RIHLAH RIZA #46: Ketika Tiba di Permukaan Tanah



Ilustrasi via lunar.thegamez.net

Empat tahun lalu, Luis Urzua adalah penambang terakhir yang diselamatkan dari kedalaman 700 meter di bawah permukaan laut. Bersama 32 temannya ia menjadi korban kecelakaan runtuhnya terowongan tambang dan terkubur hidup-hidup selama 69 hari. Setelah keluar dari kapsul penyelamat yang membawanya naik ke atas, Urzua memeluk Presiden Chili, Miguel Juan Sebastián Piñera Echenique. Kepada Sang Presiden, Urzua mengatakan, “Kami memiliki kekuatan dan iman untuk berjuang mempertahankan hidup kami.”

**

Telepon genggam saya berbunyi. Tanda notifikasi aplikasi bincang-bincang masuk. Dua buah foto terhampar di layar. Foto-foto setahun lalu saat pelantikan pejabat eselon IV di Kantor Wilayah DJP Aceh, Banda Aceh. Tanggal 18 Oktober 2014 ini memang tepat sewarsa pemberian amanat yang besar itu.

Amanat yang tidak boleh dikhianati. Amanat yang akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Bukan sekadar kepada atasan ataupun pimpinan DJP tertinggi, melainkan kepada-Nya pemilik sejati tubuh dan jiwa saya ini.

Saya tak tahu apakah saya termasuk ke dalam orang-orang yang berkhianat atau tidak? Yang terpenting saya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik di dalam memikul amanat. Yang pasti, sejak diangkat itu saya jadi tahu beberapa hal.



Pelantikan 18 Oktober 2013.

Pertama, saya jadi tahu psikologis seorang atasan. Ya, mental saya sebagai pelaksana tentunya berbeda dengan mental seorang pimpinan. Dulu saya punya prinsip–dalam pikiran seorang pelaksana tentunya—bekerja sebaik-baiknya, selesai, dan tepat waktu. Tetapi atasan tidak cukup butuh itu, melainkan attitude, sesuatu yang melekat dan menjadikan karakter dalam setiap orang.

Sebagaimana saya tidak ingin mendapatkan pertunjukkan attitude yang buruk dari teman-teman di kantor, maka saya berusaha untuk menunjukkan attitude yang baik kepada teman-teman dan atasan. Bukankah kata Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya?

Kedua, secara naluriah saya sering memberikan motivasi kepada teman-teman pelaksana. Entah yang lama ataupun baru. Bahwa mereka sesungguhnya masih muda dengan jalan kesuksesan terbentang luas di hadapan. Saya senang melakukannya. Berasa seperti orang tua. Dan kebetulan kebanyakan pelaksana di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan ini muda-muda. Juga berasa memiliki sebuah harapan kepada mereka untuk bisa maju dan tak mau mereka menjadi orang-orang yang tertinggal.

Ketiga, di tempat terpencil ini saya berusaha dengan keras memenuhi isi kepala dengan sesuatu yang positif. Dan ketika semua itu bisa dilakukan maka betapa banyak kesadaran yang muncul dalam diri saya bahwa semua yang saya terima hari ini adalah sebuah anugerah raksasa yang diberikan Allah kepada saya. Atas anugerah itu saya sampai bilang, “Buanyak buanget.”

Keempat, bahwa sebuah kata yang bernama “jauh” dari keluarga itu membuat batin saya semakin terasah dan peka terhadap nilai-nilai kebaikan. Apalagi dengan kata-kata yang bernama rindu dan cinta. Betapa saya merasakan rasa rindu yang menggigit dan cinta yang menggelora terhadap keluarga semakin menguat. Jauh ternyata membuat perbedaan teramat sangat.

Gejolak itu beriring dengan nilai kepasrahan kepada Allah SWT. Istri, anak-anak, dan bapak sudah saya titipkan kepada Allah. Biar Allah yang menjaga mereka. Bukankah Allah adalah Alhaafizh? Yang Maha Penjaga segala sesuatu? Yang menjaga makhluk-Nya. Wayursilu ‘alaikum hafadzatan. Dan diutus-Nya kepadamu malaikat–malaikat penjaga.

Juga Allah adalah Alwakiil, yang maha melindungi segala sesuatu. Ia yang mengurus dan menjamin rezeki dan kebaikan buat istri dan anak-anak saya. Dengan segala perlindungan-Nya itu, Ummu Haqi mampu menguatkan suaminya di kala lemah dan menegakkan jiwa pasangannya yang kering dengan nasihat penuh hikmah.

Setahun di sini hanya bersenjatakan doa. Panjatan harap yang berusaha dimaksimalkan di tengah lalai. Agar Allah memudahkan semuanya dan tidak memberikan beban yang tidak sanggup untuk saya memikulnya. Mau kepada siapa lagi tangan ini ditengadahkan ke atas kecuali kepada Almujiib, Yang Maha Memperkenankan Permohonan? Mau kepada siapa lagi segalanya disandarkan kecuali kepada Alqawy, Yang Mahakuat?

**

Seorang laki-laki berambut kelabu tertatih-tatih naik ke lantai dua KPP Pratama Tapaktuan tempat meja saya berada. Di hadapan saya, ia menumpahkan kekesalan mengapa ia mendapatkan surat teguran utang pajak. Tak banyak memang. Cuma 600 ribu rupiah saja. Baginya, sebagai mantan kontraktor yang pernah jaya dan sekarang bangkrut, jumlah uang sebesar itu adalah jumlah yang luar biasa besarnya.

“Bahkan zakat fitrah saya sendiri pun dibayar sama anak saya, Pak,” tambahnya sambil mengusap air matanya yang jatuh ke pipi. Saya mengulurkan selembar kertas tisu yang serta merta diambilnya. “Saya tak mampu. Tolong saya Pak.”

Ini hal yang kelima. Di Tapaktuan ini saya belajar berempati. Belajar—yang kata Alfred Adler, psikolog dan fisikawan Austria ini—kemampuan untuk melihat dengan mata orang lain, mendengar dengan telinga orang lain, dan merasakan dengan hati orang lain.

Kelima hal inilah yang merupakan pembelajaran bagi saya sekaligus menjadi kekuatan. Kelak, ketika saatnya tiba di “permukaan tanah”, saya mungkin akan berkata kepada orang yang paling saya hormati, seperti perkataan Luis Urzua tanggal 12 Oktober 2010, “Kami memiliki kekuatan dan iman untuk berjuang mempertahankan hidup kami.” Di sini, di Tapaktuan ini.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 18 Oktober 2014


Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.