RIHLAH RIZA #46: Ketika Tiba di Permukaan Tanah



Ilustrasi via lunar.thegamez.net

Empat tahun lalu, Luis Urzua adalah penambang terakhir yang diselamatkan dari kedalaman 700 meter di bawah permukaan laut. Bersama 32 temannya ia menjadi korban kecelakaan runtuhnya terowongan tambang dan terkubur hidup-hidup selama 69 hari. Setelah keluar dari kapsul penyelamat yang membawanya naik ke atas, Urzua memeluk Presiden Chili, Miguel Juan Sebastián Piñera Echenique. Kepada Sang Presiden, Urzua mengatakan, “Kami memiliki kekuatan dan iman untuk berjuang mempertahankan hidup kami.”

**

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #45: Ekspedisi Gua Kalam, Amazing Saudara-saudara!!!


Yang penting bukan seberapa keras Anda terbentur, tapi seberapa kuat tekad Anda untuk tetap maju walau terbentur, seberapa banyak Anda dapat menarik pelajaran dan bergerak merangsek ke depan.

(Rocky Balboa)

Hari ini Tapaktuan hangat dan cerah. Matahari memancarkan sinarnya ke lautan biru Samudera Hindia. Ombak putih menjadi zikir harian kota kecil ini. Sedangkan di atas, langit biru sedang bercengkerama dengan sedikit awan putih.

Mereka sepertinya bersepakat menemani rencana perjalanan kami kali ini. Bukan ekspedisi mencari batu, melainkan eskpedisi menyusuri salah satu tempat eksotis di Aceh Selatan: Gua Kalam.

Menurut legenda yang beredar di masyarakat Aceh Selatan, Gua Kalam ini tempat bertapanya Tuan Tapa dan tempat Putri Naga tinggal setelah diselamatkan Tuan Tapa dari cengkeraman sepasang naga yang menculik putri itu.

Baca Lebih Lanjut.

Rihlah Riza #44: Bukan Rahasia, Perhatikan Iluminasi Dalam Mushaf Ini



Mushaf Gumi Patut Patuh Patju.

Sejak kecil saya memang belajar Alquran dengan mushaf standar Indonesia. Baru masuk STAN–tahun 1994—saja saya mengenal mushaf timur tengah. Perbedaan di antara keduanya terbatas pada penggunaan harakat, tanda baca, dan tanda waqaf.


Mushaf Standar Indonesia.

Awalnya saya kesulitan. Pernah didaulat untuk tilawatilquran dalam sebuah acara. Dan itu pertama kalinya membaca mushaf timur tengah Akhirnya saya terbata-bata membacanya di hadapan khalayak ramai.

Mushaf timur tengah itu juga sering disebut mushaf pojok yakni mushaf Alquran yang pada pojok halaman bawah kiri merupakan akhir ayat. Mushaf ini sering dipakai oleh para penghafal Alquran karena memudahkan dan membantu ingatan mereka.

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #43: SAAT LAPANG BARU BERBAGI, SEMPIT EUWEUH



…dan Kami lebih dekat kepadanya

daripada urat lehernya. (Alqaaf:16)

Stasiun Kereta Api Medan. Tiga hari sebelum Ramadan 1435 H usai. Saat itu menjelang waktu berbuka puasa. Saya duduk di bangku tunggu stasiun dekat musala. Sembari menunggu pengumuman keberangkatan kereta yang akan mengantarkan saya ke Bandara Kualanamu.

Tidak seberapa lama, seorang laki-laki yang membawa troli bagasi penuh tas dan kardus datang mendekat. Mungkin ia akan ke toilet yang berada di sebelah tempat salat ini, pikir saya. Memandang wajahnya seperti sangat dekat. Pernah saya kenal.

Saya berinisiatif untuk menyapa duluan, “Mas, kayaknya saya kenal. Di mana yah?” Langsung dia menjawab, “Mas Riza yah?” Ia menyebut nama. “Kita pernah satu kos dulu,” katanya lagi. Ingatan saya langsung menuju kampus STAN dulu. Setelah itu kami hanyut dalam perbincangan masa lalu dan sekarang.

