Liang lambung saya begitu parah waktu itu. Saya sampai merasakan organ tubuh itu dikorek-korek dengan selang yang dijulurkan dari lubang hidung di sebuah rumah sakit. Tapi syukurnya tidaklah separah seperti yang dirasakan Presiden Amerika Serikat ke-42 William Jefferson Blythe III ketika mengidap Gastro-Esophageal Reflux Disease yang sampai bikin nyeri di dada—ini denotasi sebenarnya.
Gaya hidup tak sehat meraja seperti ini: makan telat, pemuja mi instan, dan penikmat kopi sasetan. Untuk yang terakhir itu kemudian berakhir dengan tragis ketika saya dipindah ke surga kopi: Aceh. Tepatnya di Tapaktuan, Aceh selatan. Sejak itu saya mengenal sejatinya kopi paling nikmat di dunia. Saya begitu menghamba kepada segelas dua gelas kopi manis.
Tak cukup sarapan di pagi hari dengan satu dua bungkus nasi lemak tanpa ditemani dengan satu plastik kopi seharga tiga ribu perak saja. Ini berarti dalam takaran gelas akan bisa memenuhi dua sampai tiga gelas. Oh, nikmatnya. Pagi hari menjadi sempurna seperti dara jelita menemukan dan membeli buku puisi idamannya dari uang saku yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit.
Apatah lagi kalau ada rapat-rapat kantor, gelas-gelas berisi cairan hitam terhidang dengan rupawan. Sangat menggoda iman untuk menyesapnya. Ingat, kopi ini bukan kopi sasetan itu, tetapi benar-benar racikan kopi mahanikmat yang dibeli di warung kopi sederhana yang bertebaran di jalan utama Tapaktuan. Minum kopi memang sudah menjadi gaya hidup masyarakat Aceh sejak lama.
Setahun berlari dengan nafas pelari Kenya, tiba-tiba saya sudah menginjak tahun kedua di kota Naga itu. Tubuh saya membengkak seperti kodok raksasa yang pernah ditemukan di Sulawesi Selatan. Di titik itulah, tepatnya di November 2014, saya merasakan semacam ah-ha moment untuk berubah atau serupa lampu menyala berpijar di benak kepala Raden Mas Said yang terjaga dari khalwatnya di tepian sungai. Saya menemukan olahraga yang tepat buat saya, menyengaja lari yang benar-benar untuk membunuh sepi, dan mencoba gaya hidup sehat.
Gaya hidup sehat ini berarti makan dijaga, tidak begadang, dan mencoba makan buah. Saya sudah menyingkirkan nasi dari menu harian saya dan menjauhi kopi dengan tidak menyesapnya sama sekali. Saya tidak bisa diajak begadang di kedai kopi lagi. Berat memang tapi bisa.
Kalaupun saya meminum kopi, saya hanya meminumnya sedikit. Atau saya tidak mengaduknya karena sudah cukup manis. Kebiasaan di sana para penjual kopi selalu mengisi seperempat isi gelas kecil dengan gula pasir. Manis sekali. Ini jelas berbahaya.
Dan 24 bulan saya bertahan dengan semuanya itu. Definisi jelasnya saya sudah tiga tahun lamanya di Tapaktuan ini. Sembari itu penikmatan atas kopi pun mulai berubah. Saya sudah mulai berani memesan kopi pahit. Walau seringkali saya merasakannya dengan getir dan dengan wajah yang menahan rasa pahit. Bahkan setelah puasa kopi itu, entah kenapa lambung saya menjadi sensitif lagi. Perih berulang kali bangkit dari peraduannya. Maka saya masih bisa menahan diri untuk tidak banyak-banyak minum kopi.
Lalu surat keputusan mutasi menyingsing. Saya dipindahkan ke ibu kota untuk mengurusi hal yang berkaitan dengan situs web institusi pengumpul uang negara: Direktorat Jenderal Pajak. Herannya kebiasaan ngopi tetap berlanjut. Kopinya pun tetap kopi pahit, tanpa gula. Lidah dan perut saya semakin berdamai dengan pahit dan asamnya kopi.
Mulanya melulu menghabiskan sisa-sisa kopi bubuk Aceh bawaan dari Tapaktuan tetapi kemudian berlanjut walau tidak sampai mencandu. Hanya sebatas membuat kopi sendiri saja. Lama-kelamaan berubah tingkat keasyikannya. Pada April 2017 keasyikannya itu meninggi. Saya mulai menikmati kopi di kafe. Kemudian saya merasakan fase: kalau tidak ngopi maka otak dan lidah akan memberikan semacam peringatan. Di mana dan kapan saja.
