Dua Jam Bersama Hasan Tiro


Ini adalah artikel feature yang ditulis oleh wartawan Tempo Arif Zulkifli dan dipublikasikan di Majalah Tempo edisi 29 Mei–4 Juni 2000 yang berjudul:

Dua Jam Bersama Hasan Tiro

LELAKI itu merapatkan mantelnya. Ia berdiri di pintu balkon menghadap ke luar apartemen. Angin dingin musim semi berembus. Lima belas derajat Celsius. Kering, menusuk seperti jarum. Di luar, laut Mälaren yang menggenangi Kota Stockholm berpendar-pendar. Di atasnya, sebuah bukit warna cokelat menyembul dari permukaan air. Udara cerah. Awan meriaki biru langit.

“Lihat pemandangan itu,” katanya. “Mirip sekali dengan Aceh.” Lelaki itu, Hasan Muhammad di Tiro, 75 tahun, kembali merapatkan mantelnya. Rambutnya yang putih tersisir ke samping. Rautnya keras dan giginya kusam termakan usia. Sesekali ia tersenyum.

Baca Lebih Banyak

Advertisement

Rubrik Bahasa: Berkelindan


Kalau malam ini Anda sedang menonton film Penumpasan Pengkhinatan G 30 S PKI maka Anda akan melihat Aidit sebagai tokoh sentral di sana.

Kalau Anda tahu, tokoh Aidit ini diperankan oleh Syu’bah Asa, wartawan majalah Tempo.

Sebagaimana kebiasaan majalah Tempo yang sering berkreasi dalam menggunakan kata-kata baru di selingkungnya, pada 1970-an, Syu’bah Asa menggunakan kata baru “berkelindan” sebagai padanan kata “saling mempengaruhi” atau “saling membelit”.

Demikian. Sebersit info.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
30 September 2019

Rubrik Bahasa: Progress atau Progres atau Apa?


Progress berasal dari bahasa Inggris yang memiliki makna kemajuan atau berkembang. Kamus Besar Bahasa Indonesia sebenarnya sudah menyerapnya dengan kata “progres” yang berarti kemajuan. Artinya ketika mendapatkan dan memilih kata progress  untuk pembentukan suatu kalimat maka kita lebih memilih progres tanpa perlu kata itu dimiringkan sebagai tanda istilah asing yang belum diserap oleh bahasa Indonesia.

Namun jika kita mengingat pesan dari Badan Bahasa tentang slogan berikut: Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing, tentu kita selayaknya memilih kata “kemajuan” daripada “progres”.

Mengutip Ahmad Sahidah di Majalah Tempo, 10 Januari 2011: “Kegagalan menggunakan kata Indonesia dan lebih memilih menggunakan serapan kata-kata bahasa Inggris hakikatnya mencerminkan kekhawatiran banyak orang bahwa bahasa Indonesia yang berakar pada bahasa Melayu dipandang tidak memadai untuk dijadikan bahasa pengetahuan.”

Kita tidak ingin, bukan?

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
12 Agustus 2019

Secuil Religiositas di Kandang Sekuler


Ali terburu-buru keluar dari toilet lantai 5 Gedung Tempo dengan membawa ember dan alat pel. Wajahnya masih menunjukkan jejak-jejak air. Lelaki itu berencana untuk membersihkan musala berukuran 84 meter persegi yang letaknya disamping toilet. “Saya sudah lama kerja di sini,” kata petugas cleaning service gedung jangkung yang menonjolkan warna khas Tempo, merah dan terletak di Palmerah, Jakarta ini, Jumat (24/2/2017).

Membersihkan musala menjadi salah satu tugas Ali dan teman seprofesinya. Musala ini dinamakan dengan Ahmad Wahib, wartawan Tempo yang meninggal tertabrak motor pada tahun 1973, persis di depan kantor lama Tempo di Proyek Senen.

Continue reading Secuil Religiositas di Kandang Sekuler

Spotlight, Kill The Messenger, dan Panama Papers


 

Dalam seminggu terakhir saya menemukan tiga nama: Spotlight, Kill the Messenger, dan Panama Papers. Dua nama pertama adalah judul film yang diangkat berdasarkan kisah nyata. Sedangkan Panama Papers adalah kumpulan jutaan dokumen yang dibuat oleh perusahaan asal Panama: Mossack Fonseca.

Kesamaan dari ketiganya adalah mereka buah dari kerja investigasi yang dilakukan oleh wartawan. Spotlight mengungkap kasus pelecehan seksual (pedofilia)yang dilakukan bertahun-tahun lamanya oleh oknum pastur dan biarawan. Sayangnya ini didiamkan oleh pemimpin tertinggi Keuskupan Boston saat itu, Kardinal Law. Wartawan The Boston Globe dengan tim dari meja investigasi bernama Spotlight membongkarnya.  Ini terjadi di tahun 2001.

Spotlight merupakan film yang berhasil meraih penghargaan sebagai film terbaik di ajang Oscar ke-88 akhir Januari 2016. Koran Vatikan menyebut film ini “not an anti-Catholic film” dan Radio Vatikan merekomendasikan film ini untuk ditonton.

Baca Lebih Lanjut