“Ketika kami tiba di rumah, Ayah menarik bahu saya dan menghadapkan saya ke wajahnya. Dengan suara baritonnya, dia berkata, “Nak, ingatlah ini. Yang penting bukanlah kamu mulai dari mana, melainkan kamu berakhir di mana.”
Seringkali orang dibuat jauh terlebih dahulu untuk merasakan betul nikmat yang besar berupa persatuan dan perjumpaan. Begitulah adanya saya. Penugasan yang berjarak ribuan kilometer membuat saya tidak bisa berkumpul dengan keluarga setiap saat. Saya pulang sebulan sekali ke Kota Hujan.
Maka di situlah saya belajar yang namanya kangen yang dendam, rindu yang tak berkesudahan. Kepada istri dan anak-anak tentunya. Anak pertama saya, laki-laki, sudah duduk di kelas 1 SMA. Anak kedua saya, laki-laki juga, sudah kelas 2 SMP di sekolah dan pesantren yang sama dengan kakaknya. Sedangkan si bungsu, perempuan, baru kelas 2 SD.
Saya sadar mereka berada di usia-usia yang membutuhkan panutan. Bukankah kita tahu dari berbagai pakar parenting yang menyatakan bahwa ada lima fase kehidupan saat seorang anak mengalami masa krisis dan ayahlah—mengutip Bendri Jaisyurrahman—pertanda dari Allah yang mampu menyelamatkannya.
Pertama, saat anak mulai masuk sekolah. Kedua, saat anak praremaja. Ketiga, saat remaja. Keempat, saat menjelang pernikahan. Dan kelima, lima tahun pertama usia pernikahan.
Kini, saya tidak berada di sisi mereka pada fase ketiga itu. Maka dari itu, saya berusaha untuk selalu “keep in touch” dengan mereka. Melalui jaringan telepon misalnya.
Tapi kesibukan dan peraturan yang ketat di pesantren tentunya membuat saya tidak bisa bebas menelepon mereka setiap saat. Namun ketika sudah tersambung, mendengar suara mereka saja itu sudah cukup bagi saya. Ini mampu menurunkan tensi tinggi kangen saya.
Pelukan
Dan zaman sudah berubah. Teknologi telah semakin canggih. Alat komunikasi sudah merata dimiliki oleh banyak orang dan mampu mendekatkan yang jauh. Tapi itu tetap tak sanggup menggantikan apa yang disebut sentuhan dan pelukan. Sebuah kalimat dari pendiri TOMS Shoes, Blake Mycoskie, menyentak saya, “…tidak ada yang dapat menggantikan keefektifan interaksi secara langsung.”
Dengan perempuanku, pertemuan sebulan sekali itu selalu dimulai dengan sebuah pelukan hangat ketika saya pulang dan mengetuk serta membuka pintu rumah. Dengan kedua anak laki-laki saya pun demikian adanya. Walau mungkin mereka merasa risih dipeluk abinya di depan kawan-kawan mereka. Bagi saya pelukan itu adalah emas dan bahagia.
Pelukan juga yang mengakhiri pertemuan singkat kami setiap kali saya mengunjungi pesantren mereka. Bahkan seringkali pelukan-pelukan itu tak berkesudahan, karena saya enggan melepas mereka menjauh lagi.
Pelukan-pelukan sehangat mentari pagi itu disuguhkan dengan kata-kata penyemangat yang menyediakan motivasi dan untaian nasihat. Saya yakin nasihat-nasihat ini akan diingat mereka. Harapan saya kelak ketika mereka dewasa, mereka akan bercerita kepada teman-temannya dengan memulai mengatakan ini, ”Dulu, ayah saya pernah bilang…”
Saya tidak main-main dan sekadar memberikan nasihat tapi saya berusaha menghadapkan wajah saya di hadapan wajah mereka. Saya jadi teringat sebuah fragmen kisah masa kecil Lawrence G McDonald—wakil presiden Lehman Brothers sebelum bangkrut—dengan ayahnya yang terlambat menyekolahkan dirinya ke sekolah terbaik.
Lawrence bercerita. Ketika kami tiba di rumah, Ayah menarik bahu saya dan menghadapkan saya ke wajahnya. Dengan suara baritonnya, dia berkata, “Nak, ingatlah ini. Yang penting bukanlah kamu mulai dari mana, melainkan kamu berakhir di mana.” Inilah bentuk “keep in touch” itu. Sebuah sentuhan di bahu.
Di akhir pertemuan itu, tak sedikit pun mata saya berpaling kepada yang lain kecuali titik pusat di atas hidung di antara kedua mata mereka. Saya mendengar dan memerhatikan mereka. Agar mereka paham bahwa abinya tidak memedulikan apa saja kecuali kepada mereka.
Saya pun lebih yakin lagi. Ketika jarak sudah menjadikannya seperti Benua Asia dan Amerika sehingga tak ada pelukan yang menjelma maka komunikasi harus tetap jalan. Komunikasi yang disebut dengan hubungan batin antara ayah dengan darah dagingnya. Doa dan amal adalah bentuknya.
Santri Nakal
Betapa para pecinta telah menuliskan sebait kata ini dalam sebuah syair: doa adalah caraku memelukmu dari jauh. Ya, doa itu adalah cara berkomunikasi. Komunikasi kepada Allah yang mahamampu mendekatkan dan menjauhkan. Agar Ia melindungi apa yang kita cinta dan sayangi. Doa ini menguatkan.