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #42: ANTARA TAPAKTUAN DAN GAZA: DI KARNAVAL INI TERSELIP DOA UNTUK MEREKA


ANTARA TAPAKTUAN DAN GAZA:

DI KARNAVAL INI TERSELIP DOA UNTUK MEREKA

Kemarin, ada petugas datang ke rumah dinas, mengecek dan menanyakan kepada para penghuni, “Mengapa bendera merah putih belumlah berkibar?” Esok Paginya merah putih itu telah kami kibarkan. Sensitivitas di daerah bekas konflik.

(Uswan, Ulee Kareng, Banda Aceh)

Karnaval peringatan HUT RI yang ke-69 berlangsung meriah hari ini (16/8). Sebanyak 17 gampong di Kecamatan Tapaktuan menjadi peserta pawai. Selain berbusana daerah dan tampilan khas para pejuang kemerdekaan, para peserta karnaval menampilkan atraksi-atraksi hebat yang dipersembahkan kepada masyarakat.

Titik pusat karnaval berada di Jalan Merdeka, Tapaktuan. Di sana didirikan panggung tempat Bupati dan Wakil Bupati hadir dan melihat jalannya acara. Yang menarik dari panggung tersebut adalah pesan yang ditulis di atas sebuah papan dan berada di depan meja Bupati. Pesan itu berbunyi: “DOA KAMI UNTUK GAZA”. Pesan yang mengingatkan kepada dunia bahwa masyarakat Aceh Selatan yang jaraknya ribuan kilometer dari Palestina ini sungguh peduli terhadap nasib penduduk Gaza yang ditindas dan dibantai Israel.

Baca lebih lanjut

RIHLAH RIZA #41: INI CERITA GAJAH YANG TAK TAMPAK DI PELUPUK MATA


RIHLAH RIZA #41: INI CERITA GAJAH YANG TAK TAMPAK DI PELUPUK MATA

Apa kabar, Pengelana Muda? Tak kujumpai kamu di setiap langkahku. Atau aku melangkah di jalan yang salah?

( Surat Jesse kepada Roy dalam Balada si Roy 2-Gola Gong)

Hari ini, Ahad, saya harus berangkat kembali ke Tapaktuan setelah liburan dan cuti lebaran selama dua minggu. Tapi tunggu dulu, ada sesuatu yang tertinggal. Ada dokumen yang harus saya bawa ke kota tempat kerja saya itu. Maka saya mencari dokumen tersebut dalam kantung plastik tempat saya biasa menyimpan segala sesuatu yang penting.

Sampai suatu ketika tangan saya menyentuh amplop berwarna telur asin. Saya tergerak membukanya. Ada dua lembar kertas warna putih berukuran A4. Kertas ini membawa ingatan saya kepada suatu waktu hampir empat tahun yang lalu. Kertas surat yang saya baca di atas bus Kopaja. Sebuah surat perpisahan.

Ya surat perpisahan. Namun bukan seperti surat perpisahan dari Jesse kepada anak bengal yang bernama Roy. Melainkan surat perpisahan yang bercerita banyak dan menyertai bingkisan dari teman-teman satu seksi saya di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Empat.

Saat itu saya memang dipindahtugaskan dari kantor tersebut ke kantor saya yang baru di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tepatnya di Direktorat Keberatan dan Banding. Surat itu kini saya baca ulang. Tetap saja ada rasa haru yang muncul. Saya membacanya perlahan. Sahabat-sahabat saya tersebut terlalu berlebihan menilai saya. Saya belum seberapa dengan mereka sendiri. Membacanya…

Baca Lebih Lanjut.

RIHLAH RIZA #40: BUKU, KUE , DAN TAS


RIHLAH RIZA #40: BUKU, KUE , DAN TAS

Akan dipergilirkan kepada mereka tertawa usai kesedihan. Dan akan dipergilirkan kepada mereka sedih usai tertawa.

Saya tidak tahu mau bicara atau menulis apa atas begitu banyak keberkahan yang dilimpahkan pada Ramadhan 1435 H ini. Walau dengan tertatih-tatih mengejar segala ketertinggalan amalan di bulan mulia itu. Semuanya dimudahkan oleh Allah. Sepanjang doa yang terlantun memang terselip salah satu doa: Allahumma yassir wala tu’assir. Ya Allah mudahkanlah dan jangan Engkau persulit.


(Sumber foto dari sini)

    Maka pengalaman puasa di Tapaktuan ini terasa berbeda ketika di Jakarta. Alhamdulillah saya tidak merasakan batuk yang seringkali mendera saat saya berpuasa. Makanan insya Allah senantiasa terjaga, terkendali, dan tidak berlebihan. Terutama tidak minum yang dingin-dingin di saat berbuka.

