BASSE, BAHIR, LAPAR


 

BASSE, BAHIR, LAPAR

                Pagi itu masih dingin. Taujih yang disampaikannya membuat semua yang ada di ruangan tertegun. Di selanya ada isak tangis dan air mata yang mengalir. Sebuah keharuan menyeruak dan mengeliminasi segala keegoan dan menyublim menjadi sebuah perenungan tentang kepedulian.

                Ia bercerita, “Sore kemarin saya membeli ayam bakar karena tidak ada lauk yang dimasak sendiri pada hari itu. Dengan sepiring nasi yang banyak dan potongan dari ayam bakar yang paling saya sukai, saya memulai acara peningkatan gizi itu dengan menonton televisi dan mencari acara yang bagus.”

                “Tapi saat itulah saya terpaku pada sebuah pemberitaan dari Makassar. Pemberitaan yang sungguh ironi dan membuat saya tidak enak hati untuk menghabiskan makanan itu. Betapa tidak, ketika saya makan, pemberitaan adanya ibu yang sedang hamil tujuh bulan dan anaknya yang balita tewas dan satu anaknya yang lain masih kritis di rumah sakit karena kelaparan, membuat saya tersentak,” lanjutnya lagi.

                “Allahu Rabbi.  Saya melihat sendiri dari tayangan betapa sosok ibu itu terbujur kaku. Mereka sudah tidak makan selama tiga hari. Dan kata tetangganya lagi keluarga itu memang jarang makan teratur. Suami ibu itu pun cuma tukang becak.”

                 Semua yang mendengar perkataannya terdiam dan menundukkan kepala. “Saya menjadi marah, sedih, bercampur aduk. Ada apa dengan negeri kita yang tercinta ini yang banyak dikatakan orang luar negeri sebagai negeri yang kaya dan makmur karena sumber daya alamnya. Apalagi keluarga itu mati di daerah yang disebut sebagai lumbung pangan. Allohuakbar. Lalu ke mana para tetangganya? Lalu ke mana para aghniyanya?  Lalu ke mana saudara-saudara muslimnya? Lalu ke mana para aparat pemerintahnya? Lalu ke mana para wakil rakyatnya? Lalu ke mana para pemimpinnya? Tidakkah mereka semua akan dimintakan pertanggungjawabannya?” tanyanya sambil mengusap air mata yang deras mengucur.

                Mendengar dan melihat kegelisahannya tentang sebuah pertanggungjawaban, saya yang hadir dalam pertemuan pekanan itu menjadi teringat kembali sebuah perkataan yang diungkapkan oleh calon kandidat Gubernur Jawa Barat yang saat itu sedang bersilaturahmi di daerah kami. “Sungguh jabatan dalam pengertian kami adalah sebuah amanah yang nanti akan dimintakan tanggung jawabnya oleh Allah swt. Saya tidak memintanya dan sungguh banyak teman-teman saya yang tidak mau untuk dipilih menjadi calon karena besarnya amanah itu.”

“Hanya karena syuralah sehingga saya ditunjuk maju untuk memenangi dakwah ini. Sungguh, bapak-bapak, Ibu-ibu, nanti saya akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah di padang mahsyar nanti bila rakyat yang saya pimpin tidak bisa makan, rakyatnya tidak bisa sekolah dengan baik, tidak bisa diberikan jaminan kesehatan dan kesejahteraan. Bahkan jikalau ada kerbau yang kakinya keseleo karena jatuh di jalan yang rusak  berlubang, saya pun akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah.”

Saya merenung tentang peran kita sebagai manusia. Kita adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan bertanggung jawab dalam keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pegawai adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya.  

Saya mendengar kembali apa yang ditaujihkannya di pagi itu yang isaknya sudah mulai reda, “Saudara-saudaraku semua, saya mengajak pada diri saya sendiri dan Antum semua untuk memasang telinga, membuka mata, dan hati kita agar bisa merekam peringatan dini yang disampaikan oleh kerabat dan tetangga terdekat kita di lingkungan masing-masing agar tidak sampai terjadi hal yang demikian. Bahkan kita perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap mereka-mereka yang karena izzah atau kemuliaan dirinya tidak mau untuk tangannya berada di bawah. Merekalah yang seharusnya patut kita nafkahi.”

“Semoga ini bermanfaat bagi Antum semua dan menyeruak kesadaran kita agar senantiasa peduli. Dan saya tidak akan membiarkan ini terjadi pada kita, maka jikalau Antum punya kesulitan dalam masalah penghidupan jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi saya,” katanya mengakhiri.

                Ah, sungguh dengan keimanan yang kokoh dan akarnya menghunjam ke bumi akan berdiri sebuah bangunan kebaikan di atasnya. Bangunan penyebaran kemanfaatan kepada sesama. Maka agar bangunan itu senantiasa indah dipandang mata memperbaharui keimanan itu adalah sebuah keharusan. Karena iman di dada pada keturunan anak Adam adalah keimanan yang naik dan turun. Dan sensitivitas pada kebaikan, peka pada permasalahan sosial adalah berpangkal pada keimanan yang kokoh itu. Tidak akan mungkin bagi mereka yang tak mempunyai keimanan akan merasakan sebuah sensitivitas yang membuatnya menangis saat melihat fenomena sosial yang melanda negeri ini dan tidak tergerak untuk beraksi nyata.

                Kawan, senantiasalah waspadalah pada kehidupan kita akan sebuah kepastian bernama kematian. Siap atau tidak itu akan membawa kita pada suatu kenyataan amal apa yang telah kita persiapkan untuk menjadi teman kita di alam kubur sambil menanti kiamat yang entah kapan akan datangnya. Seorang yang berwajah rupawan dan itu adalah amal kebaikan kita di saat masih hidup atau sebaliknya? Maka meneguhkan keimanan kita adalah sebuah keharusan. Tak perlu bermuluk-muluk dengan amal yang besar. Sekadar memberi petunjuk kepada kebaikan maka pahala yang diraih sama saja dengan orang yang melakukan kebaikan itu, percayalah. Dan cukuplah sudah dikatakan bukan muslimin di kala kita tidak memperhatikan urusan kaum muslimin lainnya.

Maka tidaklah mungkin seorang beriman yang teguh ia akan tidak peduli kepada saudaranya yang lain. Tidaklah mungkin terjadi peritiwa di atas jikalau pemimpin yang ada di sana atau di sini begitu sadar dan paham tentang beratnya sebuah amanah. Aih…

Kawan, semoga kekayaan kita tidak akan sampai melupakan tetangga-tetangga kita yang kelaparan. Semoga butiran nasi ditambah lauk terlezat yang kita telan tidaklah sampai membutakan mata hati kita pada erangan saudara-saudara kita yang sakit dan tak punya uang untuk berobat ke dokter atau dirawat di rumah sakit. Semoga apa yang kita miliki membuat keberkahan bagi kita sendiri dan apatah lagi buat sekitarnya. Semoga menjadi pembelajaran.

