IBU GURU ITU MENGGURUI SAYA


IBU GURU ITU MENGGURUI SAYA

 

Pagi ini saya menemukan sebuah pelajaran berharga tentang penggunaan kata dari seorang ibu yang berasal dari Sidoarjo. Ini meyakinkan saya bahwa saya dapat belajar dari siapapun dan kapanpun saja. So, menegaskan kembali bahwa kehidupan ini adalah tempat untuk belajar, belajar, dan belajar apa saja.

    Ibu itu berdiskusi
via facebook dengan saya tentang bagaimana cara membangkitkan minat untuk menulis. Bla…bla…bla…dengan gaya menggurui atau seolah-olah penulis handal saya beri semangat dan semangat ibu itu untuk bisa menulis. Padahal sebenarnya dia sudah jago menulis. Karena dari pengakuannya sendiri, sedari kecil dia sudah suka menulis.

Tapi masalahnya sekarang dia tak punya waktu untuk menulis, intensitasnya menurun sejak di SMA hingga semester 4 dia kuliah. Setelah itu menulis sedikit-sedikit sampai sekarang. Problemnya adalah kesibukan yang menyita.

    Di saat belajar yang sok online ini, tiba-tiba keluar di layar chat room kata “merubah” yang terselip dalam satu kalimat yang ditulis saya. Ibu itu bilang kalau kata yang benar itu bukan “merubah” tetapi mengubah. Oh…sensitifitas berbahasanya muncul. Maklum ibu itu adalah seorang guru bahasa Indonesia. Weks….

    Saya terima dengan senang hati koreksi ini. Karena saya merasakan betul, kalau koreksi yang diberikan langsung akan lebih membekas pada diri saya. Saya akan teringat terus tentang itu.

    Penasaran dengan sebarapa banyak saya telah menggunakan kata yang salah itu, maka saya cek di WordPress saya. Dari 460-an lebih tulisan, “cuma” lima belas tulisan yang ada kata merubahnya. Lumayanlah tidak banyak amat-amat.

Tulisan paling akhir yang memuat kata merubah dalam blog saya itu pun bukan benar-benar dari saya. Karena saya hanya mengutip teks aslinya tanpa mengubah sedikitpun twit-nya Tifatul Sembiring yang saya kutip tentang jabat tangannya dia dengan Michelle Obama.

Pada akhirnya, mulai hari ini saya akan merubah—eh maaf salah—mengubah pengetahuan saya tentang penggunaan kata merubah dan mengubah. Sekali lagi yang betul adalah mengubah bukan merubah. Silakan Anda cek sendiri di Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring.

Bu Guru, terima kasih Bu atas pengajarannya. Alih-alih Ibu yang belajar kepada saya, sayalah yang ternyata banyak belajar dari Ibu. Saya pikir kalau tulisan ini pun disodorkan kepada Ibu, belum tentu saya dapat nilai 6.

Bu Guru, terimakasih telah menginspirasi saya. Terimakasih pula telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menghasilkan karya ini. Dan…

Bu Guru…terimakasih telah menggurui saya.

Sejuta tabik untuk Ibu.

***

Tags: tiffatul sembiring, michelle obama, lailatul kodar, kbbi, kbbi daring, pusat bahasa, glosarium, merubah, mengubah, eyd, ejaan yang disempurnakan,

 

    Riza Almanfaluthi

    dedaunan di ranting cemara

     guru itu digugu dan ditiru

08.03 05 Desember 2010.

 

 

 

 

 

 

 

 

SPICE IKLAN


SPICE IKLAN

 

Suatu saat ketika dalam perjalanan dari Semarang menuju Magelang saya banyak menjumpai papan reklame berukuran besar di sepanjang jalan. Sebagian terisi dengan iklan tentunya dan sebagian masih kosong. Yang kosong biasanya ada tulisan dengan huruf-huruf besar seperti “DISEWAKAN” atau “FOR RENT”
yang diikuti dengan nomor yang harus dihubungi.

    Saking semangatnya sampai ada yang menulisnya demikian “SPICE IKLAN DISEWAKAN”. Betul Pembaca, Anda tidak salah membacanya. Mereka menulisnya dengan huruf i bukan a. Tentu bagi yang memahami bahasa Inggris SPICE berarti rempah. Seharusnya yang betul adalah SPACE pastinya, yang berarti ruang. Space, spice kalau diucapkan hampir-hampir mirip memang. Maunya keren tapi salah, jadinya malu-maluin.

    Tapi apakah penggunaan kata space iklan juga sudah betul ? Memangnya bahasa Indonesia belum mengakomodasi istilah asing itu. Tentunya tidak. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia melalui laman Glosariumnya menginformasikan kepada kita untuk memakai istilah ruang untuk menggantikan istilah asing space.

    Jadi yang tepat seharusnya bukan space iklan apalagi spice iklan melainkan ruang iklan. Atau kalau merasa masih belum keren pakai saja istilah media luar ruang. Belum keren juga? Ingatlah Sumpah Pemuda 1928. J

Papan reklame kosong iklan itu sayangnya tidak saya abadikan dengan kamera sebagai bukti yang bisa saya sodorkan kepada Anda semua. Namun yang dibawah ini ada foto yang bisa menggambarkan—sekali lagi—keinginan keren tapi salah, jadinya malu-maluin.

