Menjemput Buku di Waktu Pagebluk


Photo by Pixabay on Pexels.com

Menulis itu gampang. Itu saya akui betul. Namun mengupayakannya menjadi sebuah buku itu tantangan luar biasa. Apalagi di tengah budaya literasi di Indonesia yang kurang mendukung—untuk tidak mengatakannya rendah.

Maka apresiasi pembaca dengan membeli buku, membacanya di perpustakaan, memberikan testimoni, membuat telaah (review) atau resensi buku adalah laku yang membuat penulis buku bersemangat untuk terus berkreasi.

Baca Lebih Lanjut

Advertisement

Buku dan Kopi Pagi


Di atas pesawat Pak Muchamad Ardani membaca buku kedua saya yang berjudul Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini. Ia kemudian menulis panjang atas pembacaannya itu di akun Facebook-nya. Buat saya itu adalah sebuah kehormatan.

Maka benarlah yang William Gibson katakan kepada kita, “Ketika Anda bertemu dengan seorang penulis, Anda bukan bertemu dengan pikiran yang menulis buku. Anda bertemu dengan tempat pikiran itu tinggal.”  Berikut testimoninya.

Baca Lebih Lanjut

Menulis Itu Bekerja untuk Keabadian


 

Buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini terbang melewati ngarai dan lembah, samudra dan daratan menuju Pulau Lombok. Teman saya Mas Yacob Yahya telah menerima buku yang dipesannya. Ia memberikan tertimoni yang mengesankan buat saya. Terima kasih Mas Yakob. Semoga buku tersebut bermanfaat buat kita semua.

Berikut testimoninya di laman Facebooknya pada tanggal 15 Maret 2020:

 
Baca Lebih Lanjut

Jangan Terlalu Cepat Menjadi Sixpack


Berkali-kali saya dibuat tercengang. Setelah ada yang berlari untuk mengambil buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini, kini ada pula yang memang menyengaja datang jauh-jauh-jauh ke kantor saya sekadar untuk mendapatkan buku itu. Saya merasa menerima anugerah yang luar biasa besarnya.  Kali ini Pesohor Facebook Mas Wahid Nugroho menuliskan pengalamannya di laman Facebook.

Lelaki di sebelah saya ini namanya Riza Almanfaluthi. Saya biasa memanggil beliau mas Riza. Di kalangan terbatas, beliau biasa dipanggil Ki Dalang. Soal panggilan Ki Dalang ini ceritanya bisa panjang, jadi kita lewati saja lah ya, ha ha.

Baca Lebih Lanjut

Apa Lawan Katanya Kenangan?


Seperti biasa saya mengecek formulir pemesanan buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini. Pemesanan yang sampai saat ini belum bisa tertangani semuanya.

Saya menjumpai salah satu nama dalam formulir itu. Ia memberi catatan khusus dalam kolom keterangannya. Apa yang ia catat?

Apa Kesan Pertama Bersua Dengan Istrimu?


Mas Wiyoso sedang mengajar kelas di KPP PMA Lima (4/2).

Omong-omong, hari ini (Selasa, 4 Februari 2020) saya bersilaturahmi dengan segelintir orang yang memang berniat untuk belajar menulis di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Lima. Kami memang meminta kepada pengampu di sana yaitu Mas Anang Anggarjito, kalau untuk belajar menulis itu tidak perlu dihadiri banyak pegawai satu kantor, tetapi cukup oleh pegawai yang serius belajar menulis dari lubuk kalbunya yang paling dalam.

Akhirnya terkumpul 20 orang yang berniat belajar menulis. Acara diadakan satu setengah hari mulai Selasa sampai Rabu  (4-5 Februari 2020). Nah, pas pada sesi belajar menulis opini yang saya ampu siang ini, saya memberikan materi, salah satunya tentang membuat judul yang menarik. Judul itu penting karena judul adalah kesan pertama dan paling utama dari sebuah tulisan. Ketika kita berkunjung ke toko buku, lalu mengambil satu buku, itu karena apa? Karena kita melihat judul.

Baca Lebih Lanjut

Kapan Aku Bisa Menulis Buku?


Pak Bagus di sebelah kanan saya. Pak Harris Rinaldi di sebelah kiri saya.

Pertanyaan itu terhidang kepada saya di suatu petang ketika saya berada di kelimunan orang di dalam gerbong KRL yang lumayan padat. Jawaban yang disampaikan sama seperti yang saya berikan kepada setiap orang lain yang bertanya hal serupa, yaitu: fokuslah menulis (buku dan apa pun) tentang hal yang paling dikuasai serta menabunglah.

Buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini juga adalah hasil tabungan (menulis) selama bertahun-tahun itu. Saya mah yakin, kalau saya saja bisa menulis (buku), apalagi teman saya yang bertanya itu, dan juga teman-teman sekalian. Sungguh, tidaklah sulit. Beneran, saya mah apa atuh. 🙏🙏🙏

Baca Lebih Lanjut

Riza Alhamdulillah Itu bukan Namaku.


Beberapa hari yang lalu saya bersua dengan seorang kawan yang berdinas di kantor pajak Poso nan pelosok. Namanya Mas Danang Nurcahyo. Pertemuan itu selepas salat zuhur di Masjid Salahuddin, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta.

Saya kaget dengan penampilan barunya. Kali ini lebih kurus daripada yang pernah saya jumpai di pertemuan yang terakhir. Ya, benar. Sewaktu pertama kali menginjakkan kakinya di Poso 2 tahun 8 bulan yang lalu berat badannya 84 kg. Kini sekitar 74 kg saja. Luar biasa.

Continue reading Riza Alhamdulillah Itu bukan Namaku.