diperhalus dengan kata imajiner.”

Bagi saya, celetukan-celetukan tersebut adalah sesuatu yang wajar, karena tidak
semua orang harus dipaksa untuk dapat menyukai sesuatu apalagi sebuah tulisan. Bahkan dengan keterusterangan yang
dilontarkan oleh yang lain dengan mengatakan ketidaksukaannya pada fiksi, saya anggap sebuah kewajaran juga.

Namun menjadi tidak wajar jika ketidaksukaannya tersebut bercampur dengan sinisme
yang berlebihan sehingga menganggap penulis dan pembaca fiksi menjadi orang-orang yang terlena dan jatuh dalam
kesia-siaan serta kedustaan. Apalagi dilatarbelakangi kebencian terhadap penulisnya karena berbada harakah, atau
penulisnya tersebut adalah bagian dari ahlul bid’ah. Subhanallah…

Sinisme inilah yang nantinya akan menghambat banyak orang atau pemula dalam
kepenulisan yang sudah memutuskan menulis fiksi sebagai alat untuk berdakwah dan menyebarkan kebaikan kepada sesama.
Kalaupun karena adanya fatwa ulama yang melarangnya, maka sudah cukup itu bagi yang memercayainya. Karena ada juga
fatwa yang memperbolehkannya sehingga tidak bisa kita memaksakan pendapat yang satu kepada yang lainnya. Perbedaan
dalam hal ini tidak bisa dilarang. Bila hal itu terjadi maka sungguh kita terjerumus kepada ta’ashub yang
dilarang dalam agama yang mulia ini karena merasa dirinya dan fatwa ulamanya yang paling benar. Semoga kita
terlindung dari hal yang demikian.

Maka izinkanlah saya untuk membedah sedikit terhadap permasalahan ini sebatas
dengan keilmuan saya.

B. Fatwa Pengharaman

Biasanya mereka yang berceletuk demikian mendasarkan pemikirannya pada fatwa
syaikh yang mereka percayai. Akhirnya saya menemukan fatwa tersebut di sebuah blog ini:

http://wiramandiri.wordpress.com/2007/10/23/hukum-membaca-dan-menulis-cerita-fiksi-novel-cerpen-dll/

Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll)

Oleh:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan


Pertanyaan:

Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah
ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?

Jawab:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si
penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan
perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).

Apabila
kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan
ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini
hukumnya makruh.
Dalam
setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk
perkara yang tidak ada manfaatnya.

(Fatwa Syaikh Fauzan di ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu’aasirah – Pages 644-645,
al-Fowzaan – ad-Da’wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416AH)

Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/miscellaneous/0070823.htm

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau dan kelimuannya serta amal
shalihnya yang sungguh amat luar biasa ini izinkanlah pula saya sedikit mengkritisi tentang fatwa beliau yang mulia
ini. Yakni terletak pada kemanfaatan dan ketidakmanfaatan dari kisah fiksi tersebut. Maka pertanyaannya adalah siapa
yang merasakan kemanfaatan dan ketidakmanfaatan dari kisah fiksi tersebut? Tentu mudah sekali untuk menjawabnya yaitu
si pembaca atau penulisnya
sendiri.
Bila sedari awal si pembaca atau penulisnya menyadari bahwa menulis atau membaca fiksi itu
tidak terasa manfaatnya maka sudah layak ia termasuk dalam ruang lingkup fatwa ini.

Kemudian bila si penceletuk ini mendasarkan pada kalimat yang ditebalkan tepatnya
pada kalimat “Apabila kegiatan membaca
atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya
haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya
makruh.
maka
ini adalah
sebuah kaidah umum yang berlaku pada suatu apapun. Tidak hanya membaca atau menulis kisah fiksi saja tetapi menulis
nonfiksi, buku, artikel, makalah seminar, atau pekerjaan-pekerjaan lain seperti bekerja di kantor, berbicara dan
mengobrol tidak kenal waktu dan membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib dan sunnah maka ia bisa
dijatuhi hukumnya haram dan makruh.

Menulis dan membaca artikel nonfiksi atau ilmiah untuk membantah ahlul bid’ah
tetapi ia juga sampai melalaikan kewajiban shalatnya, itu pun sudah dijatuhi hukumnya haram. Apalagi menulis dan
membaca beratus-ratus halaman sebuah buku nonfiksi dan dianggap ilmiah karena maraji’nya berderet-deret untuk
membantah dan menghujani seseorang atau lembaga-lembaga dakwah dengan celaan-celaan yang banyak, tidak pantas, lagi
keras meskipun pihak yang dicela itu belum tentu layak menerimanya, bahkan sampai merusak persatuan dan kesatuan
ummat yang merupakan hal yang diwajibkan dalam syariat ini, maka sudah barang tentu ini pun hukumnya HARAM (dengan
huruf besar). Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim
sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada
manfaatnya.

Dari fatwa tersebut dapat kita simpulkan pula bahwa terdapat hal-hal yang
bertentangan di dalamnya yaitu dalam paragraf pertama menegaskan pengharaman secara menyeluruh karena kisah fiksi itu
yang ada hanyalah kedustaan dan ketiadaan manfaat buat penulis dan pembacanya.

Sedangkan dalam paragraf kedua dan ditebalkan terdapat pengecualian, ini ditandai
dengan kata “apabila”, maka dapat diartikan bahwa apabila kegiatan menulis dan membaca fiksi itu tidak
melalaikan sesuatu yang wajib dan sunnah maka hukumnya adalah mubah atau boleh. Jadi dalam fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
, semoga Allah
memberikan rahmat dan keberkahan kepadanya, ini sebenarnya bukan sebuah pengharaman mutlak terhadap kegiatan menulis
dan membaca fiksi.


C.
Tanggapan
terhadap Komentar

Fatwa dan para
pengomentarnya dalam blog tersebut pernah saya beri tanggapan, dan tidak lama kemudian tanggapan saya tersebut sudah
hilang. Ya betul, setiap komentar yang masuk ke sana selalu dimoderasi, entah hilangnya tanggapan saya tersebut
adalah sengaja dihilangkan atau sedang dicari jawabannya yang tepat oleh si pemilik blog ini untuk menyanggah saya.

Beberapa
komentar yang ada di sana saya sebutkan di sini:

  1. Nufeeda, di/pada Oktober 25th, 2007 pada 10:11 amDikatakan:

bagaimana jika baik untuk dakwah? bagaimana jika sanggup membangkitkan keimanan dan membuat seseorang
semakin bersemangat untuk mengerjakan amal shaleh?

Tetap
saja dusta, dan menilai baik atau tidaknya dakwah itu dengan contohan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Pernahkah
nabi membuat cerita dusta untuk membangkitkan keimanan dan mengerjakan amal shalih?

  1. sonta, di/pada Oktober 26th, 2007 pada 7:27 amDikatakan:

ehm,tak bisa dipungkiri bahwa kadang ada juga orang yang terinspirasi novel atau cerita.tapi………yang
namanya fiksi ya tetap fiktif atau bohong. Ex seseorang termotivasi berzakat karena ada film yang menceritakan kalau
berzakat lalu mendadak dapat mobil. nah, kalau kemudian ketahuan itu cuma boong, apakah motivasinya gak ilang?

kalaupun mau memotivasi dengan cerita..bisa dengan cerita cerita yang valid .dari hadits, ayat al qur’an
dll.Misalkan dulu pernah dengar hadits yang menceritakan kalau seseorang ikhlas infaq karena Alloh, Alloh akan
mengambil infaq nya langsung dari tangannya.(mohon dicek dulu, karena ane aq mendadak lupa-lupa ingat)

Hmm…
memang kaum muslimin semakin meninggalkan Al-Quran dan Hadits, mereka lebih memilih kisah-kisah bohong ini sebagai
bahan motivasi sehingga kita lihat pemuda-pemuda muslim lebih banyak membaca novel-novel dusta daripada membaca
buku-buku hadits seperti Riyadhus Shalihin. Padahal di dalam Riyadhus Shalihin itu terdapat banyak sekali kisah dan
nasehat-nasehat Nabi yang memotivasi kita menjadi lebih baik dunia dan akhirat.

Para
penceramah juga pun nampaknya alergi dengan kisah-kisah dalam hadits, sehingga suatu saya mendengar khotib Jumat
berkhutbah tentang keutamaan ilmu dengan menceritakan Kisah Tarzan di hutan yang punya ilmu bahasa hewan sehingga
bisa hidup di hutan… Edede.. Cerita beginian jadi bahan khutbah Jumat. Innnalillahi wainna ilaihi rajiun.

Catatan: Tulisan miring (italic) di
atas adalah tanggapan si pemilik blog terhadap komentator.

Sedikit tanggapan saya tentang komentar yang pertama, bahwa pendukung fatwa ini
selalu mengaitkan antara fiksi dengan sebuah kedustaan. Tidak melirik dan tidak bisa menolerir sedikit pun terhadap
kisah-kisah perumpamaan. Sehingga wajar saja pelekatan vonis kedustaan terhadap cerita fiksi sangat erat sekali.
Apalagi dikaitkan dengan cara berdakwah dan menyampaikan kebenaran ala Rasulullah SAW.

Bila menganggap cerita fiksi adalah sebuah kedustaan maka sudah barang tentu itu
tidak bisa dikaitkan dengan cara dakwah Rasulullah SAW. Bila tidak menganggap sebagai sebuah kedustaan karena
dikaitkan dengan kisah-kisah perumpamaan yang begitu banyak disebutkan dalam Alqur’an maka cara dakwah ini
termasuk ke dalam makaanul ijtihad (tempat ijtihad) pada uslub dan iqtiraahaat (cara dan
metode) dakwah. Masalahnya penentuan kedustaan dan tidaknya sebuah cerita fiksi adalah sesuatu yang debatable. (Catatan penting
bahwa ketika saya menyebutkan dua kata “cerita fiksi” maka berarti semua cerita diluar kisah fiksi yang
penuh kemusyrikan , sihir, dan pornografi).

Sedangkan tanggapan dari pemilik blog ini pada komentar yang kedua, saya
melihatnya terlalu mudah memvonis. Berkaitan dengan banyaknya kaum muslimin yang memilih novel-novel daripada
buku-buku hadits, tentu tidak bisa kita salahkan kepada para penerbit dan penulis novelnya, karena ini berkenaan
dengan pemahaman seorang muslim kepada agamanya. Pemisalan itu sama saja dengan masih banyaknya orang yang memilih
tidak pergi ke masjid untuk sholat berjama’ah di dalamnya dan lebih baik ngendon di rumah atau menonton televisi. Ini sudah barang tentu tidak bisa kita
salahkan masjidnya, karena ini semua bergantung kepada keimanan orang tersebut.

Tanggapan lainnya juga sama, terlalu mudah menggeneralisir, memvonis dengan kata
alergi, dan meremehkan para ustadz yang mengisahkan kisah-kisah perumpamaan. Seakan-akan para penceramah itu tidak
layak untuk berdiri di atas mimbar untuk mengajak kepada kebenaran dan seakan-akan dirinya (penulis komentar ini)
lebih baik daripada para penceramah tersebut. Wallahul musta’an.

D. Fatwa Pembolehan dengan Syarat

Maka setelah panjang lebar saya uraikan (kritisi) tentang fatwa dan tanggapan
komentar yang melarang membaca dan menulis kisah fiksi ini maka dapat kiranya saya uraikan pendapat yang membolehkan
menulis dan membaca cerita fiksi ini.

Saya ambil pendapat tersebut dari Pusat Konsultasi Syariah/Sharia Consulting Center (SCC)
yang
beralamatkan di
http://www.syariahonline.com sebagai
berikut
:

Ustadz- Semoga Allah menjaga dan memuliakan Anda

Bismillahirrahmaanirrahiim

Pertanyaan saya:

bolehkah kita membuat cerita2 fiksi ” islami” untuk dijual sekaligus utk dakwah?

