(Ilustrasi Engkong via segalainfo.com)
Engkong ini bapaknya Enyak yang sering bantuin di rumah kami. Kemarin, Engkong meninggal. Memang sudah waktunya. Umurnya sudah seratus tahun lebih—semoga Allah memberikan tempat yang terbaik buatnya. Lah, kalau yang masih muda mati emang bukan waktunya? Waktunya juga sih. Maksudnya yang tuaan udah kelamaan hidup di dunia begitu.
Tanah kuburan masih merah, kembang setaman belumlah juga layu, kendinya pun masih tegak berdiri, sang anak perempuan Enyak bilang, “Nyak kalau ngeliat kondisi kayak gini, jadi ngeri Nyak.”
“Ëmang nape?” tanya Enyak.
“Ya, ada orang mati yang hidup jadi tambah susah gini. Enyak kalau meninggal jangan sampe kagak ninggalin banda dah.” Banda itu maksudnya harta dalam bahasa Betawi Ora. Betawi Ora itu komunitas betawi yang tinggal di pinggiran kota Jakarta. Di Bekasi banyak, di Bogor bergelimang, Depok apalagi, di Tangerang juga sama bae.
Keluarga Enyak memang keluarga kurang mampu. Dan mereka berlima—anak-anaknya Engkong—harus menanggung semua biaya yang timbul dari pengurusan jenazah mulai A sampai Z, kalau dari AR namanya Account Representative.
Memang sudah keharusan sebagai anak yang berbakti. Juga sebuah kewajiban kifayah dalam hukum Islam, yang hidup harus mengurus yang mati. Dari zaman Jin Ifrit buang anak bahkan sebelumnya, kagak ada namanya yang mati bisa mandi sendiri, salat sendiri, jalan ke kuburan sendiri, sampai ngubur diri sendiri.
Kenapa anak perempuan Enyak a.k.a cucunya Engkong ini sampai mengeluh? Karena keluarga Enyak harus mempersiapkan duit banyak-banyak. Buat apa? Begini rinciannya.
Buat memandikan jenazahnya, ada kain kafan yang harus dibeli dan “ustad” yang HARUS dikasih kafalah. Semua bisa setengah juta lebih.
Setelah itu menyiapkan amplop yang diisi uang minimal 40 amplop. Buat siapa? Buat imam salat jenazah dan para makmum yang akan menyalatkan Engkong.
“Lah itu kan enggak ada aturannya dalam Islam Nyak,” sanggah saya.
“Ya, bagaimana ya, kalau enggak dikasih nanti kagak ikhlas. Kasihan Engkongnya,”kata Enyak.
“Nyak, kalau masalah ikhlas tidak ikhlas bukannya Engkong yang akan dipermasalahkan Allah, tapi yang salat jenazah tidak ikhlas itu yang akan bertanggung jawab,” kata saya yang tiba-tiba kayak ustad kondang di tv sambil kibasin sorban ke belakang.
Jadi ingat beberapa riwayat hadis tentang salat jenazah. Jika seseorang meninggal kemudian disalatkan oleh 40 orang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan memberikan syafaat mereka yang salat itu kepada jenazah. Dalam riwayat lain 100 orang, dan sebenarnya kalau tidak cukup 40 atau 100 orang jangan khawatir, karena dalam riwayat lain dan ulama telah menegaskan bahwa keutamaan itu bisa didapat dengan jumlah tiga shaf.
Enyak seharusnya tak perlu khawatir tentang ketidakikhlasan orang yang salat itu nanti akan menyebabkan berkurangnya jumlah 40 orang yang bertauhid dan memberikan syafaat kepada Engkong. Membentuk tiga shaf juga adalah sebuah keutamaan.
Dan kalau lingkungannya orang-orang saleh dan paham tentu tak akan mau ketinggalan dalam salat jenazah. Karena salat jenazah adalah sunnah yang disyariatkan baginda nabi. Tentu tidak akan susah juga buat mengumpulkan 40 orang di masjid. Dan ini balik juga kepada amalan orang yang meninggal itu selama hidupnya.
Terus usaha keluarga Enyak untuk mempersiapkan segalanya tidak berhenti sampai di situ. Habis penguburan, para pekerja gali kubur akan datang ke rumahnya Engkong buat makan, sebagai upah atas jerih payah mereka gali dan tutup kubur. Itu belum menghitung berapa rupiah yang dikeluarkan untuk sepetak tanah di pekuburan.
Lalu malamnya ada tahlilan sampai tujuh hari. Terutama di malam ketiga dan malam ketujuh, keluarga Enyak harus mempersiapkan sesuatu yang istimewa terutama besek berisi nasi dan lauk pauk buat para tetangga yang ikutan tahlilan. Kalau enggak istimewa jadi omongan. Sekarang zamannya Kentaki Pred Ciken (baca: ayam goreng tepung) dan bukannya iwak gesek.
