Menjinakkan Lapar


(Juanda, Juanda)
Tentangmu adalah sepiring remah yang menempel di pipi senja. Gembil. Cuma langit Jakarta yang bisa bercerita begitu. Juga karena aku bergerak lebih cepat daripada ingatan yang tergenang di pikiranmu. Lebih cepat surut. Lebih dapat diucap mulut. Malam jadi ingin diputar kilat pada tape recorder yang sebentar lagi musnah. Untuk berada di side B.

(Gondangdia, Gondangdia)
Pohon-pohon seperti pelari maraton. Ia tak mudah lelah memantik matamu bercahaya, hidup, dan tak mudah lupa. Ia tak butuh ikan-ikan mujair untuk memakan daun-daun ingatannya apalagi kenanganmu untuk menggemukkannya. Percayalah, ia yang paling tabah memotong tubuhnya untuk dijadikan kertas. Di sanalah puisi-puisi tentangmu kutulis, untuk kaubaca, dan diserahkan kepada api.

(Cikini, Cikini)
Api di sebatang korek api. Meluruhkan laparku dalam segelas kopi. Tak cukup sekerat roti. Sediakan setelaga mimpi. Sungguh laksmi.

(Manggarai, Manggarai)
Aku terjun ke dalamnya. Ke dalammu.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Commuter Line nan Sesak, 20 Desember 2017 .

Percikan Pengakuan


Percikan air mata ibu yang kehilangan anak-anak yang didamba.
Aku!

Percikan debu dari batu yang dilempar para pemuda.
Aku!

Percikan batu bata runtuh dari tembok-tembok kudus nan tak ternoda.
Aku!

Percikan doa ke ujung langit untuk segenggam mahardika.
Aku!

Percikan debum di roket buat kota-kota mereka.
Aku!

Percikan senyum di paras wajah para syuhada.
Aku!

Percikan aib untuk kaututupi dengan wangi cendana.
Aku!

Percikan nasib pengharap surga dari samudra dosa.
Aku!

Percikan api di ujung-ujung peluru yang menembus dada.
Aku!

Percikan apa lagi setelah hari hari penuh renjana?
Aku?

Mengaku: aku.

Mengaku-aku.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Sebuah tugu, 17 Desember 2017

Sembunyi Segala Bebunyi


Ketika aku tiba di wadahmu sepenuh tabah
Aku ​berenang di kulitmu yang ​menggenang
Aku mereguk airmu seteguk dua teguk.

Aku kesedihan yang menjadi hujan.
Aku mata air kesepian yang keletihan.
​​Aku sembunyikan ​segala bebunyian

Aku riakmu tanpa gelombang
Aku cerminmu tanpa bayang
Aku teduhmu tanpa ​rindang ​

kapankah aku menjadi bedinda
di haribaan kata-kata
di haribaan kata
di haribaan
di

mu.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Lantai 16, 14 Desember 2017
Instagram from @natgeo photo by: @jayaprakash_bojan

Tenggelam di Sisimu yang Menyala


dan aku tenggelam di sisimu yang menyala
dan aku memelukmu dengan cahaya
dan aku menyaksikan pungguk di dahan semboja

dan aku seperti tembikar yang ada di dasar laut jawa
dan aku seperti terbakar berada di panas bara jiwa
dan aku seperti belukar meranggas di kiri dada.

di suatu bangku kayu, tukang ketoprak menghampiri.
ia menyerahkan sepiring sajian untuk dinikmati.
“puisimu tak akan bisa membuat pedas ketoprak ini,”

katanya. langit meringis. lalu gerimis.
rinduku majal. terpental-pental.
hari ini hari apa? malam ini malam apa?

dari jauh, pungguk masih menatapku kasihan
kami beradu pertanyaan
harimau pertanyaannya atau banteng
ketaton pertanyaanku yang akan menang?

sepiring ketoprak itu tandas,
pedasku dibawa terbang,
dan aku ingin  tenggelam di sisimu yang menyala
dan aku ingin memelukmu dengan cahaya