Abdullah Arif

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Cerita fiksi adalah cerita yang tidak berdasarkan fakta kejadian yang nyata. Dalam
hal ini bisa terbagi menjadi fiksi realistis dimana setting dan alur ceritanya logis dan masuk akal. Selain itu ada
yang dibuat imajinatif dan tidak masuk akal.

Yang paling baik tentu saja bila based on
true story
, fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Misalnya kisah para pahlawan Islam, para ulama dan ilmuwan
Islam ataupun kisah-kisah orang terdahulu yang memang mengandung hikmah dan pelajaran yang bagus.

Meski demikian, sebuah cerita/ kisah memang tidak harus didasarkan pada kisah
nyata. Boleh saja cerita itu merupakan karangan penulisnya. Namun alur cerita dan isinya harus bersifat logis dan
masuk akal, atau minimal ada keterangan ilmiyahnya. Sehingga unsur pendidikannya bisa jelas dirasakan.

Dan tentu saja tidak boleh mengandung unsur kemusyrikan dan sihir. Sehingga
dongeng seperti Harry Potter, Pinokio, Cinderella, Peter Pan, Peri dan sejenisnya tidak sesuai dengan aqidah Islam.
Karena isinya menceritakan tentang sihir, alam ghaib, syetan dan segala bentuk kemusyrikan. Memang secara aqidah kita
mengenal fenomena sihir dan segala keajaibannya, namun menurut aqidah Islam, semua itu adalah perbuatan syetan yang
jahat yang harus dihancurkan, bukan dijadikan tontonan. Sehingga menyuguhkan cerita syetan bukanlah ide yang benar.

Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Quran sering menggunakan permisalan untuk lebih
menjelaskan suatu duduk perkara. Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Quran itu merupakan ilustrasi dari sebuah pesan yang
ingin disampaikan kepada pembacanya.

Beberapa diantaranya adalah ayat-ayat berikut :

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api , maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat.” (QS. Al-Baqarah : 17)

“Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil
binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja . Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak
mengerti.” (QS. Al-Baqarah : 171)

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing
jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya . Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.”.(QS. Al-A`raf : 176)

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka
tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(QS. Al-Jumuah :
5).

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al-ankabut : 43).

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quraan ini setiap
macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”(QS. Az-Zumar : 27).

Berangkat dari gaya bahasa Al-Quran yang banyak menggunakan perumpamaan itu, maka banyak para
ulama pendidikan yang mencoba meniru gaya Al-Quran dengan membuat kisah-kisah perumpamaan. Kisah-kisah ini tidak
harus kejadian nyata, tetapi bisa saja sebuah kisah fiktif yang mengandung unsur pendidikan, baik berkaitan dengan
aqidah, akhlaq, sopan santun, etika, ilmu pengetahuan, patriotisme dan sebagainya.

Wallahu a`lam bis-shawab.

E. Imajinasi

Ada yang pelu
digarisbawahi pada pada paragraf ketiga dari fatwa tersebut tepatnya pada kalimat:

Meski demikian, sebuah cerita/ kisah
memang tidak harus didasarkan pada kisah nyata. Boleh saja cerita itu merupakan karangan penulisnya. Namun alur
cerita dan isinya harus bersifat logis dan masuk akal, atau minimal ada keterangan ilmiyahnya. Sehingga unsur pendidikannya bisa jelas dirasakan.

Bahwa cerita
fiksi harus mempunyai alur cerita, isinya harus bersifat logis, dan masuk akal, atau minimal ada keterangan
ilmiyahnya. Singkatnya, menurut istilah Harris Effendi Thahar, adalah cerita fiksi atau imajinasi harus masih dalam
batas-batas kausalitas yang diperlukan.

Harris Effendi
Thahar pernah menulis:

Bahwa cerita fiksi (termasuk cerpen) merupakan ramuan fakta dan imajinasi.
Berimajinasi atau berfantasi adalah salah satu kelebihan manusia yang dianugerahkan Sang Khalik dibanding makhluk
lain. Sejak kecil manusia telah diperkenalkan dengan dongeng, sampai pada suatu waktu, ia pun mampu mendongeng dengan
gayanya sendiri. Dengarlah teman, tetangga, atau siapa saja yang kita kenal bercerita tentang dirinya atau tentang
orang lain, pasti dibumbui fiksi di sana-sini. Anda sendiri pun, tak luput dari hal itu. Sering melebih-lebihkan
fakta! Nah, bukankah itu rekayasa imajinasi?

“Berimajinasi dalam menulis cerita adalah suatu keniscayaan, akan tetapi
harus tetap dalam koridor hukum kausalitas, yakni hukum sebab-akibat,” lanjut Thahar. Karena cerita yang diluar
nalar dan jauh dari hukum kausalitas maka cerita itu adalah cerita mengada-ada.

F. Penutup

Dari apa yang saya utarakan di atas bisa jadi salah dan pendapat yang lain benar,
bisa jadi pendapat saya benar dan yang lain salah. Saya meminta ampun kepada Allah atas segala kekurangan saya. Dan
saya berkesimpulan sebagai berikut:

1. Selama tidak mengandung cerita
kemusyrikan dan sihir tidaklah mengapa membuat cerita fiksi;


2.
Apabila kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang
hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang
hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh
. Tetapi ini
tidak hanya berlaku untuk menulis dan membaca cerita fiksi saja tetapi menulis dan membaca nonfiksi pun bisa berhukum
haram atau makruh jika sampai melalaikan kewajiban dan sunnah.

3. Yang paling baik tentu saja bila
based on true story, fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Misalnya
kisah para pahlawan Islam, para ulama dan ilmuwan Islam ataupun kisah-kisah orang terdahulu yang memang mengandung
hikmah dan pelajaran yang bagus.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan sebagai upaya memberikan hak kepada yang
berhak, memberikan jawaban terhadap orang-orang yang seringkali meremehkan orang lain dan mudah untuk mengeluarkan
tuduhan, serta menghukumi seseorang. Yang sangat bersuka cita jika menemukan suatu kesalahan saudaranya. Sungguh
akhlak salafushshalih tidaklah sedemikian rupa.

Mereka berakhlak mulia, memelihara kerhomatan diri, menahan marah, memaafkan
manusia, menunaikan hak-hak
persaudaraan
, tidak menghina, tidak mencela, tidak memanggil dengan gelaran buruk, menghina,
berprasangka buruk, hatinya lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosanya kepada Allah. Indah
nian akhlak yang mereka punyai.

Semoga bermanfaat.

Maraji’:

1. Alqur’aanul Kariim;

2. Harris Effendi Thahar, Sulit
Memulai?
, Annida, Ummionline, Jumat, 28 Januari
2005;

3. Konsultan Pusat Konsultasi Syariah,
Hukum Cerita
Fiksi,
http://www.syariahonline.com, 2006;

4. Wira, Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll), http://wiramandiri.wordpress.com, Selasa, 23
Oktober 2007;

IBROHIM DAN MARIA OZAWA


IBROHIM DAN MARIA OZAWA
Belum hilang dari ingatan kita jenazah Ibrohim—salah satu pelaku pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton—ditolak untuk dikuburkan di kampung halamannya oleh berbagai pihak. Begitu pula dengan Urwah, pelaku terorisme yang ditembak mati oleh Densus 88, jenazahnya sempat ditolak untuk dikuburkan di tempat keluarga besarnya berada.
Penolakan itu diiringi pula dengan adanya demo-demo baik yang pro maupun kontra dari berbagai elemen kemasyarakatan yang ada di Solo dan Kudus. Yang menolak menyandarkannya pada argumentasi daerahnya tidak mau disebut-sebut sebagai sarang teroris.
Pada hari-hari ini juga masyarakat kita disibukkan dengan adanya penolakan kedatangan Miyabi atau Maria Ozawa yang dikenal sebagai bintang film porno di Jepang sana. Walaupun kedatangan Miyabi ini bukan untuk main film esek-esek tetapi untuk berperan di film komedi, rencana kedatangannya sudah disambut dengan demo dari berbagai kalangan yang perhatian betul dengan dunia moral dan pendidikan. Terutama dari Majelis Ulama Indonesia dan Front Pembela Islam.
Tak luput banyak pula komentar mendukung kedatangan Miyabi bersileweran di media massa dan mengecam pelarangan-pelarangan tersebut. Ada yang dari artis, praktisi perfilman, pegiat hukum, bahkan menteri sekalipun. Yang terakhir ini sempat berkomentar bahwa secara legal dan kepantasan, pemerintah tidak berhak melarang orang yang tidak melakukan kesalahan hukum datang ke Indonesia selaku wisatawan. Bagus betul…?!
Nah berkaitan dengan kasus Ibrohim dan Miyabi ini ada sesuatu yang perlu dicermati bersama. Ibrohim sudah terlanjur dikenal oleh masyarakat sebagai ikon terorisme. Sedangkan Miyabi sudah dikenal sebagai ikon sekitar perdadaan dan perselangkangan.
Praktis tak ada artis, pegiat hukum, bahkan menteri sekalipun berkomentar terhadap penolakan penguburan jenazah Ibrohim yang dilakukan oleh masyarakat di sana. Walaupun secara legal dan kepantasan tidak ada satu aturan pun di negeri yang bernama Republik Indonesia ini yang melarang pemakaman jenazah para penjahat sekelas apapun di kampung halamannya.
Semuanya diam tak bersuara. Hening. Kata orang Betawi: “kagak urusan gue.” Tapi kalau masalah Miyabi, karena ini menyangkut masalah kenikmatan purba manusia, semuanya bersuara. Kata orang Betawi lagi: “nyang eni baru urusan gue.” Meskipun suara dari hati nurani yang paling dalam itu berusaha diperhalus dengan bahasa hukum, intelek, dan seberadab-adab mungkin.
Terorisme adalah sebuah kejahatan. Begitu pula dengan pornografi sebagai anak kandung dari kapitalisasi, komersialisasi, dan industrialisasi aurat. Dua-duanya sama-sama menjadi zat adiktif yang berbahaya bagi otak dan tubuh. Setahun tidak ngebom seluruh tubuh menjadi sakau, gelisah, dan pusing-pusing. Pemuasannya dengan melakukan pengeboman yang pada akhirnya memberikan ketenangan dan kebahagiaan melihat simbahan darah dan tangisan para korban dan keluarganya.
Pornografi tidak sekasar itu. Tetapi daya rusaknya sama saja. Kecanduannya membuat otak tak mampu berpikir siapa dan apa yang perlu untuk disetubuhi (maaf beribu-ribu maaf). Banyak penelitian yang membuktikan ini.
Kesamaan lainnya, keduanya sama-sama membidik anak-anak muda sebagai penerus ide dan gerak (baca aksi) dari isme-isme itu. Bedanya, terorisme “mudah” untuk diberantas. Sedangkan pornografi sebaliknya. Karena masalahnya adalah pada kontradiksi asasi keduanya. Terorisme menyakitkan tubuh dan rasa aman. Sedangkan pornografi menikmatkan rasa purba manusia. Apatah lagi kenikmatan itu disokong 100% dengan kerja iblis dan para prajuritnya.
Kalau sudah demikian wajib ‘ain kalau dua-duanya ditolak sebagai upaya penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—argumentasi yang juga biasa dipakai oleh pendukung kedatangan Miyabi—sekaligus Miyabi sebagai ikonnya. Karena melindungi moral generasi mendatang adalah modal utama NKRI.
Kalau tidak? Coba pakai uji etika ini. Setujukah Anda jika ibu Anda, saudara perempuan Anda, atau anak perawan Anda menjadi generasi penerus Miyabi sebagai bintang pornografi Indonesia?

https://dirantingcemara.wordpress.com
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
09:19 14 Oktober 2009

ORANG BAIK ORANG KUAT


ORANG BAIK ORANG KUAT

Orang baik adalah orang yang senantiasa meninggalkan kenangan yang tak mudah dilupakan buat orang yang ditinggalkannya. Orang baik adalah orang yang ketidakberadaannya adalah sebuah kehilangan buat orang yang berat melepas kepergiannya. Dan tentu orang baik adalah pahlawan bagi sebagian orang, hingga Benyamin Disraeli (Perdana Menteri Inggris) mengatakan, “The legacy of heroes is the memory of a great name and the inheritance of a great example.” Warisan dari para pahlawan adalah kenangan sebuah nama besar dan peninggalan dari keteladanan yang hebat.