Shalat tarawih pun benar-benar dijalankan dengan penuh kekhusyukan. Apalagi rata-rata para imam salat di masjid atau meunasah bacaannya bagus-bagus seperti para masyaikh atau imam Masjidil Haram itu. Suatu saat air mata saya meleleh deras ketika mendengar bacaan imam salat magrib di masjid kompleks Gedung Keuangan Negara di Banda Aceh. Bacaannya seperti bacaan Ahmad Saud. Mungkin pada saat itu frekuensi hati lagi menyambung dengan langit.

Baca lebih lanjut.

RIHLAH RIZA #39: WEDANG JAHE SEGORO NING ILAT


RIHLAH RIZA #39: WEDANG JAHE SEGORO NING ILAT

 

“Di dalam surga itu mereka diberi segelas minum (minuman) yang campurannya adalah jahe.”

(Alquran yang Mulia, Alinsaan 17)

 

Tapaktuan itu kota kecil yang mempunyai pilihan makanannya sedikit. Selain itu tidak semua makanan ataupun masakannya bisa sesuai dengan lidah Jawa akut saya ini. Seringkali lauk-pauk yang dijual di warung-warung itu terhidang “anyeb” (tidak hangat). Tentu tak akan pernah bisa menggugah selera. Makan pun jadi sekadar rutinitas wajib agar jangan sampai perut kosong. Maka kalau ada teman satu mes saya yang masak dan saya diizinkan untuk mencicipi masakannya itu adalah anugerah yang luar biasa buat saya.

Tapi saya tidak bisa masak. Saya hanya bisa masak air putih, nasi, jagung, dan mi rebus. Masak nasi pun terkadang hasilnya kering-kering sekali atau lembek-lembek sekali. Namun suasana makmeugang dan Ramadhan memberikan kesempatan besar kepada saya untuk belajar memasak. Karena apa? Selain karena alasan di atas, malas pergi keluar saat sahur menjadi alasan utama.

Untuk itu, saya sering pergi ke pasar. Beli ikan, telur, gula, minyak sayur, sayur-sayuran, dan masih banyak lagi yang lainnya. Walau seringkali yang masak itu bukan saya melainkan teman satu mes saya. Tapi saya juga berusaha mencoba. Belajar masak dari Google dengan mencari resep-resep memasak yang sederhana. Bahan-bahannya yang mudah dicari dan dengan alat masak yang umum-umum saja serta tidak aneh-aneh.

Saya membuat tempe goreng, ikan bakar, ikan goreng, telur dadar, omelet mi, tumis kangkung, nasi goreng, bubur kacang ijo, dan wedang jahe. Hasilnya ya begitulah. Kalau dinilai dapat C. Saya pernah membuat nasi goreng di sahur hari pertama dengan menggunakan bumbu instan. Hasilnya tidak habis saya makan karena nasi goreng itu berminyak. Pantas kalau saya sebut nasi goreng itu sebagai Nasi Goreng Ladang Minyak Cepu.

Tapi ada yang sungguh sukses luar biasa yaitu ketika saya berhasil membuat bubur kacang ijo sebagai menu berbuka puasa. Bahannya mudah dicari dan tidak banyak. Antara lain kacang ijo, gula merah, santan, daun pandan dan sedikit garam. Saya benar-benar ikuti apa yang diinstruksikan dalam resep dari sebuah blog masak itu. Terutama dalam hal takaran dan cara memasaknya. Saya tak mau ambil resiko dengan berimprovisasi. Supaya kalau tidak enak jangan saya yang disalahkan tetapi pembuat resepnya. He he he he…bisa saja.

Hasilnya sungguh luar biasa. Bubur kacang ijo yang saya bikin sambil bawa-bawa hp dan baca blog masakan itu jadi hidangan berbuka puasa yang pas. Saya sampai geleng-geleng kepala tiada mengira atas keberhasilan membuatnya. Teman-teman saya pun sampai berkali-kali nambah. Saya sangat berterima kasih sekali kepada pembuat resepnya. Semoga amalnya dibalas Allah dengan balasan yang banyak. Pantaslah jika bubur kacang ijo itu saya sebut sebagai Bubur Kacang Ijo Manna dan Salwa. Saya ambil nama ini dari nama makanan surga yang disia-siakan oleh Bani Israil selepas lolos dari kejaran bala tentara Fir’aun.

