Kita Adalah Para Pengantre di Telepon Umum Kampus


Saya merasa terhormat untuk membaca satu per satu cerita yang ditulis oleh para penulis dalam buku ini. Mereka adalah para senior saya di Kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Program Diploma Keuangan (STAN Prodip Keuangan). Mereka lulus dari kampus itu pada tahun 1993, sedangkan saya baru masuk setahun kemudian di tahun 1994.

Seiiring dengan berjalannya waktu, saya mengenali dengan karib sekitar dua belas orang dari mereka. Ada Pak Harris Rinaldi, Pak Sardana, Pak Rachmat, Mbak Darmini, Pak Swartoko, Pak Widodo, Pak Bagyo, Pak Ikun, Pak Ali Saman Harahap, Mbak Rika, Mbak Nana Diana, dan Mbak Lusi. Masya Allah, Direktorat Jenderal Pajak itu memang sangatlah sempit.

Baca Lebih Banyak

Advertisement

[CATATAN SENIN KAMIS]: BORJUIS MINANGKABAU


[CATATAN SENIN KAMIS]: MERDEKA…!!!

 

    Pada zaman kemerdekaan dulu uluk salam dengan meneriakan kata merdeka dan mengepalkan tangan adalah sebuah kebanggaan. Ada sebuah rasa nasionalisme yang membuncah di dalam dada. Begitupula dengan memakai kopiah atau peci hitam sebagai simbol dari kaum intelektual dan kaum pergerakan nasional. Bahkan seorang komunis pun tanpa rasa segan untuk memakainya.

    Sekarang? “Tak laku…!” teriak bapak saya yang hidup di empat zaman ini: Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Kopiah pun hanya dipakai untuk seremonial belaka. Jika kopiah itu tampak bagus, yang memakainya adalah para pejabat yang baru dilantik atau para lelaki yang habis ijab kabul, entah yang pertama kali atau yang keberapa kalinya. Jika rada-rada kumal, yang pinggirannya terlihat kusam, ini berarti yang memakainya adalah orang yang suka ke masjid.

    Tapi teriakan bapak saya itu tak dapat mengusir pengakuannya bahwa kemerdekaan yang diraih dengan susah payah oleh para pendahulu telah bisa dinikmati oleh banyak kaum di negeri ini. Termasuk dirinya.

Tanpa memungkiri ketidakmerataan pembangunan di sebagian wilayah republik ini, hasil pembangunan benar-benar dirasakan oleh bapak saya dan para pelancong lainnya yang ingin mengisi liburan tahun baruan di tempat-tempat wisata Jawa Barat. Jalanan mulus dan pusat-pusat perbelanjaan penuh dengan pengunjung.

    Terpikir betapa kenikmatan yang dirasakan saat ini bermula dari perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang dan pendiri negara ini. Dan kebanyakan dari mereka yang berjuang itu tak merasakan hasil-hasil pembangunan. Entah karena dimakan usia atau karena nasib yang tak berpihak kepada mereka.

    Sekarang teriakan itu tak akan menggema lagi terkecuali di film perjuangan atau sinetron situasi komedi. Atau sekadar cerita yang didongengkan setiap malam sebagai pengantar tidur. Bahkan keluar dari mulut bau dan badan yang tak pernah mandi selama beberapa tahun di pinggir jalan karena orang menganggapnya “enggak genap”.

Seperti Mao Tse Tung, yang selama 27 tahun tidak pernah mandi dan sikat gigi hingga giginya menghitam. Bedanya adalah setiap hari ia meminta kepada para pelayannya untuk menggosok seluruh badannya dengan air hangat. Mao Tse Tung pun tidak gila. Cuma seorang megalomania tulen yang sanggup mengorbankan puluhan juta rakyatnya untuk memenuhi ambisinya. Teriakannya pun berbeda, yang ada adalah: ” bunuh! bunuh! bunuh!” kepada rakyat ataupun lawan-lawan politik yang mengkritik, melawan, dan membangkangnya.

Semangat yang bersenyawa dalam jiwa Aidit sebagai salah satu murid ideologi Mao. Padahal Aidit adalah pemuda yang disukai Hatta sebelum dirinya mulai beraliran kiri. Dan waktu membalikkan Aidit untuk menghujat Hatta sebagai Borjuis Minangkabau pada pidatonya di dalam sidang DPR, 11 Februari 1957.

Padahal pula ia adalah salah satu yang menculik Dwi Tunggal ke Rengasdengklok. Dan sempat membuat Soekarno marah pada dua hari sebelumnya. Soekarno berkata, “ini batang leherku”, kepada para pemuda yang mengutarakan keinginan dan mendesak agar dirinya segera mengumumkan proklamasi.

