Mata yang Mengirim Doa Harapan


Burung burung jangkung terbang rendah
hinggap di bulu matamu yang senja
bersihkan daki-daki penerbangan
selinapkan kepala di sayap-sayap waktu

Kini,
burung-burung malam tatapi tanah
terbang dari hitam matamu yang terjaga
sesekali ia menengok kepada bulan
ia yang setengah dan malu-malu .

di awal hari dan petang
di setiap keberangkatan
matamu mengirim doa harapan
agar burung-burung itu
selalu dalam lindungan Tuhan
tak mati di tangan pemburu

fii ‘amanillaah

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
6 Agustus 2017

Pelawatan Kopi: Pahit dan Asamnya



Liang lambung saya begitu parah waktu itu. Saya sampai merasakan organ tubuh itu dikorek-korek dengan selang yang dijulurkan dari lubang hidung di sebuah rumah sakit. Tapi syukurnya tidaklah separah seperti yang dirasakan Presiden Amerika Serikat ke-42 William Jefferson Blythe III ketika mengidap Gastro-Esophageal Reflux Disease yang sampai bikin nyeri di dada—ini denotasi sebenarnya.

Gaya hidup tak sehat meraja seperti ini: makan telat, pemuja mi instan, dan penikmat kopi sasetan. Untuk yang terakhir itu kemudian berakhir dengan tragis ketika saya dipindah ke surga kopi: Aceh. Tepatnya di Tapaktuan, Aceh selatan. Sejak itu saya mengenal sejatinya kopi paling nikmat di dunia. Saya begitu menghamba kepada segelas dua gelas kopi manis.

Continue reading Pelawatan Kopi: Pahit dan Asamnya

Bunga Untukmu


 

sekuntum bunga untukmu wahai pejuang
lemparkan batu intifadha
balikkan tank-tank penuh jemawa

selarik doa untukmu wahai pejuang
hunjamkan seru takbir
bungkam bibir-bibir yang mencibir

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Pancoran, 28 Juli 2017

Bulan Meleleh


20398856_1389534627749873_1174440574955028480_n

Pada suatu malam, candra yang sama-sama kita pandangi, meleleh ke bilik-bilik ingatan lalu berenang ke perigi jantung, terjun ke sela-sela jari dan sebidang bahu yang kausebut pelukan.

Pada suatu jarak, cahayanya yang sama-sama kita indrai, melesat lari menjadi pelangi, meluluh di wajah yang begini, menyublim menjadi gemetar di sekujur tubuh yang kausebut kerinduan.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Stasiun Kalibata, 28 Juli 2017

Ah-ha Moment: Sebesar apa Percikanmu?



Di suatu pagi yang padat dengan sinar rawinya masih majal, saya baru saja keluar dari mulut Commuter Line di Stasiun Kalibata. Saya bentangkan aplikasi perbincangan yang sudah berjejal dengan banyak risalah itu. Salah satunya pesan gambar yang terkirim dalam sebuah grup. Saya membuka gambar itu dan langsung tersentak hingga sanggup menghentikan langkah saya yang bergegas.

Kemudian saya mencari bangku kosong yang ada di peron stasiun, saya melirik jam, dan saya pikir masih cukup waktu untuk tiba di tempat pendidikan dan pelatihan yang sedang saya ikuti selama sepekan ini. Semua neuron yang ada di balik tempurung kepala saya seperti tepercik api, terpantik.

Continue reading Ah-ha Moment: Sebesar apa Percikanmu?

Berbincang-bincang dengan Sepatu 



Setiap malam, aku sering terbangun. Bangkit dari ranjang dan berbincang-bincang dengan sepatu. Benda yang sering kuajak lari-lari di pagi hari, tak pernah kurang 5 kilometer jauhnya. Kalau aku lelah sebenarnya dia pun lelah. Kalau dia aus sebenarnya aku pun aus. Haus apalagi. Haus dan aus hanya sekadar dibedakan dengan satu huruf saja.

Ia tak mengeluh walau setiap hari disakiti oleh kaki-kakiku dan perasaan-perasaanku pada saat lari. Karena semakin gelap perasaanku maka semakin keras kupacu kecepatan lariku. Ia juga tak mengaduh kalau sekujur tubuhnya dilumat kerasnya aspal, dimandikan becek jalanan, atau sekadar diwangikan kotoran kucing.