Bubur Kacang Ijo Manna dan Salwa. Kata Teh Windy Ariestanti Hera Supraba, kacang ijo yang tidak tenggelam itu berarti kacang ijonya gabug (Foto koleksi pribadi).

 

Lain hari, saya membuat tumis kangkung. Masaknya dengan insting saja. Tidak buka-buka hp. Wajan bekas goreng ikan sebelumnya itu tidak saya bersihkan. Biarkan apa adanya. Agar terasa kangkung itu dengan rasa ikan. Enggak tahu benar apa tidaknya cara seperti ini. Alhamdulillah jadi. Hasilnya lumayan. Buat teman yang tidak suka asin tumis kangkung saya ini sudah pas. Tapi bagi teman yang lainnya dan saya sendiri yang orang Cirebon rasa tumis kangkung itu jelas kurang pas. Wong Cerbon itu suka yang asin-asin. Karena kami berdua sama-sama sedang dalam perantauan dan jauh dari kampung maka pantaslah kalau tumis kangkung ini saya namakan Tumis Kangkung Sinbad Berkelana.

Lain waktu saya mencoba membuat wedang jahe sebagai teman menu utama buka puasa. Setelah saya googling resepnya sederhana. Semua resep yang saya baca mereferensikan daun serai sebagai salah satu bahannya. Jahe, gula merah, daun pandan, garam, dan daun serai adalah bahan utamanya. Saya pikir semuanya ada di mes kecuali gula merah dan jahenya. Maka saya pun pergi ke pasar untuk membeli kedua bahan itu.

Saya mulai membuatnya satu jam sebelum waktu berbuka. Saya cuci bersih semuanya. Iseng saya menanyakan ke teman satu mes saya yang jago masak.

“Bang, batang serai ini masih bagus, kan?” Tanya saya sambil menunjukkan benda keras dan panjang berwarna coklat kepadanya.

“Bukan. Itu kayu manis.”

“Hah…Whaaaat?”

Ternyata saya salah mengira. Yang saya kira daun serai itu ternyata kayu manis. Terpaksa saya manyun. Pergi ke pasar jam segini pasti warung sudah pada tutup. Sepertinya saya akan menunda membuat wedang jahe itu. Tapi teman saya tahu kegundahan saya. Ia bilang kalau daun serai itu tanaman yang mudah ditemukan di halaman belakang mes. Tak lama ia sudah memberikan kepada saya beberapa batang daun serai. Oooo….ini toh yang namanya daun serai. Sebenarnya sudah sering saya lihat tapi tidak tahu benar kalau itu adalah daun serai.

Subhanallah. Maghrib itu jahe hangat menjadi minuman yang sangat nikmat. Jahe atau dalam bahasa arab disebut zanzabil ini merupakan campuran minuman di surga. Benarkah? Iya betul. Di dalam Alquran surat Alinsaan ayat 17 disebutkan, “Di dalam surga itu mereka diberi segelas minum (minuman) yang campurannya adalah jahe.”

Jahe di surga itu dari mana asalnya? Dari Hongkong? Dijawab pertanyaan itu di ayat selanjutnya, “(yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan Salsabil.”


Deu…deu…deu yang punya nama Salsabila.
Sekarang tahu bukan kalau Salsabila itu adalah nama mata air di surga. Indah nian. Cantik nian. Rima dalam akhir dua ayat itu pun juga indah: Zanzabila-Salsabila.

Saat meminumnya saya jadi teringat masa kecil saya dulu. Ibu saya sering beli jamu gendong. Biasanya yang ibu minum adalah jamu yang warnanya kuning dan terasa pahit. Untuk anak-anaknya kami diberinya segelas cairan warna coklat yang rasanya manis itu. Biasa sebagai penawar dan penghilang rasa pahit jamu. Itulah minuman jahenya. Hangat di lidah hangat di perut. Sore itu, ketika azan magrib berkumandang pantaslah kalau minuman jahe yang saya buat itu saya namakan Wedang Jahe Segoro Ning Ilat (Wedang Jahe Samudra di Lidah).

Duh maaf, puasa-puasa begini membahas hal beginian. Bagi yang sudah ahli memasak atau bagi ibu-ibu rumah tangga, pengalaman saya ini pengalaman remeh temeh. Biasa saja. Tidak ada yang aneh. Tapi bagi saya ini pengalaman yang sangat luar biasa. Minimal saya bisa masak bubur kacang ijo. Insya Allah akan saya praktikkan di Citayam sana untuk bantu-bantu Ummu Haqi. Saya juga jadi tahu mana kayu manis dan mana daun serai. Itu pelajaran berharga.

