5 PRINSIP UNTUK MENJADI JUARA LOMBA MENULIS


5 PRINSIP UNTUK MENJADI JUARA LOMBA MENULIS

 

(sumber gambar: udel.edu)

Ramadhan selalu memberikan keberkahan kepada saya. Banyak sekali. Tak terhitung. Salah satunya adalah kemenangan-kemenangan kecil. Di tahun 2011, saya mengikuti lomba menulis puisi Islami yang diselenggarakan oleh Masjid Alamanah Kementerian Keuangan. Alhamdulillah Allah menakdirkan saya mendapatkan juara dua. Tiga tahun kemudian, di bulan Juli 2014 ini tepatnya di Ramadhan 1435 H, saya diberikan kesempatan untuk menjadi pamungkas di Lomba Menulis Artikel “Semangat Anti Korupsi” yang diselenggarakan oleh 7G DIV Khusus Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

Kalau saja tidak ada yang menampilkan pengumuman lomba itu di Forum Shalahuddin tentu saya tidak akan pernah mengikuti lomba itu. Kebetulan saya melihat sepintas pengumumannya terselip dalam ratusan tema diskusi dalam forum tersebut. Saya membacanya dan memutuskan untuk ikut. Entah teman-teman forum sudah membaca pengumuman itu atau tidak. Dan tak tahu pula apakah banyak teman saya yang ikut.

Peserta lomba adalah mahasiswa STAN dan pegawai Kementerian Keuangan. Hadiahnya uang dan sertifikat. Bukan uang yang menjadi tujuan utama saya. Setidaknya niat saya untuk ikut lomba pun sekadar mengasah kemampuan menulis saya. Kalah menang adalah hal yang biasa. Sudah sering saya ikut lomba dan sudah sering pula saya kalah. Maka tak jadi soal kalau saya kalah. Mental seperti ini harus disiapkan agar tidak pernah ada rasa kecewa yang berkepanjangan. Kecewa itu manusiawi tapi kalau terus menerus dipelihara bisa mengakibatkan frustasi dan mematikan kreasi.

-Baca lebih lanjut.->

SINGKIRKAN GADGET, TANGKAPLAH ILMU


Singkirkan Gadget, Tangkaplah Ilmu

Ilustrasi gadget (dakwatuna, mtv.in.com)

 

dakwatuna.com – Sebuah sunnatullah kejayaan dan kemenangan akan tiba dengan proses yang panjang. Begitu pula dengan kemenangan dakwah. Ketika menyadari kerja keras telah dipersembahkan dan doa telah dipanjatkan namun juga kekuasaan tidak dapat direbut bahkan kekalahan beruntun tidak dapat dielakkan maka muhasabah jangan luput untuk dieja kembali. Introspeksi pada niat dan cara yang sudah dilakukan. Sudah sesuaikah dengan keridaan Allah dan sunah nabi? Atau sudahkah kita telah mencapai syarat-syarat kemenangan itu? Syarat-syarat untuk kita layak mendapatkan pertolongan Allah.

Biarlah. Biarlah waktu berjalan terus sambil kita tak abai untuk berkomitmen melahirkan generasi-generasi mendatang dari rahim tarbiyah dan pantas memimpin bangsa ini. Sekalipun kita nantinya tak pernah merasakan hasil atau sentuhan keadilannya. Tetaplah bekerja sembari berbenah. Berbenah mulai dari hal yang paling sederhana dulu misalnya. Contoh, sudahkah halaqah sebagai sarana tarbiyah berjalan dengan semestinya? Sudahkah halaqah sesuai dengan adab-adabnya?

Di dalam halaqah terdapat proses pembinaan karakter pribadi muslim berupa majelis ilmu, evaluasi ibadah, penyebaran informasi-informasi penting tentang dakwah dan perkembangan umat, dan transfer keteladanan. Dalam proses itu perlu interaksi yang tak bisa disepelekan dan perhatian penuh antara murabbi (pembina) dan mutarabbi (binaan). Sayangnya di zaman modern seperti ini, perhatian itu sangat mudah teralihkan dengan adanya gadget di tangan para peserta halaqah.

Kita sering kali beralasan di dalam gadget itu terdapat semua yang dibutuhkan dalam pertemuan seperti Al-Quran, tool pengolah kata, software hadits, ebook-ebook Islami, dan lain sebagainya. Namun menafikan bahwa di dalamnya juga terdapat segala hal yang dengannya kita mudah terbujuk dengan sekali sentuh. Seperti aplikasi permainan, chatting, Facebook, Twitter, Path, sms, BBM, galeri foto, email, dan situs berita.

Kita tak bisa menjamin ketika materi halaqah sedang disampaikan, salah seorang peserta halaqah sedang asyik-masyuk bermain-main dengan salah satu aplikasi gadget pintar di atas. Padahal dalam petunjuk pelaksanaan halaqah disebutkan bahwa ketika halaqah dibuka semua peserta berkonsentrasi dengan agenda halaqah dan tidak diperkenankan sibuk dengan agenda pribadinya. Mari kita berkaca kepada para salaf dan khalaf saat melingkar seperti ini.

Allah swt berfirman dalam surat Qaaf ayat 37, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”

Ibnu Alqayyim Aljauziyah sewaktu membahas ayat di atas dalam kitab Miftahu Darussa’adah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Kunci Kebahagiaan menyebutkan bahwa untuk terbukanya pintu ilmu dan hidayah bagi seorang hamba maka ia harus mempunyai hati dan menggunakan pendengarannya.

