Buku dan Kopi Pagi


Di atas pesawat Pak Muchamad Ardani membaca buku kedua saya yang berjudul Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini. Ia kemudian menulis panjang atas pembacaannya itu di akun Facebook-nya. Buat saya itu adalah sebuah kehormatan.

Maka benarlah yang William Gibson katakan kepada kita, “Ketika Anda bertemu dengan seorang penulis, Anda bukan bertemu dengan pikiran yang menulis buku. Anda bertemu dengan tempat pikiran itu tinggal.”  Berikut testimoninya.

Baca Lebih Lanjut

Jangan Terlalu Cepat Menjadi Sixpack


Berkali-kali saya dibuat tercengang. Setelah ada yang berlari untuk mengambil buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini, kini ada pula yang memang menyengaja datang jauh-jauh-jauh ke kantor saya sekadar untuk mendapatkan buku itu. Saya merasa menerima anugerah yang luar biasa besarnya.  Kali ini Pesohor Facebook Mas Wahid Nugroho menuliskan pengalamannya di laman Facebook.

Lelaki di sebelah saya ini namanya Riza Almanfaluthi. Saya biasa memanggil beliau mas Riza. Di kalangan terbatas, beliau biasa dipanggil Ki Dalang. Soal panggilan Ki Dalang ini ceritanya bisa panjang, jadi kita lewati saja lah ya, ha ha.

Baca Lebih Lanjut

Apa Lawan Katanya Kenangan?


Seperti biasa saya mengecek formulir pemesanan buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini. Pemesanan yang sampai saat ini belum bisa tertangani semuanya.

Saya menjumpai salah satu nama dalam formulir itu. Ia memberi catatan khusus dalam kolom keterangannya. Apa yang ia catat?

Apa Kesan Pertama Bersua Dengan Istrimu?


Mas Wiyoso sedang mengajar kelas di KPP PMA Lima (4/2).

Omong-omong, hari ini (Selasa, 4 Februari 2020) saya bersilaturahmi dengan segelintir orang yang memang berniat untuk belajar menulis di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Lima. Kami memang meminta kepada pengampu di sana yaitu Mas Anang Anggarjito, kalau untuk belajar menulis itu tidak perlu dihadiri banyak pegawai satu kantor, tetapi cukup oleh pegawai yang serius belajar menulis dari lubuk kalbunya yang paling dalam.

Akhirnya terkumpul 20 orang yang berniat belajar menulis. Acara diadakan satu setengah hari mulai Selasa sampai Rabu  (4-5 Februari 2020). Nah, pas pada sesi belajar menulis opini yang saya ampu siang ini, saya memberikan materi, salah satunya tentang membuat judul yang menarik. Judul itu penting karena judul adalah kesan pertama dan paling utama dari sebuah tulisan. Ketika kita berkunjung ke toko buku, lalu mengambil satu buku, itu karena apa? Karena kita melihat judul.

Baca Lebih Lanjut

Kapan Aku Bisa Menulis Buku?


Pak Bagus di sebelah kanan saya. Pak Harris Rinaldi di sebelah kiri saya.

Pertanyaan itu terhidang kepada saya di suatu petang ketika saya berada di kelimunan orang di dalam gerbong KRL yang lumayan padat. Jawaban yang disampaikan sama seperti yang saya berikan kepada setiap orang lain yang bertanya hal serupa, yaitu: fokuslah menulis (buku dan apa pun) tentang hal yang paling dikuasai serta menabunglah.

Buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini juga adalah hasil tabungan (menulis) selama bertahun-tahun itu. Saya mah yakin, kalau saya saja bisa menulis (buku), apalagi teman saya yang bertanya itu, dan juga teman-teman sekalian. Sungguh, tidaklah sulit. Beneran, saya mah apa atuh. 🙏🙏🙏

Baca Lebih Lanjut

Riza Alhamdulillah Itu bukan Namaku.


Beberapa hari yang lalu saya bersua dengan seorang kawan yang berdinas di kantor pajak Poso nan pelosok. Namanya Mas Danang Nurcahyo. Pertemuan itu selepas salat zuhur di Masjid Salahuddin, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta.

Saya kaget dengan penampilan barunya. Kali ini lebih kurus daripada yang pernah saya jumpai di pertemuan yang terakhir. Ya, benar. Sewaktu pertama kali menginjakkan kakinya di Poso 2 tahun 8 bulan yang lalu berat badannya 84 kg. Kini sekitar 74 kg saja. Luar biasa.

Continue reading Riza Alhamdulillah Itu bukan Namaku.

