Di suatu pagi yang padat dengan sinar rawinya masih majal, saya baru saja keluar dari mulut Commuter Line di Stasiun Kalibata. Saya bentangkan aplikasi perbincangan yang sudah berjejal dengan banyak risalah itu. Salah satunya pesan gambar yang terkirim dalam sebuah grup. Saya membuka gambar itu dan langsung tersentak hingga sanggup menghentikan langkah saya yang bergegas.
Kemudian saya mencari bangku kosong yang ada di peron stasiun, saya melirik jam, dan saya pikir masih cukup waktu untuk tiba di tempat pendidikan dan pelatihan yang sedang saya ikuti selama sepekan ini. Semua neuron yang ada di balik tempurung kepala saya seperti tepercik api, terpantik.
Saya butuh sedikit waktu untuk memandangi gambar itu dengan saksama dan mencari kata-kata yang tepat untuk menjadi diksi terbaik dalam gambar itu. Beberapa saat kemudian dua paragraf itu tercipta.
Tentang percikan api saya jadi teringat dengan apa yang ditulis oleh Sarah Fitzhenry dalam blognya. Tulisan itu berjudul The Power of Poetry. Ia membuka tulisan itu dengan sebuah pertanyaan hipotesis berupa, “Apakah ada peran puisi saat ini dalam kehidupan anak muda?”
Ia lalu menceritakan sebuah momen saat ia menjadi moderator di suatu acara untuk Festival Buku Virginia. Menurut Sarah, puisi saat ini tetap sama kuatnya dengan puisi-puisi di waktu lampau. Puisi masih memiliki kekuatan untuk menyihir ribuan orang dalam sebuah aula besar. Dan itu berkat puisi Kwame Alexander yang memercikkan api, meniup bara, serta menyalakan api inferno.
Sarah bertanya kepada Kwame apakah dia memiliki saran untuk audiensi yang belum memiliki “ah-ha moment” mereka dengan puisi? Atau dalam bahasa sederhana saya, saran apakah yang terbaik buat mereka yang tidak menyukai puisi sama sekali? Sarah juga menanyakan apakah puisi hanya untuk beberapa orang—yang terpandai, terkaya, sesuatu yang paling—saja? Sarah melihat Kwame berpikir sejenak, alis berkerut, menggenggam scarf-nya yang berpola kartu perpustakaan kuno.
“Berapa banyak dari Anda suka puisi?” Kwame bertanya kepada penonton. Hampir seribu siswa kelas empat, lima, dan enam berpaling kepada teman sebelah dan guru mereka. Mereka merasa tidak yakin. Bahkan Sarah sampai berpikir haruskah ia mengatakan yang sebenarnya? Apakah ia akan membuat Kwame Alexander marah jika ia tidak mengangkat tangan?
Mendengar pertanyaan Kwame, beberapa di antara mereka mengangkat tangan mereka ke udara. “Berapa banyak dari Anda yang tidak yakin tentang itu?” Kwame melanjutkan sambil mengamati ruangan saat beberapa tangan lagi terangkat.
“Dan sejujurnya, berapa banyak dari Anda yang tidak menyukai puisi? Tidak mengerti?” Kwame masih melanjutkan pertanyaannya, berdiri, dan berjalan menuruni tangga dari atas panggung ke lantai karena sebagian besar tangan terangkat dengan kasar.
“Baik. Aku mendengarmu.”
Kwame berdiri di tengah lantai, di tengah kerumunan orang, dan menggulung lengan bajunya. Orang-orang duduk dalam kesunyian, pun dengan posisi antisipasi. Dan kemudian, dari ingatannya, Kwame menampilkan sebuah puisi dari novel yang memenangkan The John Newbery Medal pada tahun 2015, berjudul The Crossover.
The John Newbery Medal itu penghargaan sastra yang diberikan oleh Asosiasi Layanan Perpustakaan untuk Anak-anak (Association for Library Service to Children), sebuah divisi dari American Library Association (ALA). Sebuah penghargaan yang diberikan kepada penulis yang berkontribusi paling menonjol buat sastra anak-anak.
Puisi Kwame, Josh Bell, lebih enak kalau dinikmati dalam bahasa aslinya. Berikut puisinya itu:
Josh Bell is my name
but Filthy McNasty is my claim to fame.
Folks call me that ’cause my game’s acclaimed,
so downright dirty, it’ll put you to shame.
My hair is long, my height’s tall.
See, I’m the next Kevin Durant, LeBron, and Chris Paul.
Remember the greats, my dad likes to gloat:
I balled with Magic and the Goat.
But tricks are for kids, I reply.
Don’t need your pets, my game’s so fly.
Mom says,
Your dad’s old school, like an ol’ Chevette.
You’re fresh and new, like a red Corvette.
Your game so sweet, it’s a crepes suzette.
Each time you play it’s ALLLLLLLLLLLLLLLL net.
If anyone else called me fresh and sweet,
I’d burn as mad as a flame.
But I know she’s only talking about my game.
See, when I play ball, I’m on fire.
When I shoot, I inspire.
The hoop’s for sale, and I’m the buyer.
Sarah menyaksikan kalau irama Kwame membuat para penonton terengah-engah. Setelah selesai, Kwame perlahan menurunkan mikrofonnya, matanya melesat dari wajah ke wajah saat penonton perlahan terbebas dari linglung mereka.
Dan kemudian auditorium dipenuhi jeritan. Sembilan ratus pasang sepatu kets kecil menabrak lantai saat mereka berdiri, tangan terangkat tinggi di udara, berlomba-lomba paling tinggi, dan memompa tinjunya.
Kwame berdiri dan menunggu jeritannya mereda. Begitu murid-murid kembali duduk di kursi mereka, dia berkata dengan sederhana, “Okay. That was a poem. Now tell me the truth, who here loves poetry?
Setiap tangan di ruangan itu naik.
Puisi Kwame memercikkan api gelora di auditorium itu. Dan untuk pagi itu, saya mendapatkan “ah-ha moment”, sebuah percikan yang menyulut dinamit keberpuisian saya. Sebuah gambar yang tertinggal dari sebuah kegiatan Internalisasi Corporate Values. Dua paragraf tentang “Senja dan bunga”.
Kalau kaumau,
kaupilih yang mana:
senja yang akan musnah
atau kembang yang akan layu?
Aku hanya bisa menyediakan sebentang lanskap buatmu,
untuk kau pecundangi dengan matamu yang telaga,
setiap hari, dari teras rumah,
.
.
.
.
.
.
.
.
.
…………
di tepian pantai nan sepi.
“Ah-ha moment” itu seringkali saya temukan sejak April 2017 sampai sekarang, setelah sekian lama menyepi dari Oktober 2016.
Sekarang, “Ah-ha moment”-mu apa? Sebesar apa percikanmu? Buatmu, puisi itu untuk apa? Seberguna apa puisi itu untukmu? Atau saya sodorkan pertanyaan seperti ini: “Pilih senja yang akan musnah atau kembang yang akan layu?”
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Pancoran, 27 Juli 2017
Foto kaver dari mrschureads.blogspot.co.id
Foto anak-anak mengangkat tangan diambil dari nerdybookclub.files.wordpress.com
Foto “senja dan kembang” milik Nono Sungkono dari ICV KPP Pratama Surabaya Tegalsari