Hanya satu, yang kutahu, dia tak mau, berkawan sepi kelabu, di sudut rumah yang berdebu: tempat persemayaman terbaiknya. Sepi, katanya, sangatlah jahat. Ia sering merampas ingatan dan melemparkannya ke masa nan purba, “Ia hitam. Makanya aku minta kaubangun dan menemaniku setiap malam.”

Malam ini malam yang sama dengan malam-malam sebelumnya. Aku bangun dan menemaninya. Kali ini ia terburu nafsu menyergapku, “Mimpi buruk lagi?” Yang kujawab dengan anggukan penuh dentum kesungguhan. “Pagi ini kita lari. Tak perlu cepat-cepat. Barangkali yang kaubutuhkan adalah jarak. Semakin jauh kau berlari, barangkali akan mampu membuatmu melupakan mimpimu,” kata sepatu.

Mendengar ia bicara demikian, kupikir memang ia benda terbaik yang pernah ada diciptakan oleh dunia. Bersama-sama denganku, hati-hati, pelan-pelan, sangat terinci, membuat perencanaan kejahatan tak terperi. Membunuh mimpi-mimpi. Mimpi-mimpi yang buruk. Seburuk-buruknya peninggalan. Peninggalan sehitam malam.

Makanya setiap malam, aku sering terbangun. Bangkit dari ranjang dan berbincang-bincang dengan sepatu.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Pancoran, 25 Juli 2017

Nyalakan Senyum di Parasnya


[Dalam puisi ini tidak ada ilustrasi gambar, sebagai penghormatan terhadap foto lampau sosok perempuan cilik yang mestinya ada di laman ini]

 

Pagi ini, aku tidak lari pagi.
tak baik lari pagi sehabis begadang
selalu soal meninggalkan endapan:
kantuk dan ingatan tentangmu.
apalagi aku lelah berlari-lari
dalam mimpi-mimpiku yang meriang
dalam mimpi-mimpimu yang intan
bahkan dalam lamunan yang buru-buru

kepada pohon nangka di depan rumah
pagi ini aku ucapkan selamat
semalam kau hebat
dari dahanmu kautumbuhkan
perempuan cilik
hanya saja,
untuk nanti malam aku berpesan
nyalakan senyum di parasnya
barangkali dengan beberapa tetes hujan dan sedikit kabut,
bekerja keraslah
semoga kau tak mengantuk
pagi ini kita ngopi dulu.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Di bawah pohon nangka, 23 Juli 2017

Hatimu yang Kawah Merapi


Di malam yang sibuk mengunyah dirinya sendiri, aku bertanya kepada bayang-bayang seorang gadis kecil yang sedang memegang sebuket bunga. Bunga yang langsat. “Apa kabarmu, Bayang? Sudah kautemukan  duniamu yang kecil itu?” Lalu kau hanya bisa tertawa dan aku terkantuk-kantuk karena ketiadaan segelas kopi yang mengangeni. Dalam hatimu yang kawah Merapi kutemukan lava sedih bergolak-golak. Tinggal menunggu waktu, “Meletuslah.” Bersama kehilangan dan ingatan yang buru-buru. Aku, biarlah menjadi endapan yang tertinggal.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 18 Juli 2017

Cobalah untuk Tabah


Duh, cobalah untuk tabah pada kisah yang belum juga selesai dibaca atau didengar. Karena ketabahan itu merupa angin yang bertiup mengidamkan daun-daun jatuh di musim dingin, pelan-pelan.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam,  17 Juli 2017

Fiksi atau Ilusi?


 

Kepada para penyair, engkau selalu membawa-bawa perasaanmu, lalu membuka kitab tafsir mahadewa, menebak-nebak palung hati, seakan-akan lirik-lirik magis puisi itu adalah pahit manis hidup para penyair yang paling nyata.

Kepada para penulis cerpen, roman, atau apa pun kausebut, engkau tanggalkan perasaanmu, kaupendam kitab tafsir, tak sedikit pun kau mengira bahwa isi cerita itu adalah potongan sejati kisah hidup penulisnya.

Ini tak adil. Kaumudah sekadar menyebut kisah para penulis itu sebagai fiksi, lalu mengapa kausulit menyebut puisi para penyair itu sebagai ilusi?

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 23 Juli 2017