Bukan Pesan Kenabian yang Dibawa Dennis Adhiswara


Ilustrasi dari nature.desktopnexus.com

“Lebih manfaat kalau si Dennis yang dibuang ke Cina. Buang Dennis kembali ke daerah keturunannya. Buang Dennis ke alam asalnya.” Bahkan ada yang lebih kasar lagi seperti ini: “Zamannya Soekarno, Cina dipulangin tuh ke asalnya.” Atau seperti ini, “Cina Makin ngelunjak.”

Baca Lebih lanjut

Restorasi Rasa Cabai


Seorang petinggi partai datang ke negeri Cina. Bos televisi yang sering menyuarakan sekulerisasi ini terantuk sebuah masalah. Fotonya yang sedang merangkul mesra seorang wanita tersebar ke dunia maya. Senyatanya ia datang dalam rangka menerima penghargaan. Entah penghargaan apa yang mau diterima.

Mantan wartawan yang suka pindah partai menjadi jubirnya sekarang. Memberi klarifikasi untuk sang bos. Katanya perempuan itu anggota rombongan. Tak ada yang salah dari foto itu, tambahnya. Ingatan kita lalu terjebak pada seorang petinggi partai lainnya. Ia berpiknik bersama artis ke Maladewa dan berfoto mesra pula. Tidak berduaan saja memang. Perlakuan yang mereka terima dari media sekuler berbeda sekali. Tapi saya tidak akan membahas orang terakhir ini.

Baca Lebih Lanjut.

Melihat Tukul, Wanita Hamil Tua ini Histeris dan Terjun dari Ketinggian


joker-layout-news-papers

 

Demi mengejar jumlah kunjungan, media online menempuh berbagai cara. Antara lain dengan membuat judul yang bombastis terutama berkaitan dengan artis. Nama mirip artis bahkan pejabat dijadikan barang jualan sekalipun isi beritanya tidak berkaitan sama sekali dengan yang empunya nama sebenarnya.

Republika Online (ROL) pada tanggal 6 September 2014 menurunkan berita dengan judul: “Tak Kuat Hadapi Cobaan, Ari Wibowo Nekat Bunuh Diri”. Kedaulatan Rakyat Online di hari berikutnya menurunkan berita semacam dengan judul: “Ari Wibowo Akhirnya Tewas”.

Berlanjut pada hari ini Minggu, 21 September 2014, ROL juga menurunkan berita heboh lagi, “Dewi Lestari Minum Racun Karena Dimarahi Gurunya”. Mundur ke belakang pada bulan Januari 2014, Detiknews juga membuat berita berjudul “Nia Daniati Ditemukan Tewas Bersimbah Darah di Rumah”. Baca Lebih Lanjut

Ups, Ketahuan 70 Persen Hasil Pajak Larinya ke Mana


Syafii Maarif di KPK (Sumber foto: inilah.com)

Dalam acara halal bihalal KPK bersama wartawan di KPK, Kamis kemarin (28/8), Syafii Maarif memberikan pernyataan berkaitan dengan pajak. Setelah itu Republika Online membuat judul berita “Maarif: 70 Persen Hasil Pajak ke Mana?”. Pernyataan Maarif yang dikutip dari laman Republika Online lengkapnya demikian.

Pemerintah dan lembaga penegak hukum harus segara mencari hasil pajak yang hilang. Untuk itu pemerintah dan lembaga penegak hukum harus bersama-sama mengawasi pemasukan dan pengeluaran sektor pajak. Sebab, penerimaan hasil dari wajib pajak belum sepenuhnya masuk ke kas negara.

Baca Lebih Lanjut.

Menjaring Pajak Para Penyumbang Dana Kampanye Pilpres



    Perhelatan pemilihan presiden 2014 sebagiannya telah usai. Sebagian yang lain masih berujung di Mahkamah Konstitusi. Tim kampanye masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden juga sudah melaporkan penerimaan dan penggunaan dana kampanyenya. Ini kewajiban sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 17 Tahun 2004. Selanjutnya akan dilakukan audit Laporan Dana Kampanye (LDK) melalui audit kepatuhan dan penerapan prosedur yang disepakati oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.