Biola Tak Berdawai


Biola Tak Berdawai
:Sebuah Roman
Seno Gumira Ajidarma & Sekar Ayu Asmara
Penerbit PT Andal Krida Nusantara (Akur)
Cet. II Maret 2004

Tanpa dawai, bagaimanakah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah jiwanya—tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia yang membuatnya bicara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai. (Prolog, hal 1)
Buku ini ditulis berdasarkan skenario dan film karya Sekar Ayu Asmara. Dengan cara pandang seorang anak tunadaksa (dengan banyak cacat yang diderita) bernama Dewa. Autistik, bisu, tubuh kecil yang tidak bisa berkembang, mata terbuka tapi tidak melihat, telinga yang bisa menangkap bunyi tapi tidak mendengar, jaringan otak yang rusak, leher yang selalu miring, kepala yang selalu tertunduk, wajah bagaikan anak genderuwo adalah gambaran dari anak itu.
Sebagai salah satu bayi yang tumbuh besar sampai umur delapan tahun—yang di luar perkiraan kebanyakan orang di panti asuhan tersebut, ia adalah belahan jiwa dari salah seorang pengasuhnya, Renjani. Renjani bersama Mbak Wid adalah pengurus panti asuhan yang bernama Rumah Asuh Ibu Sejati, terletak di daerah para pengrajin perak bernama Kotagede di pinggiran kota Yogyakarta. Tempat di mana mereka menampung bayi-bayi yang tidak dikehendaki, karena cacat ataupun karena hasil dari hubungan gelap.
Renjani bersama Dewa mengarungi pergiliran waktu dengan menyaksikan kedatangan para bayi tunadaksa yang cepat pula meninggalkan mereka karena kematian, meninggalkan mereka menuju ke pekuburan bayi. Begitu pula dengan Mbak Wid, seorang dokter kepala, yang di siang harinya mengenakan pakaian putih-putih, tapi di saat malam tiba, ia berubah menjadi perempuan berbaju hitam-hitam yang begitu percaya ramalan kartu Tarot dan menyepi di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan seratus lilin. Selalu, Renjani menemani Mbak Wid dalam permainan kartu itu, tentu dengan Dewa yang tetap terdiam membisu, dengan leher yang selalu miring, dan kepala yang selalu tertunduk.
Sampai suatu ketika saat Dewa mendengar alunan biola dari sebuah CD, sebuah kekuatan mampu membuat kepalanya terangkat—hanya sepersekian detik, dan Renjani—ibunya yang mantan penari balet—melihat itu! Renjani menghambur memeluknya. “ Dewa, Dewa—Dewa suka ibu menari ya? Ah, Ibu sayang sekali sama kamu Dewa!”
Sepersekian detik itulah yang kemudian membawa Renjani dan Dewa melihat Ballet Ramayana yang dimainkan setiap bulan purnama di Candi Prambanan. Lalu berkenalan dengan pemuda yang lebih muda usia daripadanya. Bhisma, salah seorang pemain biola dari pertunjukan itu selalu memperhatikan Renjani saat pertunjukan berlangsung. Singkat cerita, Bhisma semakin akrab dengan Renjani, pun dengan Dewa yang ia sebut sebut sebagai biola tak berdawai.