Di suatu hari, seorang kepala kantor memimpin rapat bersama kepala seksi teknis dan para bawahannya membahas pencapaian-pencapaian, kinerja dan target yang akan diraih di waktu mendatang. Sedang asyik-asiiknya rapat datang kabar mendadak bahwa di ruang tamu telah tiba atasan kepala kantor yang lebih senior. Lalu sang atasan tersebut tanpa membuang waktu ikut pula dalam rapat tersebut dan ia yang bertubuh besar, berkumis, serta dikenal dengan temperamennya yang keras langsung memberondong kepada seluruh peserta rapat dengan pertanyaan ini dan itu. Kedatangannya sudah barang tentu membuat suasana rapat yang semula cair menjadi tegang.

Tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan seputar kinerja kantor dari para bawahan, sang atasan dari kantor pusat menegur kepala kantor dan menegaskan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tidak beres, tidak becus, dan kepala kantor dianggap tidak bisa memimpin. Tentu, semua yang meluncur dari mulutnya membuat yang mendengarnya pun menjadi risih. Apatah lagi dengan yang ditegur mukanya menjadi merah dan terlihat kikuk.

Setelah memberikan beberapa pengarahan yang disertai ancaman mutasi sang atasan pergi untuk melakukan peninjauan ke kantor cabang lainnya. Dengan kepergiannya para peserta rapat menjadi lega bercampur khawatir bahwa kepala kantor akan marah-marah dan menekan mereka sebagai pelampiasan dari dirinya yang dipermalukannya di hadapan banyak orang.

Tapi kekhawatiran itu ternyata sia-sia dan tidak menjadi wujud. Kepala kantor dengan tenangnya mengatakan bahwa atasan marah itu biasa. “Dimarahi olehnya pun biasa dan saya memahami karakter beliau karena saya pernah bertugas bersama beliau. Jadi dimaklumi saja.”

“Cessss…!” Perkataannya seperti air yang mampu mendinginkan bara api. Biasa saja. Tanpa panik. Tanpa mengumbar dan membalas kepada yang lemah dengan kemarahan yang berlipat-lipat padahal ia mampu untuk melakukannya jika mau. Tanpa ada ancaman. Pantaslah suasana rapat pun kembali menjadi cair dengan segera.

Lebih dari sebuah pelajaran terbentang di hadapan mata. Pelajaran sebuah kesabaran. Pelajaran menahan diri dari kemarahan dan pembalasan. Pelajaran sebuah ketenangan. Pelajaran tidak merasa dihina dan dilecehkan.

ah,

sosok itu meneguhkanku akan sebuah kesabaran

waktu itu,

sang radang datang kepadanya

kepadaku

lalu sang radang menyemburkan

segala kekesalan pada sosok itu

di hadapanku

tapi sosok itu dengan teduh bersikap

menjadi tembok raksasa dari sebuah pembalasan

mengabaikan malu

mengabaikan harga diri yang terperosokkan

tapi tidak bagiku

harga dirinya menjulang ke langit

kokoh bercahaya

Suatu saat, ketika ia ditanya mengapa tidak mudah atau bahkan tidak pernah marah, ia menjawab: “Saya adalah manusia biasa, punya rasa marah juga. Tetapi ketika marah itu butuh pelampiasan, kesadaran saya muncul bahwa buat apa saya marah jikalau marah itu ternyata membuat diri kita sendiri menjadi rugi.”

Betullah apa yang dikatakannya, dalam sebuah artikel dikatakan bahwa marah buruk bagi kesehatan karena marah bisa menyebabkan serangan jantung atau stroke. Hasil penelitian Harvard Medical School menunjukkan hal tersebut. Orang yang paling mudah marah berpeluang tiga kali lipat untuk memiliki penyakit jantung. Marah-marah pada usia muda merupakan prediktor yang baik terhadap terjadinya serangan jantung hari tua. Semakin tinggi marahnya maka semakin tinggi resikonya. 1)

Prosesnya adalah sebagai berikut, bahwa ketika marah datang maka ia dapat memengaruhi saraf dan mengeluarkan hormon adrenalin. Hormon ini merupakan sari dari gundukan lemak yang ada di pinggang bagian atas, dan berfungsi sebagai jaringan adaptasi tubuh, serta menyiapkannya untuk menerima pengaruh-pengaruh goncangan saraf, di antaranya ketika marah.

Hormon tersebut bergerak menuju ke saluran pankreas untuk menghentikan insulin, dan akan menambah kadar gula dalam darah, sehingga akan menaikkan produktivitas gula dalam organ produksi minyak dalam tubuh juga protein. Kemudian akan berpengaruh terhadap jantung, bahkan bisa mengakibatkan berhentinya detak jantung, hingga terjadilah kematian. Ia juga dapat menjadikan detak jantung bertambah cepat dan kuat, memompa lebih banyak darah, mengeluarkan banyak cairan keringat, dan mempercepat denyut nadi serta meninggikan tensi darah.2)

Itu baru dampak secara fisik belum secara nonfisik yang memang bekasnya seringkali akan membuat orang jatuh ke dalam jurang kesombongan, kekotoran hati, bahkan sampai pada kekufuran.

Sang kepala kantor menegaskan kepada kita semua, walaupun secara fisik tubuhnya kecil dan terma ini lekat konotasinya dengan golongan orang-orang yang lemah, tapi sejatinya ia adalah orang yang kuat yang kekuatannya bahkan melebihi dari orang yang secara fisik kuat tapi tak mampu menahan kemarahannya. Bukankah Rasulullah SAW pernah bilang: “orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat, hanya saja orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan kemarahannya.” 3)

Pantas saja dengan sifat yang seperti ini banyak orang yang mengiringi kepergian sang kepala kantor saat ia meninggalkan kantor lama untuk pindah ke kantor cabang yang lain. Dan masih banyak yang mengajaknya bersalaman walaupun itu sudah dilakukan pada saat acara perpisahan.

Terakhir, orang baik adalah orang yang mampu mengendalikan kemarahannya. Orang baik adalah orang yang saat dihina, dilecehkan tidaklah menyebabkan ia merasa jatuh harga dirinya di mata manusia 4) karena sesungguhnya kemuliaan dan keridhaan di mata Allah-lah yang menjadi tujuan.

Saya masih perlu banyak belajar darinya.

Catatan kaki:

1.

http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/11/seputar-emosi-marah.html;

2) Syaikh Fauzi Said dan Dr. Nayif Al-Hamd, Jangan Mudah Marah!, Penerbit Aqwam, Cet.I, Agustus 2006, Solo;

3) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

4)AA Gym, Menikmati Kritik dan Celaan.

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

14:22 11 November 2008

HABYARIMANA, CARLOS D’ AMATO, DAN ‘ABDEL ‘AZIZ


HABYARIMANA, CARLOS D’ AMATO, DAN ‘ABDEL ‘AZIZ

Habyarimana adalah seorang budak yang berasal dari daerah tengah Afrika. Ia teramat takut dengan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki majikannya yang berkulit putih itu. Ada lecutan cambuk yang sering mendera punggungnya bila setiap kata yang keluar dari mulut majikannya tidak ia ikuti dengan lengkingan “daulat paduka”. Oleh karenanya ia menjadi seorang budak yang teramat patuh atas segala perintah majikannya. Disuruh ini ia mau. Disuruh itu ia taat. Pergi kesana ia pergi. Disuruh ikut ke sana ia pun kesana. Cuma satu alasannya karena ia tidak punya kemerdekaan. Ia seorang budak. Ia takut akan cambuk majikannya.

Carlos d’ Amato adalah majikan Habyarimana. Ia adalah seorang lelaki pedagang. Yang ada dalam otaknya hanyalah bagaimana dengan sumber daya yang ia miliki ia mendapatkan banyak keuntungan yang berlipat ganda. Ia akan melakukan sesuatu bisnis bila benar-benar akan menambah pundi-pundi kekayaannya. Bila tidak ia tetap bergeming seperti tokek menunggu serangga masuk dalam area jangkauan lidahnya. Ia jelas sekali tipe seorang kapitalis sejati. Untung rugi, dua kata itu adalah kata-kata paling sucinya.

Satu lagi, ‘Abdel ‘Aziz, perantau dari Yaman yang tubuhnya terjerembab di salah satu kota pusat perbudakan di Brazil, Pelourinho. Jiwanya yang merdeka dan menyenangi petualangan telah membawanya ke kota tua itu. Apa kata hatinya telah membawanya meninggalkan kota kelahirannya, Hadramaut. Telah banyak pengalaman ia timba sepanjang perjalanannya keliling dunia. Oleh karenanya ia tahu betul dua tipe yang dimiliki dari dua orang yang ia jumpai di pasar kota Pelourinho saat ia mau diminta menjual Khanjer-nya oleh Carlos d’Amato yang didampingi budaknya, Habyarimana.

Walaupun sudah dihargai tinggi menurut ukuran Carlos, ia tetap bersikukuh untuk tidak menjual pisau unik peninggalan kakeknya itu. Karena ia tahu selain pisau itu benda yang membuatnya terkenang-kenang pada masa lalunya, pun ia tahu Carlos hanyalah seorang pembual tentang masalah harga. Semua orang telah memberitahu dirinya saat pertama kali kakinya turun dari kapal laut, sebuah desas-desus tentang Carlos d’ Amato.

Dan ia menolak tawaran Carlos walaupun Carlos sudah menawarkan Habyarimana sebagai harga matinya. Pun ia tak takut dengan ancaman Carlos yang akan mengerahkan anak buah dari kenalannya seorang pejabat di kongsi kolonial kota itu untuk mengejar dirinya jika ia berani-beraninya meninggalkan kota dengan tetap membawa Khanjar itu, yang tak diketahui oleh ‘Abdel ‘Aziz sendiri bahwa pisau itu adalah petunjuk awal letak Harta Sulaiman.

***

Suatu siang, di Kalibata, di lantai atas Masjid Shalahuddin, di antara jejeran orang-orang bermartabat yang sedang kelelahan melawan kantuk, sayup-sayup terdengar suara seorang ustadzah menjelaskan kepada para jamaahnya tentang tiga tipe orang yang beribadah kepada Allah. Tipe pertama orang yang beribadah seperti budak, yang ia beribadah hanya (kata ini ditebalkan) karena ia takut pada siksanya Allah yang Mahakuat. Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya pada dirinya sendiri: “Salah? Tentunya tidak karena Allah-lah satu-satunya yang wajib ditakuti oleh hambaNya yang merasa beriman.