    Momentum penyampaian LDK ini bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan saat yang tepat untuk mengumpulkan bahan pengawasan pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Terutama Wajib Pajak yang memberikan sumbangan kepada salah satu pasangan calon. Pengumpulan bahan itu dapat dilakukan dengan mengakses secara langsung laman KPU karena KPU telah mengunggah sebagian LDK.

    Sampai dengan tanggal 6 Juli 2014 berdasarkan informasi di laman KPU pasangan calon nomor urut satu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memeroleh dana kampanye sebesar Rp 108 milyar sedangkan pasangan calon Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebesar Rp 295,1 milyar. Suatu jumlah yang sangat besar.

Baca Lebih Lanjut.

PATRIOTISME SAMPAI AKHIRAT


PATRIOTISME SAMPAI AKHIRAT

071814_0401_PATRIOTISME1.jpg

“War costs money”

Franklin D Roosevelt, Januari 1942

Wajahnya kusut tapi dengan senyum yang tak pernah lepas. Kumis yang menyambung dengan jenggot di dagu. Penampilannya tidak seberapa tinggi. Berkulit coklat. Umurnya mendekati lima puluhan. Laki-laki itu membawa secarik kertas datang ke ruangan Seksi Penagihan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan. Saya menyambut dengan tangan terbuka, menjabat erat tangan, dan mempersilakan duduk untuk menjelaskan maksud kedatangan.

Ia warga Tapaktuan. Pemilik sebuah CV yang sudah lama bangkrut. Sekarang hanya mengandalkan bisnis fotokopi. Jauh dari kondisi jayanya pada tahun 2008 ke bawah sebagai penyuplai kebutuhan kantor. Rumahnya sudah diberi plang oleh sebuah bank. Ternyata ia tiba untuk memenuhi undangan kami. Sedianya ia diminta datang membahas penyelesaian utang pajaknya pada hari Selasa pekan depan, namun dikarenakan ia punya urusan di hari itu, Rabu pekan ini ia sempatkan diri memenuhi panggilan.

“Saya tahu Pak saya masih punya utang. Dan saya datang ke sini bukan untuk meminta keringanan atau penghapusan. Saya akan tetap bayar semuanya. Tapi tidak bisa sekarang. Mohon kesempatannya untuk bisa mencicil,” katanya menjelaskan. “Saya tidak mau punya utang kepada siapa pun. Utang kepada orang lain ataupun kepada negara. Saya tak mau mati membawa utang. Setiap utang akan diminta pertanggungjawabannya,” tambahnya lagi.

Baca Lebih Lanjut

DRAMATISASI PEMBAKARAN POSKO JOKOWI OLEH TEMPO.CO


DRAMATISASI PEMBAKARAN POSKO JOKOWI OLEH TEMPO.CO

 

Seperti diberitakan oleh Tempo.co di link ini bahwa telah terjadi pembakaran Pondok Komunikasi Rakyat Jokowi oleh orang yang tidak dikenal pada Senin dinihari (26/5). Sebagai efek lebih menderita dan mendramatisasi suasana kebakaran maka Tempo.co menayangkan gambar atau foto seperti di bawah ini.

 

Capture berita yang diambil dari sini.

 

Dalam foto tersebut tidak ada caption yang menggambarkan atau menerangkan data objek foto. Di sana hanya ada tulisan TEMPO/Firman Hidayat. Padahal caption adalah ilmu dasar jurnalistik foto yang biasa jadi bahan ajar wartawan foto. Foto yang tanpa caption—yang saya kutip dari blog Kelompok Diskusi Wartawan Jawa Tengah—disebut juga dengan foto bisu. Foto bisu ini membingungkan pemirsa, bahkan bisa jadi pemirsa akan memiliki persepsi beda dalam memaknai maksud foto jurnalistik, karena tidak ada pesan yang mengarahkan. Demikian ditulis dalam blog tersebut.