Saya yakin Pembaca sudah mengenal yang namanya sandwich (roti lapis)
yang menurut
Wikipedia Bahasa Indonesia sandwich adalah makanan berupa dua potong roti yang menjepit daging, sayuran, keju atau berbagai teman makan roti dan biasanya diberi bumbu atau saus sehingga rasanya menjadi lebih enak. Berbagai jenis roti bisa digunakan untuk sandwich dan bergantung pada isi, permukaan roti biasanya dioles sedikit mayones, mentega, margarin, atau minyak zaitun yang berfungsi sebagai perekat dan penambah aroma.

Nah, kalau yang ini sandwich bukan yah? Memang betul sih sandwich tapi tulisannya itu loh…


SUNWIHS…

Saya menemukannya di sebuah pusat perbelanjaan ternama di bilangan Cibinong, Kabupaten Bogor. Mungkin kalau ditulis roti lapis oleh penjualnya, dagangannya tidak akan laku walaupun dijual dengan harga yang teramat spesial. Pun, mungkin pembelinya juga mau beli karena merasa kalau menyantap makanan yang tulisannya pakai bahasa Inggris terasa tidak biasa, diluar kebiasaan, serasa makan makanannya orang bule, terasa keren. Roti lapis sih sudah biasa.

Inikah yang namanya rasa rendah diri yang teramat sangat dari bangsa ini? Atau mengutip Farranasir—seorang dokter pecinta kata-kata—inikah yang namanya bahasa Indonesia diselingkuhi bahasa Inggris?

Allohua’lam bishshowab.

 

Maraji’:

Wikipedia Bahasa Indonesia (Online) (http://id.wikipedia.org/wiki/Roti_lapis , diakses 28 Januari 2009)

Farranasir. 05 Oktober 2009. Internasionalisasi dan Budaya Rendah Diri.
(Online) (http://politikana.com/baca/2009/10/05/internasionalisasi-dan-budaya-rendah-diri.html
, diakses 28 Januari 2009)

    

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

28 Januari 2009 09.28

 

NOTULENSI, NOTULEN, ATAU NOTULA?


NOTULENSI, NOTULEN, ATAU NOTULA?

(Dimuat dan Diambil dari Situs BahasaKita.com)

Jum’at sore, saya membaca sebuah hasil rapat yang terdiri dari beberapa halaman. Judul lembaran itu adalah NOTULENSI RAPAT. Karena saya merasa sudah pernah berburu kata di Kamus Besar Bahasa Indonesia di laman Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia saya mencoba mengoreksi judul tersebut. Tapi yang membuat lembaran hasil rapat tersebut bersikeras bahwa yang betul adalah notulensi.

Oke, saya akan berbagi kepada Anda semua. Tapi sebelumnya saya memberitahukan kepada Anda jika Anda mengetik kata notulensi di laman pencarian seperti Google maka Anda akan mendapatkan pemakaian kata notulensi banyak dipakai oleh instansi-instansi beken di republik ini.

Dan kepada siapa kita akan merujuk tentang bentuk kata yang benar dari sebuah kata? Maka jawabannya adalah tentu kepada sebuah instansi pemerintahan yang berwenang dan kapabel dalam menangani ini. Pusat Bahasa tentunya.

Di laman Kamus Besar Bahasa Indonesia yang telah disediakan oleh Pusat Bahasa itu maka dapat dicari banyak kata dasar. Kalau kita memilih bentuk pencarian “memuat” dan mengetikkan kata notul pada kotak yang disediakan tersebut maka daftar kata yang ditampilkan ada tiga:

  • Notula;
  • Notulen;
  • Notulis.

Coba lihat tak ada kata notulensi di sana. Saya tidak tahu darimana kata ini berasal. Apakah KBBI yang lupa memasukkan kata ini atau adakah sumber lain yang meyakinkan saya bahwa kata ini memang layak untuk dipakai.

Mungkin maksudnya karena ini berkaitan dengan dokumen dan kata dokumen berdekatan dengan kata dokumentasi, maka kata notulen didekatkan pula dengan imbuhan “si” di belakang sehingga menjadi notulensi. Pengaitan yang salah.

Mari kita cari tahu definisi ketiga kata itu.

no·tu·la
n catatan singkat mengenai jalannya persidangan (rapat) serta hal yg dibicarakan dan diputuskan: — rapat merupakan dokumentasi penting

no·tu·len ? notula

no·tu·lis
n orang yang bertugas membuat notula (catatan rapat)

Terkadang orang juga banyak yang bingung dalam pemakaian kata siapa yang bertugas membuat catatan rapat. Notulis atau notulen? Tentu setelah Anda membaca pengertian di atas semoga tidak keliru untuk memakainya.

Contoh yang salah dari pemakaian kata notulen:

Saya butuh seorang notulen yang mengerti tentang isu pencemaran udara.”

“Saya diminta sama seorang teman buat jadi notulen di acaranya yang cukup berbau internasional.”

Yang benar adalah:

“Saya butuh seorang notulis yang mengerti tentang isu pencemaran udara.”

“Saya diminta sama seorang teman buat jadi notulis di acaranya yang cukup berbau internasional.”

Jadi singkatnya, catatan rapat itu disebut notula sedangkan yang membuat notula adalah notulis.

Pakailah kata notula atau notulen jangan notulensi. Dan pakailah notulis jangan notulen untuk menunjukkan siapa yang membuat catatan rapat.

Semoga informasi ini berguna buat Anda semua.

***

Baca: Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari

Baca: Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini

Catatan: yang tidak setuju tentang catatan kecil saya ini coba tunjukkan kepada saya sebuah landasan yang betul dari pemakaian kata notulensi.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

ditulis untuk laman Bahasa Kita yang diasuh oleh Wieke Gur

09.09 16 Januari 2009