Tipe kedua adalah orang yang beribadah kepada Allah layaknya seorang pedagang. Ia beribadah melihat untung rugi dari dikerjakan atau tidak dikerjakannya amal ibadahnya itu. Ia beribadah dengan tekun saat melihat adanya keuntungan yang Allah berikan baik di dunia apatah lagi di akhirat. Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya lagi pada dirinya sendiri: “Salah? Tentunya tidak karena Allah melalui Alqur’an dan petunjuk RasulNya berupa sunnah sarat dengan pujian, penjelasan ganjaran moral, ganjaran material dan sosial, ganjaran duniawi dan ukhrawi pada hamba-hambaNya yang gemar melakukan amal kebaikan.”

Tipe terakhir adalah tipe orang yang beribadah kepada Allah layaknya seorang yang mendapatkan kemerdekaan. Ia bebas. Ia tidak terkungkung kerana adanya suatu keinginan. Ia beribadah kepada Allah tidak sekadar takut, pula tidak sekadar penuh harapan semata. Ia mampu menggabungkannya dengan cinta lalu ketiganya bersenyawa dalam jiwa dan ia serahkan sepenuhnya kepada Allah semua takutnya, semua harapnya, semua cintanya. Dan insya Allah inilah yang terbaik. Alamak…

Seorang pendengar di ruang bawah masjid bertanya lagi pada dirinya sendiri atau bahkan pada semuanya: “Ane, ente adalah Habyarimana, Carlos d’ Amato atau ‘Abdel ‘Aziz?”

***

Kita masing-masing yang bisa menjawabnya.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

3:30 04 November 2008

senjakalaning jagat

 

 

JANGAN ASAL COPY PASTE: TULISAN SAYA DIBAJAK


JANGAN ASAL COPY PASTE(TULISAN SAYA DIBAJAK)***            

 Suatu saat saya menulis tentang artikel perpajakan yang saya unggah di blog saya. Judul tulisan itu adalah:

PROSEDUR (TATA CARA) PENGHAPUSAN NPWP DAN ATAU PENCABUTAN PENGUKUHAN PKP  

bisa pembaca lihat di alamat ini. Saya unggah pada hari Senin tanggal 14 Januari 2008.           

Suatu hari pula saya sedang melakukan pencarian di Google. Dan saya menemukan sebuah situs yang ternyata memuat tulisan saya itu. Bisa dilihat di situs ini: http://satyawikan.com/marimar-blog/ Tulisan dimuat di situs itu pada tanggal 8 Maret 2008.           

Saya terus terang saja tidak masalah tulisan saya dimuat di blog atau di sebuah situs manapun yang tidak komersil tanpa izin dari saya, asalkan mencantumkan sumber pengambilan tulisan tersebut.

Ini adalah sesuai dari misi yang dibuat oleh pengusung kampanye Jangan Asal Copy Paste (JACP) di situs JACP ini.  Mungkin perlu saya sebutkan lagi tujuan adanya kampanye JACP ini—yang saya ambil dari situs tersebut:

Jangan Asal Copy Paste/ JACP adalah sebuah ajakan moral untuk menghargai hasil karya para blogger, karena apapun isinya, apapun wujudnya, blog adalah juga sebuah hasil karya cipta. Kampanye ini terinspirasi dari beberapa kasus penjiplakan dan pembajakan materi blog yang juga pernah saya alami sendiri beberapa waktu silam.           

Kembali kepada masalah tulisan saya tersebut. Mengapa saya sebut tulisan saya dibajak oleh situs itu?

  1.  Karena di situs itu tulisan itu tidak mencantumkan sumber pengambilan artikelnya darimana. Kalau saya melakukan itu, saya sungguh malu-malu sekali. Makanya dalam tulisan saya,  saya selalu mencantumkan referensi yang saya miliki sebagai bahan pengambilannya. Entah dalam bentuk catatan kaki atau dalam bentuk daftar pustaka. Ini saya lakukan agar saya tidak disebut sebagai plagiator. Yang menurut saya adalah julukan terburuk. Ini menandakan bahwa dalam tulisan tersebut tidak murni alur pemikiran saya. 
  2. Alasan kedua mengapa tulisan yang ada di situs tersebut adalah tulisan bajakan dari tulisan saya adalah karena ia cuma membubuhkan satu paragraf hasil pemikiran dia lalu mengutak-atik dua paragraf setelahnya, dengan sedikit perubahan, dan seluruh paragraf setelahnya adalah murni dari tulisan saya. 
  3. Yang menguatkan lagi,  ada dua  kata dalam sebuah paragraf saya yang diganti olehnya. Misalnya seperti ini: Ini adalah tulisan saya yang asli:

    Karena berdasarkan pengalaman yang ada ternyata proses pencabutan NPWP itu memerlukan waktu yang bertahun-tahun lamanya. Tapi Insya Allah dengan adanya undang-undang baru Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) maka batas waktu penyelesaiannya sudah dapat diketahui dengan pasti yaitu cuma 12 bulan untuk Wajib Pajak (WP) Badan.

    Diganti oleh dengan:

    Karena berdasarkan pengalaman yang ada ternyata proses pencabutan NPWP itu memerlukan waktu yang bertahun-tahun lamanya. Tapi Puji Tuhan dengan adanya undang-undang baru Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) maka batas waktu penyelesaiannya sudah dapat diketahui dengan pasti yaitu cuma 12 bulan untuk Wajib Pajak (WP) Badan.           

    Kata-kata Insya Allah dengan Puji Tuhan itu beda. Insya Allah itu berarti sebuah penegasan adanya sebuah ketidakmutlakan. Sedangkan puji tuhan itu adalah kesyukuran atas sebuah karunia. Dalam Islam sebuah kepastian diungkapkan tidak dengan sebuah “saya yakin” atau “saya pasti”, tapi sebagai sebuah kerendahan diri kepada Pencipta, bahwa kita adalah makhluk yang lemah, dan hanya Allah-lah yang punya kuasa mengatur atas segala sesuatu yang bisa jadi menurut kita terjadi ternyata Allah berkehendak lain, maka digunakanlah kata-kata Insya Allah. Demikian. 

  4. Di situs itu tidak ada fasilitas atau ruang untuk berkomentar. Entah kenapa maksudnya. Semoga bukan karena takut untuk digugat. Ini pun tidak sesuai dengan tagline dari situs itu yaitu sebagai “wadah untuk sharing”. ‘

Ya, cukup itu saja dari saya. Semoga ibu Marimar, atau pengisi situs tersebut bisa membaca tulisan saya ini, memahami lalu menyadarinya, dan semoga Allah memberikan hidayah padanya.

Ohya sekadar catatan dari saya, saya telah menyimpan rekam jejak dari tautan tulisan itu, agar saya nanti bisa menunjukkan bukti di saat memang diperlukan untuk membuktikannya. Supaya saya tidak dianggap menuduh sembarangan. Semoga Allah mengampuni saya. 

Hadiah buat Anda: silakan ambil semua tulisan dari saya dan cantumkan pembuat tulisan itu atau cantumkan sumber pengambilannya. Terimakasih. Semoga bermanfaat.  

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

08:35 02 April 2008    

DENDAM AMANGKURAT


DENDAM AMANGKURAT

Beberapa pemimpin Bani Abbasiyyah yang tidak berhasil membunuh lawannya dari Bani Umayyah melakukan sebuah tindakan
di luar akal manusia yang beradab hanya dengan alasan kelompok Bani Umayyah tersebut mati sebelum mereka berkuasa.
Karena masih penasaran, seorang dari mereka, Abdullah bin Ali, mengeluarkan mayat-mayat musuhnya dari kuburan, lalu
mencambuki, dan menyalibnya sebelum akhirnya dibakar. Tidak hanya itu ia membantai keturunan Bani Umayyah dan
orang-orang yang bukan berasal dari Bani Umayyah sebanyak 92.000 orang pada hari Ahad di tepi salah satu sungai di
Ramlah.

Beberapa abad kemudian, contoh lain dari begitu banyak obsesi sebuah dendam adalah saat Trunojoyo yang memberontak
kepada kakak iparnya Amangkurat II-raja Mataram yang lalim dan mau menggadaikan harga dirinya di telapak kaki VOC,
padahal kakeknya sendiri tak mau untuk tunduk pada kumpeni hingga menyerang Batavia dua kali walaupun tanpa hasil-tak
sanggup lagi untuk meneruskan perlawanan. Maka yang tampak adalah sebuah tragedi di balai agung pertemuan raja.

Di sana, penyerahan baik-baik itu tak dibalas dengan sebuah penghormatan akan nilai kehidupan. Beberapa pengawal
bergerak, menyeret Trunojoyo untuk didekatkan sampai ke depan raja. Raja berdiri dari kursi, menyambut tubuh yang
telah pucat pasi itu dengan tusukan keris Kyai Balabar. Tusukan tepat di dada hingga menembus punggung. Darah muncrat
membasahi raja.

Tak puas sampai di situ, ia memerintahkan para adipatinya untuk ikut serta terjun ke dalam lautan kebengisannya.
Mereka langsung maju menyarangkan keris masing-masing ke tubuh yang sudah tak bernyawa itu, lalu memakan jantungnya.
Dua orang tumenggung dari Pasuruhan karena tidak mendapat tempat lagi untuk di mana keris hendak ditusukkan, mereka
cuma kebagian upacara melumuri tubuh dan wajah dengan darah. Selesai?

Tidak!

Sebelum Amangkurat meninggalkan balai pertemuan itu, ia memerintahkan agar leher suami dari adik tirinya itu
dipenggal, dan kepalanya dia tenteng menuju balai peristirahatan. Semua selir wanita simpanan ia suruh menginjakkan
kakinya di atas kepala Trunojoyo sebelum masuk ke peraduan. Lalu dini hari nantinya, ia perintahkan kepala tersebut
dimasukkan ke lesung untuk dihancurkan.

Aduhai manusia, sungguh ini adalah secuil dari prahara bahkan badai dendam yang menggelayuti sukma dan hati para
pengusung sifat alami Iblis. Ia yang diusir dan dilaknat Allah ini karena kesombongannya tak mau sujud kepada Adam
tak akan pernah puas untuk senantiasa menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam neraka yang sedalam-dalamnya. Dendamnya
tak berkesudahan.

Puaskah Abdullah bin Ali dan Amangkurat II untuk menuntaskan dendamnya? Tidak! Sungguh membunuh musuh tidak akan
cukup untuk memuaskan nafsu balas dendam. Ia pada galibnya tidak akan pernah menemukan kedamaian atau kebahagiaan
karena api dendam itu akan semakin berkobar ketika satu dendamnya saja terlampiaskan. Ia bagaikan api disiram dengan
bensin, hingga dendam itu akan menguasai seluruh sisi kemanusiaannya.

Maka Syaikh 'Aidh bin Abdullah Al-Qarni pun meminta kepada para manusia untuk memahami kata-kata ini:
"Pendendam akan selalu merasa lebih menderita dan sengsara dibandingkan dengan musuhnya, karena dia telah
kehilangan kedamaian dan kebahagiaan."

Musuh tidak akan menyakiti orang
lain lebih hebat daripada dia menyakiti diri sendiri.

Tak sekadar di forum diskusi, di dunia nyata syahwat dendam yang membesar hingga sampai menjadi obsesi adalah sebuah
tanda dari hati yang sakit. Ia senantiasa mencari setitik kesalahan yang tampak dari saudaranya sendiri. Menunggu
dengan sabar kelengahan saudaranya bagaikan elang Afrika yang sedang mencari mangsa. Di saat kelinci gurun itu muncul
maka melesatlah sang elang menerkam hingga mencabik-cabik tubuh dan memakannya. Begitu pula di saat kesalahan itu
tampak di depan matanya, ia siapkan mortir pembalasan entah dengan kata-kata atau aksi fisik secara nyata. Ia
bagaikan penjelmaan dari dendam Amangkurat II.