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 10 Desember 2017

Instagram Picture and Featured Artist: @dotzsoh

 

Seperti Aku Mencintai



Aku mencintai pagi
seperti aku mencintai matahari
ia pemilik janji untuk para petani
dan para penjala di rawa-rawa sepi

Aku mencintai pagi
seperti aku terbangun dari mimpi
setelah mendayung sampan sendiri
menuju segalamu yang nisbi

Apalah aku sebagai biru
merah yang membatu
jingga yang memburu
dan seluruh warna purbamu

Genggaman di pangkuanmu
bisikan di suatu hari:
aku mencintaimu
seperti aku mencintai pagi

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
2 Desember 2017

Terima kasih kepada Mas @herrywondo yang telah menghibahkan foto ini, supaya bisa dikata-katain, supaya bisa dipuisi-puisiin, supaya bisa di-caption, supaya bisa…ah sudahlah. Terima kasih banyak, Mas. Danke schön. 

 

Di Atas Kereta Api Malam


Ini kursi kereta api malam. Bukan kursiku. Kursiku di sebelah, telah ada seorang laki-laki mendengkur di atasnya. Aku tak mau merebut mimpinya dan meletakkan di kepalaku. Aku sudah tak peduli. Aku telah lelah. Aku ingin tidur segera. Aku ingin menjamahmu dalam mimpi-mimpi.

Tetapi aku curiga, kursi ini telah membuang mimpiku ke luar kereta api. Terjungkal, tergilas roda, dan terpotong-potong. Membiarkannya dimangsa cahaya bulan pemakan bangkai. Sedetik pun aku tak sempat bermimpi dan menengokmu.

Menengokmu dengan sepasang mata yang mencintai pejam dengan kesumat tak berkesudahan. Walaupun disengat lebah yang terbang berlelah-lelah dari sarang neon. Walaupun didekap dingin pendingin yang ingin, aku punya selimut merah. Walaupun bantal biru yang tak akan pernah menjadi pengganjal kepala, tempat muasal segala mimpiku.

Aku harusnya sadar, mimpiku hanyalah dicuri olehmu sebentar. Sedang mampir, di lelapmu yang fakir. Besok pagi, ia akan kembali. Membawa banyak cerita, untuk sebuah puja. Saat aku sudah tiba, di Jatinegara.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
26 November 2017

 

Menggelandang di Sekujurmu


Perangkaplah aku dalam bayang-bayang hitammu. Di pinggiran sungai kesepian, kucabik uap-uap kabut tipis pembawa pesan, ah, champ de mars, aku tiba di sini dari rue sedilliot, menjadi penggelandang, menjadi pengenang, menjadi rumput-rumput yang kauinjak, menjadi anak-anak tangga yang kaupijak. Malam itu, aku penggelandang, pengenang, di sekujurmu.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 25 November 2017

Semacam



Semacam lara, tak perlu ditambah marah, untuk semakin parah.
Semacam perih, tak perlu ditambah sedih, untuk semakin pedih.
Semacam rindu, tak perlu ditambah pilu, untuk semakin biru

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
22 November 2017

Dusseldorf


Aku merah kayu bakar yang menjulang di tepian jalan saat kaupergi menekur, setiap sentimeter Dusseldorf yang tak pernah jatuh tidur.  Di suatu masa, aku ingin menjelma sepatumu.

Aku espresso yang kau pesan seharga 3,8 Euro di sebuah resto,  saat kau memuntahkan lelahmu yang datang tergopoh-gopoh. Di suatu waktu, aku ingin menjadi kopi Gayo yang kauminum.

Aku permenungan yang kauperam dan pada saatnya menetas menjadi tawa yang getas. Di suatu masa, aku ingin menjelma kesedihan yang kaubuang ke dasar Rhine.

…untuk menjadi amaryllis, menjadimu.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
19 November 2017 

Cokelat


 

Cokelat seperti rindu. Sedikit, menggoda. Banyak, mencandu.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
13 November 2017