Orang yang tidak mempunyai hati tidak dapat mengambil faedah dari setiap ayat yang lewat di hadapannya. Orang yang mempunyai hati juga tidak dapat mengambil manfaat hati jika tidak menghadirkan hatinya dan tidak konsentrasi terhadap apa yang disampaikan. Orang yang menghadirkan hati juga tidak dapat manfaat kecuali ia memasang telinga dan memusatkan perhatian kepada apa yang diajarkan kepadanya.

Nasihat Ibnu Alqayyim Aljauziyah ini dapat diterapkan di halaqah para kader dakwah, agar mereka bisa mengambil manfaat atau buah dari halaqah yang mereka selenggarakan. Dengan menerapkan tiga hal ini tentunya: pertama, kebersihan dan penerimaan hati; kedua, menghadirkan dan mencegah hati ngelantur atau tidak konsentrasi; ketiga, memasang telinga dan melakukan zikir.

Ulama zaman sekarang mengisyaratkan hal yang sama ketika membahas halaqah ini. Dr. Abdullah Qadiri Alahdal yang menulis buku tentang adab-adab halaqah, menyebutkan bahwa selain adab-adab pokok halaqah berupa: serius dalam segala urusan; berkemauan keras memahami akidah salaf; istiqamah; menjauhkan diri dari sikap fanatik buta; menghindari ghibah; melakukan islah; dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat, juga terdapat adab yang lebih spesifik dalam halaqah antara lain memiliki kesiapan secara jasmani, ruhani, dan akal; membersihkan hati dari akidah dan akhlak yang kotor; memperbaiki dan membersihkan niat, dan bersemangat menuntut ilmu.

Tiada beda antara ulama salaf dan khalaf. Maka ketika halaqah telah memenuhi adab-adabnya Insya Allah halaqah tersebut menjadi halaqah yang muntijah atau berhasil guna. Yang darinya sebagaimana disebut oleh Ustadz Rahmat Abdullah terlahir generasi baru. Generasi yang siap memikul beban dakwah dan menegakkan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, di bawah naungan Al-Quran dan cahaya Islam rahmatan lil alamin.

Generasi yang terikat dengan ilmu. Ilmulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Pun antara manusia dan manusia lainnya. Ilmulah yang menjadikan manusia itu siapa-siapa. Jika tanpa ilmu maka bukanlah siapa-siapa. Sebuah kisah yang ditulis Ibnu Alqayyim Aljauziyah dalam buku yang sama menegaskan hal ini.

Seorang khalifah Bani Abbas sedang bermain catur. Ketika pamannya meminta izin masuk, ia mengizinkannya setelah menutup meja catur. Begitu sang paman duduk, ia bertanya, “Paman, apakah engkau telah membaca Al-Quran?”

Jawabnya, “Tidak.”

Ia bertanya lagi, “Apakah engkau telah menulis sebuah hadits?”

“Tidak,” jawabnya.

“Apakah engkau telah membaca fikih dan perbedaan pendapat para ulama?” tanyanya.

Kembali ia menjawab, “Tidak.”

Sang khalifah bertanya lagi, “Apakah engkau telah mempelajari bahasa Arab dan sejarah?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Setelah mendengar semua jawaban ini, sang khalifah berkata, “Bukalah meja ini dan lanjutkan permainan!”

Di sini sopan santunnya dan rasa malunya kepada sang paman hilang. Teman bermainnya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau membuka meja catur itu di hadapan orang yang patut kau hormati?”

Sang khalifah berkata, “Diamlah! Di sini tak ada siapa-siapa.”

Singkirkanlah gadget, tangkaplah ilmu, jadikanlah halaqah yang berhasil guna, halaqahnya para salaf, lalu jadilah generasi yang diharapkan umat, dan darinya lahirlah para pemimpin bangsa. Tunggulah waktu itu pasti akan datang. Insya Allah.
***

Ditulis: Riza Almanfaluthi

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/05/20/51567/singkirkan-gadget-tangkaplah-ilmu/#ixzz32HEmc0tc
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Beginilah ‘Framing’ Media Sekuler Beritakan Syariat Islam di Brunei


Beginilah ‘Framing’ Media Sekuler Beritakan Syariat Islam di Brunei

Suatu sore dalam perjalanan pulang dari Meulaboh sehabis menghadiri pesta “turun tanah” anak dari teman pelaksana di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan, masuk notifikasi dari teman facebook saya yang bernama Mbak Intan Nugraha. Katanya nama saya muncul di fimadani. Saya cek link yang diberikan Mbak Intan. Oh ternyata, Fimadani mengulas status facebook saya. Ya, pada waktu itu status saya berisikan kegalauan membaca berita dari Tribunnnews yang membagi berita dari OkeZOne. Isi beritanya itu lagi-lagi framing (pembingkaian) atas penerapan syariat Islam di Brunei Darussalam. Negeri kecil tetangga kita di pulau Kalimantan.

Dan fakta yang disodorkan oleh taman facebook saya Abu Saif Kuncoro Jati, mengejutkan saya. Ternyata yang menulis itu adalah seorang perempuan jurnalis berjilbab yang seharusnya tak perlu marah-marah dan bisa menerapkan kode etik jurnalisme yang benar. Apalagi di era fitnah seperti sekarang ini. Sudahlah, tak perlu keterusan membahas tampilannya lagi, nanti jadi ad hominem. Tapi yang selalu saya harapkan dari diri saya pribadi dan teman-teman muslim yang lainnya, semoga kita dilindungi dari bentuk tampilan yang berbeda dengan isi. Selayaknya tampilan sama dengan isi. Semoga.

http://news.fimadani.com/read/2014/05/09/beginilah-framing-media-sekuler-beritakan-syariat-islam-di-brunei/

Beritanya Fimadani berikut ini:

Media sekuler memang tidak menyukai berbagai kemajuan yang dicapai Islam dan ummatnya. Oleh karena itu, mereka senantiasa mengkampanyekan hal-hal negatif tentang Islam. Jika tidak ada hal yang negative maka hal-hal yang positif atau netral pun ditunjuk menjadi seolah-olah negatif.