Namun memang disengaja bahwa foto tersebut tanpa caption agar dapat mengarahkan publik bahwa Posko Jokowi (Tempo menyebutnya demikian) terbakar hebat. Foto bisu Tempo.co ini meyakinkan pembaca berita bahwa telah terjadi efek derita yang dahsyat. Apalagi dengan terminologi “dibakar” yang digunakan Tempo. “Dibakar” dan foto bisu dengan api yang bergolak melengkapi efek dramatisasi ini.

Tapi benarkah bahwa foto tersebut adalah foto pembakaran Posko Jokowi? Sekarang adalah era jurnalisme masyarakat (citizen journalism) sebagai partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya demokrasi. Sekarang juga adalah era ketika “manipulasi” mudah untuk diketahui dengan segera karena semakin canggihnya teknologi informasi. Sekarang era Google. Dengan Google kita bisa melacak duplikasi sebuah foto. Dan saya menggunakannya untuk kali ini.

Di Google fasilitas penelusuran bisa menggunakan teks ataupun gambar. Foto ikon kamera di sebelah kaca pembesar memudahkan penelurusan dengan gambar.

Fasilitas pencarian gambar di Google.

Terdapat dua pilihan pencarian gambar ini. Dengan menempelkan url gambar atau mengunggah gambar yang mau dicari. Untuk lebih memastikan kevalidan proses pencarian maka saya mengunggah fotonya. Hasilnya mengejutkan dan sudah diduga. Foto tersebut digunakan untuk dua peristiwa kebakaran yang telah lampau. Pemberitaan kebakaran di Jelambar yang terjadi pada tanggal 28 September 2013 dan kebakaran di Kantor PLN Madiun yang terjadi 19 April 2014. Saya capture gambar pemberitaan kedua-duanya.

 


Capture berita kebakaran Kantor PLN Madiun Terbakar. (Sumber: Tempo.co)

 


Capture berita kebakaran di Jelambar. (Sumber: Tempo.co)

Saya tidak tahu foto kebakaran itu atas foto yang terjadi untuk peristiwa kebakaran di Jelambar atau di Kantor PLN atau untuk peristiwa kebakaran yang lainnya. Biarlah ahli multimedia yang menganalisisnya. Tempo.co malas mencantumkan caption dalam beberapa fotonya walau hanya sekadar dua kata “ilustrasi kebakaran”. Dua kata itu memberikan pemahaman bahwa foto itu hanya sekadar ilustrasi dan bukan peristiwa kejadian kebakaran yang sebenarnya.

Berita dan foto pembakaran Posko Jokowi telah menjadi viral dan diunggah oleh situs-situs lainnya. Ada yang serta-merta di antaranya menayangkan foto Tempo.co di atas sebagai sebuah fakta kebakaran di posko itu. Padahal dari beberapa pemberitaan dan foto yang ditayangkan, kebakaran itu tidak separah yang digambarkan dalam foto. Eternit posko tidaklah hancur atau menghitam sebagaimana digambarkan dalam ilustrasi foto.

Tapi apa pun motif yang ada di belakang peristiwa kebakaran ini, entah di mana pun kejadian kebakaran itu terjadi, saya turut prihatin. Sebagai orang yang pernah mengalami peristiwa kebakaran saya sedikit banyak tahu derita psikologis korban kebakaran. Namun keprihatinan ini pun tidak menutupi kekritisan kita terhadap netralitas media.

Netralitas media adalah hal yang langka pada saat ini. Tidak netral pun bukan hal yang tabu lagi. Tapi tugas media massa yang tidak boleh dilupakan adalah mencerdaskan masyarakat. Ketika media massa tidak menjalankan tugasnya maka tugas masyarakat itu sendiri untuk lebih cerdas dalam menyaring berita. Agar isi kepala tidak dipenuhi dengan sampah. Ini bukan negative campaign atau black campaign.

Terima kasih.

