Narasi Digdaya Para Pendiri Bangsa


Setiap tanggal 14 Juli pegawai Direktorat Jenderal Pajak memperingati Hari Pajak. Pada 2020 ini peringatan sudah memasuki tahun ketiga. Namun, ada yang membedakan dari peringatan pada tahun-tahun sebelumnya.

Hari Pajak 2020 diperingati dalam situasi dunia masih dilanda wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Sampai dengan dibuatnya artikel ini, data dari situs web wordometers.info menunjukkan lebih dari 18,4 juta penduduk dunia terinfeksi Covid-19 dengan jumlah kematian lebih dari 696 ribu jiwa.

Imbasnya pada perekonomian dunia yang jatuh menuju resesi. Resesi ekonomi adalah situasi terjadinya penurunan nilai pertumbuhan ekonomi riil menjadi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.

Karena dampak Covid-19 ini, beberapa negara terperosok ke dalam jurang resesi seperti Jerman, Amerika Serikat, Singapura, dan Korea Selatan. Bila dunia mengalami situasi resesi dalam waktu lama maka terjadilah depresi ekonomi. Tidak ada yang menghendaki demikian. Begitu pula Indonesia yang pemerintahnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak biasa untuk mencegah Indonesia jatuh ke dalam resesi.

Suasana keprihatinan ini ditangkap Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dalam arahannya kepada peserta upacara Hari Pajak 2020 yang digelar di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta pada 14 Juli 2020 lalu.

Suryo menjelaskan, sampai dengan akhir semester satu tahun 2020, penerimaan pajak masih mengalami tekanan yang cukup berat akibat pandemi Covid-19.   Pada   semester satu, total   penerimaan   pajak (selain Pajak Penghasilan Minyak dan Gas) menunjukkan capaian sebesar Rp513,65 triliun atau sebesar 44,02% dari target penerimaan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 dengan pertumbuhan -10,53% (selain Pajak Penghasilan Minyak dan Gas) atau -12,01% (termasuk Pajak Penghasilan Minyak dan Gas).

Meski masih mampu menahan pertumbuhan ekonomi tetap positif di triwulan satu, Suryo menambahkan, nyatanya pelemahan usaha dan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan dua tahun 2020 ini terjadi cukup dalam sehingga berdampak juga pada penerimaan pajak.

Pada saat pandemi seperti ini, maka peran krusial dari pajak adalah fungsi regulerend-nya, fungsi yang mengatur, mendorong, dan mengendalikan kegiatan ekonomi menjadi lebih baik lagi. Pada kondisi normal, fungsi budgeter pajak yang lebih dominan, saat pajak menjadi sumber penerimaan utama untuk membiayai belanja-belanja pemerintah.

Fungsi regulerend pajak di saat pagebluk ini diwujudkan melalui berbagai stimulus perpajakan yang diberikan pemerintah kepada para pelaku usaha. Tujuannya untuk meringankan beban para pelaku ekonomi di saat yang tidak bersahabat. Mereka dapat tetap hidup dan menggerakkan roda perekonomian. Ekonomi tumbuh dan pajak kembali ke fungsi budgeter-nya, untuk menjalankan roda pemerintahan dan merawat republik.

 

Selepas Perang Dunia Kedua

Sama seperti ketika republik ini masih menjadi embrio dan belum lahir. Masa itu adalah tahun ketiga pendudukan Jepang di tanah air. Berita-berita yang tersebar pada saat perang dunia kedua itu adalah kekuatan poros Jerman dan Jepang mulai melemah. Tokoh-tokoh nasional mendapatkan kabar itu walaupun informasinya sengaja ditutup-tutupi dan dibatasi oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Menyadari hal itu, para tokoh membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Mereka mengagendakan banyak rapat untuk membahas pendirian sebuah bangsa yang merdeka dengan segala pernak-perniknya.

Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat bertanya waktu itu, “Jika kita hendak membentuk negara apakah dasarnya?” Soekarno menjawab dengan pidato pada 1 Juni 1945 yang kemudian disebut sebagai pidato lahirnya Pancasila.

Esoknya BPUPKI menjalani masa reses sampai 9 Juli 1945. Para anggota memanfaatkan masa reses itu dengan membentuk panitia kecil untuk membahas sembilan hal penting yang harus ada dalam Undang-Undang Dasar. Salah satunya hal keuangan negara.

Dalam rapat panitia kecil itu, Radjiman mencetuskan bahwa pemungutan pajak harus diatur hukum. Kemudian rapat berlanjut pada 14 Juli 1945 untuk merancang Undang-Undang Dasar. Akhirnya, pasal 23 ayat (2) rancangan Undang-Undang Dasar menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.”

Sebuah pernyataan yang sangat lugas dan mencerminkan pandangan ke depan dari para pendiri bangsa bahwa untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka, berdiri di atas kaki sendiri, maka bangsa itu harus mampu mengurus dirinya sendiri, menjalankan administrasi pemerintahannya dengan baik, dan menyejahterakan rakyatnya. Jalannya dengan mengumpulkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara.

Pajak pun harus diatur dengan hukum, diatur dengan undang-undang agar pajak tidak menjadi alat pemerintah memeras rakyatnya, agar sejarah kekacauan di nusantara karena pajak yang tinggi tidak terjadi lagi. Begitulah narasi digdaya di benak para pendiri bangsa.

Setelah itu terdengar berita Amerika Serikat mengebom Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Tidak sampai sepekan, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 15 Agustus 1945. Kesempatan itu tidak disia-siakan, dua hari kemudian Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Belum juga pemerintahan Republik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan itu selesai memperbaiki administrasi pemerintahan yang morat-marit, datang Belanda mendompleng pasukan sekutu ingin menguasai kembali nusantara.

Indonesia terbelah. Ada daerah yang dikuasai Belanda dan ada daerah yang dikuasai Republik. Perbedaannya tampak sangat mencolok. Kebutuhan rakyat seperti sabun di daerah yang dikuasai Belanda—Jawa Barat, Semarang, dan sebagian Jawa Timur—mulai dipenuhi melalui impor dan infrastruktur seperti jalan-jalan mulai diperbaiki. Sedangkan di daerah Republik rakyatnya hidup dalam kemelaratan dan serba kekurangan. Sampai kemudian hari melalui perjuangan segenap bangsa, rakyat Indonesia kembali berdaulat.

Saat ini, perjuangan itu ditempuh lagi, namun dengan cara yang berbeda. Tidak lagi dengan angkat senjata, melainkan sebagai aparatur pajak yang di saat pandemi ini tidak akan mau mengompromikan nilai-nilainya sedikit pun serta sebagai wajib pajak yang mendukung usaha pemerintah mengatasi gejolak ekonomi melalui kontribusi pembayaran pajak. Tidak semua wajib pajak terpuruk, bukan?

***
Riza Almanfaluthi
Artikel ini ditulis untuk media APBN Kita dan telah terbit serta bisa diunduh di sini.
Gambar terkait rapat BPUPKI diperoleh dari Google.

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.