RIHLAH RIZA #37: YANG DIPERTOAN AGONG
Namun, praktik pengajaran Bu Mus dan “stadium general” Pak Harfan berpijak pada prinsip yang tidak menyeragamkan standar kecerdasan anak. Semua murid diberi keleluasaan mengembangkan minat, potensi, dan bakat masing-masing.
(Asrori Karni-Laskar Pelangi: The Phenomenon)
Awalnya saya mengira kalau harga tiket pesawat dari Medan ke Jakarta atau sebaliknya akan mahal jika menjelang mudik atau balik lebaran, ternyata itu salah. Bahkan harga tiket pesawat ikut-ikutan mahal ketika satu minggu menjelang Ramadhan serta bertepatan dengan liburan sekolah. Saya sampai kehabisan tiket pulang dari Jakarta ke Medan pada hari Ahadnya. Terpaksa izin tidak masuk satu hari kerja di hari Senin untuk bisa kembali ke Tapaktuan.
Pulang ke Citayam kali ini memang bukan di jadwalnya. Namun mau tidak mau saya wajib pulang karena harus menghadiri momen langka dalam seumur hidup saya. Menyaksikan prosesi wisuda anak saya yang kedua: Muhammad Yahya Ayyasy Almanfaluthi. Alhamdulillah, Ayyasy lulus ujian Sekolah Dasar. Syukurnya juga adalah nilainya pun menduduki peringkat kedua dari seluruh teman-teman SD-nya. Selisih 0,05 dari teman perempuannya yang menduduki peringkat pertama.
Saat Ayyasy dipanggil oleh pembawa acara wisuda sebagai peraih nilai tertinggi ujian dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia kami terkejut. Karena sesungguhnya kami tidak menyangka. Sewaktu try out, untuk pelajaran Bahasa Indonesia Ayyasy selalu mendapatkan nilai lebih kecil dibandingkan dengan dua mata pelajaran lainnya: IPA dan Matematika.
Kami—abi dan uminya—pun tidak memaksakan ia harus meraih nilai tinggi dalam ujian. Kami sangat menghargai proses. Tidak pada hasil akhir. Yang terpenting bagi kami adalah ia harus belajar. Belajar adalah ikhtiar yang wajib dilakukan olehnya sebagai manusia. Doa adalah ikhtiar lanjutannya. Insya Allah hasil menjadi efek ikutan.
Bentuk proses yang kami hargai di sana adalah bahwa haram hukumnya mendapatkan nilai dengan menggunakan cara-cara yang tidak halal. Pihak sekolah pun sangat mendukung. Oleh karenanya, tidak ada istilah bagi-bagi jawaban saat mau ujian. Tidak ada juga istilah saling mencontek. Di sinilah saat kejujuran menjadi “yang dipertoan agong“. Lebih baik mendapatkan nilai rendah tapi didapat dengan kejujuran daripada nilai tinggi yang didapat dengan cara-cara culas. Syukurnya pula Ayyasy dan teman-temannya lulus semua dengan nilai yang memuaskan. Insya Allah berkah.
Di sekolah Ayyasy terdapat empat siswa yang mendapatkan nilai sempurna dalam ujian sekolah. Ayyasy bukan salah seorang di antara mereka. Tapi itu tidak mengapa. Dan dipanggilnya Ayyasy ke atas panggung yang mengejutkan itu membuat kami bangga. Ya betul, terselip rasa bangga. Sangat manusiawi. Ayyasy mampu mewujudkan apa yang pernah kami sampaikan kepadanya di suatu waktu, “Ayyasy bisa tidak membuat Abi dan Umi bangga?”
Itu bukan tuntutan tapi harapan. Kami tidak memaksa. Kami tidak memukul atau menghina atau menindasnya secara fisik atau verbal ketika Ayyasy tidak mampu mewujudkannya. Apa adanya saja. Sambil kami terus berdoa agar Ayyasy sukses dunia dan akhirat. Tentu yang sering kami katakan dan bayangkan adalah sungguh kebahagiaan yang luar biasa jika ia membuat bangga kami di akhirat dengan amalan-amalan salehnya.
Yang menarik lagi dalam prosesi wisuda itu adalah pihak sekolah juga memanggil semua siswa ke atas panggung untuk menerima ucapan selamat dan plakat penghargaan. Plakat atas keberhasilan mereka menjadi yang terbaik dalam kecerdasan lain yang mereka miliki. Ya, kecerdasan ala Howard Gardner itu tidak terbatas kecerdasan kata dan logika melainkan ada banyak kecerdasan lainnya (multiple intelligences) seperti cerdas gambar, cerdas musik, cerdas tubuh, cerdas diri, cerdas bergaul, dan cerdas alam. Howard Gardner mencetuskan delapan kecerdasan itu di tahun 1983 dan tahun 1990-an.
Dengan pemberian ini sekolah sangat meyakini bahwa teman-teman Ayyasy pun memiliki kecerdasan yang tidak dapat diremehkan. Ini upaya yang sesungguhnya mengangkat mental mereka. Dengan ini pihak sekolah yakin, di dunia yang serba materialistis dan mengagungkan IQ (intelligence quotient) sebagai ukuran kecerdasan serta kesuksesan, mereka tidaklah bodoh, mereka unik, mereka adalah siswa berprestasi di bidangnya.
Melihat itu pikiran saya mengembara pada Ibu Muslimah dan Pak Harfan dalam novel dan film Laskar Pelangi. Dua sosok yang mampu mendidik murid-muridnya di sekolah yang hampir roboh itu tanpa menyeragamkan standar kecerdasan anak pada kecerdasan bahasa dan logika. Mereka mendahului Howard Gardner dalam praktiknya. Dan ini berhasil membuat anak-anak didik mereka mempunyai semangat bertempur yang besar melawan ketidakberdayaan dan kemiskinan untuk dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ini mencerahkan.
Malamnya, kami lengkap berlima berkumpul di ruang tengah. Mas Haqi—pangeran, pewaris tahta keluarga, dan pemilik cerdas bergaul—sudah kami jemput dari Pesantren Alkahfi. Ia libur dua minggu. Nanti di awal Juli ia harus kembali sekolah dan tentunya bersama Ayyasy. Ya, Ayyasy mengikuti jejak kakaknya melanjutkan sekolah di sana. Kelak di rumah tinggal Umi dan Kinan. Umi sudah mulai membayangkan rumah ini semakin sepi saja. Nantinya tak ada celoteh dan pertengkaran kecil antara Ayyasy dan Kinan. Pertengkaran yang selalu kami lerai tapi suatu saat dirindu juga.
Waktu berjalan dengan cepat sekali. Besok saya harus kembali ke Tapaktuan. Kami harus berpisah lagi. Saya bersyukur masih bisa berkumpul di waktu singkat ini. Berkumpul dengan nilai yang sangat mahal. Tapi tidaklah mengapa. Karena ada sesuatu yang tidak dapat disetarakan dengan uang. Yakni sebuah kebahagiaan. Ya, kebahagiaan bisa melihat Ayyasy diwisuda. Kami bisa berfoto bersama. Kami bisa menegaskan pada Ayyasy bahwa abinya ada untuknya. Saya, abinya, ada untuk membuat simpul agar ikatan batin ini semakin erat, erat, dan erat. Sekali lagi, tidak ada kata terlambat untuk membuat ikatan antara ayah dan anaknya.
Ayyasy, Umi, dan Kinan.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
27 Juni 2014