Adalah Okezone.com yang menurunkan berita berjudul Berlakukan Hukum Pidana Syariat, Sultan Brunei Kena Batunya pada Kamis, 08 Mei 2014 15:41. Berita yang ditulis oleh Andyta Fajarini ini berisi tentang kemungkinan tidak berlakunya hokum itu bagi anggota keluarga kerajaan.

Okezone menulis, “Namun, peraturan baru yang diterapkan di Brunei ini sepertinya tidak berlaku bagi keluarga Sultan Hasannal Bolkiah. Pasalnya, banyak sekali Hukum Islam Syariat yang dilanggar oleh keluarga sang Sultan, seperti gaya hidup yang bermewah-mewahan dan juga pesta seks.”

Andyta Fajarini, reporter Okezone yang mengenakan jilbab itu melanjutkan tulisannya, “Putra Sultan Hassanal Bolkiah lainnya yang sering membuat kontroversi adalah Pangeran Haji Abdul Azim. Dia memang dikenal sering mengundang dan membayar selebriti Hollywood untuk hadir di pestanya. Banyak rumor yang mengatakan bahwa Pangeran 25 tahun ini adalah seorang gay.”

Berita itu ditutup dengan kesimpulan, “Terbukti banyak sekali Hukum Islam Syariat yang dilanggar oleh keluarga Sultan. Mereka hanya menghabiskan waktu untuk berpesta dan berfoya-foya. Tetapi, apakah Hukum Islam Syariat ini akan berlaku bagi keluarga sang Sultan?”

Riza Al Manfaluthi, menjelaskan bahwa framing berita tersebut terlalu dibuat-buat, “Judul tak menyambung dengan isinya. Siapa yang kena batunya? Tak dijelaskan.”

“Hukum syariat mulai diberlakukan 1 Mei 2014. Media ini sudah mengarahkan: “SEPERTINYA” hokum tidak akan berlaku buat keluarga Sultan,” lanjutnya.

“Orang yang cerdas baca berita akan bertanya: Kok berita tidak menyajikan fakta, namun menyajikan ‘seperti-sepertinya’. Dugaan yang belum terjadi, langsung disimpulkan sebagai sebuah fakta,” pungkasnya.

Redaktur: Shabra Syatila

**

Pengantar: Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11 Mei 2014

SUAMI PENYABAR SETARA TABI’IN ITU ADA


Gambar diambil dari Islamedia.

Islamedia.coSuami dengan kesabaran setara tabi’in, orang zuhud, dan shiddiqin pada zaman sekarang ini ternyata ada dan ditunjukkan kepada saya langsung malam itu setelah tulisan yang berjudul “Istri Belum Hamil-Hamil, Suami Mau Nikah Lagi” dimuat di Islamedia pagi harinya. Salah seorang ibu yang bernama Ibu Shanti memberikan sebuah persaksian di komentar blog saya. Sekaligus menjawab pertanyaan beberapa teman yang menyangsikan di dunia ada laki-laki semacam itu. Berikut kisah lengkapnya:

Hampir dua belas tahun usia pernikahan dan kami masih berdua saja. Belum juga dikaruniai anak. Semua terapi sudah kami jalani dari mulai medis hingga alternatif. Dokter yang menangani kami adalah seorang dokter spesialis kandungan yang saleh dan tidak mengeruk keuntungan pribadi. 

Ketika semua tahapan terapi telah selesai dijalani, sang dokter berkata : “Ibu dan Bapak tidak ada masalah sedikit pun, ikhtiar sudah dijalankan, sekarang saya sarankan kepada Ibu dan Bapak untuk memperbanyak sedekah, doa, dan istighfar. Posisi anak dan harta itu sejajar dalam Alquran, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Mohonlah kepada Allah untuk segera diberi keturunan. Sehebat apa pun ilmu kedokteran dan obat yang saya berikan, semua tidak akan berguna tanpa bantuan dari Allah.” 

Kami hanya tersenyum dalam tangis haru. Subhanallah, kami dipertemukan dengan dokter yang baik ini padahal pasien beliau lebih dari empat puluh orang sehari. 

Saya pernah mengalami masa-masa stres yang panjang, sampai-sampai saya enggan berkunjung kepada teman atau tetangga yang melahirkan karena ada perasaan kecewa, sedih, cemburu, dan marah. “Kapan giliran saya ya Rabb?!” 

Di saat saya menangis, suami selalu mengingatkan saya untuk bersabar. Ketika saya betul-betul merasa sedih saya membaca Alquran tanpa memilih surat maupun ayatnya. Subhanallah, Allah menegur saya melalui Alquran yang saya baca sambil meneteskan air mata ini. Yakni pada ayat “jadikanlah salat dan sabar sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. 

Saya tidak mampu membaca ayat tersebut dalam satu helaan nafas. Tenggorokan saya tercekat dan sakit mengingat apa yang sudah saya pikirkan terhadap Allah. Betapa Allah sayang kepada saya, betapa Allah ingin menunjukkan seberapa sabar saya. Malam itu saya berusaha tawakal menerima apa pun keputusan Allah dan semoga bisa menerimanya dengan ikhlas. 