Ah, puaskah? Tidak, sungguh hatinya semakin sakit hingga ia sesungguhnya rapuh dan tidak menyadari bahwa obat yang
sesungguhnya itu bukan sebuah pembalasan dendam tetapi aksi sebuah hati berupa memaafkan. Ya, memaafkan atas sebuah
kesalahan itu akan menyehatkan dan membahagiakan dirinya sendiri. Ia bagaikan air hujan yang memadamkan kobaran api
para pengusung dendam. Ia bagaikan wadi di tengah gurun pasir bagi para kafilah. Ia adalah pulau kecil di tengah
samudera luas bagi orang-orang yang terapung-apung di dalamnya.

Kathleen Lawler, Ph.D-seorang peneliti di University of Tennesse, yang meneliti soal pengaruh memaafkan terhadap
kesehatan-menjelaskan sesungguhnya memaafkan dapat meningkatkan kesehatan karena terjadi pengurangan beban psikologis
yang tertekan karena disakiti dan diserang oleh orang lain. Disadari atau tidak, kemarahan dan rasa sakit hati yang
mendalam memang bisa merusak kesehatan. Memaafkan adalah obatnya. Dengannya tubuh menjadi rileks, aliran darah lebih
lancar karena jantung bekerja normal tanpa gangguan. Dan ketimbang untuk orang lain, memaafkan sebenarnya amat baik
utuk diri sendiri.

Aduhai kawan, menyandingkan sebuah kemaafan untuk menutupi sebuah lubang bernama dendam adalah tugas berat. Di
sanalah butuh sebuah semaian dari ladang keimanan. Keyakinan yang kuat bahwa dengan hanya berlindung pada Sang
Pencipta Segalanya, maka bibit-bibit sifat Iblis itu akan musnah.

Aduhai kawan, sungguh banyak para ulama pendahulu kita berwasiat pada kita semua, dengan dzikir kepadaNya selamanya ,
senantiasa mengambil wudhu, bergaul dengan orang-orang yang shalih, meninggalkan kedurhakaan dan perbuatan-perbuatan
keji, berpaling dari dosa-dosa, banyak beristighfar, tobat, dan kembali padaNya, semuanya itu adalah benteng kokoh
perlindunganNya dari segala bentuk angkara murka.

Selain itu akan kemana lagi kita berlindung? Pada kayu-kayu mati? Pada patung-patung bisu? Pada kedigdayaan diri?
Aduhai, kiranya mati adalah lebih baik daripada hidup.

Semoga kita tidak mendendam layaknya dendam Amangkurat yang tiada berkesudahan.

Allohua'lam bishshowab.

Maraji':

1. 'Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Don't be Sad: Cara Hidup Positif
Tanpa Pernah sedih dan Frustasi
, Maghfirah Pustaka, 2004

2. 'Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Cambuk Hati, Irsyad Baitus
Salam, 2004

3. Asmawati, Memaafkan itu Menyehatkan & Membahagiakan,
Majalah Ummi Edisi 05/XIX September 2007;

4. Bre Redana, Bulan Kabangan, dalam Derabat, Cerita Pendek Pilihan Kompas 1999.

5. Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam: dari Dinasti Bani
Umayyah hingga Imperialisme Modern
, Pustaka Al-Kautsar, 1998;

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09.22 08 01 08

di sana Islam sekadar simbol

HAJJAH INUL DARATISTA


Pada tanggal 13 Desember 2007, Inul Daratista, penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang ngebornya, pergi meninggalkan tanah air untuk menunaikan ibadah haji. Bersama sang suami tercinta, Adam Suseno, tentunya. Suatu saat saya membayangkan adanya dialog imajiner antara saya dan penyanyi tersebut pasca kepulangannya dari tanah suci. Saya berharap mendapatkan cerita perjalanan spiritual yang menggedor itu darinya.
Riza : Assalaamu’alaikum Mbak Inul, apa kabar?
Inul : Alhamdulillah baik Mas Riza.
Riza : Wah, saya bersyukur Mbak bisa naik haji nih. Kayaknya Mbak Inul punya panggilan baru sekarang. Boleh dong saya panggil dengan sebutan Hajjah Inul Daratista, atau ibu Hajjah gitu…?
Inul : Ndak perlu Mas. Panggil saya sebagaimana biasanya saja. Haji itu ibadah kok, bukan status. Dan enggak lucu kan kalau di atas panggung nantinya, dipanggil begini: “Selanjutnya, kita tampilkan Ibu Hajjah Inul Daraaaatistaaaaaa…!”
Riza : Raja danggut kita kan biasa disebut bang haji tuh Mbak.
Inul : Beliau-beliau, saya-saya.
Riza : Mbak masih sakit hati yah dengan peristiwa dulu?
(Bang haji Rhoma Irama ‘mengharamkan’ lagu-lagunya dinyanyikan oleh Inul, alasannya ia telah menjual erotisme dalam musik dangdut yang telah diperjuangkan oleh Bang Haji dalam tiga dekade terakhir untuk menjadi musik kelas atas yang disegani oleh siapapun. Pen.)
Inul : Ndak juga.
Riza : Okelah Mbak. Berkenaan dengan ibadah haji yang telah dilaksanakan oleh Mbak Inul, tentunya Mbak Inul punya nih pengalaman spiritual yang bisa dibagi kepada saya. Apa saja tuh Mbak?
Inul : Yah tentunya, ini merupakan pengalaman pertama bagi saya datang ke tanah suci, berkumpul dengan jutaan umat Islam, melakukan ibadah sekhusyuk mungkin, dan saya selalu menangis kalau melihat bangunan Ka’bah itu. Saya panjatkan doa kepada Allah. Agar Allah memberikan kepada saya kehidupan yang tenteram, dunia dan akhirat. Juga agar setelah berhaji ini saya dapat momongan. Ya iyalah sudah 10 tahun menikah dengan Mas Adam belum juga dikaruniai anak. Kalau Mas Adam doanya agar keutuhan rumah tangga kami senantiasa terjaga. Itu saja sih. Kalau pengalaman yang aneh-aneh, saya tidak mengalaminya. Alhamdulillah lancar-lancar saja.
Riza : Insya Allah jadi haji mabrur. Tapi begini Mbak Inul, Mbak di saat melaksanakan manasik haji ataupun pada saat di sana tentunya sering mendapatkan taushiyah dari para ustadz dan pembimbing haji agar senantiasa berharap ibadah hajinya tidak sia-sia dan tentunya menjadi haji mabrur, haji yang diterima Allah swt. Di sana tidak terlepas adanya pengharapan terhadap yang berhaji agar terjadi perubahan. Tidak hanya sekadar perubahan status—dengan penyebutan haji atau hajjah—dan fisik—dengan selalu memakai sorban atau peci putih, tetapi perubahan diri. Itu yang paling penting. Seperti perubahan perilaku, perangai, dan sikap yang lebih baik daripada sebelum berangkat haji. Juga perubahan pada sistem penilaian dan pandangan hidup seseorang terhadap dunia dan akhiratnya. Itu sebenarnya yang saya harapkan pada Mbak Inul ini. Berubah intinya.
Inul : Mas Riza, haji mabrur tentunya adalah harapan saya. Sebenarnya perubahan apa yang sampeyan maksudkan itu? Kalau perubahan ke arah lebih baik seperti memakai jilbab, menutup aurat, itu sebenarnya saya inginkan juga. Tapi enggak lucu juga kan mas kalau saya pakai jilbab tapi masih goyang-goyang kayak begitu. Yah, saat ini saya ingin tetap menjadi Inul seperti dulu, apa adanya. Dan bukankah dengan beribadah haji ini merupakan upaya paripurna kita dalam melaksanakan Rukun Islam itu. Saya sudah syahadat, sudah sholat, sudah puasa, sudah bayar zakat, sudah haji. Lengkap dong…
Riza : Betul sekali yang Mbak katakan itu, tetapi bukankah pula rukun Islam itu adalah dasar Islam, dan bukan totalitas Islam? Ibaratnya begini Mbak, rumah Mbak yang ada di Pondok Indah ini, tentunya punya pondasi yang kuat untuk menopang bangunan kokoh dan mewah di atasnya. Pondasi inilah dasar-dasarnya, dan sudah barang tentu Mbak Inul bikin rumah ndak mau pondasinya doang. Harus ada bangunan di atasnya. Begitulah Islam, yang merupakan bangunan yang tegak di atas lima dasar tersebut. Bagaimanapun pentingnya dasar-dasar ini, tetapi bukan berarti menghapuskan fungsi bangunan. Karena itu penegasan pentingnya dasar-dasar ini harus dibarengi dengan penegasan bahwa ia hanyalah sebagai dasar, dan dasar ini harus tegak bersama bangunannya.
Inul : Iya sih saya paham. Saya sudah lengkap menjalankan rukun Islam tapi belum tentu mencerminkan sebuah totalitas saya dalam berislam. Saya sudah bisa menangkap intinya, Mas Riza. Dan sepertinya saya sudah menduga pertanyaan lanjutan dari Mas Riza. Nanti ujung-ujungnya Mas Riza akan mempertanyakan di pihak mana saya akan berdiri setelah saya beribadah haji ini. Masih tetap di pihak yang menyetujui diundangkannya segera rancangan undang-undang antipornografi atau berdiri di seberangnya? Atau tegas-tegasnya nanti Mas Riza akan bertanya saya akan masih ngebor atau tidak bukan? Jawabannya adalah selama masyarakat masih menyenangi saya, ya saya akan tetap manggung dengan ciri khas saya yang dulu mas. Tidak neko-neko kok Mas Riza.
Riza : Mbak persis banget menduga apa yang saya pikirkan. Apa yang Mbak katakan itu berarti nantinya akan mengulangi lagi perdebatan dulu antara yang pro dan kontra dengan apa yang Mbak lakukan. Saya tidak akan rewind permasalahan itu. Semua sudah jelas, kiranya Mbak dan saya berdiri di mana. Tetapi ada yang bisa saya simpulkan sedikit dari pembicaraan kita sampai di sini Mbak. Bahwa kesakralan suatu kegiatan dan tempat tidak menjamin adanya sebuah revolusi kita dalam berislam. Janji Allah sudah pasti ditepati, tetapi semuanya itu kembali lagi kepada manusianya itu sendiri. Seperti berita para seleb kita yang sampai menikah di depan ka’bah tetapi pernikahannya tetap hancur berantakan. Atau berbondong-bondong ke tanah suci tetapi tanpa membawa sedikitpun sisa-sisa kebaikan yang bisa diberikan kepada sesama.
Inul : Wah Mas Riza sama saja dengan menuduh, menyamakan saya dengan para seleb itu. Sampeyan enggak berhak menilai loh Mas Riza.
Riza : Waduh maaf beribu maaf Mbak, maaf tiada terkira kalau Mbak merasa tersinggung. Saya tidak bermaksud demikian. Saya ini tetap Riza seperti yang Mbak Inul dan Mas Adam kenal dulu. Apalagi saya belum berhaji, Mbak sudah. Dan saya yakin saya bicara demikian bukan berarti saya lebih baik daripada Mbak Inul. Mbak Inul banyak infaknya daripada saya. Itu sudah jelas. Tapi saya tentu sebagai orang awam ingin sekali Mbak Inul menjadi haji yang mabrur. Haji mabrur itu bukan sekadar tempelan status dan keinginan belaka tapi di sana ada konsekuensi-konsekuensi yang kudu ditanggungnya berupa perubahan itu.
Akal pendek saya berpikir bahwa pada dasarnya haji itu adalah merupakan media utama yang menggedor sisi-sisi kesadaran kita sebagai makhlukNya. Selama berhari-hari selalu menangis ingat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Tentunya ada sebuah tekad yang muncul bahwa saya harus menjadi lebih baik dan tidak akan melakukan kesalahan itu lagi.
Juga akal pendek saya mengatakan pula bahwa haji pun adalah madrasah utama untuk menghancurkan virus-virus yang disebar ke tengah-tengah umat. Virus kolonialisme, nasionalisme keblinger, pengkultusan, harta, jabatan, kekuasaan, setan timur dan setan barat. Haji juga salah satu pembebasan dari segala kenistaan syaithani, menuju kesertaan Arrahman, Zat Yang Mahakasih. Jadi wajar saja saya berharap banyak kepada Mbak Inul.
Inul : Eit, …nanti ujungnya ke patung saya itu ya mas?
Riza : Sedikit tepat sih Mbak.
Inul : Bukan saya yang buat dan saya tidak memintanya Mas Riza.
Riza : Kalau tidak ada restu pasti tidak mungkin dong Mbak. Dengar-dengar Mbak sendiri lah yang menyumbang. Dan kayaknya Mbak enjoy saja tuh. Malah sempat akan meresmikannya kalau tidak diprotes sama salah satu ormas di Jakarta ini. Bukankah patung itu adalah bibit awal dari sebuah pengkultusan diri?
Inul : Seharusnya Mas Riza jangan terlalu berharap banyak pada saya. Saya cuma Inul, loh. Seharusnya Mas Riza berharap pada aparat dan pejabat pemerintahan, serta anggota DPR dan DPRD yang berhaji ke sana agar mereka pun meninggalkan perilaku koruptifnya. Berharap banyak kepada mereka karena merekalah yang punya kekuatan dan kekuasaan untuk mengubah perilaku dan budaya buruk yang ada di masyarakat.
Riza : Wah sudah barang tentu saya berharap juga Mbak. Ada hak yang akan saya tuntut kepada mereka nantinya. Kepada Mbak Inul juga saya akan melakukan hal yang sama. Karena sesungguhnya Mbak Inul ini adalah sosok figur publik. Sosok yang didengar dan dilihat oleh semua lapisan masyarakat baik oleh bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak, adek-adek, kakek-kakek, nenek-nenek, om-om, tante-tente, dan semuanya. Karena Mbak ini seleb maka dibuatlah patungnya oleh penggemar Mbak. Kocok-kocoknya Mbak Inul dapat mereka terima daripada omongan berbusa-busa para ustadz kampung. Saya optimis perubahan yang Mbak Inul lakukan akan menjadi titik awal timbulnya sebuah kesadaran besar pada diri masyarakat.
Inul : Lalu bagaimana kelanjutan Inul Vizta, bisnis saya di Kelapa Gading dan cita-cita saya mendirikan supermarket di Pasuruan?
Riza : Ah, orang tua kita selalu bilang Mbak, rezeki itu tidak akan pergi kemana.
Inul : Sampeyan kok sampai segitunya sama saya?
Riza : Segitunya bagaimana Mbak?
Inul : Segitunya sampai bikin saya pengen menangis.
Riza : Waduh Mbak, tolong jangan adukan saya ke Gus Dur dan Gus Mus, mertua Ulil Absar Abdilla itu.
Inul : Ya enggaklah, masa urusan segini saja sampai bawa-bawa mantan presiden segala.
Riza : Begini Mbak, kalau pengen nangisnya karena terharu, ya saya bersyukur. Di hati Mbak setidaknya ada benih-benih kebaikan untuk berubah. Tapi kalau bukan itu, ya saya minta maaf lagi. Pada dasarnya saya enggak ingin Mbak Inul ini masuk dalam sindiran yang terkesan hanya guyon anak-anak belaka tentang predikat haji.
Misalnya jipat turi akronim dari kaji mlumpat kethune keri. Ungkapan asosiatif dalam bahasa Jawa seperti itu bisa berarti seorang yang sudah naik haji tiba-tiba meloncat ke jalur tingkah laku lain dengan menanggalkan kesucian hati dan pikiran yang disimbolkan kethu atau kopiah putih. Atau, dalam ungkapan yang mengandung sarkasme, pak kaji nyolong dhendheng yang berkonotasi ada perilaku seorang haji yang mencuri hal-hal berbau busuk seperti daging yang sudah dikeringkan menjadi dhendheng.
Semua tergantung pada Mbak Inul semua. Yang benar itu sudah jelas, yang salah itu juga sudah jelas. Mau revolusi atau evolusi dalam pemahaman, terserah pada Mbak? Tinggal masalah waktu saja kok. Itu saja sih Mbak. Terlalu banyak bicara membuat tampak jelas kebodohan saya.
Tetapi yang terpenting selamat buat Mbak Inul dan Mas Adam atas telah selesainya menunaikan ibadah haji. Semoga menjadi haji mabrur. Saya tetap menunggu perubahan itu Mbak.
Inul : Sama-sama, terimakasih mas Riza atas semuanya. Ya kita tunggu sajalah nanti. Semoga saja ada perubahan seperti Mas Riza inginkan.
Riza : Jangan karena saya Mbak, saya ini bukan siapa-siapa. Semuanya karena Allah saja hendaknya. Tapi tentu saya yang akan bersyukur sekali dengan perubahan itu dan harus yang menjadi pertama untuk mengucapkan selamat kepada Mbak Inul.