Kiri Kayu Manis, Kanan Daun Serai. Jangan sampai salah. (Gambar dari berbagai sumber).

 

Kata teman, kemampuan memasak ini akan meningkat seiring dengan waktu. Para tenaga kerja Indonesia di Timur Tengah pun demikian, sepulangnya dari perantauan, selain bertambahnya pengalaman, mereka pada jago masak. Semua berawal karena keterpaksaan, pada akhirnya memasak pun menjadi candu. Berhasil satu resep maka ingin mencoba resep lain. Ada teman saya yang lain sekarang kecanduan masak. Postingan Facebooknya penuh hasil olahannya.

Saya mungkin belum bisa seperti mereka yang jago masak itu. Saya hanya sekadar memenuhi sebatas kebutuhan perut saja. Cukup yang sederhana-sederhana saja. Yang penting saya bersyukur masih bisa makan. Apalagi di tengah keprihatinan karena masih banyak saudara-saudara kita, entah di Indonesia, di Somalia, atau pun di Jalur Gaza, yang pada susah makan. Entah karena kemiskinan, konflik, ataupun penjajahan.

Semoga Allah memberikan keberkahan atas apa yang kita makan. Allahumma lakasumtu wabika aamantu wa’alaa rizqika afthartu birahmatika yaa arhamarraahimiin.

 

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

11 Juli 2014

 

 

 

RIHLAH RIZA #38: MAKMEUGANG


RIHLAH RIZA #38: MAKMEUGANG

Ada tradisi yang dipegang begitu kuat oleh masyarakat Aceh, salah satunya adalah tradisi meugang atau makmeugang. Tradisi meugang adalah tradisi berkumpul dengan keluarga sembari makan-makan di hari terakhir bulan Sya’ban menjelang datangnya bulan Ramadhan. Enggak afdal kalau tidak berkumpul. Oleh karenanya, seminggu atau beberapa hari sebelum hari meugang tersebut banyak para perantau kembali pulang kampung.

Selain makan-makan dengan menu khusus maka yang muda berkunjung kepada yang lebih tua dengan menyerahkan bawaan berisi lauk-pauk—termasuk di dalamnya daging kerbau atau sapi yang diolah ke dalam berbagai macam masakan. Tidak heran di berbagai daerah di Aceh banyak bermunculan lapak-lapak baru di pinggir jalan yang khusus berjualan daging kerbau atau sapi.

Dalam masyarakat Aceh tradisi ini dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu menjelang bulan Ramadhan, menjelang hari raya Idul Fitri, dan menjelang hari raya Idul Adha. Tradisi ini berlangsung ratusan tahun dan sudah turun temurun dilaksanakan.

Menurut Acehpedia, pada awalnya meugang itu dilakukan pada masa Kerajaan Aceh. Waktu itu, Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagi-bagikan gratis kepada rakyat sebagai bentuk rasa syukur kemakmuran dan terima kasih kepada rakyatnya. Setelah Aceh dikalahkan Belanda, kerajaan bangkrut. Lalu, rakyat berpartisipasi sendiri dengan memotong sapi atau kerbau guna memeriahkan meugang.

Tradisi itu tetap berakar di tengah masyarakat Aceh sampai sekarang. Tradisi ini malah bisa membantu perjuangan pahlawan Aceh untuk bergerilya, yaitu daging yang diawetkan. Dengan daging awetan, tulis Acehpedia, pejuang Aceh dapat menjaga persediaan makanan yang tetap berkalori sehingga dapat bertahan selama perang gerilya.

Penjual daging di salah satu pasar di Aceh (gambar dari acehmail.com)

Di Tapaktuan, tradisi ini berimbas buat saya. Warung nasi tidak ada yang buka. Sebenarnya pemilik warung memahami urgensi keberadaan mereka buat para pekerja rantauan seperti saya ini. Apalagi buat yang menjomblo. Karena kepraktisan membeli makanan daripada memasak sendiri lebih jadi pilihan.

Tapi apa mau dikata, tradisi ini harus dipegang. Harus dihormati. Sebelas bulan mencari nafkah masak satu atau beberapa hari saja saja tutup tidak mau. Ada saja gunjingan ini kepada para pemilik warung yang masih buka.