Tapi keakraban dan benih cinta yang mulai tumbuh itu rusak saat Bhisma memaksa Renjani menerima dirinya karena itu berarti mengusik masa lalu Renjani yang gelap, yang menjadi satu-satunya alasan mengapa ia pindah dari Jakarta ke tempat sepi ini. Ia belum sanggup berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu yang merusak kehormatannya sebagai seorang perempuan. Ia diperkosa oleh guru baletnya.
Jejak-jejak gelap itu menjelma menjadi segumpal daging yang Renjani secara ceroboh menggugurkannya. Lalu menjadi kanker yang membuatnya koma selama seminggu dan akhirnya berkumpul bersama bayi-bayi tunadaksa yang tidak sanggup bertahan hidup di dunia. Bhisma menyesal atas pemaksaannya itu.
Penyesalan yang hanya bisa membuatnya melakukan sebuah konser tunggal. Di kuburan Renjani. Di kuburan para tunadaksa itu. Memainkan resital gubahannya yang baru terselesaikan dan tak sempat tertunaikan untuk dimainkan di hadapan Renjani.
Tapi walaupun terlambat konser itu bagi Dewa adalah konser dari seribu biola, seribu harpa, seribu seruling, seribu piano, seribu timpani, seribu cello, seribu bas betot, seribu harmonica, seribu gitar listrik, dan seribu anggota paduan suara malaikat dari sorga. Membuat langit ini penuh dengan cahaya dan lapisan-lapisan emas berkilauan. Dan yang mampu membuat Bhisma tertegun, mampu membuat biola itu berhenti sejenak, mampu membuat Dewa berkata: “D..de….f….faa…shaa…shaa…aang…iii…buuu.”
Dewa sayang kamu Renjani.
Secara keseluruhan roman ini bercerita dengan sederhana sekali. Sekali lagi, sederhana sekali. Ada yang membuatnya beda dan menjadikan novel ini berciri khas unik yaitu penyelipan kisah-kisah pewayangan, kakawin Bharata-Yuddha beserta para tokoh-tokohnya, Drupadi, Pandawa, Kurawa, Bhisma, Sengkuni, Dorna, dan yang lainnya. Kisah-kisah yang terlupakan oleh saya. Namun sempat membangkitkan memori bahwa saya sempat membaca komiknya waktu masih SD dulu.
Filmnya meraih berbagai penghargaan internasional namun roman adaptasi dengan judul sama ini bagi saya biasa-biasa saja. Belum menggugah rasa kebahasaan saya walaupun ditulis oleh seorang yang bernama Seno Gumira Ajidarma. Penulis serba bisa Indonesia yang paling produktif—sebagaimana ditulis dalam kata pengantar buku itu—yang piawai sekali memainkan kata-kata dan sekali lagi menurut penulis kata pengantar tersebut mampu menangkap echo cinta dari film itu. Bagi saya Seno tidak sepiawai saat memainkan kata dan cinta tentunya dalam “Sepotong senja untuk Pacarku.” Karena ia terkungkung dalam sebuah skenario? Entah. Buku ini cukup dibaca saat waktu senggang saja.
Namun kavernya bagi saya mampu untuk “menutupi” kekurangan ini. Indah. Biola tak berdawai, kupu-kupu jingga, warna hitam yang dominan adalah sebuah citra tepat dari sebuah sampul yang menggambarkan isi buku ini. Sebuah asa akan asmara, yang hilang terampas oleh duka dan waktu.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
06.08 23 Juni 2007