Dan malam itu juga saya bertanya kepada suami, ”Kenapa Ayah tidak pernah mempertanyakan kapan Bunda hamil?” Sambil tersenyum dan mengusap kepala saya dengan lembut, ia berkata: ”Karena Ayah tidak mau menyakiti perasaan Bunda dengan pertanyaan tersebut. Kita serahkan semuanya kepada Allah ya, Nda! Sementara itu, kita dekatkan diri kita kepada Allah.” 

Peristiwa itu terjadi tahun 2009, di usia pernikahan kami yang ketujuh. Sekarang, hampir dua belas tahun usia pernikahan kami. Dan dia tetap mencintai saya seperti awal mula kami menikah, tetap tidak pernah mempertanyakan kapan kami akan memiliki keturunan. Komitmen awal kami menikah adalah ingin menyempurnakan setengah din yang sudah kami miliki. Semoga kami tetap istikamah dalam berikhtiar, bersedekah, beristighfar, dan saling menerima kekurangan masing-masing.

Membaca kisah Ibu Shanti dan suaminya membuat saya kembali teringat beberapa perkataan Rasulullah saw yang pernah dicatat dalam kitab Attirmidzi bahwa sebaik-baik ibadah adalah menunggu dengan sabar datangnya hasil yang membahagiakan. Atau dalam hadis sahih lainnya, “Ketahuilah bahwa kemenangan datang setelah kesabaran dan kemudahan datang setelah kesulitan.” 

Saya tidak membayangkan kemenangan dan kebahagiaan seperti apa yang didapat oleh Ibu Shanti dan suaminya jika dalam waktu dekat ini Allah segera karuniakan kepada mereka buah hati yang didamba. Sudah barang tentu ini adalah buah dari pohon ikhtiar dengan pupuk tawakal dan kesabaran itu. Insya Allah. 

Namun apa pun itu, ada ataupun tidak ada anak adalah sebuah takdir. Sebuah ketetapan Allah. Kata Rasulullah saw lagi: “Segala sesuatu yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya adalah lebih baik baginya.” 

Semoga kita bisa menerima apa yang Allah tetapkan buat kita. Dan percayalah bahwa laki-laki sabar setara tabi’in itu ada, saat ini. Saya yakin pula, tidak hanya suami Ibu Shanti, melainkan Anda. Semoga. ***


Riza Almanfaluthi

Sumber: http://www.islamedia.co/2014/05/suami-penyabar-setara-tabiin-itu-ada.html

 

Kont Arfa ~ I Knew ~ Untukmu


KERJA SEUMUR HIDUP


KERJA SEUMUR HIDUP

Alhamdulillah. Kerja saya di Tapaktuan ini setiap harinya ya begini. Tak ada habisnya. Tak ada berhentinya.

image

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10 Maret 2014.

RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN


RIHLAH RIZA #20: TIGA TAHUN DISINGKILKAN

 

Angin sepoi Musalla dan Sungai Ruknabad. Tak Mengizinkan hamba mengembara jauh.” Sebuah puisi dikirimkan Hafiz Syirazi—lirikus Persia, penyair jenius, pemilik lidah gaib (Lisanul Ghaib), penafsir kegaiban (Tarjumanul Asrar)—kepada Sultan Ahmad bin Owais-i-Jalair, penguasa Ilkhani. Hafiz menolak penguasa berbakat dari Baghdad itu mengundang dirinya dan melantunkan syair-syair indah di hadapan sang penguasa.

Sebuah kapal dari dua orang Saudagar Persia sudah menanti di Selat Hormuz untuk membawa Hafiz ke India. Hafiz sempat naik ke kapal tersebut. Namun ketika kapal hendak berangkat, badai datang. Hafiz pun turun dari kapal dan tidak jadi pergi. Sebagai pengganti dirinya, akhirnya ia cuma mengirimkan bait-bait syair kepada Sultan Mahmud, penguasa India pada saat itu. Tanah airnya tak mau melepas Hafiz jauh-jauh.

**

Tanggal satu di tahun baru seharusnya libur. Kami tidak. Kami harus mengawali perjalanan panjang sampai empat hari ke depan. Kami menuju Kabupaten Simeulue yang berada di Kepulauan Simeulue dalam rangka pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dari Pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan kepada Pemerintah Kabupaten Simeulue.

Perjalanan ini merupakan perjalanan road show kami di tiga kabupaten sebagai wilayah kerja KPP Pratama Tapaktuan. Selain Kabupaten Simeulue ada Kabupaten Aceh Barat Daya, biasa disingkat Abdya, dan Kabupaten Aceh Selatan. Sungguh, ini perjalanan yang tidak akan pernah dialami selagi saya tidak ditempatkan di daerah terpencil dan tertinggal ini. Saya tekankan dua kata terpencil dan tertinggal ini karena masih saja ada yang tidak percaya kalau Aceh Selatan disebut sebagai daerah demikian.

Pengertian Daerah Tertinggal seperti yang saya kutip dari situs Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, daerah terisolasi, rawan konflik dan rawan bencana. Aceh Selatan masih termasuk ke dalam 183 daerah tertinggal di Indonesia.