 

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

27 Mei 2014

Dimuat pertama kali di Kompasiana.

http://politik.kompasiana.com/2014/05/27/dramatisasi-pembakaran-posko-jokowi-oleh-tempoco-655093.html

TAPAKTUAN STONES UNTUK DJP BERSIH


TAPAKTUAN STONES UNTUK DJP BERSIH

 


Anggota Tapaktuan Stones dalam sebuah ekspedisi (Foto koleksi teman).

 

Pencanangan Gerakan DJP Bersih di Tangan Kita menjadikan dan menegaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memang tidak bersih di mata masyarakat. Pun, ini menyangsikan serta menyepelekan tekad dan upaya bersih yang sudah dilakukan selama ini oleh para pegawai DJP.

Inilah salah satu pernyataan yang mengemuka dari peserta sosialisasi Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-10/PJ/2014 tanggal 27 Januari 2014 tentang Pembentukan Gerakan “DJP Bersih di Tangan Kita” di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut Keputusan) pada hari Jumat, 28 Maret di Kantor Wilayah DJP Aceh.

Pernyataan tersebut wajar diajukan namun tanggapannya juga layak didengarkan. Latar belakang pencanangan Gerakan adalah karena masih maraknya sebagian oknum pegawai DJP yang tidak mau menegakkan integritasnya. Beberapa di antaranya, di bulan April 2013 ada oknum pegawai DJP yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di Stasiun Gambir, berselang hampir lima minggu kemudian dua oknum lainnya tertangkap oleh institusi yang sama di Bandara Soekarno-Hatta. Belum lagi dari tahun 2010 sampai dengan 2012 tercatat lima kasus oknum pegawai pajak yang terekspos besar-besaran oleh media.

Maka wajar kita yang sedang belajar bersih ini pun geram. Pencanangan Gerakan DJP Bersih di Tangan Kita pada tanggal 5 Juli 2013 menjadi awal pemahaman baru bahwa mereka yang tidak bersih itu sebenarnya sedikit sedangkan yang baik-baik ini banyak namun tidak bisa berbuat apa-apa karena hanya diam saja. Oleh karena itu Gerakan ini menggugah orang-orang baik agar tidak tinggal diam. Orang-orang baik ini harus terorganisasi agar bisa mengalahkan mereka yang tidak mau berubah dan sedikit tapi terorganisasi itu.

Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan kalau kebatilan yang terorganisasi akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi. Kita pun diingatkan dengan apa yang dikatakan Muhammad Natsir suatu ketika, “Anda tahu apa yang dibutuhkan kebatilan untuk menang? Kebatilan akan menang jika pendukung kebenaran hanya diam.” Napoleon Bonaparte pernah mengatakan hal yang sama, “The world suffers a lot not because of violence of bad people but of the silence of good people.

Dan Gerakan ini sesungguhnya memfasilitasi keengganan dari orang-orang baik ini ketika tidak mau secara personal melaporkan penyimpangan yang terjadi melalui sistem yang sudah ada, seperti whistle blowing system DJP. Dengan mekanisme pelaporan yang telah ditetapkan dalam Keputusan ini, maka Gerakan mengidentifikasi, mendiskusikan, dan menyepakati secara bulat dan bersama-sama—ini yang perlu digarisbawahi—adanya dugaan praktik korupsi lalu melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pada akhirnya, dengan kenyataan sebenarnya bahwa orang-orang baik ini begitu banyak di DJP maka Keputusan ini adalah sebuah negasi penyangsian dan penyepelean tekad serta upaya bersih yang telah dilakukan bersama-sama oleh kita semua. Keputusan ini benar-benar mendorong agar orang-orang baik yang mempunyai integritas dan semangat antikoruptor yang sama ini berkumpul, tidak diam saja, saling mengingatkan, saling mengawasi, dan membuat ruang untuk melakukan pelanggaran semakin tidak ada atau hilang sama sekali.

Tapaktuan Stones

Gerakan DJP Bersih di Tangan Kita dipelopori oleh peserta aktif dari Change Agent DJP, Motor Penggerak Integritas dan berbagai komunitas keagamaan seperti Dewan Kemakmuran Masjid, Oikumene, dan Pesantian. Komunitas-komunitas ini menjadi plasma gerakan sedangkan inti gerakan adalah Direktorat Kitsda dan Unit Kepatuhan Internal. Ada yang menarik ketika berbicara komunitas. Terutama pada diktum keempat dan kelima Keputusan di atas.