ELANG RETAK: MATI BUKAN MASALAH, HIDUP YANG JADI PERSOALAN


ELANG RETAK: MATI BUKAN MASALAH, HIDUP YANG JADI PERSOALAN

Judul: Elang Retak
Penulis: Gus Ballon
619 Hal. Cetakan I, Juli 2005
Penerbit: Q-Press (Kelompok Penerbit Pustaka Hidayah)
Alamat: Jalan Rereng Adumanis 31, Sukaluyu Bandung 40123 Jawa Barat, Indonesia

Novel ini saya temukan dalam tumpukan buku diskon yang dijual oleh toko buku terkenal di Depok. Sebuah buku cerita tebal yang dibanderol dengan harga cuma lima belas ribu rupiah. Tebal dan murah, dua parameter ini yang membuat saya membelinya setelah beberapa hari sebelumnya saya kosong dari aktivitas membaca.
Saya mungkin terlambat untuk membacanya dan untuk membuat sebuah tulisan tentang novel ini, oleh karena itu saya tidak akan membahas dengan mendalam apa isinya, karena sudah pernah dibahas oleh Alif di forum diskusi ajangkita, Jadi saya menulis apa yang saya rasakan setelah membacanya.
Pertama adalah masalah si penulisnya. Baru kali ini saya tidak melihat sebuah pengenalan pribadi dari seorang penulis novel. Di sana tak ada satu halaman pun sebagai kata pengantar atau biografi kecil dari penulis. Entah Gus Ballon ini adalah nama asli atau nama pena. Sungguh mengundang kepenasaran bagi saya karena novel ini bagus.
Baru pertama kali ini pula ada novel—yang seperti Alif katakan—sebuah novel thriller militer berlatar belakang operasi militer ABRI. Membacanya membuat saya berempati terhadap keadaan para prajurit yang hidup dengan keprihatinan tetapi penuh semangat perjuangan, polos dan dengan kepolosan tersebut mereka hanya menjadi pion dari sebuah ambisi politik dari para jenderal yang berkhianat dan tega untuk mengorbankan mereka.
Novel ini pun membuat saya tidak bisa beranjak dan melepaskannya dari tangan ini. Semakin bertambah banyak halaman yang terbaca semakin bernafsu untuk segera menuntaskannya. Karena seru, tegang, dan lucu. Ya, kelucuan dari seorang Jajang Nurjaman, prajurit urakan, ahli tempur, yang tidak mengenal medan (antara hidup dan mati) untuk selalu mengeluarkan gurauan.
Jajang hanyalah satu dari empat belas prajurit yang dikirim ke Pulau Kabilat di Pasifik utnuk sebuah misi khusus. Misi untuk menghancurkan batangan emas yang dimiliki oleh pemberontak yang akan ditukarkan dengan senjata dan amunisi yang dikirim oleh Jenderal Korea Utara yang korup.
Keempatbelas orang tersebut adalah prajurit-prajurit amburadul, urakan, cara berpakain seenaknya, terkesan tidak dispilin, yang dibuang dan tidak disenangi oleh kesatuan lain, tapi ganas dan tidak takut mati. Dan yang ada di markas hanya mereka pada saat itu untuk dikirim segera. Maka mereka adalah:
Sersan Kepala Peter Soselisa. Lahir di Ambon. Peraih medali keberanian dalam operasi”Trisula”, ”Seroja”. Berpengalaman dalam berbagai aksi khusus maupun gabungan. Jabqtan terakhir, instruktur kepala. Brevet: terjun bebas. Satu kali penangguhan pangkat karena tindakan indispliner dan satu kali penurunan pangkat karena melanggar perkawinan. Istrinya dua. Karena tidak tega untuk menceraikan salah satu istrinya maka ia menceraikan dua-duanya.
Sersan Mayor Fajar Sidik, mahir berbagai senjata, empat kali tugas khusus, satu kali aksi gabungan. Mendapat medali atas keberaniannya menolong yang luka sewaktu kontak senjata jarak dekat. Brevet: Pendaki Utama. Satu kali penundaaan pangkat.
Kopral Dua Jajang Nurjaman. Asal Ciamis. Mahir berbagai senjata. Empat tugas khusus, tiga kali aksi gabungan. Mendapat medali atas keberhasilannya melumpuhkan sebuah kubu musuh dalam pertempuran di sekitar Laga. Juga medali keberanian mencuri bendera di markas musuh sekitar Hiomar. Satu kali penurunan pangkat, dua kali penundaan pangkat.
Prajurit Satu Baringin Sinaga, lahir di Brastagi. Ahli senapan mesin. Tiga kali tugas khusus, satu kali tugas intelijen. Satu kali penundaan pangkat karena memukul seorang kapten dari kesatuan lain.
Prajurit Satu Eko Cahyono. Ahli peledak. Dua kali tugas khusus. Pernah meledakkan bahan bakar musuh di hutan Baucau. Brevet: Pendaki utama. Satu kali penurunan pangkat akibat berkelahi dengan polisi lalu lintas, gara-gara mengejek soal setoran surat tilang. Empat polisi dirawat di RS.
Prajurit Satu Margono Priambodo, lahir di Jetis, Muntilan. Ahli senapan mesin. Satu kali tugas khusus, satu kali aksi SAR. Satu kali penurunan pangkat karena indisipliner.
Prajurit Dua Mansur Karim. Lahir di Solo dari ayah Arab dan ibu Jawa. Satu kali tugas khusus, satu kali aksi intelijen. Mendapat medali atas keberaniannya menawan perwira musuh. Dua kali penundaan pangkat.