 

Untuk Ibu Basse, Adik Bahir, dan Calon Adik, semoga Allah melapangkan Anda semua.

 

https://dirantingcemara.wordpress.com

dedaunan di ranting cemara

riza almanfaluthi

16:13 03 Maret 2008

  

Telan Obat Itu, Maka Anda Bahagia


Anda stres hari ini? Atau Anda bangun dengan kemarahan masih menggumpal di dada? Masih ada semangat kesumat yang menggelora dan butuh pelampiasan sebagai obatnya? Anda masih bertengkar dengan istri dan anak Anda? Ada kesedihan dan beban hidup yang amat berat yang kiranya sulit untuk dihapuskan segera? Sepertinya semua kesulitan hidup ada pada diri Anda hari ini? Dan Anda tidak bahagia?

Saya ingin berbagi pada Anda obatnya yang Insya Allah akan menghapus semua itu dengan segera, minimal menjadi awal dari runtuhnya bukit ketidakbahagiaan Anda itu. Anda mau tahu? Ya, saya yakin Anda ingin tahu sekali tentang itu.

Saya beritahu Anda sekarang: Berbuat baiklah. Anda mestinya bertanya: “Kapan saya harus melakukan perbuatan baik itu?” Sekarang juga, jangan ditunda-tunda. Anda ketika sakit tentunya ingin menghilangkan rasa sakit itu dengan segera entah dengan meminum obat penghilang rasa sakit, atau antibiotiknya. Kini semua ketidakhbahagian Anda itu adalah rasa sakit yang diderita oleh jiwa Anda. Maka kalau Anda ingin sembuh dari ketidakbahagiaan Anda sekarang, minum obat itu, berbuat baik.

Bukankah berbuat baik itu adalah paradigma memberi? Ya, dan paradigma Anda tentang Anda sakit maka Anda berhak untuk menerima segala pemberian kiranya perlu diubah. Yakinlah Anda tidak akan pernah “take” ketika Anda tidak pernah “give”. Kini perilaku “give” menjadi motor dalam menggerakkan Anda untuk menelan obat yang bermerek berbuat baik itu. Anda akan “take” berupa energi positif penyembuhan ketidakbahagiaan Anda. Kata seorang penulis buku terkenal, memberi itu sama saja artinya dengan memberikan kehidupan bukan saja kepada orang lain melainkan kepada diri Anda sendiri.

Dan Anda tidak perlu berpikir bahwa Anda harus terlebih dahulu melakukan sesuatu yang besar-besar dalam berbuat baik itu? Memang betul perbuatan baik yang besar setidaknya akan memberikan energi positif yang amat besar pula. Tetapi ketika Anda dalam keadaan darurat, dan belum bisa melakukan perbuatan baik yang amat besar itu, semisal sholat, puasa, zakat, dan haji—entah karena waktunya belum tiba dan hal lainnya—maka apa yang Anda harus lakukan sekarang juga?

Anda harus melakukan perbuatan baik yang kecil-kecil saja dahulu. Ya, kecil-kecil saja dulu. Apa contohnya? Tegakkan kepala Anda yang tertunduk seperti pecundang itu. Lengkungkan bibir Anda yang tertekuk ke bawah itu ke atas. Dan tebarkan kepada siapa saja yang Anda jumpai. Ya, tersenyumlah Anda. Sekarang juga. Dan Anda sudah menelan obat anti ketidakbahagiaan itu. Tidak keluar uang sedikit pun.

Obat yang bernama berbuat baik itu tidak seperti obat-obat yang lain. Ia tidak ada batas dosis maksimal seperti obat-obat materi yang lainnya, yang kudu Anda telan dua kapsul tiga kali sehari misalnya. Tidak, tidak seperti itu. Semakin sering obat bernama berbuat baik itu Anda telan, semakin sembuhlah Anda segera dan semakin sehatlah jiwa Anda. Itu baru obat berbuat baik yang kecil-kecil sahaja apalagi Anda menelan obat berbuat baik yang besar-besar?

Lalu, obat berbuat baik yang kecil-kecil apalagi yang harus Anda telan segera agar Anda mendapatkan kesembuhan supercepat lagi? Sebenarnya sangat banyak, semisal mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang membantu Anda dengan bantuan kecil sekalipun, membayar makan pagi teman Anda, membayar tiket tol mobil yang ada di belakang Anda, membayar semangkuk bakso yang sedang dimakan oleh Bapak Polantas di pinggir jalan, atau sedekah dengan uang recehan kepada pengamen, pemulung, dan anak-anak jalanan.

Juga menyapa SATPAM kantor Anda yang sampai detik ini masih tetap setia duduk dan menjaga di lobby kantor Anda, ucapkan permisi dan maaf ketika ada office boy atau cleaning service yang saat itu sedang mengepel lantai kantor Anda, dan masih banyak lagi lainnya. Tanggalkan segala baju ego dan telanjangkan diri Anda dari jas gengsi yang segitu mahalnya buat orang lain.

Setelah itu, setelah Anda melakukan semua perbuatan baik itu, rasakan obat itu beraksi dengan cepat, mengalir lewat pembuluh darah ke segala arah dan memacu hormon serotonin, hormon kebahagiaan Anda. Alhamdulillah.

Tapi bagi seorang muslim ada lagi yang lebih dari sekadar itu. Agar kebahagiaan itu terasa juga tidak hanya di dunia atau berorientasi akhirat, mau tidak mau Anda harus berniat melakukan karena Allah semata, tidak boleh melenceng sedikitpun, dan luruskan segera bila sudah melenceng bukan karena-Nya. Karena bila tidak di akhirat cuma mendapatkan debu dari obat berbuat baik itu. Tidak ada hasilnya sama sekali. Cuma kebahagiaan di dunia saja yang Anda dapatkan.

Percayalah, keikhlasan Anda ibarat air yang melancarkan jalannya obat untuk masuk ke dalam pencernaan Anda. Bahkan obat berbuat baik yang Anda masukkan ke dalam jiwa Anda dengan sebuah keikhlasan itu selain menimbulkan kebahagiaan, serta merta ia akan menjadi cadangan bantuan darurat untuk Anda. Tidak percaya? Dengarkanlah cerita berikut ini.

Andi, sebut saja namanya demikian, berangkat ke kantor dengan perasaan gundah gulana. Tadi pagi sebelum berangkat ia harus bertengkar dulu dengan istrinya. Ketidaksalingmengertian memahami persoalan membuat mereka tidak bisa menuntaskannya segera. Akibatnya Andi pergi dengan segumpal marah masih teronggok di dadanya.

Di sepanjang perjalanan ia masih memikirkan hal itu. Ia sadar ia harus keluar dari kemarahannya ini. Kemarahannya hanya membuatnya semakin tidak bahagia. Solusi yang sering ia lakukan saat mengalami hal ini adalah dengan melakukan sedekah. Ia percaya betul bahwa sedekah akan membuatnya terlepas dari segala persoalan dunia. Dan ia bertekad untuk sedekah pagi itu.