Daripada saya kelaparan maka pada hari kedua sebelum Ramadhan saya pun membeli sembako sebagai persiapan antara lain lima butir telor, satu kilogram beras, dua ekor ikan, mi dan bumbu-bumbu instan. Sayang sekali tidak ada yang namanya sayur instan. Sedangkan kalau beli ikan tentu di pajak (baca pasar). Saya titip sama teman saya yang sering pergi belanja ke sana, J. Simorangkir, teman saya yang hobi banget makan ikan dan jalan-jalan pagi.

Tapaktuan ini terkenal dengan ikan segarnya. Seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Aceh, Nasir Jamil, saat dia tahu bahwa saya bekerja di Tapaktuan, langsung menyatakan kesukaannya dengan ikan-ikan di Tapaktuan yang segar, putih, dan empuk dagingnya itu. Dalam kunjungan kerjanya, ia pernah mampir di Tapaktuan.

Ya, saya sudah terbayang mau diapakan ikan ini. Dibakar dan digoreng. Ilmu cara bakar ikan dari teman satu mes saya yang jago masak: Tulus Mulyono Situmeang. Cukup dengan memberi garam dan perasan air jeruk nipis. Katanya enak. Kalau menggoreng ikan sepertinya tak perlu repot, bumbunya sudah ada, tinggal beli saja.

    Sahur pertama kali di negeri orang, sendirian, hanya dengan nasi berteman ikan bakar rasa seadanya tanpa sayur. Saya terima semuanya dengan berusaha lapang dada. Sebotol air putih sebagai penutup sahur untuk memulai hari pertama Ramadhan. Seraya memohon kepada Yang Maha Kuat agar Ia menguatkan fisik saya. Tidak hanya itu, saya meminta semua hajat pada-Nya. Bukankah waktu sahur adalah waktu teristimewa untuk kita berdoa?

    Sayyid Quthb ketika menafsirkan QS Alimran ayat 17 menggambarkan “as haar” yakni “pada waktu sahur” sebagai waktu malam menjelang fajar. Saat yang hening, menimbulkan nuansa lembut dan tenang, dan tercurahlah semua perasaan serta getaran yang tertahan dalam hati. Mereka yang sabar, jujur, taat kepada Allah, suka berinfak, dan memohon ampunan kepada Allah pada waktu sahur, akan mendapatkan “keridaan Allah”. Merekalah—yang menurut Penulis Kitab Fii Dzilaalil Qur’an ini—layak mendapatkan keridaan dengan naungannya yang segar dan maknanya yang penuh kasih sayang. Ibnu Hajar mengatakan doa dan istighfar di waktu sahur adalah diijabahi (dikabulkan).

    Alhamdulillah, hari pertama dilalui dengan mudah. Sirine tanda berbuka puasa berbunyi nyaring dari masjid yang berada di salah satu sudut kota Tapaktuan. Selain pada waktu berbuka puasa, sirine ini berbunyi pada jam tiga dan empat pagi, serta pada waktu imsak. Saya meminum segelas air teh hangat. Sepiring nasi dan dua potong ikan goreng yang setengah jam sebelumnya saya masak. Itu saja. Tidak ada yang lain. Tapi benar-benar nikmatnya luar biasa. Benar apa yang dikatakan Kanjeng Nabi Muhammad saw, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan. Kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-Nya.” Semuanya jadi nikmat karena diterima dengan gembira.

    Pun, foto yang dikirimkan oleh istri saya melalui aplikasi whatsapp di waktu duha sebelumnya meneguhkan kembali kesadaran saya tentang arti banyak-banyak bersyukur terhadap hidangan berbuka puasa. Foto yang bertuliskan dengan huruf besar “Renungan Ramadhan” dan terdapat gambar seorang laki-laki berpakaian tradisional Arab sedang mengusap air matanya dengan sapu tangan. Tulisan di bawah gambar menjelaskan lebih lanjut.

Seorang mufti besar Arab Saudi menangis terisak-isak setelah menerima soalan melalui telefon dalam sebuah rancangan TV live. Panggilan tersebut datang daripada seorang saudara Islam dari Somalia dengan pertanyaan: “Adakah puasa saya (dan kami) sah dan diterima Allah SWT sedangkan saya (kami) tidak dapat bersahur atau berbuka?” Saudara kita di Somalia tiada apa-apa untuk bersahur dan berbuka sedang kita enak menjamu selera dan aman damai.