Ketidakpercayaan mereka ini seperti ketidakpercayaan mereka melihat ada orang Jakarta seperti saya mau-maunya saja ditempatkan di daerah tersebut.  “Ini tugas Broh,” kata saya atau biasanya saya diam atas pernyataan tersebut. Hanya tersenyum dan tidak menanggapi. “Pasti enggak dekat dengan rezim yah,” kata mereka lagi.  Wadaw, rezim-reziman segala. Saya tak tahu rezim-reziman. Kalaupun ada, saya cuma tahu dan kenal dengan satu rezim yang Maha Luas kekuasaannya, “rezim” Allah.  Ah, sudahlah.

Menuju pulau Simeulue ini ada dua moda transportasi: naik pesawat Susi Air atau kapal laut. Yang paling efektif adalah tentunya naik pesawat. Masalahnya adalah awal tahun ini Susi Air tidak terbang karena dalam proses tender penerbangan perintis dan penyusunan jadwal terbang. Jadi kami tidak memilih moda ini. Satu-satunya jalan adalah dengan menggunakan kapal laut.

Acara penandatanganan berita acara pengalihan PBB P2 ini dijadwalkan pada hari Jumat. Sedangkan jadwal pemberangkatan kapal laut dari pelabuhan terdekat—satu jam dari Tapaktuan—yaitu Labuhan Haji ada pada malam Jum’atnya. Ini mefet. Jadi kami harus menyeberang hari Rabu malam dari pelabuhan Singkil. Berarti kami pun kudu berangkat pagi dari Tapaktuan menuju ibu kota Kabupaten Aceh Singkil ini.

Kabupaten Aceh Singkil merupakan kabupaten paling ujung di selatan Provinsi Aceh dan termasuk daerah tertinggal juga. Kami harus menempuh kurang lebih  223 kilometer selama enam jam perjalanan darat dari Tapaktuan menuju Pelabuhan Singkil.

Sepanjang perjalanan menyusuri Kabupaten Aceh Selatan kami disuguhi pemandangan pantai yang menakjubkan, namun memasuki Kabupaten Aceh Singkil selain pemandangan perbukitan yang indah kami juga ditampakkan kerusakan hutan akibat penebangan untuk pembukaan lahan kelapa sawit. Sangat disayangkan.

Selain itu ada beberapa pemandangan yang mirip saat kami melewati daerah di Singkil. Papan nama Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang kami temui di Rimo bentuknya sama dengan yang kami jumpai di Singkil. Sama-sama rusak berat. Saya tak tahu apakah bentuk papan nama seperti itu menjadi tanda ketertinggalan suatu daerah? Allahua’lam bishshawab. Yang pasti dua SPBU tersebut juga sama-sama kumuh.

Tidak ada KPP di Kabupaten Aceh Singkil.  Hanya ada Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP).  Kabupaten Aceh Singkil termasuk ke dalam wilayah kerja KPP Pratama Subulussalam. Kota Subulussalam mulanya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Kemudian memekarkan diri menjadi sebuah kota di tahun 2007.

Ingat tentang para pahlawan hebat  DJP yang berkumpul di Lhokseumawe dalam rangka Forum Pelayanan dan KP2KP yang pernah saya tulis sebelumnya? Salah satunya adalah Pak Yusri Hasda. Dialah yang menjadi Kepala KP2KP Aceh Singkil. Kami mampir ke sana sebelum melaut dan menyeberang ke Pulau Simeulue.

Di KP2KP, kami berenam disuguhi kopi khas Aceh Ulee Kareng. Kopi yang biasa dibeli Pak Yusri Hasda di Meulaboh tempat tinggalnya sekarang. Setiap minggu ia pulang Ke Meulaboh menempuh ratusan kilometer selama sembilan jam perjalanan darat. Sudah tiga tahun ia menggawangi KP2KP dan menjalani ritual akhir pekan pulang pergi Singkil-Meulaboh.

Peta Tapaktuan SingkilPeta perjalanan dari Tapaktuan menuju Singkil. (Sumber Maps Google).

Plang SPBUPlang SPBU di Rimo dan Singkil. Hancur lebur seperti itu. (Foto koleksi pribadi).

Masjid SingkilKami singgah dulu di Masjid Baitusshalihin, Pulo Sarok Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

KP2KP Aceh SingkilKP2KP Aceh Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

Rumah Adat Singkil Rumah Adat Singkil (Foto Koleksi Pribadi).

 KMP SinabangDermaga Pelabuhan Singkil tempat berlabuh KMP Teluk Sinabang (Foto Koleksi Pribadi).

Ini benar-benar perjamuan yang tak main-main. Biasanya kami disuguhi kopi dalam gelas imut, sekarang kami harus minum kopi dari gelas besar dengan volume lebih dari 300 cc. Sebagai penikmat kopi pemula saya sangat menikmati kopi ini. Nikmat sekaligus mengenyangkan padahal sebelumnya kami telah menikmati makan siang di sebuah warung makan dekat dengan rumah adat Singkil, di salah satu sudut kota.

Jam empat sore kami beranjak menuju pelabuhan. Melewati rumah-rumah yang kena tsunami dan tak berpenghuni. Setengah bagian dari rumah itu sampai sekarang masih tenggelam. Kapal Motor Penyeberangan (KMP) yang akan kami naiki dijadwalkan berlayar jam lima sore ini. Kami tak perlu buru-buru karena tiga jam sebelumnya kami sudah membeli tiket penumpang dan mobil. Tiket kelas ekonomi seharga 38 ribu rupiah per orang. Sedangkan tarif tiket kendaraan sebesar 493 ribu rupiah.