Lalu di tempat ia biasa membeli nasi bungkus sebagai bekal sarapannya, ia berhenti. Di sana sudah ada kawan lamanya yang sudah tidak sekantor lagi dengannya sedang membeli nasi bungkus itu. Dan binggo, sebuah kesempatan untuk bersedekah terbuka dihadapannya. Ia mengambil uang temannya yang sudah digeletakkan di meja penjual nasi itu dan menyerahkannya kembali kepada temannya.

“Tidak perlu, biar saya yang bayar saja,” ucapnya. Temannya menerima uang goceng itu dengan ucapan terima kasih lalu pergi meninggalkan si Andi yang masih menunggu nasinya dibungkus. Andi merasa bahagia dan sedikit demi sedikit kemarahan yang ia rasakan tadi pagi berangsur-angsur hilang. Energi positif itu mengalir ke seluruh tubuhnya. Selesai? Fragmen kehidupan Andi tidak berhenti di situ.

Beberapa saat meninggalkan warung itu, motor yang ia naiki tersendat-sendat jalannya. Ia tidak tahu mesin, ia mengira bahwa motornya itu cuma karena kehabisan bensin. Sedangkan tidak ada penjual bensin di sekitar tempat itu. SPBU pun masih jauh letaknya. Dan ia harus mengejar absen paginya agar nanti di awal bulan gajinya tidak terpotong. Ia sudah berpikir akan terlambat. Beberapa puluh meter dengan keadaan motor yang buruk itu, ia bertawasul dengan perbuatan baik yang ia baru saja lakukan. “Ya Allah jikalau saja perbuatan menolong teman saya itu ikhlas karenaMu maka tolonglah saya Ya Allah dan berilah aku jalan keluar atas semua masalah ini.”

Apa yang terjadi? Allah mengabulkan doanya lagi setelah permintaannya tentang kesempatan untuk bersedekah dikabulkan. Usai ia bertawasul ia mencoba untuk melihat ke bawah, ke bagian pengapian yang benar-benar belum ia lihat sedari tadi. Dan betul sekali, selang pengapian ke businya ternyata lepas! Ia pasang, dan motor itu bisa berjalan normal kembali. Andi bahagia, Andi ditolong, dan keluar dari masalahnya.

Sahabat, telan obat berbuat baik itu, Anda bisa lakukan sekarang juga, ikhlaskan ia, rasakan energi postif itu mengalir dalam jiwa Anda, Anda bahagia, dan jadikanlah ia cadangan Anda di dunia dan akhirat. Semoga.

Karena Andi dan saya telah merasakannya. Anda kapan kalau tidak melakukannya sekarang?

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10:20 06 Pebruari 2008

AMATEUR MASSEUR


AMATEUR
MASSEUR

Suasana masjid yang biasa disinggahi saat pulang kerja terlihat sepi ketika saya menyelesaikan sholat maghrib di sana. Ada marbot yang tergeletak tertidur di
bagian belakang, sedangkan di dekat mihrab ada seorang tua yang saya tahu ia adalah imam yang biasa memimpin sholat
berjama'ah di sana. Dari mulutnya terdengar dzikir tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Seperti sebuah senandung
yang meritmis ke seantero ruangan masjid.

Saat saya menyelesaikan doa
dan beristirahat sejenak sambil memandang ke seluruh penjuru ruangan, mata saya terantuk lagi pada orang tua itu.
Yang kini ia telah melepas kopiahnya lalu merebahkan dirinya ke lantai masjid yang berkarpet. Ah, ia kini telah
berbaring, tetap dengan dzikir dan tangan yang senantiasa menghitung-hitung biji tasbihnya. "Subhanallah,
walhamdulillah, Allohuakbar, walaahaulaa walaaquwwata illa billah…"

Saat ia berbaring itulah
entah kenapa hati saya trenyuh. Saya jadi teringat mendiang ibu saya. Lalu tiba-tiba muncul keinginan untuk
memijat kakinya. Ah, tapi kan ia
tidak kenal saya. Saya cuma musafir yang hanya singgah sebentar untuk sholat dan setelah selesai langsung cabut untuk
melanjutkan perjalanan lagi. Bagaimana tanggapan dia? Ah biarkan saja. Saya, Insya Allah, berniat baik. Dan saya
tetap bulatkan tekad untuk menghampirinya.


"Assalaamu'alaikum…" sapa saya.

"Wa'alaikum
salam," jawabnya sambil berusaha bangkit dari rebahannya itu.

"Pak, saya pijit kaki
Bapak yah?

"Memang situ tukang
pijat?

"Enggak sih Pak, cuma
ingin memijat kaki bapak saja. Ayo Pak, Bapak rebahan saja, teruskan dzikirnya." Saya melihat ada tanda tanya di
matanya, yang saya balas dengan sebuah permohonan dari mata saya.

"Situ mau kemana?
" tanyanya sambil merebahkan badannya kembali.

"Saya dari kantor mau
pulang pak."

Setelah itu ia tidak
bertanya-tanya lagi dan meneruskan kembali dzikirnya. "Subhanallah, walhamdulillah…" Dzikir yang terlantun
dengan nafas terengah-engah dari seorang kakek.

Tubuhnya kurus dan ringkih. Rambutnya telah memutih. Wajahnya penuh keriput dengan
satu mata yang tertutup sebelah karena keriputnya itu. Dan betis yang saya pijit pun adalah betis seorang tua yang
kecil dengan daging yang sudah melunak. Karenanya pelan-pelan saya memijatnya. Mulai bawah lutut hingga telapak
kakinya yang terasa dingin. Dengan teknik memijat seadanya yang saya tiru dari tukang pijat langganan.

Setelah beberapa saat saya memijat kakinya ia tiba-tiba menelungkupkan badannya.
Ia masih tetap berdzikir. Sepertinya ia merasakan keenakan dan nyaman. Dan saya tahu maksudnya. Kini sisi bawah
betisnya yang saya pijat dengan pelan, pelan, dan pelan.

Lalu setelah dirasa cukup lama olehnya, ia pun bangkit.

"Cukup, anak saya juga
tukang pijat. Sering dipanggil-panggil. Ia sering ke Jakarta untuk memijat. Makanya kalau saya lagi enggak enakan
badan, saya panggil dia," uajrnya.

"Bapak sehat kan sekarang?" tanya saya.

"Banyak penyakit,
namanya juga orang tua."

"Memang Bapak sekarang
umurnya berapa sih," tanya saya dengan polos.

"Sekitar delapan
puluhan lebih."

"Subhanallah… Bagaimana
supaya saya bisa seperti Bapak, berumur panjang?"

"Banyak bersyukur
saja," tukasnya. Jawaban yang amat berharga bagi saya.

Di tengah perbincangan
hangat saya dengan kakek itu, saya melihat di pelataran masjid seseorang telah menunggu saya dengan sabar.

"Pak, saya pamit dulu
yah. Istri saya sudah menunggu di luar."