Semuanya ternyata hanya imajiner.
Allohua’lam bishshowab.

Maraji’:
1. Alqur’anul Kariim;
2. Said Hawwa, Al-Islam Jilid 1, Cetakan Ketiga, Al-I’tishom Cahaya Umat, Jakarta, Agustus 2004;
3. Kholid Anwar, Haji, Ritual Korupsi, http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/01/opi04.htm ;
4. Beberapa pemberitaan tentang Inul.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:40 17 Desember 2007

RINDU TAK BERBALAS


Menunaikan ibadah haji adalah sebuah amal untuk memenuhi panggilan khusus dari Allah swt. Hanya orang-orang yang terpilih saja yang bisa menunaikannya. Ada begitu banyak muslim yang berpunya dari segi harta dan fisik tetapi tidak ada sedikitpun gerak dalam hati untuk memenuhi seruan-Nya. Ada banyak macam alasan yang biasa diperdengarkan. Mulai dari kesibukan mengurus penghidupan yang tiada habisnya, anak-anak yang masih kecil, sampai yang memang tidak punya niat sama sekali untuk pergi ke tanah suci.
Namun seringkali kita jumpai betapa banyak muslim yang begitu merindukan mengumandangkan teriakan “labbaik allohumma labbaik” dan merindukan tetesan-tetesan airmata jatuh dalam pemenuhan keharuan melihat rumah Allah tetapi Allah belum juga memanggilnya, karena ada sesuatu dan lain hal yang tidak bisa diketahui oleh para hamba-Nya. Entah karena ketidakmampuan dalam masalah finansial hingga fisik yang tidak mampu.
Contoh terdekat adalah Ustadz Fahruddin yang biasa mengisi pengajian malam ahad di masjid kami, Masjid Al-Ikhwan. Beliau ini berencana untuk pergi haji di tahun ini. Dulu ia pernah menapaktilasi kewajiban itu dua kali dalam jangka waktu sepuluh tahun. Dan ini untuk yang ketiga kalinya. Alhamdulillah, untuk masalah ongkos naik haji ia tidak perlu memikirkannya. Karena ada salah seorang muridnya yang bersimpati dengan beliau dan berniat untuk membiayai seluruh biaya perjalanan itu. Tetapi hanya untuk beliau saja sedangkan istrinya tidak diikutkan.
Mendapatkan rezeki yang besar tersebut maka bersiap-siaplah beliau untuk menempuhi seluruh rangkaian ritual haji yang akan benar-benar menguras fisiknya. Dan ia didaulat sebagai pimpinan rombongan karena dianggap sudah berpengalaman. Beliau juga meminta doa kepada jama’ah Masjid Al-Ikhwan agar Allah memberikan kekuatan pada dirinya. Sebaliknya kami pun meminta pada beliau agar mendoakan kami untuk bisa berangkat haji sebagai perwujudan pemenuhan kesempurnaan rukun Islam.
Tapi apa yang terjadi, ternyata Allah berkehendak lain. Tiga minggu sebelum keberangkatannya, ia mengalami kecelakaan. Sepulang dari acara muhasabah dan qiyammullail, kemungkinan karena kecapaian dan mengantuk, ia tidak melihat ada sebuah polisi tidur di ujung jalanan yang menurun dan menikung. Terjatuhlah ia sehingga tempurung lututnya retak, parah.
Agar ia bisa tetap menunaikan ibadah haji, selain pengobatan modern dengan pemasangan pen beliau juga berobat secara tradisional kepada ahli pengobatan patah tulang di daerahnya. Dengan senantiasa berharap dan berdoa semoga Allah mempercepat kesembuhannya. Pada saat walimatussafar yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari, beliau masih tetap tidak bisa berdiri dan masih duduk di atas kursi roda. Itu pun sebenarnya beliau tidak boleh bepergian terlebih dahulu karena masih dalam perawatan di klinik patah tulang tersebut. Tetapi beliau bersikeras untuk tetap menghadiri acara itu agar bisa didoakan oleh banyak orang di rumahnya. Selesai acara, beliau langsung dibawa kembali ke klinik.
Waktu pun terus bergulir, dan Allah tetap berkehendak pada setiap hamba-Nya. Allah masih memperlambat proses penyembuhannya. Dua hasil pengujian test kesehatan dari pihak Pemerintah Kabupaten Bogor dan pihak klinik sendiri masih menyatakan bahwa fisik beliau tidak mampu untuk melaksanakan ibadah haji walaupun di atas kursi roda. Saat ini beliau masih diharuskan dalam proses penyembuhan total. Air mata kesedihan pun jatuh dari pelupuk matanya. Oh, kesedihan dan kerinduan yang pupus menjadi satu, bercampur aduk dengan upaya kerasnya untuk menerima semua itu dengan ikhlas.
Pelajaran yang senantiasa kami terima dari beliau di pengajian malam ahad adalah: “pada saat manusia diterpa dengan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya sesungguhnya manusia tidak bisa melihat hikmah yang tersembunyi dengan segera, dan manusia cuma bisa mengeluh.”
Dan ada kisah yang biasa beliau ungkapkan kepada kami.
Seorang petani sayur biasa pergi ke pasar dini hari sebelum adzan shubuh berkumandang bersama dengan teman-teman seprofesinya dengan menggunakan pick-up sewaan. Untuk itu ia harus tepat waktu berkumpul di tempat yang telah ditentukan yaitu di perempatan jalan kampung. Bila ada yang terlambat datang terpaksa harus ditinggalkan. Karena keramaian pasar tidak sampai berlangsung lama, mereka harus bisa menjualnya segera agar laku dan tidak busuk.
Dini hari itu, di saat ia sudah bersiap-siap untuk berangkat pergi ke pasar, ia tidak menjumpai pikulan kayunya yang biasa ia pakai untuk menggotong dua keranjang besar berisi sayur-sayuran segar itu. Ia mencari-carinya. Lama sudah. Waktu pun cepat sekali berputar. Hatinya bergejolak, marah. Ia bangunkan seisi rumah dan menyuruh mereka mencari kayu pikulannya. Beberapa saat kemudian diketahui bahwa pikulannya itu disembunyikan di belakang rumahnya oleh dua anaknya yang masih kecil. Mereka lupa untuk menaruhnya kembali saat menggunakannya sebagai alat bermain mereka.
Dengan masih menggerutu dan gumpalan amarah yang belum bisa terhapuskan di dadanya segera ia bergegas pergi ke tempat pertemuan. Dan benar sangkaannya, di sana tidak ada siapa-siapa, ia terlambat, ia sudah ditinggalkan teman-temannya. Terpaksa ia harus berjalan kaki menempuh jarak yang jauh. Ia susuri jalan-jalan pintas yang ada untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu dengan gerutuan yang semakin bertambah serta kejengkelan kepada seluruh penghuni rumahnya. Dagangannya bakalan tidak laku.
Sesampainya di tujuan dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya dan pasar sudah terang benderang karena sinar matahari pagi, ia terkejut dengan banyaknya orang yang berkerumun di lapak-lapak khusus sayur mayur. Mereka sedang membicarakan sesuatu. Ia tambah heran lagi saat salah seorang dari mereka yang dikenalnya berteriak, “ia masih hidup!”
Setelah itu barulah ia tahu ada berita mengejutkan buatnya. Seluruh temannya yang naik pick-up tadi pagi tewas karena mobil yang ditumpanginya jatuh ke jurang. Ia jatuh terduduk. Ia lemas lunglai mendengar berita itu. Ia terkejut sedemikian rupa. Kalau saja pikulannya tidak disembunyikan oleh anaknya, kalau saja ia datang tepat waktu, dan kalau saja…
Ah, ia baru menyadari ada hikmah yang tersembunyi dari peristiwa keterlambatannya itu setelah sekian lama ia bergumul dengan kemarahan dan kejengkelan. Setelah ia menggerutu dengan banyak gerutuan. Ah, ia merasa kini sudah saatnya meminta maaf dan berterima kasih kepada istri dan anak-anaknya. Ah, yang terpenting kini ia baru ingat ada Allah yang mengatur segalanya…
***
Ustadz kami kini dalam ujian yang diberikan Allah. Ini sebagai tanda kecintaan Allah pada hamba yang dicintai-Nya. Allah telah berkehendak sedemikian rupa untuk tidak memberangkatkannya ke tanah suci, untuk tidak menziarahi makam nabi tercinta, untuk tidak melaksananakan shalat yang empat puluh, untuk tidak memutari Ka’bah melawan arah jarum jam, untuk tidak qiyamullail di masjidil haram, untuk tidak berseru labbaik allohumma labbaik, dan untuk tidak wukuf di Arafah. Memang tidak. Tidak di tahun ini. Insya Allah tahun depan.
Tentu kami yakin ada hikmah yang tersembunyi buat guru kami itu. Dan kami senantiasa berharap semoga Allah memberikan kesabaran dan keikhlasan padanya.
Ya ustadz, bersabarlah. Dan semoga lulus.