Pelabuhan Singkil ini melayani tiga rute perjalanan kapal laut. Dari Singkil menuju Sinabang yang berada di Pulau Simeulue, Gunung Sitoli yang berada di Pulau Nias, dan Pulau Banyak. Tidak setiap hari kapal itu melayani rute tujuan. Karena kapal laut yang ada hanya dua yakni KMP Teluk Sinabang dan Teluk Singkil. KMP Teluk Sinabang inilah yang akan melayarkan kami menyeberangi Samudera Hindia menuju Pulau Simeulue.

Ini hari sudah sore saat kami memasuki kapal. Tapi matahari belumlah tenggelam. Masih tinggi di atas lengkung langit. Seharian perjalanan ini belumlah seberapa. Baru seperdelapannya saja dilewati. Tanda-tanda badai pun jelas tidak ada sama sekali. Langit cerah. Ombak dan angin tenang. Kiranya sudah ditakdirkan hari ini kalau saya tetap akan menyeberang ke Simeulue.

Tak ada keindahan Pantai Tapaktuan dan Gunung Leuser yang akan menghalangi saya pergi ke sana seperti keindahan Taman Musalla dan Sungai Ruknabad yang mampu menghalangi pengembaraan Hafiz Syirazi. Sepertinya tanah air yang baru dua bulan setengah saya tempati rela banget menjauhkan saya pergi dari pelukannya. Apalagi tanah air yang ada di Jekardah sana. Ikhlaaaaaaaas banget kayaknya. Ah, sudahlah…

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

05 Januari 2014

RIHLAH RIZA #19: JAUH KE MANA-MANA


RIHLAH RIZA #19: JAUH KE MANA-MANA

 

 

Bandara Kualanamu sudah menjadi titik-titik cahaya di bawah sana. Tiga orang dalam satu baris kursi pesawat Airbus A320 itu asyik membincangkan penempatan mereka. Terutama tentang sistem terbaru mutasi dan promosi di DJP. “Kita beruntung ditempatin di Medan. Deket ke mana-mana. Lebih enakan di sini daripada Aceh,” kata salah satu dari tiga orang itu. Mereka tak tahu satu orang yang duduk di belakang kursi mereka, ditempatkan di provinsi yang tak diinginkan mereka.              

**

Panglima Polim, tepatnya di bulan Desember 1903, datang ke Lhokseumawe untuk menyerah kepada Belanda.  Itu pun karena Belanda secara licik menangkap dan menyandera saudara-saudara terdekatnya. Ancamannya adalah membuang mereka dari Tanah Aceh. Ancaman sama yang pernah sukses dilakukan sebelumnya kepada Sang Sultan Muhammad Daud Syah. Cara ini efektif juga melemahkan perlawanan Panglima Polim. Cara keji Belanda:  menjauhkan pejuang dari homeland dan memisahkannya dari orang-orang yang dicintainya.

Lalu 110 tahun kemudian, giliran saya tiba di kota yang sama. Saya tidak pernah menyangka bisa berkunjung ke kota terbesar kedua di Aceh, Lhokseumawe ini. Saya seperti terpana pada ramai dan besarnya kota ini dibandingkan Tapaktuan.  Jalanan Banda Aceh menuju kota penghasil gas itu juga lebih lebar daripada jalanan Banda Aceh menuju Tapaktuan. Plus lebih hidup. Serupa Pantura Jawa minus tarlingnya.

Setelah mengikuti Forum Penagihan Kantor Wilayah (Kanwil) DJP yang berakhir sore itu di suatu hotel di sudut Banda Aceh, saya langsung dijemput oleh Mas Andy Purnomo untuk bareng menuju Lhokseumawe. Butuh waktu enam jam perjalanan darat menuju salah satu kota di pantai timur Aceh ini. Belum termasuk istirahat dua kali. Salah satunya makan malam di rumah makan terkenal di Sigli yang menyediakan ayam penyetnya.

Perjalanan berjalan lancar walaupun hujan mengiringi kami. Mobil yang dikemudikan teman kami, Rudy Zasmana, sampai di Lhokseumawe hampir jam satu malam.  Saya bersama Mas Andy menginap di hotel bintang tiga bernama Hotel Lido Graha. Namanya sama dengan suatu daerah wisata di Jawa Barat, di perbatasan antara Bogor dan Sukabumi.

Hotelnya setengah tua. Seperti hotel di tahun 80-an. Memasuki kamarnya pun tercium aroma lama. Hotel ini dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten ini dulu ibu kotanya Lhokseumawe, namun setelah Lhokseumawe dijadikan kota otonom maka ibu kotanya dipindahkan ke Lhoksukon.

Kalau di Aceh seringkali kita dengar nama daerah yang diawali atau diakhiri dengan kata Lhok. Seperti dua daerah yang disebut barusan. Ada juga Lhok Seumira, sebuah gampong yang ada di Bireuen atau  Meusale Lhok, salah satu gampong  di Kabupaten Aceh Besar. Di Tapaktuan ada gampong yang namanya Lhok Bengkuang dan Lhok Rukam. Kata lhok ini berasal dari bahasa Aceh yang artinya teluk, dalam, atau palung laut. Memang betul, dua daerah yang saya sebutkan terakhir itu lokasinya berada di teluk.

Saya harus segera beristirahat. Pagi-pagi saya kudu berangkat ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lhokseumawe karena acaranya akan diselenggarakan di sana. Setelah bersih-bersih, minum vitamin, menarik selimut,  mematikan lampu, baca doa, mata saya pun langsung terpejam.  Terjerembab dalam mimpi. Mimpi yang rumit. Tak jelas.