Tidak berhenti di situ, perjalanan spiritual perkopian itu berlanjut. Saya mulai dikenalkan dengan peracikan kopi dengan biji kopi yang baru digiling. Kata mereka, para penikmat kopi, rasa kopi akan berbeda kalau biji kopinya langsung digerus dan diseduh.
Awalnya, ketika saya akan membuat kopi seduh dari kopi bubuk yang ada di laci, teman saya melihatnya. Dia kaget kalau saya ternyata suka kopi juga. Saya kemudian diajak ke tempat pertapaan para penggila rokok dan kopi di kantor kami.
Ruangannya hanya berukuran enam meter persegi saja dengan dipenuhi barang-barang tak berguna tetapi selalu ada tilam untuk sekadar membasmi rasa kantuk di siang hari. Dan, ini yang penting, di sana sudah tersedia pembuat kopi elektrik dengan bermacam-macam biji kopi dari pelbagai daerah di nuswantoro. Wow…
Akhirnya setiap pagi saya bertandang ke ruangan itu untuk sekadar membasahi lidah dengan kepahitan. Lalu saya bercerita kepada teman saya itu kalau saya sering mengantuk sewaktu mengendarai mobil dan sayangnya tidak ada kopi giling yang bisa dinikmati di sepanjang perjalanan, hanya ada kopi sasetan yang bergula itu.
Teman saya mengusulkan ide begini, “Saya terbiasa membawa biji kopi yang sudah dimasak dan memakannya kalau mengantuk.”
“Mengunyahnya langsung?”
“Iya.”
Satu minggu yang lalu saya mencobanya. Niatnya sekadar membawa biji-biji kopi itu sebagai pengharum ruangan di mobil tetapi akhirnya saya kebablasan hingga mencicipi biji-biji itu. Jangan kaget, ternyata lidah saya sanggup memamahnya. Pahit tapi tak sepahit daun pepaya.
Pelawatan permenungan, perasaan, dan pencicipan itu belum berhenti lagi, sebuah Cafflano mampir ke rumah. Pembuat kopi portabel itu sudah menjadi bagian saya ketika akan membuat kopi.
Buat saya ini sesuatu yang “amazing”. Walau kadar ke-amazing-annya ini tidaklah selevel para snob, mastah, atau siapalah ia yang biasa disebut sebagai penikmat kopi sejati yang merasa harus lebih ribet lagi dalam meracik kopi untuk mereguk kenikmatan paling surgawi dari sebuah kepahitan belaka. Hidup sudah pahit, Bro.
Sebermula kopi sasetan kemudian biji kopi, lalu setelahnya apalagi?
Barangkali sebentuk puisi.
Kopi, engkau, melapuk
di sebuah teko bertutup merah
sendiri mengimla suara:
aku sepi, aku sepi, aku sepi
sambil menggoyang tubuhnya
ke depan ke belakang
yang kulihat hanya
kecipak getar kecil
yang kudengar cuma
namamu yang disebut
yang kurasa sekadar
panas yang musnah
klik,
permisi, tenggelamlah aku
dalam pahitmu yang semerbak
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam Magrib, 2 Agustus 2017
Rihlah Riza #74
Gambar dari: squarespace.com
Selamat datang di “dunia hitam”. Bagi kami, para kopiholic, melakukan “test kremus” adalah hal yang biasa manakala kami harus mencicipi coffee beans secara singkat, tanpa menggerus dan menyeduhnya karena memang yang diperlukan adalah informasi yang cepat tentang flavor dan after taste dari coffee bean yang baru kami terima.
Next, seorang penikmat kopi akan mendapati kenyataan bahwa sejatinya caffeine yang terkandung dalam kopi akan bekerja sesuai kebutuhan tubuh kita. Bisa menyebabkan kantuk jika memang tubuh kita perlu istirahat. Tapi bisa juga menyebabkan kita terjaga jika tubuh kita sudah cukup mendapatkan jatah istirahatnya.
LikeLike
Lambung saya juga sudah parah, jadi gk berani lagi nyesap kopi. Kadang pengen sih, tapi gmn ya…khawatir. Punya solusi gk?
LikeLike
Aku punya maag akut. Tapi bisa disiasati sehingga masih bisa menikmati kopi sepuasnya. Hindari kopi varietas robusta. Untuk varietas arabica, sebaiknya hindari kopi dari daerah Sunda (papandayan, aromanis, dsb) karena kopi-kopi dari sana terkenal asam. Kalo terpaksa minum karena pengen, usahakan perut tidak dalam keadaan kosong. Kopi2 dari daerah Sumatra mostly aman untuk lambung. Hindari kopi dengan level roasting light. Dianjurkan minum kopi yg diseduh dengan metode cold brew. Hasil seduhan cold brew meminimalkan ekstraksi acid karena kopi tidak terkena suhu panas.
LikeLike
Wah…sip. Makasih atas sarannya
LikeLike