Prajurit Dua Gerson Nelson, asal Flores. Ahli radio komunikasi dan sabotase. Satu kali tugas khusus. Satu kali penundaan pangkat beturut-turut, karena melanggar perintah.
Prajurit Dua Panji Kurnia. Anak pensiunan PM, lahir di Grsik. Guru ngaji di barak. Jago tembak (sniper). Satu kali tugas khusus. Brevet: penembak mahir. Satu kali penurunan pangkat karena menembak pantat penjual ganja tanpa bukti.
Prajurit Satu Ahmad Basso, asal Makassar. Dua kali tugas khusus. Batal mendapat medali. Ahli perkelahian satu lawan satu. Satu kali hukuman kurungan karena menjual ransum sebanyak setengah truk.
Kopral Satu Bram alias Ibrahim Ali fatoni, Jakarta asli. Satu kali operasi intelijen, dua kali tugas khusus. Dua kali lolos dari tawanan musuh. Ahli mekanik dan komunikasi. Brevet: Penyelam mahir. Satu kali penurunan pangkat—dua tingkat sekaligus—karena meledakkan lima truk pengangkut pasir milik pemborong yang mengganggu ketentraman sebuah desa di Tangerang. Satu kali lagi penundaan pangkat karena masuk rumah seorang lurah melalui atap, dan mengancam lurah tersebut agar membereskan masalah ganti-rugi tanah di daerah Sawangan.
Kopral Dua Jamal Ahman, ahli peledak asal Bangkalan Madura. Tiga kali aksi khusus, tiga kali terluka. Satu kali penindaan pangkat karena kabur selama 40 hari untuk menyepi di Gua Surowati—gua pertapaan Sunan Kalijaga—dan 21 hari bertapa di Batu Ageng—tempat bertapa Sunan Drajat di Paciran, Tuban.
Sersan Mayor Albertus, lima belas kali tugas khusus, delapan kali aksi gabungan, lima kali tugas intelijen, dua kali oeprasi SAR. Mahir berbagai senjata dan pertarungan tangan kosong. Semua medali dicabut. Brevet: terjun bebas. Tiga kali penurunan pangkat, dua kali penundaan pangkat, dan dua kali hukuman kurungan.
Dan Harun, tokoh utama dalam novel ini, si Bajingan, sipil, yang direkrut oleh militer karena mengenal seluk beluk Pulau Kabilat. Mahasiswa yang menjadi buronan karena telah membunuh bandar judi dan melukai seorang polisi Medan saat dirinya dikeroyok. Ia bilang ia cuma dalam rangka membela diri. Veteran perang vietnam yang direkrut oleh SEAL sebagai sukarelawan melawan vietcong. Saat Saigon jatuh ia melarikan diri dan bergabung dengan penyelundup senjata dari Filipina yang bermarkas di Pulau Kabilat. Mahir M16, pisau, dan perkelahian satu lawan satu.
Mereka dipimpin secara hirarki oleh Letnan Risman Zahiri, seorang sederhana, ramah, rendah hati, prajurit tempur berpengalaman, dan disegani oleh anak buahnya. Sosoknya mirip seorang ajengan dan ia mempunyai julukan Kyai Guntur.
Dan dalam misi khusus yang bersandi Konta ini mereka dipimpin oleh Mayor Santoso, prajurit dan komandan tempur berpengalaman, tegas, tidak mudah tersenyum, dan punya satu prinsip: semua tugas harus dituntaskan sebagai Prajurit Komando.
Saat membaca novel yang bersetting akhir tahun 70-an dan pertengahan 80-an—walapun tidak dinyatakan secara tegas, saya tidak menyangka ada sebuah deskripsi seperti ini. Biasanya cuma ada di film-film holywood. Tidak menyangka bahwa kita pun sebenarnya punya kesatuan tempur yang tangguh secara professional. Gambaran ini perlu agar menyadarkan pembaca bahwa pasukan ABRI (sekarang TNI) walaupun dengan keterbatasan yang ada tidak bisa dipandang sebelah mata.
Maka dengan berbagai keahlian tempur yang dimiliki, berangkatlah mereka untuk melaksanakan misi yang tanpa disadari pula bahwa ada yang telah membocorkan pendaratan mereka. Maka berbagai masalah pun mulai bermunculan. Diakhir cerita Jajang selamat dalam misi tapi tetap saja dihukum untuk menghormat bendera di tengah lapangan karena memukul pejabat dan membuat mobil sang pejabat penyok.
Dengan Santoso yang menyadari bahwa dirinya cuma pion dari ambisi segelintir orang untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan tetap mendapatkan pelajaran penting dari seorang yang bernama Harun: sebagai apa, untuk apa, dan bagaimana ia hidup, itulah yang utama. Ia hanyalah manusia dengan kelebihan dan juga keterbatasannya.
Secara umum alurnya menarik, penuh ketegangan. Apalagi penuh perenungan diri dari sang tokoh. Terantuk pada sebuah kalimat: mati bukan masalah, hidup yang jadi persoalan. Mulai mengenal Tuhan, saat jelang maut. Tipisnya batas antara hidup dan mati. Saya memberi nilai tiga bintang untuk novel ini. Belum sedramatis JRR Tolkien yang mampu mengundang pembaca untuk membaca bukunya berulang kali. Tapi cukuplah sebagai alternatif bacaan sebagaimana penerbitnya tegaskan dalam pengantarnya.
Allohua’lam bishshowab.

Riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11:07 26 April 2007
Gelas itu masih bening
http://10.9.4.215/blog/dedaunan
https://dirantingcemara.wordpress.com

THE KINGDOM


THE KINGDOM
by: Riza Almanfaluthi

Pada tanggal 20 Oktober 1973, dengan nama Allah dan berdasarkan agama yang diturunkan pada Muhammad 1400 tahun yang lalu di Mekah dan Madinah, raja Faisal dari Saudi Arabia mengemukakan jihad melawan Israel dan negara-negara yang membantunya. Sebagai bagian dari jihad tersebut ia menetapkan embargo penuh pada pengiriman minyak kerajaan ke Amerika Serikat. Sejak saat itulah keadaan di dunia begitu berubah.
Di tahun 60-an, dunia barat dan Jepang membayar kurang dari 2 dolar Amerika Serikat setiap barel untuk minyak yang mereka terima dari Saudi Arabia dan negara-negara Timur Tengah. Harga 1,80 dolar untuk 42 galon Amerika, tak lebih dari sekitar 4 sen dolar setiap galonnya. Satu dasawarsa kemudian dunia barat harus membayar 32 dolar untuk 42 galon—suatu kenaikan rata-rata 264 persen pertahunnya! Tak heran bila Saudi Arabia menjadi begitu kaya. Dan dunia barat merasa begitu miskin.
Tampak jihad raja Faisal itu telah menjadi salah satu titik penting dalam sejarah abad kedua puluh ini. Embargo minyak yang dipelopori oleh Faisal, kemudian diikuti oleh ledakan harga energi sebagai akibatnya, mengawali pergeseran kekayaan dunia secara besar-besaran, mengalir kekayaan dalam jumlah yang tak pernah terjadi sebelumnya.
***
Tiga paragraf di atas adalah sebuah kutipan pembuka dari sebuah buku lawas yang ditulis oleh Robert Lacey berjudul KERAJAAN PETRODOLAR SAUDI ARABIA. Buku yang diterbitkan tahun 1986 oleh Dunia Pustaka Jaya dengan jumlah halaman sebanyak 663 ini tanpa sengaja saya temukan di pedagang buku Stasiun Kalibata saat menunggu kereta rel listrik.
Kondisinya masih sangat bagus, tidak terlihat seperti buku lama. Walaupun sudah berwarna kekuningan. Ini mungkin buku baru yang tidak laku atau belum sempat terjual. Yang menarik saya cuma membelinya dengan harga Rp12.000,00 saja setelah sang pedagang menawarkan dengan harga Rp15.000,00 sebelumnya.
Buku yang berjudul asli The Kingdom ini merupakan hasil riset yang dimulai pada Agustus 1977 yang dilakukan oleh penulis selama ia diizinkan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Ia melakukan banyak wawancara dengan para petinggi seperti raja Saudi Arabia pada saat itu King Khalid ibn Abdul Aziz, dan para pangeran serta bangsawan-bangsawan dari dinasti Saud, plus dukungan dari Pusat Riset Raja Abdul Aziz.
Tak pelak buku ini menceritakan dari awal bagaimana dinasti ini didirikan. Dari semula hanya orang-orang badui yang hidup di padang pasir yang membakar dan menyiksa keluarga mereka dengan kekeringan, kemiskinan, kelaparan, pun anggapan sebagai suku yang terlalu mengikuti naluri, tak punya rasa keindahan, keingintahuan, selera halus, filsafat, kesenian tulis, seni rupa, bahkan tak punya dongeng-dongeng yang pelik sampai kepada perubahan drastis di mana mereka menjadi penguasa karunia Allah di muka bumi, penguasa jaringan sisa-sisa berlemak di bawah permukaan bumi, penguasa genangan hitam yang menggelegak: minyak bumi.
Mereka menjadi yang paling dihormati di seluruh dunia, penguasa yang bisa menentukan damai dan tenteramnya kehidupan perpolitikan dunia. ”Dan jikalau saja bukan karena adanya suatu keanehan yang terjadi pada lapisan bumi tempatnya berpijak, maka dunia barat pastilah tak akan peduli apa yang terjadi dengan raja Khalid. Kalau saja buminya itu tak mengadung apa-apa, maka penghuni kerajaan Saudi Arabia akan bebas menikmati padang pasir mereka, sajak-sajak mereka atau kenehan apa saja yang ada dalam kehidupan mereka. Paling-paling mereka akan menarik perhatian bila sekali-sekali majalah ilmiah seperti National Geographic memuat artikel bergambar tentang mereka,” ungkap Lacey.
Tetapi Syaikh Ahmad Zaki Yamani—Menteri Minyak Saudi Arabia saat itu—mengatakan:
”Negara barat melihat kami hanya sebagai sebuah negara yang ada hanya untuk mengisi tangki mobil. Tetapi pandangan itu terlalu moderen untuk Arabia. Dan itu bukanlah pandangan kami dan juga bukan pandangan jutaan orang di seluruh dunia yang sama-sama menganut agama kami.”
”Kalau Anda ingin mengerti tentang Saudi Arabia, Anda harus mengerti bahwa 1400 tahun yang lalu Allah telah menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad di kota-kota suci Mekah dan Madinah. Kedua kota tersebut begitu jauh terpisah dari padang-padang minyak kami, tetapi masih tetap merupakan bagian dari Arabia kami. Dan bagi kami, keduanya jauh lebih penting dari apapun juga.”
