Rihlah Riza #44: Bukan Rahasia, Perhatikan Iluminasi Dalam Mushaf Ini



Mushaf Gumi Patut Patuh Patju.

Sejak kecil saya memang belajar Alquran dengan mushaf standar Indonesia. Baru masuk STAN–tahun 1994—saja saya mengenal mushaf timur tengah. Perbedaan di antara keduanya terbatas pada penggunaan harakat, tanda baca, dan tanda waqaf.


Mushaf Standar Indonesia.

Awalnya saya kesulitan. Pernah didaulat untuk tilawatilquran dalam sebuah acara. Dan itu pertama kalinya membaca mushaf timur tengah Akhirnya saya terbata-bata membacanya di hadapan khalayak ramai.

Mushaf timur tengah itu juga sering disebut mushaf pojok yakni mushaf Alquran yang pada pojok halaman bawah kiri merupakan akhir ayat. Mushaf ini sering dipakai oleh para penghafal Alquran karena memudahkan dan membantu ingatan mereka.

Nah, teman-teman ngaji di kampus memulai atau mengakhiri membaca Alquran selalu berpatokan dengan halaman, bukan ayat. Sedangkan mushaf standar Indonesia yang saya miliki memenggal ayat di akhir halaman. Jadi pojok kiri bawahnya beda dengan mushaf timur tengah.

Sejak saat itulah saya mulai membiasakan diri membaca mushaf timur tengah. Tidak butuh waktu lama untuk dapat menguasainya. Kesulitankah untuk membaca kembali mushaf standar Indonesia? Syukurnya tidak. Apalagi sekarang sudah berayat pojok juga.

*

“Bisa baca mushaf Indonesia tidak?” Tanya seorang ustad penghafal 30 juz itu kepada saya akhir Agustus 2014 lalu.

“Alhamdulillah bisa Tad.”

“Ya udah, ini nanti ada mushaf dari Lombok Barat buat Antum.”

“Jazaakallah Ustad. Tapi bentuknya sama dengan Alquran pojok kan Ustad?

“Sama saja,” Jawab ustad yang bernama Badruddin ini.

Selain penghafal Alquran beliau juga adalah pentashih Alquran dari Kementerian Agama yang tugasnya meneliti dan menjaga penulisan, rekaman, terjemah, dan tafsir Alquran. Wajar kalau kemudian ia sering mendapatkan mushaf dari para penerbit untuk kemudian ditashih olehnya.

Akhirnya mushaf itu berangkat dari Citayam dan sekarang menemani saya di Tapaktuan. Saya sangat senang menerima pemberian ini. Tulisannya yang besar-besar membantu mata saya untuk tidak cepat lelah saat membacanya.

*

Ada yang menarik dari mushaf yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat pada tanggal 6 Agustus 2012 ini. Desain Alqurannya kental dengan ornamen atau iluminasi lokal. Iluminasi—mengutip Ali Akbar—hiasan naskah yang bersifat abstrak, tidak fungsional menjelaskan teks seperti ilustrasi, dan berfungsi semata “memperterang”, atau sebagai “penerang” bagi teks yang disajikan.

Iluminasi dalam mushaf itu benar-benar mencerminkan dan merepresentasikan khazanah budaya Lombok Barat atau suku Sasak. Pun, semua ornamen tersebut telah dilindungi dan dipegang hak ciptanya oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang mempunyai moto Patut Patuh Patju.

Oleh karenanya mushaf ini pun disebut dengan mushaf Gumi Patut Patuh Patju. Secara keseluruhan mempunyai arti sebagai berikut. Gumi adalah bumi. Patut berarti baik, terpuji, hal yang tidak berlebih-lebihan. Patuh berarti rukun, damai, toleransi dan harga menghargai. Patju adalah rajin, giat, tak mengenal putus asa.


Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju

Ada tujuh ornamen yang sarat makna filosofis dan religius sebagaimana diterangkan dalam penjelasan di bagian belakang mushaf itu.

Pertama, Lawang Kuring. Ornamen ini berbentuk pintu pada kaver mushaf. Merupakan representasi dari pintu kerajaan. Memiliki makna bahwa untuk dapat meraih kemuliaan sejati dan kebahagiaan abadi hendaknya melewati pintu ini (baca: Alquran).


Lawang Kuring (Sumber Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju).

