540
Adalah kilometer yang harus saya tempuh dalam perjalanan balik saya dari Tlogosari, Semarang ke Pabuaran, Bojonggede. Ini adalah pengalaman pertama dalam seumur hidup saya mengendarai sendiri mobil yang menempuh jarak ratusan kilometer. Waktu mudik di H-1, hari Jum’at (12/10) keluarga di Semarang belum memercayai saya untuk memegang sendiri kemudi sehingga harus mengirimkan orang terpercaya di keluarga kami untuk pegang kendali perjalanan mudik itu.
Ohya, perjalanan mudik kami saat itu terasa menyenangkan. Mengapa? Karena perjalanan kami lancar-lancar saja dan tidak terjebak kemacetan berjam-jam seperti yang diberitakan di malam sebelumnya atau di H-2 dan H-3-nya. Ini dikarenakan kami berangkat ba’da shubuh, tepatnya pukul 05.30 WIB di Jum’at itu. Coba kalau kami memaksakan diri untuk berangkat di malamnya, pasti kami terjebak di Tol Cikampek atau Tol Kanci yang padat merayap.
Dari pengalaman mudik dari Jakarta ke Semarang yang menarik itu saya bertekad bahwa nanti kalau balik dari Semarang ke Jakarta, saya sendiri yang harus menyupiri. Orang lain? No way. “Bener, nih?” tanya ipar saya setengah tidak percaya. “Insya Allah,” tegas saya.
Maka untuk mempersiapkannya, saya sering jalan-jalan menyusuri jalanan Semarang dan paling jauh ke rumahnya Mbah Redjo*) di sekitar Borobudur, Magelang dengan menempuh jarak 80 kilometer lebih dengan jalan dua arah yang sempit dan tidak selebar jalan pantura Jawa Barat. Apalagi terasa beratnya menaiki jalanan mendaki di sekitar Ungaran dan berliku di Bawen. Alhamdulillah berhasil juga sampai ke Magelang. Ini menambah kepercayaan diri saya bahwa saya bisa pergi ke Jakarta sendiri.
Agar perjalanan balik itu terasa nyaman dan mengasyikkan—sebagaimana slogan Polri dalam Operasi Ketupat tahun ini , Mudik itu Asyik—maka saya cuci mobil itu sebersih-bersihnya dan sekinclong-kinclongnya. Ruang dalamnya saya bersihkan dengan vacuum cleaner agar tidak ada sedikitpun kotoran yang tersisa. Saya isi bensin full tank dengan membayar Rp182.500,00. Tekanan ban saya cek terlebih dahulu, ini penting banget karena saya melihat bannya kok seperti kempes. Dan betul setelah dicek ternyata tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Tekanan ban depan yang seharusnya ukurannya 31 psi ternyata cuma 29 psi. Dan ban belakang tidak sesuai ukuran yang seharusnya 35 psi.
Akhirnya saat itu pun tiba, Sabtu (20/10) pagi, tepatnya pukul 06.30 WIB, setelah berpamitan, mengenolkan odometer agar bisa diketahui seberapa jarak yang telah kami tempuh, memasang seatbelt dengan benar, bersama-sama berdoa: bismillahi majreha wamursaha inna robbi laghofururrohiim, memperbanyak sholawat, berangkatlah kami berlima, istri saya, dua anak saya, dan saudara kami, ke Jakarta.
Dengan hanya bermodal papan petunjuk arah yang dipasang di sepanjang jalan pantura saya mulai melakukan perjalanan jauh ini. Yang harus saya waspadai adalah pengendara motor. Sudah cukup banyak berita yang saya dengar tentang banyaknya jumlah korban yang tewas kebanyakan dari para biker itu. Untuk itu saya selalu menjaga jarak, menjaga kecepatan—tidak pernah lebih dari 80 km/jam, dan senantiasa pergunakan lampu sen untuk berpindah jalur.
Batang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes saya lalui dengan lancar walaupun sempat tersendat saat melintasi kota Pekalongan karena jalan yang sempit, banyaknya pertigaan dan penyeberang jalan. Kami beristirahat di SPBU sebelum Tol Kanci. Setengah jam kemudian kami sudah melanjutkan perjalanan.
Menuju tempat bibi saya di Segeran, Indramayu, sengaja saya tidak lewat jalan Tol Kanci. Saya lewat kota Cirebon dan melalui jalan alternatif menuju Karangampel, rute jalan yang dulu kami lewati saat berangkat mudik. Jalanannya lebar 4 jalur, sepi dan berseparator. Benar-benar asyik!
Bertahun-tahun kami selalu lewat sini, tapi saya pikir, aneh juga kenapa banyak pemudik yang tidak mengambil rute bagus ini. Jalur konvensional Lohbener-Jatibarang-Palimanan-Kanci itu selalu padat dengan pemudik terutama pengendara motor dan rawan kemacetan. Seharusnya kalau mereka tahu betapa bagusnya rute ini yaitu Lohbener-Jatibarang-Karangampel-Cirebon, pasti mereka akan kesengsem untul melewatinya. Ohya, jangan ambil rute Lohbener-Indramayu-Karangampel-Cirebon karena jalan itu adalah jalan alternatif yang terlalu jauh memutar.