"Oh iya, ya…" Ia
melongokkan kepalanya keluar mencari-cari sosok yang disebut saya itu.

Saya genggam tangannya dan
menciumnya. "Pak saya minta doanya."

"Ya, ya semoga selamat
sampai di rumah."

Saat itu saya melangkahkan
kaki keluar masjid dengan hati yang damai. Tenang sekali. Dan…indah nian.

***

Semenjak Ibu saya meninggal,
selalu ada pelajaran yang tumbuh setelahnya yang didapat oleh saya. Terutama kecintaan dan penghormatan saya kepada
orang-orang yang berusia lanjut. Dari sanalah saya sering mengambil sari pati kehidupan agar lebih bermakna. Mereka
mempunyai sesuatu yang tidak pernah saya dapatkan, yaitu pengalaman
menjadi tua
. Mereka sudah berpengalaman menjadi muda, saya juga. Tetapi untuk menjadi tua, saya belum. Hanya
sedikit tandanya saja yang mulai terlihat di rambut saya.

Dan maghrib itu, dari
sekadar menjadi tukang pijat amatir saya mendapatkan satu nasehat. Banyak bersyukur adalah kunci berumur panjang.
Bukankah bersyukur adalah suatu amal kebaikan. Benarlah apa yang dikatakan teladan kita rasulullah SAW kepada umatnya
yang ingin mempunyai umur yang panjang. Menyambung tali silaturahim dan memperbanyak
amal kebaikan.

Walaupun entah
dipanjangkannya umur kita itu adalah dalam bentuk kualitatif berupa penambahan taufik dan hidayah Allah untuk selalu
berbuat baik atau benar-benar secara kuantitatif. Dua-duanya tidak menjadi persoalan, asalkan diperpanjangkannya umur
kita itu adalah bukan sebagai bentuk istidraj [3].

Ikhwatifillah, akhir semua
ini saya mau berbagi kepada Anda semua. Buka hati dan sikap kita. Perbanyaklah silaturrahim, karena silaturrahim itu
mengenyangkan [4]. Mengenyangkan batin kita. Percayalah.

Allohua'lam
bishshowab.

***

"Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka
hendaklah ia menyambung tali silaturahmi," kata Rasulullah
SAW [1]. Di lain waktu beliau juga pernah berkata: "Tiada sesuatu yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan
tiada yang dapat menambah umur kecuali amal kebajikan.
Sesungguhnya seorang diharamkan rezeki baginya disebabkan dosa yang diperbuatnya." [2]

1.
Hadits Riwayat Bukhari 7/72, Muslim 2557, Abu Dawud 1693

2.
HR. Attirmidzi dan Al Hakim

3.
Berupa pemberian nikmat Allah kepada manusia yang mana pemberian itu tidak
diridhai oleh Nya karena digunakan untuk perbuatan maksiat kepada-Nya.

4.
Mengutip tagline blogger Edittag:
Mengedit itu Mengenyangkan.

Maraji' (bahan bacaan):

Resensi Buku Republika: Irfan Afandi; Resep Panjang Umur; 07 Desember 2003.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

10:52 10:55

TURUT BERDUKA CITA


Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,

telah berpulang ke rahmatullah Ny. Kastian Indriawati (Ummu Inayah) isteri dari Ketua MPR-RI, Dr. Hidayat Nurwahid, dini hari 22 Januari 2008 pada jam 00. 49 di Rumah Sakit Jogya International Hospital (RS JIH)

Kami dari keluarga dedaunan:

Abu Muhammad bin Munawir bin Hasan Albashri Almanfaluthi,

Ummu Haqi,

Maulvi Izzharulhaq Almanfaluthi,

Muhammad Yahya Ayyasy Almanfaluthi

mendoakan semoga ruh Ibunda kami diterima di sisi Allah, diampuni segala dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya, mendapatkan rahmat dari Mu ya Allah.  Semoga Allah memberikan kekuatan dan kesabaran kepada keluarga yang ditinggalkannya.

Kabulkanlah doa-doa kami ini ya Allah.

 

 