Kedua, Lumbung. Simbol pusat kemakmuran masyarakat dengan empat tiang penyangga yang merepresentasikan kerjasama yang baik antara Nyaka (pemerintah), Guru (cerdik pandai), Pandita (tokoh agama), dan Kira (tokoh masyarakat). Ornamen ini sebagai penanda halaman. Mengandung makna bahwa isi kandungan Alquran bila dipahami dan diamalkan dengan benar dan utuh akan membimbing umat dalam memperoleh kemakmuran.


Lumbung (Sumber Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju).

Ketiga, Ornamen Mandalika. Tumbuhan liar dengan bunga yang indah. Bunganya bisa menjadi obat penyerap racun. Ornamen ini mendominasi iluminasi secara keseluruhan baik di sampul ataupun halaman isi. Hal ini memiliki makna Alquran dalam fungsinya sebagai obat berbagai macam penyakit terutama penyakit kejiwaan.


Mandalika (Sumber Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju).

Keempat, Kembang Laos. Ornamen yang biasa dipakai sebagai ukiran di bagian bawah batu nisan. Digunakan di setiap halaman mushaf ini. Memiliki makna agar manusia mengingat kematian. Ajaran Alquran mempunyai visi jauh ke masa yang akan datang dan memberikan bekal kepada manusia agar bersiap menghadapi kematian.


Kembang Laos (Sumber Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju).

Kelima, Pucuk Pakis dan Pucuk Rebung. Ornamen ini merupakan pemanis dan pengisi ruang kosong, yang menghadirkan kebaikan, keindahan, dan memberi kemanfaatan dalam setiap keadaan yang diisinya. Ornamen ini berada di kaver dan halaman-halaman khusus mushaf.


Pucuk Pakis dan Pucuk Rebung (Sumber Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju).

Keenam, Motif Songket Subahnala. Motif yang menganjurkan masyarakat Sasak untuk mengekspresikan kegembiraan dan kekaguman atas ciptaan Allah dengan mengucapkan Subhanallah. Agar pembaca senantiasa ingat kepada Allah. Ornamen ini adanya di kaver mushaf untuk memberikan makna spiritual dan keindahan dalam iluminasi yang ditampilkan.


Subahnala (Sumber Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju).

Ketujuh, Berugak. Bangunan semi publik masyarakat Sasak yang menjadi arsitektur penunjang dalam konsep rumah Sasak. Ornamen ini digunakan untuk membingkai teks Alquran di setiap halaman mushaf.


Berugak (Sumber Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju).

Ornamen ini juga melambangkan keterbukaan masyarakat Sasak dalam menerima siapa saja yang datang dan terbuka dalam membahas masalah bersama. Penempatan ini agar para pembaca mau membuka dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih sehingga mampu memahami Alquran sebagai sumber petunjuk, motivasi, dan khazanah ilmu kehidupan.

Bagus juga kalau daerah lain mencetak Alquran dengan ornamen khasnya masing-masing. Mengutip Direktur Lembaga Percetakan Alquran Kemenag RI, Samidin Nashir, bahwa pemberian ornamen/iluminasi dengan ragam hias budaya daerah yang indah dan filosofis ini sejatinya untuk memotivasi umat agar semakin mencintai Alquran sebagai kitab suci terakhir yang diwahyukan Allah kepada Muhammad saw.

Menarik juga kalau Aceh khususnya Tapaktuan memiliki mushaf dengan motif khas tersebut. Sampai sekarang Aceh memiliki mushaf iluminasi Aceh namun masih dalam cetakan lama. Keberadaannya pun sekarang ada di museum-museum. Perlu direstorasi dengan ornamen dan iluminasi yang memiliki kualitas pewarnaan yang bagus.


Mushaf koleksi Museum Negeri Aceh.

Namun sebenarnya ada hal yang lebih penting. Tidak berhenti pada usaha Pemerintah memasyarakatkan Alquran. Tetapi pada kesadaran diri sendiri bahwa mushaf Alquran tidak mesti cantik dan indah namun harusnya menjadi teman dalam keseharian. Dibaca, dimaknai, dan diamalkan. Pyuh..

Sebuah kalimat yang sangat menohok bagi saya. Membuat saya geleng-geleng kepala dan sedih atas ketidakmampuan diri.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 28 September 2014

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.