Bicara tentang kekuatan doa maka saya teringat dengan kisah ini. Kisah tentang kearifan seorang kiai dalam mengatasi santri nakalnya. Kisah ini beredar dalam grup Whatsapp yang saya ikuti. Tentunya ini menggugah saya.
Kiai Haji Mustofa Bisri—biasa dipanggil Gus Mus—pernah diminta berceramah oleh kiai muda di sebuah acara khataman Alquran. Dalam ceramahnya itu, Gus Mus bercerita bahwa dulu ia punya kiai namanya Kiai Umar yang mengelola sebuah pesantren. Suatu ketika Sang Kiai meminta kepada pengasuh pondok berupa daftar nama-nama santri dari yang paling nakal sampai yang taraf kenakalannya sedang.
Pengasuh pondok senang diminta Kiai Umar. Ia susun daftarnya dan menyerahkan kepada Sang Kiai. Ia berharap bahwa kini saatnya kiai menghukum anak-anak nakal yang telah bikin banyak kegaduhan di pondok pesantren.
Tapi dengan berjalannya waktu, pengasuh pondok itu tak mendapatkan apa yang diharapkannya. Sang Kiai tidak melakukan apa-apa. “Kok santri-santri yang nakal masih tetap nakal ya. Kok tidak diusir atau dipanggil Kiai.”
Dua minggu berlalu, pengasuh pondok penasaran dan bertanya kepada Sang Kiai, “Kiai, mengapa tidak ada santri yang dihukum, ditakzir, dan diusir dari pondok?”
“Lho santri yang mana?”
“Santri yang nakal-nakal, yang kemarin Kiai minta daftarnya itu?”
“Siapa yang mau mengusir? Karena mereka nakal itu dipondokkan, biar tidak nakal. Kalau di sini nakal terus diusir, ya tetap nakal terus. Dimasukkan ke pesantren itu biar tidak nakal.”
“Kok Kiai memerintahkan mencatat santri-santri yang nakal itu?”
“Begini, kamu kan tahu tiap malam saya mendoakan santri-santri setelah salat tahajud. Catatan itu saya bawa. Kalau saya berdoa mereka saya khususkan. Tanya dululah kalau belum paham.”
Sampai di sini Gus Mus selesai bercerita. Biasanya kalau ia menceritakan kisah ini para hadirin tertawa semua, tapi kala itu hanya satu yang tidak tertawa, kiai muda yang mengundangnya.
Usai ceramah, kiai muda mendekati dan merangkul Gus Mus sembari berbisik, “Masya Allah, Alhamdulillah Gus, panjenengan tidak menyebut nama. Sayalah daftar ternakalnya Kiai Umar.”
Subhanallah. Doa mengubah takdir. Mengubah semuanya. Mengubah anak nakal menjadi kiai dengan ribuan santri. Itulah kekuatan doa. Dan saya yakin Allah akan mengabulkan doa saya buat anak-anak saya, insya Allah. Bukankah prasyarat doa terkabul oleh Sang Maha Pengabul Doa adalah sebuah keyakinan yang tinggi menjulang ke langit?
Kebaikan itu Investasi
Lalu bagaimana dengan amal? Apakah kaitannya amal dengan anak-anak? Apakah amal adalah sebuah teleport yang dapat mengantarkan kita ke dimensi lain? Atau seperti pintu Doraemon yang juga mampu membuat kita berpindah waktu dan tempat hanya dengan membuka pintu ajaib itu?
Bukan. Amal itu adalah amal baik yang dilakukan setiap saat. Karena saya yakin, ketika saya berbuat baik, tidak melakukan dosa dan kesalahan, maka itu akan memengaruhi kegiatan belajar anak-anak saya. Tidak sekadar itu, amal itu pun akan memengaruhi semua perikehidupan mereka. Mereka tidak berbuat yang macam-macam dan aneh-aneh. Allah-lah yang senantiasa membuat Tembok Besar Cina buat mereka.
Dan bertakwa kepada Allah serta mengucapkan perkataan yang benar adalah jalannya untuk meyakinkan diri saya bahwa Allah tidak akan meninggalkan anak keturunan saya sebagai generasi yang lemah seandainya saya dapat memenuhi dua prasyarat dalam Annisa ayat 9 itu.
Para salaf mewariskan perbendaharaan harta Sulaiman berupa keteladanan kepada kita, “Wahai anakku, aku akan membaguskan salatku, agar engkau mendapat kebaikan.” Apa pun itu, setiap kebaikan akan mendatangkan keberkahan buat pelaku kebaikan dan tentu anak-anaknya.
Itulah Thoreau—penulis buku Walden, or Life in The Woods—pun menulis hal yang sama, “Kebaikan adalah satu-satunya investasi yang tidak pernah gagal.”
Sungguh, ketika dekat maka pelukan menjelma, motivasi mewujud, nasihat menerangi. Ketika jauh maka menelepon, mendoakan anak-anak, dan beramal kebaikan adalah cara sederhana saya mewujudkan hubungan seputih susu bersama anak. Lahir dan batin.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Oktober 2015
Artikel ini telah diterbitkan dalam buku “Ya Bunayya”.
Gambar dari: yisai88.com
saya selalu takjub sama tulisan tulisan om riza ini…. super sekali om
LikeLike
Alhamdulillaah… makasih banyak atas apresiasinya. 🙂 makasih juga telah berkunjung.
http://rizaalmanfaluthi.com ~~~sharing is caring. On May 31, 2016 12:03 PM, “Blog Riza Almanfaluthi” wrote:
>
LikeLike