KUHADIAHI DIA DENGAN CIUMAN GANASKU


Di saat pulang kerja, atau pulang dari mana saja, atau di saat apapun, dan di saat kerinduan saya merayap ke sekujur tubuh pada anak-anak saya, maka seringkali saya meminta pada anak-anak saya untuk berkumpul setelah mereka mencium tangan saya.
“Haqi, Ayyasy ke sini! Abi bawa hadiah nih,” teriakku kepada mereka berdua. Mereka kalau sudah mendengar kata ‘hadiah’ girangnya bukan main.
“Hadiah apaan Bi?” tanya si bungsu, Ayyasy, yang biasanya paling antusias. Iya, dia yang paling duluan merebut kantong plastik hitam yang biasa tergantung di stang motorku kalau saya pulang dari kantor. Kayaknya dia seneng banget kalau ada saja yang dibawaku.
Kali ini tidak ada kantong plastik hitam itu. “Hadiahnya adalah cium abi dong,” jawabku. Serempak mereka berdua berkata, “yahhhh….” Walaupun demikian mereka tetap menciumku. Caranya adalah saya menyodorkan pipi kanan saya kepada mereka lalu mereka mencium pipi saya itu. Lalu menyodorkan pipi kiri saya dan mereka melakukan hal yang sama. Terakhir saya akan mencium bibir mereka masing-masing. Tapi, sejak Haqi sudah kelas dua, Ia sudah tidak mau lagi dicium bibirnya oleh saya. Geli kali…Untuk Ayyasy kuhadiahi dia dengan bonus ciuman ganasku pada pipinya, karena pipinya yang tembem itu loh, menggemaskan.
Di saat saya memberikan hadiah yang sebenarnya kepada mereka atau membawa oleh-oleh untuk mereka, maka seringkali saya meminta kepada mereka untuk menciumku. Setelah itu terasa ada kebahagiaan pada diri saya. Indah nian…
Dan tidak lupa pula saya selalu menanyakan sesuatu kepada mereka setelah kami saling berciuman, “Haqi, Ayyasy, sayang Abi enggak? Mereka akan menjawab serempak: “sayang.” Terkadang si Haqi menyeletuk dengan jawaban ini: “Enggak sayang.”
“Bener nih? Kalau enggak sayang Abi tak akan kasih uang jajan loh,” tanyaku. Dan biasanya Haqi akan menjawab: “Eh iya…iya Haqi sayang Abi.” Saya cuma tersenyum mendengar jawabannya itu.
Lagi-lagi setelah itu terasa ada kebahagiaan pada diri saya. Indah nian…
Saya merasakan setidaknya ini menjadi pelipur dari ketidakdekatan kami secara kuantitas karena saya harus berangkat kerja sebelum mereka bangun tidur dan pulang ke rumah saat maghrib telah menjelang.
Ciuman untuk mereka menurut saya adalah hadiah immaterial terbaik dari saya untuk mereka. Sebenarnya tidak hanya ciuman bisa kita berikan kepada mereka sebagai hadiah immaterial-nya, bisa pula berupa pujian, dekapan, membacakan buku cerita, main game bersama, mendongeng, menjawab segala pertanyaannya, atau ke masjid bersama-sama.
Ciuman untuk mereka bagi saya adalah upaya kecil saya menjalin kedekatan jiwa dengan anak melalui sentuhan kasih-sayang. Rasulullah Saw. biasa mencium putri dan cucunya. Bahkan terkadang Rasulullah Saw. turun sejenak dari mimbar untuk mencium cucunya Al-Hasan dan Al-Husain yang datang berlari kepadanya. Rasulullah Saw. juga pernah menggendong Umamah—cucunya dari Zainab binti Rasulullah Saw.—sedangkan beliau melakukan shalat.
Ciuman untuk mereka menurut saya, mengutip dari Muhammad Fauzil Adhim, adalah upaya kecil saya untuk bisa belajar—sekali lagi saya dalam proses belajar—menerapkan positive parenting. Apaan tuh? Intinya sih bagaimana menjadi orang tua yang baik buat anak-anak kita. Memangnya kita selama ini tidak baik kepada mereka? Memangnya ada orang tua yang jahat pada anaknya? Wuiihhh…di dunia yang sudah seperti daun kelor ini karena saking tidak ada batasnya, sudah sering kita mendengar kekejaman dan kebuasan yang dilakukan orang tua pada anak-anaknya. Tak perlu saya ceritakan di sini, cukup Anda, para pembaca, membaca dan mendengar dari media massa dan elektronik di setiap harinya.
Ciuman untuk mereka bisa juga menjadi sebuah kiat mengatasi kerewelan anak sebagaimana telah saya baca sebuah ceritanya dari Ibu Yana di Karet Kuningan, Setiabudi Jakarta Selatan berikut ini:
Saya kadang dibikin repot sama anak kedua saya, Himmah. Ia agak lain dari kakak dan adiknya. Mungkin karena ia anak tengah. Kata orang, anak tengah selalu ingin tampil beda. Bedanya, Himmah lebih bawel bin rewel dari kakak dan adiknya. Karena kerewelannya, sejak bayi hingga sekarang berusia empat tahun, Himmah tidak pernah jatuh dari tempat tidur. Tiap kali bangun tidur, ia selalu memberikan pengumuman. Bunyinya sederhana, tapi kencangnya luar biasa. “Huwaaaaaaaa!!!!”
Di usia empat tahun ini, saya seperti sudah terbiasa dengan Himmah. Ada kiat khusus buatnya, terutama kalau lagi rewel. Kalau rewelnya hampir mencapai maksimal, saya langsung memeluknya. Saya cium pipinya yang kiri, kemudian yang kanan. Setelah itu, saya cium juga dahinya. Setelah selesai, saya bilang sama Himmah, “Mah, Umi sudah cium kamu. Sekarang, kamu cium Umi, ya!” Nah, kalau Himmah mau membalas ciuman saya maka ia bisa menghentikan rewelnya untuk beberapa saat. Mana mungkin bisa nyium sambil rewel. Saya yakin, kerewelannya berbanding lurus dengan posisinya di tengah. Dan, cara itu memang efektif. Ngiri, kali!
Ciuman untuk mereka bagi saya adalah upaya kecil saya agar Allah senantiasa mengekalkan rasa kasih sayang dari hati saya, sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: Suatu saat Rasulullah saw mencium cucunya. Seorang pembesar bernama Aqra’ bin Habis At-Tamimi melihatnya, lalu berkomentar, ”Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak satu pun dari mereka yang pernah kucium.” Rasulullah saw lalu menjawabnya dengan ungkapan yang fasih, ”Apa dayaku bila Allah telah mencabut kasih-sayang dari hatimu!”
Yah, sekali lagi ciuman adalah penuntasan kerinduan saya kepada mereka. Walaupun bagi orang lain bisa jadi hal itu merupakan hal yang biasa dan sepele, bagi saya, ia adalah hal yang amat luar biasa dan berkesan bagi saya.
Dan ungkapan sayang mereka ibarat alunan seruling yang mengalun meritmis di sela-sela bukit-bukit dan lembah-lembah di tatar Pasundan. Indah dan menghanyutkan.
Pembaca, ciumlah anak-anakmu, rasakan kebahagiaan itu sebagaimana kebahagiaan yang saya rasakan. Semoga keindahan itu pun akan dirasa…

Maraji’:
1. Dan Anak Kita Penulis: Tim Buah HatiSumber: alhikmah.com, Senin, 28 Oktober 2002;
2. Promoting Attachment (Mohammad Fauzil Adhim), keluargamuslim.com, Kamis, 23 Januari 2003;
3. Kiat Mengatasi Anak Rewel, Ummigroup, Rabu, 25 September 2002