Lalu Soekarno, bertahun-tahun kemudian, tak mampu melepaskan ideologi revolusinya dengan tidak mengikutkan PKI sebagai pilarnya. Maka yang terjadi adalah hilangnya kemerdekaan untuk berbicara, berpendapat, dan berkeadilan. Masyumi dan PSI—dua partai anti-PKI—dibubarkan. Pada saat itu, tak cuma teriakan, “Merdeka…!!!”, tetapi juga dengan teriakan lanjutannya: “Hidup Bung Karno…!!!, Hidup Nasakom…!!!, Ganyang Masyumi…!!!”.

Teriakan merdeka sudah teredusir menjadi jargon untuk membasmi saudara sebangsa dan setanah airnya. Bukan lagi untuk penyemangat melawan Jepang ataupun Belanda.

Dan kini, untuk meneriakkannya pun tak lagi sebagai sebuah kebutuhan untuk melepaskan diri dari belenggu perasaan inferior sebagai bekas bangsa terjajah. Tetapi karena teriakan itu: “tak laku…!” kata bapak saya dengan keras. Meski untuk ditukar dengan sepersepuluh liter beras pun. Bahkan mereka yang sering menengadahkan kopiah buluk di jembatan penyeberangan atau lampu-lampu merah, memasang muka memelas sambil berkata: “Pak tolong pak saya belum makan…” adalah lebih mampu untuk mendapatkan berkilo-kilo beras pulen.

Harga diri dijungkirbalikkan oleh waktu tanpa mampu lagi berteriak: “Merdeka…!!!”

 

***

Salam buat kalian berdua: Hadi Nur dan Masyita Nur Palupi.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

16:47 03 Januari 2010

 

    
 

    Tags: masyumi, Mohammad hatta, soekarno, jepang, belanda, orde lama, orde baru, orde reformasi, aidit, mao tse tung, mao ze dong, psi, pki, dwi tunggal, rengasdengklok.

 

            


 

PALESTINA DAN SOEHARTO


PALESTINA DAN SOEHARTO (ABU SIGIT AL-KIMUSIKY)