Kali ini saya diminta bantuannya oleh Mas Andy Purnomo untuk berbagi ilmu kepenulisan kepada peserta Forum Pelayanan dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) se-Kanwil DJP Aceh. Mereka adalah para eselon empat yang terdiri dari tujuh Kepala Seksi Pelayanan dan empat belas Kepala KP2KP.

Forum ini diselenggarakan selama dua hari. Kepala Kanwil DJP Aceh, Bapak Mukhtar, memberikan sambutan dan sekaligus membuka acara itu. Setengah acara di hari pertama dijadwalkan untuk pemaparan permasalahan pelayanan kantor masing-masing, setengah acara berikutnya pelatihan menulis artikel. Di hari kedua, para peserta diajak untuk menyaksikan penandatanganan memorandum of understanding antara Kanwil DJP Aceh dengan Universitas Malikussaleh.

 ???????????????????????????????

Salah satu sesi di acara Forum Pelayanan (Foto Koleksi Pribadi)

Yang saya lakukan dalam pelatihan itu sebagian besarnya hanyalah menumbuhkan motivasi. Selebihnya terkait teknis penulisan artikel. Dengan kata lain softskill lebih saya utamakan daripada hardskill di sesi pelatihan itu. Salah satu softskill itu adalah motivasi.  Motivasi penting buat menulis. Kalau tak ada motivasi jelas tak akan bisa. Bagi saya menulis itu gampang dan bisa dilakukan oleh siapa saja asal punya dua syarat ini: tekad dan selalu menulis. Saya saja bisa mengapa Anda tidak bisa? Itu yang selalu saya katakan kepada para peserta pelatihan.

Tekad dan latihan terus menerus itu perlu, penting, dan wajib. Teknisnya senantiasa berkembang mengikuti kuantitas karya yang dihasilkan. Bagi seorang penulis, bahkan saya yang pemula ini, setiap hari adalah momentum belajar untuk menghasilkan karya yang berkualitas. Setiap proses ‘penciptaan’ tulisan adalah momentum terbaik untuk memperbaiki karya. Bahkan satu ilmu paling dasar dalam menulis pun baru saya ketahui pekan-pekan ini saja. Artinya? Belajar tak akan pernah berhenti walaupun sudah banyak tulisan yang dibuat.

Tips-tips menulis artikel sudah saya berikan dalam pelatihan itu. Selesainya, tinggal kemauan besar dari para peserta untuk mempraktikkan semua yang didapat. Jikalau masih ada hambatan seperti mental block—contohnya menulis itu butuh mood, menulis itu hanya buat orang yang punya bakat, tulisannya jelek—yang menghalangi untuk menulis, yakinlah bahwa semua mental block hasil dari otak kiri itu akan hilang hanya dengan cara menulis menggunakan otak kanan. Abaikan, jangan pedulikan apa pun ketika memulai menulis.  Tulis saja semua yang dirasa, dilihat, didengar, dan diraba. Tetaplah semangat. Yakinlah Anda bisa.

Dari Lhokseumawe saya kembali ke Banda Aceh dengan menggunakan travel L300 sore itu. Dengan menempuh rute yang sama saat berangkat. Sebagiannya akan menyusuri pegunungan Seulawah Agam. Ingat Seulawah tentunya ingat kepada sebuah pesawat angkut pertama yang dibeli dengan menggunakan uang sumbangan rakyat Aceh saat awal-awal berdirinya Republik Indonesia ini: Dakota RI-001 Seulawah. Kalau mau melihat asli dari pesawat ini datang saja ke Taman Mini Indonesia Indah, sedangkan untuk melihat replikanya bisa dilihat di Blang Padang, Banda Aceh.

Pada akhirnya, di tepian kaca jendela L300, sambil memandang keluar menembus kepekatan malam saya merenung. Semuanya selesai dikerjakan dan saya bahagia meninggalkan Lhokseumawe di belakang. Bahagia karena sudah berbagi sedikit pengetahuan yang dipunya kepada orang-orang hebat di garis depan pelayanan DJP di provinsi yang “jauh ke mana-mana” ini: Kepala Seksi Pelayanan dan Kepala KP2KP se-Kanwil DJP Aceh. Juga bisa bertemu dengan anggota Forum Shalahuddin yang sebelumnya saya mengira ia tidak berkantor di KPP Pratama Lhokseumawe. Semoga semua itu bermanfaat.

Kalau saja saya tidak ditempatkan di Tapaktuan atau provinsi yang jauh ke mana-mana ini sepertinya saya tidak akan pernah bisa berkunjung ke Lhokseumawe. Sepertinya pula saya tidak akan pernah singgah di suatu daerah, tempat saya membuat, menyunting, dan menyelesaikan akhir dari tulisan ini: Pekanbaru. Di sebuah bandara. Bandara Sultan Syarif Kasim II.

Plang Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II (Foto Koleksi Pribadi)

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Pekanbaru, Riau

08:29 29 Desember 2012

 

 

KARENA ITU BAHAGIA KAMI, BILA?


KARENA ITU BAHAGIA KAMI, BILA?

Ini hari kelima Ramadhan. Di sebuah sore. Selalu ada de javu. Tentang makanan khas dan kenangan masa kecil. Tapi yang paling bahagia saat ini—ketika puluhan tahun kenangan itu tertinggal di belakang—tentunya buka puasa bersama dengan keluarga. Hari Sabtu dan Minggu adalah dua hari yang dimanfaatkan betul untuk melakukan ritual itu. Ritual yang sama diharapkan oleh milyaran penduduk muslim sedunia para pelaku ibadah puasa.