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
03:35 24 Oktober 2007

Cerita Mudik: 540


540
Adalah kilometer yang harus saya tempuh dalam perjalanan balik saya dari Tlogosari, Semarang ke Pabuaran, Bojonggede. Ini adalah pengalaman pertama dalam seumur hidup saya mengendarai sendiri mobil yang menempuh jarak ratusan kilometer. Waktu mudik di H-1, hari Jum’at (12/10) keluarga di Semarang belum memercayai saya untuk memegang sendiri kemudi sehingga harus mengirimkan orang terpercaya di keluarga kami untuk pegang kendali perjalanan mudik itu.
Ohya, perjalanan mudik kami saat itu terasa menyenangkan. Mengapa? Karena perjalanan kami lancar-lancar saja dan tidak terjebak kemacetan berjam-jam seperti yang diberitakan di malam sebelumnya atau di H-2 dan H-3-nya. Ini dikarenakan kami berangkat ba’da shubuh, tepatnya pukul 05.30 WIB di Jum’at itu. Coba kalau kami memaksakan diri untuk berangkat di malamnya, pasti kami terjebak di Tol Cikampek atau Tol Kanci yang padat merayap.
Dari pengalaman mudik dari Jakarta ke Semarang yang menarik itu saya bertekad bahwa nanti kalau balik dari Semarang ke Jakarta, saya sendiri yang harus menyupiri. Orang lain? No way. “Bener, nih?” tanya ipar saya setengah tidak percaya. “Insya Allah,” tegas saya.
Maka untuk mempersiapkannya, saya sering jalan-jalan menyusuri jalanan Semarang dan paling jauh ke rumahnya Mbah Redjo*) di sekitar Borobudur, Magelang dengan menempuh jarak 80 kilometer lebih dengan jalan dua arah yang sempit dan tidak selebar jalan pantura Jawa Barat. Apalagi terasa beratnya menaiki jalanan mendaki di sekitar Ungaran dan berliku di Bawen. Alhamdulillah berhasil juga sampai ke Magelang. Ini menambah kepercayaan diri saya bahwa saya bisa pergi ke Jakarta sendiri.
Agar perjalanan balik itu terasa nyaman dan mengasyikkan—sebagaimana slogan Polri dalam Operasi Ketupat tahun ini , Mudik itu Asyik—maka saya cuci mobil itu sebersih-bersihnya dan sekinclong-kinclongnya. Ruang dalamnya saya bersihkan dengan vacuum cleaner agar tidak ada sedikitpun kotoran yang tersisa. Saya isi bensin full tank dengan membayar Rp182.500,00. Tekanan ban saya cek terlebih dahulu, ini penting banget karena saya melihat bannya kok seperti kempes. Dan betul setelah dicek ternyata tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Tekanan ban depan yang seharusnya ukurannya 31 psi ternyata cuma 29 psi. Dan ban belakang tidak sesuai ukuran yang seharusnya 35 psi.
Akhirnya saat itu pun tiba, Sabtu (20/10) pagi, tepatnya pukul 06.30 WIB, setelah berpamitan, mengenolkan odometer agar bisa diketahui seberapa jarak yang telah kami tempuh, memasang seatbelt dengan benar, bersama-sama berdoa: bismillahi majreha wamursaha inna robbi laghofururrohiim, memperbanyak sholawat, berangkatlah kami berlima, istri saya, dua anak saya, dan saudara kami, ke Jakarta.
Dengan hanya bermodal papan petunjuk arah yang dipasang di sepanjang jalan pantura saya mulai melakukan perjalanan jauh ini. Yang harus saya waspadai adalah pengendara motor. Sudah cukup banyak berita yang saya dengar tentang banyaknya jumlah korban yang tewas kebanyakan dari para biker itu. Untuk itu saya selalu menjaga jarak, menjaga kecepatan—tidak pernah lebih dari 80 km/jam, dan senantiasa pergunakan lampu sen untuk berpindah jalur.
Batang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes saya lalui dengan lancar walaupun sempat tersendat saat melintasi kota Pekalongan karena jalan yang sempit, banyaknya pertigaan dan penyeberang jalan. Kami beristirahat di SPBU sebelum Tol Kanci. Setengah jam kemudian kami sudah melanjutkan perjalanan.
Menuju tempat bibi saya di Segeran, Indramayu, sengaja saya tidak lewat jalan Tol Kanci. Saya lewat kota Cirebon dan melalui jalan alternatif menuju Karangampel, rute jalan yang dulu kami lewati saat berangkat mudik. Jalanannya lebar 4 jalur, sepi dan berseparator. Benar-benar asyik!
Bertahun-tahun kami selalu lewat sini, tapi saya pikir, aneh juga kenapa banyak pemudik yang tidak mengambil rute bagus ini. Jalur konvensional Lohbener-Jatibarang-Palimanan-Kanci itu selalu padat dengan pemudik terutama pengendara motor dan rawan kemacetan. Seharusnya kalau mereka tahu betapa bagusnya rute ini yaitu Lohbener-Jatibarang-Karangampel-Cirebon, pasti mereka akan kesengsem untul melewatinya. Ohya, jangan ambil rute Lohbener-Indramayu-Karangampel-Cirebon karena jalan itu adalah jalan alternatif yang terlalu jauh memutar.
Sampai di tempat bibi saya jam setengah tiga sore. Beristirahat sebentar, makan-makan dulu, lalu diberi oleh-oleh mangga asli Indramayu yang tanpa obat dan pengawet, saya lalu berpamitan menuju Jatibarang untuk bertemu dengan bapak saya dan bersilaturahim dengan saudara-saudara saya di sana.
Di Jatibarang, saya sempat gregas-greges, masuk angin, pusing-pusing, dan berkeringat dingin. Saya paksakan untuk tidur sebentar, sekitar 10 menit. Ganti baju dan meluluri tubuh dengan minyak kayu putih dan balsam, sedikit banyak mampu mengusirnya.
Pukul 17.30 WIB dari Jatibarang, kami—yang sekarang berenam, ditambah adik saya yang ikut menumpang—melanjutkan kembali perjalanan balik ini. Suasana remang-remang, jalanan yang mulai padat, tidak sedikit pemudik motor yang tetap berkendara, penyeberang jalan yang sembarangan, pengemudi mobil yang tidak sabaran membuat saya harus menambah konsentrasi dan tetap waspada. Karena, lagi-lagi, berkendara malam adalah petualangan pertama saya. Dan saya bertekad untuk tidak beristirahat terkecuali di saat jelang tol Cikampek.
Kandanghaur, Pamanukan, Ciasem, Sukamandi sudah saya lewati. Perasaan sudah jauh kok Cikampek belum juga nyampe-nyampe. Dari Sukamandi masih 24 kilometer lagi. Phuihhhh….kaki sudah kaku minta istirahat. Di kilometer 19 sebelum Cikampek jalanan sudah macet, kendaraan mulai merayap. Ternyata di ujung sana ada truk gandengan yang mogok dan memakan setengah badan jalanan sehingga jalan yang tadinya dua jalur menjadi satu jalur.
Beberapa lama kemudian kami sampai juga di SPBU sebelum pintu tol Cikampek. Di sanalah kami beristirahat, makan mi seduh, dan sholat. Empat puluh lima menit kemudian tepatnya pukul 20.48 WIB kami melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami masuk tol Cikampek. Masih 140 kilometer lebih jarak yang harus ditempuh kami untuk sampai rumah.
Menurut saya, perjalanan di tol Cikampek sangat menegangkan. Situasinya tidak memberikan kesempatan kepada saya untuk bersantai-santai atau berkecepatan minimum. Semuanya seperti memburu sesuatu di depan. Saya sering diklakson bus AKAP atau ditembak dengan lampu jauh dari mobil yang di belakang, padahal saya telah sampai pada batas maksimum kecepatan yang ditoleransi. Dan selama tujuh puluh kilometer itulah saya kembali berkonsentrasi penuh hingga pintu tol JORR.
Di lintasan tol JORR, kepadatan pengguna jalan tol tidaklah sepadat tol Cikampek, begitupula dengan tol Jagorawi. Saya sudah bisa bernafas lega, tapi saya merasa sendirian sekarang, soalnya semua sepertinya sudah terlelap. Saya hanya ditemani muhasabah yang mengharu biru dari seorang ustadz di radio Dakta 107,0 FM. Tanda-tanda kantuk sudah mulai terasa dengan seringnya saya menguap, tapi saya tahan. Alhamdulillah berhasil hingga pintu tol Citeureup.
Lagi-lagi saya bisa bernafas lega. Kalau sudah keluar dari tol, perjalanan sampai ke rumah, Insya Allah, sudah tidak menegangkan dan tidak akan lama lagi. Syukurlah, tepat dua jam perjalanan dari Cikampek, dan tepat pada kilometer 540 akhirnya kami sampai di depan rumah.
Saya bersyukur Allah memberikan kemudahan pada saya untuk mengadakan perjalanan mudik dan balik ini dengan lancar, tanpa halangan, tanpa kurang suatu apapun juga. Perjalanan mudik tahun ini, bagi saya adalah pengalaman yang amat membahagiakan, menyenangkan, dan mengasyikkan.
Semoga ini adalah buah dari doa yang senantiasa saya panjatkan di ramadhan, keselamatan, kebahagiaan dunia akhirat. Dan sebenarnya tidak hanya perjalanan mudiknya itu, kontemplasi selama ramadhan itu pun membuat hati saya tenang dan bahagia. Suasana malam-malamnya, tarawih, qiyamullail, tilawah, silaturahim, penjagaan hati, mata, dan telinga, serta iktikafnya. Saya berharap semoga tidak hanya saya saja yang mengalaminya, Anda juga, para pembaca, mendapatkan sejumput keberkahan ramadhan itu.
Hingga terasa sekali kerinduan pada ramadhan tahun depan. Kerinduan agar ramadhan segera datang menghampiri kita. Meramadhankan hati kita, meramadhankan semuanya, meramadhankan masjid kita yang kini mulai sepi, dan meramadhankan perjalanan mudik balik kita. Cuma satu saja pertanyaannya, akankah kita menjumpai ramadhan tahun depan? Allohua’lam bishshowab.
Terimakasih pada semuanya.