rindu kami ini Ya Allah
rindu tak tertahankan
rindu kami ini Ya Allah
rindu tak tergoyahkan
rindu kami ini Ya Allah
rindu bermuara
rindu kami ini Ya Allah
tasbih hajat kami
kiranya
bila Engkau menerima rindu ini?
panggillah kami…
labbaik allohumma labbaik

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
ke-301, lantai tiga kalibata.
10:09 13 Desember 2007
https://dirantingcemara.wordpress.com

Surat Terbuka Untuk Ikhwah


Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabaarokaatuh.
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Semoga Allah senantiasa memberikan dan menetapkan hidayah kepada kita semua. Semoga salam dan shalawat senantiasa tercurah kepada junjungan nabi kita Sayyidina Muhammad Saw.
Ikhwatifillah yang saya cintai karena Allah izinkan saya menulis untuk antum semua peserta forum tarbiyah di sini tentang sebuah kegundahan yang menggumpal dalam dada saya. Sebuah perenungan yang saya bawa sampai ke rumah dan yang membuat saya tidak bisa tidur tadi malam. Sebuah perenungan tentang apa yang telah saya perbuat untuk menyiarkan dakwah ini kepada sekitar dan terutama sekali kepada para peserta forum DSHNet. Ada dua poin sebenarnya yaitu gundah dan renung.
Saya utarakan kegundahan saya dulu yang pertama. Kemarin tepatnya hari senin tanggal 19 Nopember 2007, sekitar pukul 16.45 WIB di forum dakwah ada sebuah postingan yang judulnya adalah kurang lebih demikian Syiah dan Sunni Sama-sama bersihnya. Yang memosting saya lupa tapi saya tahu pasti tentang berapa IP Address-nya, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Batu. Kalau mendengar nama KPP ini maka yang telah berkecimpung lama di forum dakwah akan mengetahui ada saudara kita yang senantiasa membenci dakwah kita.tidak perlu disebutkan namanya di sini.
Saya memang selalu mencermati setiap postingan dari KPP batu sebagai bentuk pengawasan saya. Dan biasanya ketika ada sindiran-sindiran (dan celaan) darinya saya langsung melakukan tindakan untuk menonaktifkannya tanpa peringatan terlebih dahulu. Karena sudah berapa kali peringatan itu diberikan tetapi tidak pernah digubris oleh saudara kita itu—Semoga Allah memberikan kelembutan padanya. Dalam satu saat ia bisa mengganti nick beberapa kali untuk bisa bergabung kembali di forum. Dan saya melakukan apa yang sudah menjadi tugas saya. Tinggal siapa yang paling kuat sabarnya antara saya dengan dia saja.
Yang paling sering dilontarkan adalah tentang masalah gugatan terhadap moderator, politik, dan syiah. Terutama tentang syiah kurang lebihnya demikian: “Sudah tahu sesat tapi masih saja mengagung-agungkan para pemimpinnya.” Kali ini, sore kemarin itu, ia memosting satu paragraf saja sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Sunni dan Syiah adalah muslim. Mereka ini disatukan oleh kalimat Laa Ilaha Illallah dan Muhammadun rasulullah. Ini adalah prinsip aqidah di mana Sunni dan syiah sepakat dengannya. Adapun perbedaan yang ada di antara keduanya adalah pada tema-tema yang mungkin didekatkan (taqrib). (Dzikrayaat laa Mudzakiraat hal 345-346)
Lalu apa yang terjadi teman-teman, banyak sekali dari ikhwah kita yang reaktif dengan mengajukan berbagai pertanyaan dan hampir-hampir mengarah gugatan kepada apa yang diposting dan pemosting. Sampai sang pemosting itu pun mengajukan pertanyaan balik kepada yang memprotes: “memang ada yang salah yah dari pernyataan ini?”
Saya memahami tentang kegundahan kita sebagai ahlussunnah terhadap penyebaran pemikiran Syiah oleh Ridha yang menghujat para sahabat yang mulia di forum dakwah. Hingga langsung merespon cepat tentang adanya penyamaan ini. Saya tidak menyalahkan teman-teman. Itu suatu kewajaran.
Tetapi karena saya sudah tahu terlebih dahulu siapa yang memosting saya berhati-hati untuk berkomentar. Apakah ini adalah suatu penegasan yang disampaikan dari dua kalangan yaitu syiah atau dari seorang yang tahu tentang syiah, pembenci syiah, atau pembenci dakwah kita dan cuma untuk mengetes nanti selanjutnya mencela siapa yang mengeluarkan perkataan itu?
Dan saya memilih yang terakhir karena melihat IP address-nya tersebut. Ada beberapa tanggapan yang masuk, kurang lebih sekitar tujuh tanggapan. Terakhir adalah pertanyaan yang diajukan oleh sang pemosting ini seperti yang telah saya sebutkan di atas. Lalu saya langsung memotong diskusi tersebut dan “membuang”nya ke forum komunikasi para moderator.
Ikhwatifillah, saya dengan keras berpikir di mana saya pernah dengar dan baca tentang sebuah buku yang bernama Dzikrayaat laa Mudzakiraat. Dan saya yakin saya belum pernah memilikinya. Saya sering mendengarnya dari saudara Salafy kita yang sering menyebut-nyebut buku itu sebagai bahan perbantahan. Saya ambil sebuah buku di atas meja saya, bukunya Farid Nu’man, Al Ikhwanul Muslimun, Anugerah Allah yang terzalimi, saya baca referensinya. Tidak ada buku tersebut sebagai referensinya. Lalu saya ambil bukunya Abduh Zulfidar Akaha yang berjudul Siapa Teroris Siapa Khawarij, tidak ada pula di sana.
Saya bertanya-tanya apakah Syaikh Al-Qaradhawy yang mengatakan demikian atau siapa? Kalaupun mengatakan demikian hujjah apa yang bisa disampaikan? Ikhwatifillah, pertanyaan itu menggelayuti benak saya dan membuat saya gundah hingga dalam perjalanan pulang saya ke rumah. Dan saya bertekad untuk mencari referensi tersebut di internet.
Namun pelan-pelan kegundahan itu tersingkir dengan sebuah perenungan yang menghunjam saya dari seorang muda namun mempunyai tsaqofah yang luas, akh brazkie sebagai berikut (dengan perubahan sedikit pada tata bahasa):
Sekarang saya lagi memaksa diri saya untuk membaca apa yang seharusnya saya baca. Karena gerakan dakwah kita sudah memasuki mihwar muassasi dan mempersiapkan dirinya ke mihwar daulah, saya memaksa diri membaca bahan bacaan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan mihwar saat ini, yaitu buku yang berhubungan dengan Politik-Keamanan-Ekonomi-Bisnis.
Ini untuk mempersiapkan diri kita untuk menjadi “qiyadah” di masa kita nanti, sebab,keraguan orang-orangumum itu seputar mampukah kita orang-orang masjid mengelola negara ini, tanpa mengorbankan kesolehan mereka, atau toleran terhadap pluralitas bangsa ini?
Kalau buku-buku yang menjawab seputar salafy dan sebagainya, saya hanya berpikir itu hanya reaktif belaka, tahap yang paling jauh yang bisa bermanfaat untuk kita adalah menambah khazanah tsaqofah kita mengenai mereka. namun hendaknya kita tidak terjebak dan menjadikan itu sebagai referensi utama bagi proses belajar kita, sebab bagaimanapun persoalan yang lebih besar sedang menanti kita, ketimbang persoalan kecil semacam tingkah polah harokah lain khususon salafy.
Sekedar saran ya ikhwati…
Apa yang dikatakan oleh Akh Brazkie ini benar, seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy katakan dalam Kitab Fiqhul Ikhtilaf:
Di antara hal yang seringkali menyeret orang ke dalam kancah perselisihan dan menjauhkannya dari persatuan ialah kekosongan jiwa mereka dari cita-cita dan persoalan-persoalan besar. Bila jiwa kosong dari cita-cita dan persoalan-persoalan besar maka terjadilah pertarungan mempertentangkan masalah-masalah kecil.
Sebagaimana istri saya yang sering mengingatkan saya tentang perkataan seorang ustadz kampung namun punya kafaah yang mumpuni pada kekinian: “…karena mereka tidak punya mimpi besar.”
Wahai Saudaraku antum telah memberikan perkataan yang besar bagi diri saya. Sebuah perenungan yang membuat saya berpikir apa yang telah saya lakukan untuk dakwah ini. Apa yang telah saya berikan adalah sesuatu yang besar untuk forum diskusi DSH? Yang membuat semua orang mempunyai pemikiran yang luas bagaimana untuk membangun negeri ini dengan lebih baik lagi? Untuk dapat memikirkan saudara-saudaranya di bumi Allah yang masih tertindas. Untuk dapat memikirkan pengembangan kreatifitas dalam dakwah hingga semua merasa nyaman dengan dakwah ini. Hingga semua orang bersama-sama dengan dakwah ini.
Ya Allah ya Rabb, jawaban saya adalah BELUM. Saya masih terlalu sedikit berbuat atau bahkan belum berbuat sama sekali hingga terjebak pada permasalahan khilafiah di forum dakwah (maaf tanpa sama sekali mengecilkan ilmu-ilmu itu) namun ketika setiap hari saya (untuk tidak mengatakan kita) berkecimpung pada sesuatu yang diulang-ulang setiap harinya dan tanpa ada sebuah ide-ide segar yang muncul demi perkembangan Islam, maka sungguh saya dapat katakan bahwa saya telah terjebak pada pertentangan masalah-masalah kecil.
Perenungan ini pun membuat saya berpikir ulang bahwa niat saya mencari referensi sedapat mungkin tentang buku Dzikrayaat laa Mudzakiraat adalah cuma untuk gagah-gagahan, sekadar dianggap sebagai orang yang berilmu, reaktif hanya untuk membalas sebuah aksi, dan lagi-lagi terjebak pada pertentangan masalah-masalah yang tak kunjung habisnya padahal ada sebuah kerja besar yang harus senantiasa kita lakukan yaitu sebuah pembinaan. Bagaimana mau membina sedangkan bekal itu kosong karena otak tidak diberikan hak untuk menuntaskan dahaga ilmunya dan otak hanya dipenuhi oleh pikiran untuk menjawab tuduhan, berkelit, dan membalas. Masya Allah.
Sungguh Akh Brazkie dan teman-teman sekalian. Perenungan itu saya bawa pulang ke rumah. Sampai jelang tidur pun saya masih bertanya-tanya bisakah saya keluar dari jebakan ini? (Saya sampai meyakini tentang perkataan ustadz Andi Harsono bahwa saya sesungguhnya sedang dalam kehilangan orientasi dakwah). Istri saya sudah pernah bilang sejak lama, “belilah dan bacalah kembali buku-buku tarbiyah.”
Ya, sedikit solusi ini bisa untuk memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas. Insya Allah.
Ikhwatifillah, malam pun jelang, saatnya untuk beristirahat. Maka tidurlah saya untuk memberikan hak pada jasadiyah saya. Lalu jam setengah dua malam istri saya membangunkan saya, menyuruh saya mengambil wudhu dan shalat. Rupanya istri saya belumlah tidur, ada tugas yang masih dikerjakannya.
Setelah shalat, saya pun berdiri dan beranjak ke lemari buku. Dari sana saya ambil Risalah Pergerakan Hasan Al-Banna jilid 1 dan saya mencari apakah ada perkataan tentang syiah, untuk menuntaskan kepenasaran saya. Dengan berusaha menebak-nebak arti sesungguhnya dari Dzikrayaat laa Mudzakiraat itu dan mencocokkannya dengan daftar isi dari buku Risalah Pergerakan itu saya mencari tentang syiah. Kali saja ada judul subbab yang isinya sama sesuai dengan keterbatasan kosakata saya terhadap Bahasa Arab. Dan hasilnya tidak ada.
Lalu mata saya terantuk ke sebuah buku yang berjudul: Umar Tilmisani: Mursyid ‘Am Ketiga Ikhwanul Muslimin. Soalnya siang sebelumnya melalui private messenger ada yang meminta saya tentang biografi beliau dan Alhamdulillah saya dapatkan di internet dan saya upload melalui sticky topic di forum dakwah.
Saya buka buku tersebut di halaman belakang dan saya cuma menemukan katalog buku yang telah diterbitkan oleh penerbit buku tersebut. Tidak ada referensi di sana. Lalu saya coba buka halaman-halaman depan yang memuat judul buku aslinya, siapa penulisnya, dan cetakan ke berapa.
Ikhwatifillah, apa yang saya lihat? Ternyata buku yang saya pegang ini adalah buku terjemahan dari sebuah buku yang berjudul: Umar Tilmisani: Dzikrayaat laa Mudzakiraat.
Subhanallah, Walhamdulillah, Wallahu akbar. Saya ternyata tidak hanya menemukannya tapi juga memiliki buku tersebut. Ini adalah semata-mata taufik Allah SWT. (terimakasih untuk Ustadz Andi Harsono yang telah memberikan sebuah istilah yang baru bagi saya bila mengalami hal yang seperti ini).
Saya buka subbab tentang perselisihan Sunni-Syiah, dan betul saya menemukan sebuah paragraph yang sama persis dengan apa yang disampaikan oleh pemosting dari KPP Batu tersebut. Perkataan tersebut adalah perkataan Imam Syahid Hasan Albanna. Agar saya punya pemahaman yang utuh terhadap perkataan tersebut maka saya baca paragraph lanjutannya (maaf untuk saat ini saya belum bisa menuliskannya karena keterbatasan waktu saya, Insya Allah di lain waktu). Dan Wallahi saya mendapatkan pemahaman dan penyikapan yang terbaik dalam perselisihan sunni dan syiah.
Ikhwatifillah, saya langsung pada malam itu mengirimkan pesan singkat pada saudara-saudara saya, Akh Isa Yulistiawan, Akh Andi Harsono, dan Akh Azzam, yang saya anggap sebagai orang-orang yang mumpuni dan paham tentang perselisihan ini. Tentang kegembiraan saya menemukan buku ini. Maaf tiada terkira, saya adalah orang yang sangat reaktif apabila mendapatkan kebahagiaan dan tak mau menyembunyikan kebahagiaan saya ini untuk sendiri.
Akh Isa Yulistiawan memberikan balasan demikian: “Antum hebat amat akh, sampai di rumah masih memikirkan dshforum. He..he…he…” Sungguh Mas Isa, pujian itu hanya untuk Allah semata, dan di dalam hati malah saya berpikir akankah saya terjebak dalam mempertentangkan permasalahan-permasahan. Saya malu dan senatiasa terngiang-ngiang dengan perkataan Akh Brazkie. Apakah ini adalah dalam rangka berbuat apa yang seharusnya saya perbuat? Apakah ini adalah dalam rangka merealisasikan ide-ide besar dakwah kita? Apakah ini adalah investasi untuk menjadi qiyadah di masa depan?
Sungguh akh, kegembiraan itu berlalu dengan seiring helaan nafas yang selalu terdengar di setiap saat. Kegembiraan itu tertutupi dengan sebuah beban berat yang ada dipunggung. Tertutupi dengan sebuah perenungan. Hingga wajah ini tiada tampak berserinya.
Allah ya rabbi, ampunilah saya atas segala kelalaian saya.
Ikhwatifillah ada beberapa kesimpulan yang ingin saya kemukakan di sini untuk diri saya dan untuk ikhwatifillah bila ini berguna untuk antum semua:
1. Camkan baik-baik nasehat Akh Brazkie ini, deeply. Jazakallah akh Brazkie.
2. Perbanyaklah membaca buku-buku dasar tarbiyah. Temukan kedalamannya juga di sana dan temukan hikmahnya di sana. Temukan pula ide-ide besar di sana.
3. Insya Allah dengan senantiasa membaca itu, kita pun tidak ikut terjebak dan larut dalam sebuah pertanyaan yang diajukan oleh yang membenci jalan dakwah kita ini.
4. Perbanyaklah muhasabah sehingga ingat betapa amal kita belumlah mampu untuk membuat Allah ridha terhadap kita.
Ikhwatifillah, maaf tiada terkira. Maafkanlah saya yang mudahnya untuk berkeluh kesah kepada antum semua yang saya yakini antum semua punya amanah dakwah yang amat berat di punggung antum semua.
Nasehatilah saya jika terlalai. Saya butuh cambuk nasehat antum mendera di punggung pemikiran dan amal saya. Agar mudah raga ini berpacu dengan waktu dan terengah-engah meraih ridhanya Allah. Ada debu, keringat, dan darah di sana…
Semoga Allah memberikan kepada saya sebuah keikhlasan. Semoga tidak ada niat di hati saya untuk pamer kata-kata indah di sini. Semoga tidak ada syirik kecil yang tersembunyi.
Semoga Allah mengampuni saya dan kita semua. Dan mengumpulkan kita di surga-Nya Allah. Amin.