Bukankah ini satu dari dua kenikmatan yang didapat bagi orang yang berpuasa? Selain yang satu lagi adalah bertemu dengan wajah Allah kelak. Memang betul, nikmat sekali bukan kalau kita berbuka puasa? Tak ada orang yang memungkirinya. Kenikmatan itu berlipat ketika merasakannya bersama-sama dengan keluarga. Ada kehangatan. Ada suka cita. Kita merayakannya bersama. Entah di atas meja makan atau di atas tikar yang digelar di lantai.

Tapi itu tidak untuk hari lainnya yaitu di hari kerja biasa. Mengapa? Pada bulan selain ramadhan saya dan teman-teman Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Keuangan biasa pulang pada pukul 17.00. Di bulan puasa kami mendapatkan ‘dispensasi’ untuk pulang tidak seperti biasanya yaitu pulang pada pukul 16.30. Itu pun sebenarnya bukan dispensasi karena waktu istirahat kami dipotong 30 menit sebagai kompensasinya.

Dispensasi pulang cepat jam 16.30 ini juga berbeda dengan PNS-PNS lainnya yang pulang lebih cepat berdasarkan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 tahun 2013 tentang Penetapan Jam Kerja Pegawai Negeri Sipil pada Bulan Ramadhan. Jelas betul dalam surat edaran itu tentang tujuan dikeluarkannya penyesuaian jam kerja tersebut yaitu dalam rangka peningkatan kualitas pelaksanaan ibadah puasa bulan Ramadhan.

Instansi pemerintah yang memberlakukan lima hari kerja, masuk jam 08.00. Untuk hari Senin – Kamis, pulang jam 15.00, dengan waktu istirahat jam 12.00 – 12.30. Sedangkan hari Jumat, pulang jam 15.30, dengan waktu istirahat jam 11.30 – 12.30. Adapun bagi instansi yang memberlakukan enam hari kerja, masuk jam 08.00. Sedangkan pulang kerja hari Senin – Kamis dan Sabtu pada jam 14.00, dengan waktu istirahat jam 12.00 – 12.30. Sedangkan hari Jumat, pulang jam 14.30 dengan waktu istirahat jam 11.30 – 12.30.

Dengan penetapan ini, jumlah jam kerja bagi instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, yang menerapkan 5 hari atau 6 hari kerja, selama bulan Ramadhan sebanyak 32,5 jam per minggu.

Kami tetap masuk seperti biasa, paling lambat jam 07.30. Lalu pulang jam setengah lima sore. Jika di daerah, itu waktu yang cukup untuk mendapatkan saat berbuka bersama keluarga di rumah. Tapi kalau di seputaran Jabodetabek itu adalah hal yang bisa dibilang mustahil. Mengingat kemacetan dan jarak yang harus ditempuh oleh banyak moda transportasi.

Maka ketika adzan berkumandang, kami terbiasa mendengarnya di atas Commuter Line yang teramat padat. Atau di atas sepeda motor dengan ribuan biker lainnya. Atau di atas busway yang jalannya terbajak kendaraan bermotor lainnya, atau di atas bus jemputan. Bahkan ada yang selama 12 tahun kerja di Jakarta amatlah bisa dihitung dengan jari kesempatan berbuka puasa bersama keluarga di hari kerja biasa. Akhirnya terkadang juga tarawihnya pun tertinggal.

Ini bukan sebuah keluhan. Ini bukan pula sebuah gugatan. Bukan pula bentuk ketidaksyukuran kami atas nikmat masih berkumpulnya kami dengan keluarga. Tapi hanya sebuah keinginan tulus kami dari hati yang paling dalam bahwa kami juga ingin sama dengan PNS-PNS lainnya. Kami ingin lebih khusyu’ lagi beribadah di bulan Ramadhan sebagaimana tujuan dari dikeluarkannya edaran Menpan. Karena itu pun adalah bahagia kami. Bila?

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

6 Ramadhan 1434H

Ilustrasi dari sini

    

BIAR AIR MINUMNYA AKU AMBIL SENDIRI


Biar Air Minumnya Aku Ambil Sendiri

I.
Karena kau mencumbu beribu kertas yang berserakan di otakmu, aku tergugah dari tidur, membuyarkan jenak, dan membuatnya menjadi kepingan kecil serupa serutan es campur. Satunya tercabik di sudut ruangan ini, digigit semut, dan dibawa ke sarang, buat Sang ratu dan anak cucunya. Satunya lagi terjun dari lantai 19 bersama jutaan ekor gerimis yang tak sempat kau hitung. Satunya lagi menyamar bersama debu-debu di layar komputer bertanduk hingga membentuk mural akrilik. Dari sebuah pintu gerbang negeri dongeng kau hanya satu-satunya yang menyambut jenak itu. Lalu pikiranku terkilir. Perutku terpelintir bersama kecoa-kecoa busuk. Aku ingat waktu itu kau tersenyum mengejek bersama si Tua Ernest Hemingway. “Aku tak jadi pergi,” katamu. Sejak Saat yang mula menggencetku mampu bicara, aku seperti terjun di oase Gurun Gobi. Hausku hilang. Tak berbilang. Hingga ke pulau seberang. Istirahatlah.

II.
Aku bisa tabah. Hanya dengan sepiring senyummu sehari. Biar air minumnya aku ambil sendiri.
***

Riza Almanfaluthi
18:19 Lantai 19 Gedung Utama
dedaunan di ranting cemara
Didedikasikan buat Teman-teman Penelaah Keberatan
di Subdirektorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi yang tadi pagi
bergembira mendengar kabar itu.