Ini kursi kereta api malam. Bukan kursiku. Kursiku di sebelah, telah ada seorang laki-laki mendengkur di atasnya. Aku tak mau merebut mimpinya dan meletakkan di kepalaku. Aku sudah tak peduli. Aku telah lelah. Aku ingin tidur segera. Aku ingin menjamahmu dalam mimpi-mimpi.
Tetapi aku curiga, kursi ini telah membuang mimpiku ke luar kereta api. Terjungkal, tergilas roda, dan terpotong-potong. Membiarkannya dimangsa cahaya bulan pemakan bangkai. Sedetik pun aku tak sempat bermimpi dan menengokmu.
Menengokmu dengan sepasang mata yang mencintai pejam dengan kesumat tak berkesudahan. Walaupun disengat lebah yang terbang berlelah-lelah dari sarang neon. Walaupun didekap dingin pendingin yang ingin, aku punya selimut merah. Walaupun bantal biru yang tak akan pernah menjadi pengganjal kepala, tempat muasal segala mimpiku.
Aku harusnya sadar, mimpiku hanyalah dicuri olehmu sebentar. Sedang mampir, di lelapmu yang fakir. Besok pagi, ia akan kembali. Membawa banyak cerita, untuk sebuah puja. Saat aku sudah tiba, di Jatinegara.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
26 November 2017