”Itulah sebabnya orang-orang di negara Muslim yang miskin menyapa aku. Karena aku datang dari Mekah! Inilah yang paling berarti. Tentang Mekah dan Islam-lah orang-orang itu mengajakku berbicara. Jadi kalau aku ditanya, apa yang menjadi tulang punggung Kerajaan kami ini, maka akan kujawab, di atas segala-segalanya adalah Islam. Bukan minyak. Suatu hari kami akan kehabisan minyak. Tetapi kami takkan pernah kehilangan Mekah dan Madinah.”
Subhanallah, pernyataan yang keluar dari hasil wawancara yang dilakukan penulis di bulan November 1980 dan Mei 1981 itu, terasa gaungnya hingga saat ini, saat waktu telah berputar 26 tahunan. Adanya semangat persaudaraan yang memang dibutuhkan sekali untuk dunia Islam saat ini menghadapi kezaliman-kezaliman penguasa dunia yang menyetir dengan boneka-boneka untuk memuaskan nafsu kolonialismenya. Tapi sayangnya gaungnya yang terasa adalah gaung yang semakin melemah.
Dalam buku tersebut diceritakan pula tentang bagaimana Abdul Aziz merebut Riyadh sampai ia menakhlukkan Nejd daerah pedalaman Saudi Arabia dengan dukungan dari Kaum Muwahiddun (Salafy) dan tentunya mengusir keturunan Nabi Muhammad yaitu Ibnu Rasyid sebagai penguasa Mekah dan Madinah pada saat itu.
Pengusirannya terhadap Ibnu Rasyid mengakibatkan ia harus berhadap-hadapan dengan dengan Kekhilafahan Turki, menyebabkan ia harus menerima gencatan senjata karena sampai saat itu pertempuran yang terjadi tak menyebabkan salah satu dari mereka kalah atau menang.
Bulan Pebruari 1905 Turki mengakui kekuasaan Saudi di Nejd, sebaliknya Abdul Aziz menerima pengangkatan dirinya sebagai qaimaqam (komisaris distrik). Ini berarti Abdul Aziz menerima kenyataan akan adanya kekuasaan Turki di atasnya, sebuah sikap yang sangat bertentangan dengan sikap antiTurki-nya sebelum itu.
Suatu sikap yang nantinya pun akan selalu ia terangkan kepada setiap tamunya, bahwa dahulu ia mau mengaku tunduk pada Sultan Turki hanya karena terpaksa oleh keadaan. Sebagai seorang Wahabi, kata Abdul Aziz, ia takkan pernah bisa menerima tuntutan Sultan yang mengaku bergelar khalifah, sebab cara orang Turki menjalankan ajaran Islam sungguh sangat menyimpang dari garis yang benar. Oleh karena itulah pendahulunya dulu—Muhammad Ibn Saud—pernah melarang para peziarah yang dilindungi oleh Khalifah untuk berziarah menuju Mekah dan Medinah, dan hal inilah yang membuat marah besar Khalifah yang menganggap dirinya sebagai pelindung dua tempat suci.
Masih banyak hal yang menarik diungkap di buku ini, misalnya tentang bagaimana penyikapan suku badui ini di kala mereka menjadi orang kaya baru, intrik sesama saudara, pembunuhan, perebutan kekuasaan, pemborosan, dan korupsi, November gelap di tahun 1979, penyikapan terhadap Syiah dan Al-Ikhwan, kegemasan Onassis terhadap pembentukan OPEC, permusuhan terhadap Biarawan Zion*)dan penerimaan kerajaan terhadap investasi Pepsi daripada Coca-Cola.
Saya merasa beruntung sekali mendapatkan buku bagus seperti ini.Walaupun belum seluruhnya terbaca, tapi saya merasa yakin sedari awal, buku ini akan membuat saya mengetahui secara detil masa lalu Saudi Arabia hingga masa awal 80-an. Setidaknya ini akan memberikan gambaran utuh dari Saudi Arabia masa kini. Muhammad Abduh mengatakan masa lalu adalah bagian dari masa kini sehingga tidak mungkin dilupakan begitu saja. Sehingga bisa memahami apa dan kenapanya pewaris kerajaan petrodolar saat ini bertindak, yang menguntungkan saudara-saudaranya seiman di seluruh dunia atau hanya memuaskan dahaga keduniawaian semata.
Sejarah yang sedikit dibahas waktu smu dulu kini terbentang dengan detilnya dalam satu buku yang merupakan ramuan—seperti diakui penulisnya—dari peristiwa sejarah, hasil pengamatan pribadi, desas-desus di pasar, ramalan masa depan, ditambah dengan kenangan orang-orang tua yang masih ingat tentang keadaan dunia mereka, dunia yang bagi kita bagaikan tertinggal berabad-abad yang lalu.
***
Kita bukannya sekadar pembuat slogan belaka. Apa yang kita katakan akan kita kerjakan. Jika mereka memandangmu dengan sebelah mata, katakan bahwa Allah memberkati rasul-Nya dan bangsa negara ini. Kalian adalah keturunan para pahlawan jaman bahari, kalian anak cucu mereka yang berjuang di samping nabi. Jadilah madu bagi mereka yang bersahabat dengan mu, jadilah racun bagi musuh-musuhmu. (Raja Faisal bin Abdul Aziz, 1973)
***

