Satu Daun yang Tak Pernah Risau


Berulangkali kau memuntahkan lahar dari perutmu yang bergolak sedari tengah malam. Yang jatuh di lantai kamar mandi yang mengilat itu adalah secuplik dua cuplik kata-kata dan kalimat  berwarna hitam yang langsung kauguyur dengan air kemudian menghilang menuju lubang pembuangan, menuju selokan kecil, ke selokan yang lebih besar, ke sungai, dan memuara ke Laut Jawa.  Semrawut apa yang kaumakan sebelumnya? 

Coba kauingat dulu. Atau barangkali kau memakan mimpi-mimpimu sendiri. Getir dan manisnya yang kaucoba mamah dengan setiap perasaan yang timbul dan tenggelam. Perasaan ini adalah perihal yang paling sulit diterima dari seorang pemimpi sekaligus pecinta. Mabuk dengan mimpi-mimpi kesturi namun dijerembabkan kepada kenyataan yang sebenarnya ketika terbangun di suatu Subuh yang suaranya parau memanggil-manggil.

Bagaimana ia tidak parau ketika dengan lantang dan seringnya menasihatimu di hari-hari belakangan untuk tidak berkawan dengan malam, bermesraan dengan lelah, dan bercengkerama dengan dingin, tetapi kau abaikan. Apakah kaulelah? Apakah kau kedinginan? Sebuah pertanyaan sempurna pada sekuntum hari dan sekelopak malam yang kaujawab dengan kata pendek bertenaga, “Tidak.”

Hari dan malam adalah kembar setia untuk pemilik ilusi kata. Mereka yang tabah untuk dimaki dan sekaligus dicinta. Disentuh dan dimain-mainkan ujung jemari mereka kapan saja ketika penyair itu suntuk dan kehilangan daya membuat puisi. Bahkan puisi ini sempat untuk tidak tercipta karena para hewan ternak gembalaannya, huruf-huruf itu,  ngambek tak mau berbaris di atas sabana kertas-kertas sajak atau layar-layar kosong di depan mata. Padahal di sana rumput-rumput tinggi, gemuk, dan segar menghijau tersedia begitu rupa. Nikmat mana lagi yang akan kaudustakan wahai para hewan?

Hari dan malam adalah kembar setia untuk para pemilik ilusi kata. Kembar yang memberikan cambuk kehilangan untuk mendidihkan telinga-telinga hewan itu agar mau mendengar. Sesaat setelah cambuk itu diayunkan ke langit dan bunyi raksasa menjelma, “Ctar!!!” Mereka berjingkat-jingkat menuju sabana dan dengan lahap memakan rumput itu dengan riang gembira. Jadilah setengah puisi ini. Rupanya mereka karib sejati dari kehilangan. Sebuah kata dengan sebenar-benar dan setinggi-tingginya makna.

Maka kalau saja di mana-mana tidak ada mata-mata yang tajam, telinga-telinga yang tajam, jari-jari yang tajam, mulut-mulut yang tajam, hidung-hidung yang tajam, kulit-kulit yang tajam, perasaan-perasaan yang tajam, syak-syak yang tajam, tidak ada mereka yang seolah-olah sebagai penikmat puisi tapi memaksakan untuk menelanjangi dan memerkosanya dengan menerjemahkan segala simbol yang bertaburan dengan kitab tafsir dangkalnya, akan banyak denotasi yang berceceran di sepanjang perjalanan kata kita dari mula sampai akhir. Semua harum benderang.

Tidak akan ada lagi konotasi sebagai tempat bersembunyi dirinya dan dua kata ajaib yang tak akan pernah disebut dalam puisi-puisinya. Tempat bersembunyi paling baik, paling gelap, paling hitam, paling nyaman, dan paling aman yang tak bisa dicandra oleh siapapun kecuali dirinya sendiri dan seekor pungguk yang setia memandang malam dan purnama. Herannya, di suatu masa, kita sama-sama mendaku sebagai pungguk.

Salah satunya menjelma menjadi pungguk yang setiap datang dan pergi disambut dengan pelukan hangat seorang bapak. Satu pelukan yang sudah cukup untuk membuat kautahu bahwa itu sebuah proklamasi dominasi dengan bahasa yang mestinya mudah sekali untuk dimengerti. Seperti tatapan-tatapan nan lampau di suatu malam yang pernah kaumiliki dan semestinya pula mudah untuk dipahami. Daripada sebuah pelukan kepada diri sendiri yang bahkan sulit diterjemahkan sebagai apa kecuali sebagai duduk mencangkung di tengah kenelangsaan yang membadai. 

Di sinilah, aku sadar untuk belajar kepada mesin tik tua yang mampu menyembunyikan segala resahnya kepada bunyi-bunyi sepi yang tidak tergantikan zaman. Tik tak tuk, tik tak tuk, tik tak tuk. Lalu ia melahirkan, pada ejan keras terakhirnya, seekor kertas berisi huruf dengan model yang itu-itu saja. I-nya hitam, d-nya mancung, n-nya cantik, u-nya putih, r-nya elok bercahaya. Aduh, kausambut sajak yang masih bayi itu dengan kegembiraan yang nyaris sempurna menutupi yang sebenarnya: perasan jeruk kecut perasaan kehilangan.

Di sinilah, aku sadar untuk belajar kepada gelas yang mampu menyembunyikan segala derita panasnya kepada cairan kopi di suatu pendiangan. Karena satu hal: bibirmu yang angin dan mampu mendinginkan kopi yang sungguh-sungguh membangunkan mata dan membuatku terjaga untuk kesekian kali dan menyelesaikan sajak panjang ini. Gelas pun tergolek begitu rupa sedangkan isinya telah tandas. Gelas itu beri kepadaku sebuah pengorbanan. Aku beri kepada gelas sebuah pengabaian.

Perihal terakhir yang ingin kusampaikan tanpa tulisan tangan di suatu kertas dan tak sempat kukirim adalah di ingatanku, kau satu daun yang tak pernah risau untuk melayang jatuh ke tanah basah saat hujan, berbaring untuk mengelabui sunyi dengan segala kepasrahan, hingga membusuk pelan-pelan, bermandikan wangi petrichor yang abadi. Ketidakadaanmu adalah muasal munculnya seputik kembang harapan di salah satu dahan yang paling tinggi. 

Untuk sebuah fragmen itu, aku hanya bisa menontonnya di sebuah pagi, di atas commuter line yang penuh, dengan bisik-bisik doa yang tak pernah habis. Sudah itu saja. 

***


Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tlogosari, 28 Juni 2017

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.