Ya Robb, keluarga Enyak sudah ngasih juga sudah syukur ya. Jangan sampai dah ya, kalau ikut tahlilan di orang kaya zikirnya kencang dan mantap kayak suara Singa, tapi kalau di rumah orang miskin kayak burung emprit. (Ketahuan banget nih sering nonton Nat Geo Wild).
Saya tidak mempermasalahkan masalah tahlilannya. Tapi jangan sampai tuh yang ketiban musibah jadi repot dan malah nambah keblangsak. Yang hadir harus tahu diri. Nah, parahnya ada di bagian setelah ini. Apaan tuh?
Keluarga Enyak harus menyiapkan duit minimal tujuh juta rupiah. Buat apa Cang? Buat orang yang ngaji semalaman habis tahlilan sampai jam empat pagi sampai hari ketujuh. What? 7 Juta? Itu pun harga nego keluarga Enyak kepada cucunya Engkong yang kebetulan sebagai pimpinan grup ngaji itu. Kok sama Engkong sendiri kasih tarif juga yak?
Jadi kebiasaan di kampung itu, kalau ada yang meninggal pun dingajiin. Biasanya malah tempatnya di kuburannya yang meninggal. Tapi ini di rumah. Berapa lama? Ya tujuh hari. Dingajiin buat ngademin yang dikubur kata mereka. Wallahua’lam.
“Nyak sepengetahuan saya itu enggak wajib Nyak dalam Islam. Enggak ada. Enggak kudu begitu,” kata saya. “Kagak dingajiin juga kagak napa. Yang penting anak-anaknya doain terus. Jangan sampai lupa. Jangan sampai putus. Itu kewajiban anak kepada orang tuanya yang udah meninggal,” tambah saya.
“Ya gimane lagi. Itu sudah tradisi,” kata Enyak. Demikianlah, sekelumit cerita. Benar kata orang yang pernah beresin rumah saya. Dia bilang, “Kalau mati kudu siap uang 20 juta buat begituan di kampung onoh.” Orang kaya mungkin tidak akan jadi masalah, karena mereka mampu dan jadikan itu semua sebagai sarana sedekah. Sedekah atas nama yang meninggal itu pasti sebuah amal yang diterima. Perbuatan yang disyariatkan.
Tapi kalau sudah ditiru dan sudah dijadikan kewajiban oleh orang yang tidak mampu, jadinya masalah. Mereka yang ditinggal jadi pusing dan enggak jadi kuat ekonominya sehabis meninggalnya almarhum. Kasihan anak yatimnya. Dan sayangnya dilestarikan juga oleh ustad-ustad yang setidaknya mengerti di kampung itu. Di sini saya enggak akan bahas masalah bidáh atau tidak bidáh. Itu urusan orang lain dulu yah.
Ayat yang yang saya kutip di bawah bukan karena saya hapal, saya hanya kopas doang. Dan ini mengerikan.
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. 4 : 9).
Saya jadi membandingkan dengan kegiatan mereka dalam kegiatan ta’áwun (tolong menolong) di komplek saya terutama di lingkungan saya ketika ada yang meninggal. Ada dana kematian dari RT yang dikumpulkan setiap bulan untuk biaya ambulan atau tanah pekuburan. Ada infak buat yang meninggal dan juga biaya penguburan dari RW. Tenda dan masalah administrasi disediakan gratis oleh RW.
Ibu-ibu PKK juga ikut turun tangan kasih sumbangan. Orang masjid menyiapkan kain kafan, peralatan pemandian, keranda, dan urusan salat jenazah secara gratis. Ibu-ibu RT menyiapkan minuman dan makanan selama tiga hari buat yang kemalangan. Semuanya turut membantu.
Masalah ini masih jadi PR buat umat. Masalah yang enggak ada harus diada-adakan. Ini Problem dengan huruf p besar. Jangan sampailah kita menyusahkan keluarga yang sudah meninggal. Sebaliknya bantu. Bantu. Bantu. Kuatkan anak-anak yatim mereka, bukannya morotin. Bagen dah ah…
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang merusak.” Lalu Rasulullah SAW menyebut salah satu di antara ialah: “Memakan harta anak yatim.” Ngeri dah ya…
Semoga Enyak tak tambah pusing karena sudah diminta sama anak perempuannya buat ninggalin banda sebanyak-banyaknya.
Islam itu mudah. Itu saja sih. Oh iya ini bukan kajian ilmiah. Jauhi debat. Kuatkan ukhuwah.
***
Riza Almanfaluthi
Hamba Allah yang fakir cinta-Nya
Tapaktuan, 7 Januari 2015.