Diktum keempat menyatakan bahwa: “Untuk selanjutnya, Gerakan dibentuk di unit-unit DJP di seluruh Indonesia dan keanggotaannya dapat diperluas dengan komunitas lainnya yang ada di DJP atau perseorangan pegawai DJP, yang memiliki integritas dan semangat anti koruptor yang sama.”

Sedangkan diktum kelima menyatakan, “Gerakan merupakan satu kesatuan hasil leburan dari berbagai komunitas atau perseorangan pegawai DJP sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga dan Keempat.

Dari dua diktum tersebut maka dapat dikatakan bahwa komunitas apa pun yang ada di DJP entah itu formal atau pun informal dapat menjadi anggota gerakan. Genjot Pajak yang merupakan komunitas Pegawai Pajak bersepeda juga bisa menjadi anggota gerakan. Begitu pula dengan DoF (DJP Own Fotobond) yaitu komunitas fotografi karyawan DJP di seluruh Indonesia. Dan tentu dengan komunitas lainnya asal punya dua parameter berikut: berintegritas dan semangat antikoruptor.

Di Tapaktuan, awal tahun 2014 ini, telah terbentuk komunitas pecinta batu pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tapaktuan. Komunitas yang mencari batu-batu akik di seputaran Kabupaten Aceh Selatan dan menjadikan batu itu sebagai cincin. Banyak pegawai KPP Pratama Tapaktuan tergila-gila batu sekarang. Di waktu senggangnya mereka berkumpul, memamerkan cincin dan batu-batu yang mereka miliki, membicarakan tentang batu, menjadwalkan waktu mengasah batu, berburu bongkahan batu di alam liar Aceh dengan serangkaian ekspedisi, dan masih banyak agenda kegiatan lainnya.

Ciri khas yang menonjol dari Tapaktuan Stones—nama komunitas batu ini—adalah kebersamaan. Terbukti andil kebersamaan mereka mampu menjadi bagian penting dari pencapaian target e-Fin dan e-Filling KPP Pratama Tapaktuan. Bukankah pada diktum lain di keputusan itu menyatakan bahwa salah satu peran dari gerakan adalah membangun semangat kebersamaan pada setiap pegawai DJP? Maka Tapaktuan Stones dengan kebersamaan, integritas, semangat antikoruptor yang sama, mempunyai potensi besar menjadi plasma Gerakan DJP Bersih di Tangan Kita di wilayah Aceh. Semoga.

 

 

Riza Almanfaluthi, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan | 13 May 2014

Tulisan ini dimuat pertama kali di Situs Intranet Portal Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak

FESTIVALISASI KEMUNAFIKAN


FESTIVALISASI KEMUNAFIKAN


Isi perutnya terburai. Tubuhnya berlumuran darah. Clurit perampok itu telah menghabisi nyawa keturunan Tionghoa yang terkenal kaya di desa Jatibarang puluhan tahun lampau itu. Selentingan kabar korban dibacok karena kukuh tidak mau menyerahkan hartanya. Harta bisa dicari lagi, nyawa cuma satu, lalu mengapa tidak menyerah saja? Sejatinya ini bukan sekadar masalah harta yang tak seberapa dan bisa dicari lagi itu. Sungguh.

*

Ini sebuah pembantaian. Ribuan nyawa demonstran damai melayang oleh tangan-tangan besi militer dan polisi Mesir. Dibidik, diasap, ditembak, dibakar, dibunuh, dilindas adalah cara-cara barbar yang digunakan aparat untuk membubarkan demonstran yang sedang menuntut haknya untuk mengembalikan Mursi ke kursi kepresidenannya.