Sampai di tempat bibi saya jam setengah tiga sore. Beristirahat sebentar, makan-makan dulu, lalu diberi oleh-oleh mangga asli Indramayu yang tanpa obat dan pengawet, saya lalu berpamitan menuju Jatibarang untuk bertemu dengan bapak saya dan bersilaturahim dengan saudara-saudara saya di sana.
Di Jatibarang, saya sempat gregas-greges, masuk angin, pusing-pusing, dan berkeringat dingin. Saya paksakan untuk tidur sebentar, sekitar 10 menit. Ganti baju dan meluluri tubuh dengan minyak kayu putih dan balsam, sedikit banyak mampu mengusirnya.
Pukul 17.30 WIB dari Jatibarang, kami—yang sekarang berenam, ditambah adik saya yang ikut menumpang—melanjutkan kembali perjalanan balik ini. Suasana remang-remang, jalanan yang mulai padat, tidak sedikit pemudik motor yang tetap berkendara, penyeberang jalan yang sembarangan, pengemudi mobil yang tidak sabaran membuat saya harus menambah konsentrasi dan tetap waspada. Karena, lagi-lagi, berkendara malam adalah petualangan pertama saya. Dan saya bertekad untuk tidak beristirahat terkecuali di saat jelang tol Cikampek.
Kandanghaur, Pamanukan, Ciasem, Sukamandi sudah saya lewati. Perasaan sudah jauh kok Cikampek belum juga nyampe-nyampe. Dari Sukamandi masih 24 kilometer lagi. Phuihhhh….kaki sudah kaku minta istirahat. Di kilometer 19 sebelum Cikampek jalanan sudah macet, kendaraan mulai merayap. Ternyata di ujung sana ada truk gandengan yang mogok dan memakan setengah badan jalanan sehingga jalan yang tadinya dua jalur menjadi satu jalur.
Beberapa lama kemudian kami sampai juga di SPBU sebelum pintu tol Cikampek. Di sanalah kami beristirahat, makan mi seduh, dan sholat. Empat puluh lima menit kemudian tepatnya pukul 20.48 WIB kami melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami masuk tol Cikampek. Masih 140 kilometer lebih jarak yang harus ditempuh kami untuk sampai rumah.
Menurut saya, perjalanan di tol Cikampek sangat menegangkan. Situasinya tidak memberikan kesempatan kepada saya untuk bersantai-santai atau berkecepatan minimum. Semuanya seperti memburu sesuatu di depan. Saya sering diklakson bus AKAP atau ditembak dengan lampu jauh dari mobil yang di belakang, padahal saya telah sampai pada batas maksimum kecepatan yang ditoleransi. Dan selama tujuh puluh kilometer itulah saya kembali berkonsentrasi penuh hingga pintu tol JORR.
Di lintasan tol JORR, kepadatan pengguna jalan tol tidaklah sepadat tol Cikampek, begitupula dengan tol Jagorawi. Saya sudah bisa bernafas lega, tapi saya merasa sendirian sekarang, soalnya semua sepertinya sudah terlelap. Saya hanya ditemani muhasabah yang mengharu biru dari seorang ustadz di radio Dakta 107,0 FM. Tanda-tanda kantuk sudah mulai terasa dengan seringnya saya menguap, tapi saya tahan. Alhamdulillah berhasil hingga pintu tol Citeureup.
Lagi-lagi saya bisa bernafas lega. Kalau sudah keluar dari tol, perjalanan sampai ke rumah, Insya Allah, sudah tidak menegangkan dan tidak akan lama lagi. Syukurlah, tepat dua jam perjalanan dari Cikampek, dan tepat pada kilometer 540 akhirnya kami sampai di depan rumah.
Saya bersyukur Allah memberikan kemudahan pada saya untuk mengadakan perjalanan mudik dan balik ini dengan lancar, tanpa halangan, tanpa kurang suatu apapun juga. Perjalanan mudik tahun ini, bagi saya adalah pengalaman yang amat membahagiakan, menyenangkan, dan mengasyikkan.
Semoga ini adalah buah dari doa yang senantiasa saya panjatkan di ramadhan, keselamatan, kebahagiaan dunia akhirat. Dan sebenarnya tidak hanya perjalanan mudiknya itu, kontemplasi selama ramadhan itu pun membuat hati saya tenang dan bahagia. Suasana malam-malamnya, tarawih, qiyamullail, tilawah, silaturahim, penjagaan hati, mata, dan telinga, serta iktikafnya. Saya berharap semoga tidak hanya saya saja yang mengalaminya, Anda juga, para pembaca, mendapatkan sejumput keberkahan ramadhan itu.
Hingga terasa sekali kerinduan pada ramadhan tahun depan. Kerinduan agar ramadhan segera datang menghampiri kita. Meramadhankan hati kita, meramadhankan semuanya, meramadhankan masjid kita yang kini mulai sepi, dan meramadhankan perjalanan mudik balik kita. Cuma satu saja pertanyaannya, akankah kita menjumpai ramadhan tahun depan? Allohua’lam bishshowab.
Terimakasih pada semuanya.
*) Mbah Redjo ini bukan dukun, tapi mbahnya istri saya.
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
04:47 21
Salam perkenalan , ketemui saya dan ikuti pendedahan dari gadis Indon , saya akhirnya terjeba di lembah maksiat, maaf ya tuan webmaster, salam perkenalan,
LikeLike