Kepada para penyair, engkau selalu membawa-bawa perasaanmu, lalu membuka kitab tafsir mahadewa, menebak-nebak palung hati, seakan-akan lirik-lirik magis puisi itu adalah pahit manis hidup para penyair yang paling nyata.
Kepada para penulis cerpen, roman, atau apa pun kausebut, engkau tanggalkan perasaanmu, kaupendam kitab tafsir, tak sedikit pun kau mengira bahwa isi cerita itu adalah potongan sejati kisah hidup penulisnya.
Ini tak adil. Kaumudah sekadar menyebut kisah para penulis itu sebagai fiksi, lalu mengapa kausulit menyebut puisi para penyair itu sebagai ilusi?
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 23 Juli 2017