*) Suatu kebetulan semata bahwa persis sebelum membaca buku ini, saya membaca buku Rizki Ridyasmara yang membahas tentang Biarawan Zion ini secara detil di Knight Templar Knight of Christ (2006).

Maraji: Robert Lacey, Kerajaan Petrodolar Saudi Arabia, Cet-I, 1986, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta;

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
http://10.9.4.215/blog/dedaunan
Citayam Siang
15.00 01 Pebruari 2007

‘SYAHWAT’KU MENGGELORA


Saya dulu pernah menceritakan keengganan saya untuk membeli buku dikarenakan tiada tempat lagi untuk menaruhnya di berbagai sudut rumah saya. Entah di lemari buku yang sudah over loaded dan reot itu hingga di atas ranjang atau di dapur. Kini setelah saya memesan sebuah lemari buku buatan seorang perajin lemari, syahwat saya membeli buku semakin memuncak.

Apalagi setelah saya membaca iklan yang ditampilkan oleh sebuah penerbit buku Islam kenamaan yang menampilkan buku-buku terbarunya, wuih membuat saya semakin ngiler untuk dapat memilikinya. Tapi sayangnya hasrat saya ini adalah hasrat yang terlalu berlebihan. Soalnya buku yang saya beli terkadang buku yang tidak bisa saya habiskan dalam sekali baca. Biasanya buku ini berkategori buku yang tidak memenuhi keinginan terdalam dari diri saya, yakni buku-buku yang berkadar referensi, bukan buku yang bergenre sejarah dan cerita. Alhasil buku itu cuma menjadi pajangan semata. “suatu saat pasti diperlukan,” pikir saya mencari pembenaran.

“Loh, kenapa dibeli?” pertanyaan yang sering diajukan oleh beberapa teman menanggapi keluhan syahwat saya ini. Ya, saya sering terjebak kreativitas cover designer dari para penerbit. Mungkin mereka sudah mengadakan riset dan sudah bisa menebak jalan pikiran calon pembaca dan tentunya pembeli, sehingga dapat menyentuh alam bawah sadarnya dan mendoktrin dengan sebuah ungkapan “sampulnya bagus tentu isinya bagus”. Ditambah dengan judul buku yang eye catching dan menggugah kepenasaran, plus endorsement di bagian belakang buku yang memuji setinggi langit isi buku tersebut membuat gedoran hasrat untuk membaca semakin nyaring diperdengarkan.

Tentunya jika syahwat ini tidak tertahankan anggaran keuangan bisa jebol juga. Oleh karena itu saya harus benar-benar menyeleksi dan merencanakan buku apa saja yang harus saya beli sesuai dengan selera alamiah saya. Tak perlu memaksakan buku yang di luar minat saya itu harus dibeli karena mentang-mentang bukunya ber-hard cover, dan judulnya bagus.

Kini saya punya catatan kecil di sebuah agenda besar buku-buku apa saja yang dalam waktu dekat ini harus saya beli demi memuaskan hasrat intelektualitas–mohon jangan disalahtafsirkan dengan ungkapan yang hiperbola seperti “saya adalah orang yang paling pintar”, karena saya belum menemukan diksi yang pas untuk menggambarkan kalimat ini: “keinginan membaca yang menggelora” dan pada dasarnya semua orang punya nilai intelektualitasnya masing-masing–terdalam saya. Ini buku-buku dalam rencana itu:

1. Akidah Salaf & Khalaf: Kajian Komprehensif seputar Asma’ wa sifat,
Wali & Karamah, Tawassul, dan Ziarah Kubur, DR. Yusuf Al-Qaradhawi;

2. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah;

3. 60 Biografi Ulama Salaf;

4. Knight Templar;

5. VCD Bedah Buku: Siapa Teroris Siapa Khawarij (2 keping);

6. Thesaurus Bahasa Indonesia, Eko Endarmoko.

Satu hal yang perlu diperhatikan oleh saya dan juga pembaca tentunya adalah kiranya perlu untuk seksama melihat isi buku, dan jangan berpatokan pada sampulnya, kata Tukul sih: DON’T JUDGE THE BOOK BY THE COVER. Karena sering saya lihat ada banyak buku yang terbitan lama di tahun-tahun lalu, di-remark, diganti dengan sampul yang lebih baru dan indah, juga terkadang dengan judul yang baru oleh penerbit lama atau bahkan diterbitkan oleh penerbit baru. Sehingga bila kita tidak peduli dengan satu hal kecil ini, bisa-bisa kita membeli buku yang sudah kita punyai.

Contohnya, saya perlu mengecek ulang dengan koleksi saya yang sudah ada untuk buku nomor satu dan nomor dua. Soalnya saya punya buku dengan tema yang mirip yang ditulis oleh penulis yang sama Dr. Yusuf AlQaradhawy, judulnya panjang jadi saya tidak tahu persis tapi isinya seputar “mimpi, ilham, dan kasf bisakah dijadikan hujjah”. Juga seingat saya, saya sudah punya buku tentang tokoh-tokoh besar Islam, tapi perlu dicocokkan apakah tokoh-tokoh yang diungkap itu sama atau tidak.

So, ini mungkin upaya kecil untuk menahan ‘syahwat’ saya. Beli buku yang dibutuhkan saja. Buku yang membuat saya terperangah dan bisa menikmati hidup. Hal ini mengingatkan saya tentang perjalanan dari Jakarta menuju Semarang beberapa bulan yang lalu dengan ditemani sebuah buku bagus, membuat perjalanan itu tiada terasa lamanya. Bahkan saking menariknya, saya sampai mengirim pesan singkat kepada teman-teman saya yang ada di Surabaya dan Jember untuk membaca buku itu.

Upaya yang mungkin tak berarti seandainya saya kembali mengunjungi pameran buku dan pedagang Kramat Raya yang menjajakan ribuan buku, karena godaannya sungguh luar biasa. Tapi saya pikir semuanya dimulai dari hal yang kecil. Menyusun paradigma kecil: Beli Buku yang Dibutuhkan Saja.

Demikian.

riza.almanfaluthi at pajak.go.id

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

15:29 15 Pebruari 2007