Dari saudaramu, Alfaqir, yang bodoh
Riza Almanfaluthi
09:26 20 Nopember 2007

PERSELISIHAN SUNNI-SYIAH
Satu waktu kami bertanya kepada Imam Syahid sejauh mana perselisihan yang ada di antara Sunni dan Syi’ah. Rupanya beliau melarang kami masuk terlalu jauh ke dalam persoalan pelik ini. Menurut beliau, persoalan seperti ini tidak pantas mengambil waktu yang banyak dari kaum muslimim karena mereka, seperti yang bisa kita lihat sendiri, gampang terperangkap ke dalam ruang perpecahan dan api perselisihan yang selalu disulut musuh-musuh Islam.
Kami berkata kepada Imam Syahid: “Kami tidak menanyakan hal ini karena alasan fanatisme atau dengan maksud memperluas perbedaan yang ada di kalangan kaum muslimin. Kami menanyakannya semata-mata karena dorongan ilmu pengetahuan sebab persoalan ini telah tercatat di dalam buku-buku yang jumlahnya sulit dihitung. Masalahnya kami tidak punya waktu untuk mengkaji seluruh buku-buku tersebut.”
Imam Syahid menjawab: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Sunni dan Syiah adalah muslim. Mereka ini disatukan oleh kalimat Laa Ilaha Illallah dan Muhammadun rasulullah. Ini adalah prinsip aqidah di mana Sunni dan syiah sepakat dengannya. Adapun perbedaan yang ada di antara keduanya adalah pada tema-tema yang mungkin didekatkan (taqrib).
Kami bertanya: “Apa saja contohnya?”
Beliau menjawab: “Syiah adalah sebuah aliran yang dalam bahasa perbandingan mirip empat mazhab yang ada pada kelompok Sunni. Aliran Syi’ah Imamiyah, umpamanya, berpendapat bahwa masalah imamah (kepemimpinan) adalah sebuah prinsip islam yang harus diwujudkan. Mereka hanya mau berperang bersama pemimpin yang mereka tunggu (Imam Muntadzar) karena menurut mereka Imam adalah pengawal syri’at, pendapatnya adalah kata putus dan taat kepadanya adalah keharusan tanpa syarat. Ada juga beberapa hal yang diperdebatkan bisa dihilangkan, seperti nikah mut’ah dan poligami, sebagaimana yang ada pada sebagian kelompok Syi’ah. Persoalan-persoalan seperti ini, dan sejenisnya, tak layak dijadikan pemicu munculnya permusuhan antara Sunni dan Syi’ah. Kedua kelompok ini, selama beberapa ratus tahun, pernah hidup rukun. Kalau pun ada perbedaan maka hal ini muncul dalam bentuk tulisan-tulisan. Para imam Syi’ah sendiri turut berperan serta dalam memperkaya khazanah perpustakaan Islam. Dan sampai kini hasil-hasil karya pengetahuan tersebut masih menghiasi rak-rak perpustakaan dalam jumlah cukup banyak.” Demikianlah pendapat Imam Syahid.
Sekiranya konflik Iraq-Iran memang seperti yang diduga banyak orang, maka saya akan membahasnya lebih panjang. Tapi secara keagamaan, kita sebaiknya menghindarkan diri dari permasalahan yang hanya makin mempertajam garis perbedaan yang ada antara Sunni dan Syi’ah. Perbedaan yang makin parah inilah sesungguhnya yang diinginkan para musuh Islam.
Karena itu kita tidak pantas mempertajam masalah ini. Kita ingin cuaca menjadi jernih kembali dan persoalan dikembalikan ke pangkalnya. Mudah-mudahaan dengan cara ini kedua belah pihak bisa menjelaskan sudut pandangannya masing-masing secara adil. Kami menilai cukup sampai di sini pembahasan tentang perbedaan Sunni dan Syi’ah. Kami melakukan ini semata didorong semangat ingin mencontoh metoda Imam Syahid yang selalu berusaha menepis perselisihan yang ada di atnara kamu muslimin.
Kutipan dalam buku: Umar Tilmisani: Bukan Sekadar Kenangan, hal. 345-346. Terjemahan buku Umar Tilmisani : Dzikrayaat laa Mudzakiraat.