Mulai 1 Juli 2020, atas setiap produk digital dari luar negeri yang dijual melalui perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Jadi, ketika masyarakat Indonesia membeli buku elektronik dari Amazon misalnya, akan muncul PPN dalam tagihannya.
Beleid itu mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PJ.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Produk digital yang dijual itu bisa berupa buku elektronik, majalah elektronik, komik elektronik, peranti lunak, aplikasi digital, permainan digital, multimedia, data elektronik, barang atau koin virtual, streaming film, streaming musik, konten audio, web hosting, layanan konferensi video, atau layanan jasa lainnya yang berbasis peranti lunak.
PPN akan dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, pelaku usaha PMSE dalam negeri, pelaku usaha luar negeri yang menjual produk digital itu. Tentu mereka harus ditunjuk terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan yang kewenangan atas penunjukan dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Mereka ini dalam beleid di atas disebut sebagai Pemungut PPN PMSE.
Pelaku usaha PPN PMSE harus memenuhi kriteria tertentu untuk bisa ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE yaitu apabila mereka memiliki nilai transaksi dengan pembeli produk digital di Indonesia melebihi Rp50 juta dalam satu bulan atau Rp600 juta dalam setahun atau jumlah trafik (pengakses) melebihi 2.000 dalam satu bulan atau 24.000 dalam setahun.
Dengan penunjukan itu Pemungut PPN PMSE mendapatkan nomor identitas sebagai sarana administrasi perpajakan. Kemudian, Pemungut PPN PMSE baru bisa memungut PPN pada awal bulan berikutnya setelah tanggal penunjukan. Ini supaya memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyiapkan sistem dan sosialisasi penunjukan kepada pengguna barang atau pemakai jasa mereka.
Sebenarnya pengenaan PPN atas pemanfaatan barang atau jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean seperti produk digital ini bukan hal yang baru di dalam sistem perpajakan Indonesia. Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah menyebutkan, orang pribadi atau badan yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Masalah muncul dalam praktik di lapangan. Mekanisme pemungutan, pembayaran, dan pengawasan relatif sulit untuk dilaksanakan dalam konteks Business to Customer, atas penjualan produk digital dari perusahaan di luar negeri kepada konsumen akhir pengguna layanan di dalam negeri. Pada akhirnya konsumen tidak membayar PPN.
Sedangkan para pelaku usaha di tanah air yang menjual produk digital kepada konsumennya telah memungut PPN. Artinya penjualan konten digital dalam negeri dikenakan PPN, sedangkan konten digital asing bebas PPN. Akibatnya muncul disparitas harga yang mencolok antara produk digital dari luar negeri dan dalam negeri. Harga jual konten digital lokal menjadi lebih mahal daripada harga jual konten digital asing.
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dalam sebuah audiensi kepada Kementerian Keuangan pada pertengahan Juni 2020 lalu mendukung ketentuan pengenaan PPN atas produk digital yang dijual para pemain digital asing ini karena menciptakan equal level of playing field terhadap penyedia produk digital dalam negeri.
Ketentuan ini pun selain memberikan kepastian hukum juga memberikan ketegasan terhadap para pelaku usaha digital luar negeri yang tidak melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN PMSE. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang adalah landasan hukum dari Peraturan Menteri Keuangan di atas.
Di sana, selain sanksi administrasi berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdapat sanksi berupa pemutusan akses oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. Pemutusan akses itu berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. Ini pun jika para pelaku usaha digital luar negeri sebelumnya tidak mengindahkan teguran Menteri Keuangan sampai batas waktu yang ditentukan.
Tentu bukan semangat penegakan hukum yang ditonjolkan pada saat ini, melainkan semangat memberikan kemudahan kepada para pelaku usaha PMSE dalam memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN PMSE. Antara lain administrasi perpajakan yang tak rigid; penyetoran ke kas negara dengan mata uang yang lebih fleksibel, serta pelaporan yang longgar dalam waktu triwulanan dan mudah dengan menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan.
Dengan semua ini Indonesia telah menyusul puluhan negara lain di seluruh dunia yang telah menerapkan PPN atas produk digital. Semisal, dalam laman situs web Global VAT Compliance menyebutkan, Norwegia sudah menerapkannya sejak 1 Juli 2011 dengan tarif sebesar 25% dan Uganda sejak 1 Juli 2018 dengan tarif 18%.
***
Konsep Asli
Ditulis untuk DJP, untuk APBN Kita
Dimuat di Publikasi Kementerian Keuangan https://www.kemenkeu.go.id/media/15742/apbn-kita-juli-2020.pdf