*) Mbah Redjo ini bukan dukun, tapi mbahnya istri saya.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
04:47 21

SEMUANYA BERKAH


SEMUANYA BERKAH

Sungguh nikmatnya ukhuwah saya rasakan pada hari-hari ini. Betapa tidak permohonan baju layak pakai dan dana untuk kegiatan bakti sosial (baksos) yang saya edarkan melalui email dan forum diskusi mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa positifnya.
Dering telepon dan email balasan yang masuk banyak menanyakan teknis pengambilan baju layak pakai, bahkan hingga jam-jam terakhir juga masih ada yang menanyakan nomor rekening bank saya untuk bisa mentrasfer dana untuk kegiatan itu.
Dari Denpasar dikirim satu kardus penuh baju layak pakai. KPP LTO, Madya Jakarta Timur, hingga Kantor Pusat adalah tempat-tempat yang saya kunjungi untuk diambil baju layak pakainya. Dari teman-teman satu kantor pun banyak juga yang memberikan barang yang sama pula hingga terkumpul satu troli penuh. Tidak hanya itu dana yang terkumpul baik secara tunai ataupun melalui rekening bank adalah sebanyak Rp1.700.000,00. Dengan dana yang dikumpulkan dari teman-teman panitia yang lain terkumpul total dana empat juta lebih.
Subhanallah jumlah yang sangat luar biasa besarnya bagi saya dan teman-teman panitia. Hingga kami memutuskan untuk menambah paket sembako yang semula 150 paket seperti tahun yang lalu menjadi 200 paket sembako. Terdiri dari beras empat liter, satu kilogram minyak goreng curah, dua bungkus mentega simas, satu kilogram tepung terigu, dan satu kilogram gula pasir. Yang kalau diuangkan maka satu paket sembako itu seharga Rp38.500,00. Sehingga total dana yang harus kami sediakan adalah sebesar kurang lebih delapan juta rupiah.
Dengan dana awal 4 juta itulah kami membeli sembako ke pedagang sembako langganan baksos kami yang sudah tiga tahun ini menjalin kerjasama. Dengan bermodal kepercayaan, pedagang sembako mau menyediakan paket dan sisa uangnya nanti diberikan setelah acara baksos selesai. Kami optimis kekurangan dana yang ada akan bisa ditanggulangi dari hasil penjualan baju layak pakai.
Ohya, tidak hanya paket sembako yang bersubsidi yang kami berikan. Kami juga menjual sembako eceran dengan harga yang amat murah. Simas satu bungkus kami hargai seribu rupiah. Satu liter minyak goreng seharga tujuh ribu rupiah. Sekilo tepung terigu kami hargai lima ribu rupiah. Gula pasir empat ribu rupiah sekilonya.
Alhamdulillah, acara kemarin berlangsung dengan sukses. Terasa dan terlihat kegembiraan pada wajah-wajah mereka yang mendapatkan sembako gratis dan murah, pakaian yang amat layak pakai (terutama yang dari kantor pajak). Tetapi kami juga tidak bisa menutupi kekecewaan mereka yang tidak mendapatkan kupon paket sembako gratis dan murah itu.
Dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Karena semata-mata keterbatasan yang ada pada kami. Namun kami mempersilakan mereka untuk membeli baju layak pakai dan sembako eceran yang harganya pun jauh sekali dari harga pasaran. Bila mereka pun ingin memiliki baju layak pakai, tetapi tidak memiliki uang kami persilakan mereka untuk berbicara kepada panitia tentang ketidaksanggupannya, dan kami akan berikan apa yang mereka minta.
Pakaian yang amat layak pakai itu kami jual seharga Rp7000,00 sampai Rp500,00 (lima ratus perak). Bahkan ada yang kami bagikan gratis. Dan juga agar semua daerah yang ditengarai menjadi kantong-kantong kemiskinan mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan baju layak pakai ini, maka kami bersepakat untuk tidak menggelar semua barang itu di hanya satu lokasi saja.
Pada akhirnya ada teman lain yang bergerak untuk mengevaluasi hasil baksos tersebut. Dari hasil evaluasi itu kami juga bersepakat bila ada dana yang tersisa dari hasil keuntungan baksos tersebut, maka agar menjadi keberkahan bagi para donator yang telah menginfakkan hartanya, sebagian dana tersisa akan diberikan untuk menyubsidi kekurangan dana iktikaf. Pelaksanaan iktikaf ini merupakan acara yang yang pertama kalinya diselenggarakan untuk tiga desa yang dipusatkan di masjid di desa kami.
Yaitu untuk menambah kekurangan dana menu makanan berbuka puasa buat para shoimin dan juga sahur para peserta iktikaf. Insya Allah ini akan menjadi suatu keberkahan, karena pahala yang akan didapat adalah sama seperti pahala puasanya orang yang berbuka puasa itu. Subhanallah. Dan tidak ada sepeserpun untuk kami para panitia. Insya Allah semuanya berkah.
Dari hati yang paling dalam saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya bagi teman-teman yang telah menyumbangkan baju layak pakainya, seperti Ichal, Arya, Mbak Titik Minarti dan kawan-kawannya, Mbak Julianti, si Lay Erwinsyah M, Mbak Ardiana, Mbak Dewi Wiwiek, Mas Erfan, Ibu Mona Junita, dan Mas Purnomo di Denpasar.
Juga kepada teman-teman yang telah menginfakkan uangnya tunai ataupun transfer melalui rekening Bank Mandiri saya seperti (maaf saya menyebutnya dengan nama inisial, agar tidak mencederai niat baik ini) AR sebesar Rp500.000,00. Hamba Allah sebesar Rp100.000,00 (sampai saat ini saya belum mendapatkan konfirmasi nama donator ini). Ayr sebesar Rp250.000,00. Ich sebesar Rp100.000,00. Sebesar Rp250.000,00 telah disumbangkan oleh 6470. Mbak A*is*h sebesar Rp250.000,00 dan kawan lama saya yang menelpon di detik-detik terakhir: Mbak Listy sebesar Rp250.000,00.
Saya tidak bisa memberikan apa-apa kepada para donator sebagai balasannya . Saya hanya berharap semoga Allah senantiasa melimpahkan balasan kebaikan yang berlipat ganda atas semua kemurahan hati mas-mas dan mbak-mbak donatur. Sungguh bukan karena tulisan saya, sungguh bukan karena kenal dengan saya semua ini terjadi. Semuanya semata-mata karena Allah telah menggerakkan segumpal daging bernama hati untuk senantiasa sensitif terhadap kebersamaan dan kepedulian. Terimakasih.
Dan saya yakin bagi yang belum berkesampatan untuk turut serta dalam kebersamaan ini, bukan berarti tidak peduli, tapi karena semata-mata ada prioritas yang lebih dekat, yang lebih membutuhkan, yang lebih penting di daerahnya masing-masing. Semoga Allah senantiasa menjaga keistiqomahan kita semua. Amin.
Jazakalloh khoiron katsiro.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
13:26 24 September 2007
Sekadar laporan sekilas. Foto digital ada tapi belum saya terima.