    “Ternyata semua ini tentang kursi kepresidenan,” cuit seorang ustadz. Tidak sesederhana itu wahai Ustadz yang terhormat. Kursi itu diraih dengan cara yang menurut orang zaman sekarang adalah cara yang paling beradab, moderen, sesuai kesopanan dan etika dunia abad 21: pemilihan umum. Diperoleh dengan cara yang sedemokratis mungkin. Maka ketidaksetujuan terhadap kebijakan presiden terpilih, selayaknya disalurkan dengan cara yang telah diatur pula sesuai dengan etika orang-orang yang beradab itu: tidak memilihnya lagi di pemilihan umum selanjutnya.

    Maka wajar ketika kudeta yang dilakukan militer dan didukung oleh antek-antek Mubarak dan para liberalis itu dilawan dengan demonstrasi damai oleh para pendukung Mursi. Sebuah demo untuk melawan perampokan di siang bolong di sebuah tatanan dunia yang begitu mengagung-agungkan demokrasi.

    Ini bukan sekadar kursi kepresidenan, melainkan sebuah perjuangan menuntut hak yang telah dirampas itu dengan demo marathon yang membutuhkan nafas esktra panjang. Dan ini sah. Bahkan sekalipun terbunuh dalam rangka mempertahankan haknya itu. Hadits riwayat Abdullah bin Amru Radhiallaahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu’alaihiwasallam bersabda: Barang siapa yang terbunuh demi mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid. (Hadits Marfu’, Mutawatir).

    Akankah mereka para pendemo itu tidak tahu syariat daripada orang Cina di atas yang tidak tahu Islam tetapi mampu untuk mati dalam rangka mempertahankan hartanya? Tidak. Mereka beda. Mereka mencintai kematian. Dan tidak ada sesuatu apapun yang bisa mengalahkan orang-orang yang mencintai kematian. Tidak Fir’aun atau Assisi sekalipun. Bahkan dunia yang sedang diam ini.

Festivalisasi Kemunafikan

    Ya, dengan dunia yang diam, dengan Amerika Serikat (AS) sebagai pengasong dan penjaga demokrasi yang bermuka dua. Ini sebuah festivalisasi kemunafikan negara adidaya itu. Berderet panjang ambivalensi AS ketika demokrasi dimenangkan oleh partai-partai berlabel Islam. Jadi sebenarnya tidak ada ruang leluasa buat umat Islam ketika demokrasi sebagai alat perjuangan umat dimenangkan kecuali ia harus menjadi jongos AS terlebih dahulu.

    Kemunafikan ini dijaga agar tetap eksis karena ini menyangkut eksistensi Israel sebagai satelit AS, belanja senjata trilyunan dolar AS oleh para raja Timur Tengah. Dus, sumber daya alam yang begitu berlimpah di sana. Maka kekacauan dibuat sedemikian rupa agar wilayah panas itu tak pernah jeda sejenak untuk mengambil nafas kedamaian.

    Ditambah para penguasa diktator dan despotis itu membiarkan lenyapnya nyawa saudara sebangsanya itu selama berdekade AS mengambil peran di sana. Tak ada kegetiran sedikit pun bahwa mereka hanya jadi boneka yang bisa dipermainkan setiap saat oleh dalangnya. Tak heran anggapan ini marak: nyawa orang Arab itu murah. Tidak ada harganya. Satu dua mati, prihatin. Banyak yang mati cuma jadi statistik.

    Peran kekhalifahan dengan eranya yang begitu mencengangkan sejarah tidak diambil oleh para raja itu karena mereka sadar, sekali mereka muncul akan dibabat habis oleh para diktator lain yang menginginkan peran yang sama tapi nirkerja dan nirmandat. Sampai kapan kemunafikan ini terus difestivalisasi?

Lalu sampai kapan pembantaian ini didiamkan saja? Wahai para raja, muslim di seluruh dunia, dan para manusia di kolong jagat raya ini, letakkan dalam hati—jika kalian masih memilikinya—perkataan Erdogan ini: “Anda tak perlu menjadi rakyat Mesir untuk bersimpati, Anda hanya perlu menjadi manusia.”

    ***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Di satu hari menjelang kemerdekaan

08:37 16 Agustus 2013