    Di Citayam, buka puasa sudah satu jam sebelumnya. Ada yang membuat haru ketika saya mendapatkan foto lain yang terkirim dari Umi Haqi. Foto yang menggambarkan Mas Haqi, Mas Ayyasy, dan Kinan duduk bersama di atas meja makan sambil menyantap dengan lahap hidangan buka puasa. Subhanallah. Insya Allah tetap afdal keberadaan kita walau dipisahkan oleh jarak dan waktu di hari meugang dan pertama ramadhan ini. Yang terpenting adalah keberadaan Allah tetap di hati kita masing-masing. Insya Allah.

    Bagaimana hari pertama Ramadhan Anda?

070614_1223_MAKMEUGANG2.jpg

Mas Ayyasy dan Mas Haqi sedang menyantap hidangan berbuka puasa.

070614_1223_MAKMEUGANG3.jpg

Kinan lagi buka puasa sebedug dan semaghrib.

070614_1223_MAKMEUGANG4.jpg

Kinan lagi salat. Plirak-plirik.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

03 Juli 2014

RIHLAH RIZA #37: YANG DIPERTOAN AGONG


RIHLAH RIZA #37: YANG DIPERTOAN AGONG

 

Namun, praktik pengajaran Bu Mus dan “stadium general” Pak Harfan berpijak pada prinsip yang tidak menyeragamkan standar kecerdasan anak. Semua murid diberi keleluasaan mengembangkan minat, potensi, dan bakat masing-masing.

(Asrori Karni-Laskar Pelangi: The Phenomenon)

 

Awalnya saya mengira kalau harga tiket pesawat dari Medan ke Jakarta atau sebaliknya akan mahal jika menjelang mudik atau balik lebaran, ternyata itu salah. Bahkan harga tiket pesawat ikut-ikutan mahal ketika satu minggu menjelang Ramadhan serta bertepatan dengan liburan sekolah. Saya sampai kehabisan tiket pulang dari Jakarta ke Medan pada hari Ahadnya. Terpaksa izin tidak masuk satu hari kerja di hari Senin untuk bisa kembali ke Tapaktuan.

Pulang ke Citayam kali ini memang bukan di jadwalnya. Namun mau tidak mau saya wajib pulang karena harus menghadiri momen langka dalam seumur hidup saya. Menyaksikan prosesi wisuda anak saya yang kedua: Muhammad Yahya Ayyasy Almanfaluthi. Alhamdulillah, Ayyasy lulus ujian Sekolah Dasar. Syukurnya juga adalah nilainya pun menduduki peringkat kedua dari seluruh teman-teman SD-nya. Selisih 0,05 dari teman perempuannya yang menduduki peringkat pertama.

Saat Ayyasy dipanggil oleh pembawa acara wisuda sebagai peraih nilai tertinggi ujian dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia kami terkejut. Karena sesungguhnya kami tidak menyangka. Sewaktu try out, untuk pelajaran Bahasa Indonesia Ayyasy selalu mendapatkan nilai lebih kecil dibandingkan dengan dua mata pelajaran lainnya: IPA dan Matematika.

Kami—abi dan uminya—pun tidak memaksakan ia harus meraih nilai tinggi dalam ujian. Kami sangat menghargai proses. Tidak pada hasil akhir. Yang terpenting bagi kami adalah ia harus belajar. Belajar adalah ikhtiar yang wajib dilakukan olehnya sebagai manusia. Doa adalah ikhtiar lanjutannya. Insya Allah hasil menjadi efek ikutan.

Bentuk proses yang kami hargai di sana adalah bahwa haram hukumnya mendapatkan nilai dengan menggunakan cara-cara yang tidak halal. Pihak sekolah pun sangat mendukung. Oleh karenanya, tidak ada istilah bagi-bagi jawaban saat mau ujian. Tidak ada juga istilah saling mencontek. Di sinilah saat kejujuran menjadi “yang dipertoan agong“. Lebih baik mendapatkan nilai rendah tapi didapat dengan kejujuran daripada nilai tinggi yang didapat dengan cara-cara culas. Syukurnya pula Ayyasy dan teman-temannya lulus semua dengan nilai yang memuaskan. Insya Allah berkah.