Siang hari kemarin, berombongan kami dari Pabuaran menuju MONAS untuk bergabung bersama-sama ikhwah yang lain untuk menyuarakan solidaritas kami terhadap rakyat Palestina yang sampai tulisan ini dibuat pun masih saja dianiaya dengan kezaliman Israel La’natullah. Dari Pabuaran kami melalui tol Jagorawi dari Citeureup, lalu masuk ke tol dalam kota untuk nantinya keluar dari pintu tol Cempaka Putih. Dari sana kami lalu menuju Masjid Istiqlal untuk menunaikan sholat dhuhur.
Di pintu Al Fatah Masjid Istiqlal itulah saya merasakan getar-getar yang jarang saya rasakan kembali pada tahun-tahun terakhir ini. Yaitu keharuan untuk berkumpul dengan saudara-saudara seperjuangan. Dengan banyak pemuda yang memancarkan kesalehan dari wajah-wajah mereka. Yang berombongan datang dari daerah masing-masing entah dengan berkendaraan motor, mobil, angkutan umum yang disewa ataupun jalan kaki.
Bahkan saya melihat ada beberapa ikhwah yang walaupun tidak diberikan kesempurnaan secara fisik untuk berjalan tegap karena kakinya cacat, dapat meluangkan dirinya berpartisipasi di acara itu dengan berjalan jauh di tengah hari yang terik . Saya sungguh terenyuh dan terharu. Subhanallah, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Dua anak saya pun kiranya dapat menahan kelelahan mereka untuk berjalan jauh dari Masjid Istiqlal menuju Monas, lalu berdiam diri di sana selama setengah jam, dan kemudian berjalan kaki lagi menuju Kedubes Amerika Serikat dan kembali ke Masjid Istiqlal sekitar pukul 16.30 WIB.
Sedari dini saya mengajarkan kepada mereka yang kini sudah duduk di kelas dua SD dan TK B untuk turut merasakan solidaritas ini. Betapa mereka masih diberikan banyak kenikmatan di negeri Indonesia ini dengan makanan yang Insya Allah terjamin, bermain setiap saat tanpa diiringi dentuman senjata atau rudal yang meledak di tengah kerumunan mereka, pendidikan yang mencukupi, dan perdamaian yang ada. “Nak, sungguh beruntunglah kamu,” batinku.
Sudah saatnya mereka juga turut mensyukuri itu dengan merasakan panasnya berdemo , lapar dan haus mereka , karena betapa sengsaranya mereka di acara itu belumlah sebanding dengan keadaan yang dialami oleh saudara-sudara mereka di Palestina. Kelelahan itu semoga dibayar oleh Allah SWT. Bukti bahwa kami telah berbuat dengan upaya kami dan semampu kami. Daripada banyak yang teriak-teriak tapi tanpa aksi nyata. Semoga walaupun sebagian dari mereka tidak berdemo, juga turut mendoakan perjuangan rakyat Palestina di sana. Yang aneh adalah yang tidak ikut, yang tidak berinfak, yang juga tidak mendoakan mereka, tapi bisanya cuma mencela terhadap upaya saudara-saudaranya di sini untuk menyuarakan penderitaan rakyat Palestina. Sungguh Allah tidak tidur melihat mereka.
Lalu tidakkah kita terlalu perhatian dengan rakyat Palestina sedangkan rakyat Indonesia sendiri masih banyak yang kudu dibantu? Tentu kita tidak melupakan mereka, kita tidak melupakan saudara-saudara terdekat kita dulu, karena sesungguhnya sedekah terbaik adalah sedekah yang diberikan kepada saudara-saudara terdekat kita sendiri. Dan kita juga tidak perlu gembar-gembor kepada dunia bahwa kita telah berusaha membantu dengan sekuat tenaga mungkin untuk membantu negeri ini. Biarlah Allah saja yang melihat semua upaya itu. Tetapi yakinilah bahwa upaya itu Insya Allah sudah banyak dilakukan.
Setidaknya dengan upaya kemarin itu adalah upaya yang menyadarkan kepada masyarakat dunia dan bangsa Indonesia sendiri, bahwa tidaklah layak kita sebagai orang yang beriman mendiamkan kekejian itu berlangsung terus di hadapan mata dunia tanpa ada campur tangan dari negara lain untuk bertindak menghentikan semua itu. Ya, Negara lain cuma diam saja.
Setidaknya pula, upaya kemarin itu adalah upaya untuk membangkitkan semangat rakyat Palestina bahwa mereka tidak sendiri, masih ada saudara-saudara mereka yang berusaha bertindak nyata dan mendoakan mereka. Ini akan membuahkan efek positif yang luar biasa, memberantas segala rasa keputusasaan, dan membangkitkan jiwa kepahlawanan.
Jikalau, pada hari ini tidak ada sedikitpun pemberitaan demonstrasi kemarin karena bertepatan dengan meninggalnya Abu Sigit AlKimusuky (Bapak HM Soeharto), tidaklah mengapa, karena kami berdemo bukanlah untuk mengharapkan pemberitaan yang kiranya dapat memberikan celah ketidakikhlasan kami atas perjuangan ini. Sungguh, Allah mboten sare. Cukuplah menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah karena Ia maha menilai segala sesuatu dengan teliti.
Hari kemarin, Ahad (Minggu) tanggal 27 Januari 2008, adalah hari yang begitu mengguncang bagi saya. Di sanalah keharuan saya masih menyentak (yang sempat pesimis masihkah saya mempunyai keharuan itu saat melihat geliat semangat para ikhwah) dan keharuan atas sebuah ibrah (pelajaran) penting bahwa manusia yang pernah berkuasa dulu dengan segala yang dimilikinya tidak bisa berkuasa apa-apa terhadap sebuah kematian.
Ia gagah, dulu, tetapi ia lemah kini. Kaku. Tidak berdaya. Tinggal mempertanggungjawabkan semua perbuatan di dunianya. Saya mendoakan sosok kaku yang saya lihat di televisi itu dengan sebuah pengharapan semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni segala dosanya, biarlah Allah yang mengadili dengan pangadilan yang seadil-adilnya.
Sungguh sejak kematian ibu saya, saya menjadi orang yang sering terhanyut dengan perasaan. Saya menjadi orang yang mudah menangis melihat sosok yang terbujur kaku dengan kafan putih yang menutupi sekujur tubuhnya. Begitu pula kepada Anda wahai Abu Sigit Al-Kimusuky, mata saya berkaca-kaca. Sekali lagi, semoga Allah mengampuni Anda dan senantiasa Anda ditemani dengan amal-amal kebajikan di kubur di saat menunggu hari kiamat tiba.
Anda dan anak-anak Palestina, Ibu-ibu palestina, tua renta Palestina, para pemuda Palestina, pejuang-pejuang Palestina adalah tetap saudara bagi saya. Tidak berbeza. Anda sangatlah layak mendapatkan doa dari saya, sama dengan layaknya mereka di Palestina. Karena Anda adalah seorang muslim. Sama dengan mereka.
Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

12:08 28 Januari 2007