Whenever, Whereever


21.03.2006 – Whenever, Whereever

Terpikir tidak sih bahwa dosa-dosa yang telah dan sering kita lakukan begitu banyaknya sehingga tidak bisa dihitung. Mungkin dosa-dosa besar memang tidak kita lakukan (amit-amit yee, dan semoga Allah melindungi kita dari hal yang demikian), tapi dosa-dosa kecilnya itu loh. Yang sedikit demi sedikit, disadari atau memang sengaja dilakukan, tahu-tahu bertumpuk dan sudah setinggi gunung, sedalam samudra.

Mulai dari kedengkian kepada teman atau tetangga, dendam tiada berkesudahan, mulut yang tidak bisa diredam untuk tidak menyakiti hati orang lain, mencela, mengoleksi kata-kata hinaan, menggunakan mata, tangan, dan kaki kita untuk melakukan keburukan-keburukan kepada sesama, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Lalu terpikir tidak sih pada sedikitnya kebaikan yang telah kita lakukan karena kita susah sekali untuk membuat wajah kita enak dipandang mata dengan senyum yang terindah tersungging di wajah. Atau menyapa saudaranya dengan salam rahmat dan perdamaian padahal seringkali mulut terasa kaku dan kelu.

Pula karena kita tidak pernah mengikhlaskan hati untuk memaafkan, berinfak dengan harta yang kita punyai di waktu lapang atau sempit, mendoakan orang tua dan keluarga, mengasihi yang lebih muda, menghormati yang labih tua, persangkaan yang baik, menyingkirkan duri, dan berjuta-juta kebaikan lainnya.

Maka terpikir tidak sih ketika mizan kebaikan dan keburukan di pertontonkan kepada kita kelak, kita akan terkejut bahwa sejuta kebaikan yang pernah kita lakukan dan persangkakan menjadi pemberat timbangan ternyata nihil dan terangkat pada sisi lainnya karena lebih banyak keburukan yang kita lakukan. Dan kita akan diberikan kitabnya dari belakang, sehingga kita akan berteriak: “celakalah aku”.

Lalu kita hanya mengandalkan dan berharap pada rahmat Allah, syafaat Rasulullah, dan orang-orang yang mati berperang di jalan Allah? Itu pun dengan izin Allah yang seringkali kewajibanNya yang diperintahkan kepada kita diabaikan begitu saja di dunia. Penyesalan pun sia-sia.

Masya Allah, selagi belum terlambat, semasa nafas masih menghela, sesaat waktu yang kian cepat berlari, begitu banyak ladang kebajikan terhampar di depan kita. Tidak perlu yang besar-besar dengan memberikan banyak hadiah kepada teman dan berinfak dengan seluruh harta kita, jikalau engkau belum mampu untuk melakukannya. Tidak memulainya terlebih dahuku dengan berjihad berperang di jalan Allah, selagi di dalam hati kita masih saja punya cinta dunia dan takut mati.

Yang kecil, saat ini, begitu banyak kebaikan yang telah ranum dan siap untuk dipetik oleh kita. Meluruskan niat salah satu contohnya saja sudah membongkar perangkap syirik yang siap memenjarakan kita. Yang kecil, saat ini juga.

Atau seperti teman saya ini, kerana menyadari bahwa masih sedikitnya kebaikan yang ia lakukan dan betapa banyaknya sarana atau wasilah yang ia miliki. Ia tidak segan-segan untuk selalu membagi-bagikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Karena ia ingat:

(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong[353] dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (Annisa:123)

Ia mengerti betul bahwa ketika ia membagi-bagikan kebaikan maka ada energi kebaikan yang ia akan dapatkan. Dan ia mengerti betul di kala keburukan yang ia sebarkan, maka ada energi keburukan yang akan memantul pada dirinya. Sehingga dengan ini ia akan berhati-hati dan berpikir dua kali untuk menyebarkan keburukan. Sehingga dengan ini pula ia bersegera dan bersemangat untuk melakukan kebaikan kerana pahalanya itu akan mengalir pada dirinya entah sampai kapan.

Maka contohlah ia yang selalu di setiap paginya, sesaat akan berangkat ke kantor, ia membersihkan jalan depan rumahnya dari segala sesuatu yang mengakibatkan orang lain sengsara, seperti batu-batu jalanan dan benda-benda tajam. Maka contohlah ia yang selalu membagi-bagikan peraturan perpajakan yang terbaru kepada para peserta milis yang membutuhkannya.

Contohlah ia—karena ketidakpunyaan yang dirasakannya—mengazamkan diri untuk tidak datang terlambat pada pertemuan di setiap pekannya, dan mengisi di tempat-tempat lain dengan hanya menaiki sepeda kayuh.

Contohlah ia yang berusaha untuk tetap memberikan senyuman yang terindah kepada istrinya setelah tiba di rumah walaupun di tengah lelah yang menghimpit kerana berdesak-desakan di atas kereta api sore hari. Contohlah ia yang tak pernah tega untuk mengucapkan kata-kata keras kepada anak-anaknya.

Contohlah ia yang tidak pernah memaki, menghina, ataupun mengeluarkan persangkaan buruk kepada saudara seimannya. Contohlah ia yang di dalam setiap doanya selalu meminta agar para tetangganya mendapatkan kebaikan dan rahmat dari Allah Yang Mahakaya. Contohlah ia yang tak pernah menuduh orang lain berbuat curang sebelum ia telah menunjukkan keempat jarinya pada dirinya sendiri lalu ia menasehatinya.

Ah…begitu banyak kebaikan yang bisa dilakukan teman-teman saya ini. Sungguh saya ingin meniru mereka, dengan menyebar banyak kebaikan. Kapan saja, di mana saja. Apa saya bisa? Mereka bisa, kenapa saya tidak?

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

masih saja seperti ini

10:45 21 Januari 2006