Di sekolah Ayyasy terdapat empat siswa yang mendapatkan nilai sempurna dalam ujian sekolah. Ayyasy bukan salah seorang di antara mereka. Tapi itu tidak mengapa. Dan dipanggilnya Ayyasy ke atas panggung yang mengejutkan itu membuat kami bangga. Ya betul, terselip rasa bangga. Sangat manusiawi. Ayyasy mampu mewujudkan apa yang pernah kami sampaikan kepadanya di suatu waktu, “Ayyasy bisa tidak membuat Abi dan Umi bangga?”

Itu bukan tuntutan tapi harapan. Kami tidak memaksa. Kami tidak memukul atau menghina atau menindasnya secara fisik atau verbal ketika Ayyasy tidak mampu mewujudkannya. Apa adanya saja. Sambil kami terus berdoa agar Ayyasy sukses dunia dan akhirat. Tentu yang sering kami katakan dan bayangkan adalah sungguh kebahagiaan yang luar biasa jika ia membuat bangga kami di akhirat dengan amalan-amalan salehnya.

Yang menarik lagi dalam prosesi wisuda itu adalah pihak sekolah juga memanggil semua siswa ke atas panggung untuk menerima ucapan selamat dan plakat penghargaan. Plakat atas keberhasilan mereka menjadi yang terbaik dalam kecerdasan lain yang mereka miliki. Ya, kecerdasan ala Howard Gardner itu tidak terbatas kecerdasan kata dan logika melainkan ada banyak kecerdasan lainnya (multiple intelligences) seperti cerdas gambar, cerdas musik, cerdas tubuh, cerdas diri, cerdas bergaul, dan cerdas alam. Howard Gardner mencetuskan delapan kecerdasan itu di tahun 1983 dan tahun 1990-an.

Dengan pemberian ini sekolah sangat meyakini bahwa teman-teman Ayyasy pun memiliki kecerdasan yang tidak dapat diremehkan. Ini upaya yang sesungguhnya mengangkat mental mereka. Dengan ini pihak sekolah yakin, di dunia yang serba materialistis dan mengagungkan IQ (intelligence quotient) sebagai ukuran kecerdasan serta kesuksesan, mereka tidaklah bodoh, mereka unik, mereka adalah siswa berprestasi di bidangnya.

Melihat itu pikiran saya mengembara pada Ibu Muslimah dan Pak Harfan dalam novel dan film Laskar Pelangi. Dua sosok yang mampu mendidik murid-muridnya di sekolah yang hampir roboh itu tanpa menyeragamkan standar kecerdasan anak pada kecerdasan bahasa dan logika. Mereka mendahului Howard Gardner dalam praktiknya. Dan ini berhasil membuat anak-anak didik mereka mempunyai semangat bertempur yang besar melawan ketidakberdayaan dan kemiskinan untuk dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ini mencerahkan.

Malamnya, kami lengkap berlima berkumpul di ruang tengah. Mas Haqi—pangeran, pewaris tahta keluarga, dan pemilik cerdas bergaul—sudah kami jemput dari Pesantren Alkahfi. Ia libur dua minggu. Nanti di awal Juli ia harus kembali sekolah dan tentunya bersama Ayyasy. Ya, Ayyasy mengikuti jejak kakaknya melanjutkan sekolah di sana. Kelak di rumah tinggal Umi dan Kinan. Umi sudah mulai membayangkan rumah ini semakin sepi saja. Nantinya tak ada celoteh dan pertengkaran kecil antara Ayyasy dan Kinan. Pertengkaran yang selalu kami lerai tapi suatu saat dirindu juga.

Waktu berjalan dengan cepat sekali. Besok saya harus kembali ke Tapaktuan. Kami harus berpisah lagi. Saya bersyukur masih bisa berkumpul di waktu singkat ini. Berkumpul dengan nilai yang sangat mahal. Tapi tidaklah mengapa. Karena ada sesuatu yang tidak dapat disetarakan dengan uang. Yakni sebuah kebahagiaan. Ya, kebahagiaan bisa melihat Ayyasy diwisuda. Kami bisa berfoto bersama. Kami bisa menegaskan pada Ayyasy bahwa abinya ada untuknya. Saya, abinya, ada untuk membuat simpul agar ikatan batin ini semakin erat, erat, dan erat. Sekali lagi, tidak ada kata terlambat untuk membuat ikatan antara ayah dan anaknya.

Ayyasy, Umi, dan Kinan.

 

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

27 Juni 2014