Angin yang Menyulut Api


Entah kenapa kuburan ini membisu. Tentu membisu karena ketiadaan hidup. Di suatu waktu duha, di bawah pohon beringin raksasa, dengan dahan dan daunnya memayungi petak-petak baka dan segala keresahan, angin menyulut api berisik, menggoyang daun-daunnya, tapi yang jatuh bukan daun-daun yang tak mau jatuh itu, melainkan ribuan kelopak bunga dengan desirnya yang menyayat seperti musim gugur. Keracapnya itu membuat nada yang tak bisa dipahami oleh telingaku yang busuk. Saat ia jatuh tak berdaya ke tanah tak mampu juga untuk ditatap mataku yang penuh dunia dan untuk dimaknai sebagai apa. Tetapi, saat itulah, suatu sayatan pisau waktu menyobek ingatan tentang segelas kopi dan roti yang terbelah dua. Di sebuah stasiun. Remah-remah yang tersisa. Kelopak bunga yang berguguran.

Entah kenapa kafe ini membisu. Tentu membisu karena ketiadaan daya padahal di tempat yang sama begitu banyak orang menanam benih kegembiraan di pekarangan waktu mereka. Di suatu malam-malam yang ranum, harum, dan menyala, betapa keinginan meminum segelas kopi atau dua atau tiga atau terserahlah begitu merasuk dalam nadi pikirku yang apabila kusayat salah satunya di pergelangan tangan, meneteslah butiran sunyi. Setiap tetesan yang runtuh bukanlah hal yang sia-sia. Ada manis dan pahitnya. Makanya aku butuh segelas kopi atau dua atau tiga atau terserahlah untuk membumihanguskan aula malam, altar, dan segala isinya. Untuk satu perihal: ceracau cerita sendiri tak habis-habisnya. Sampai pagi. Sampai aku pulang.

Entah kenapa kuburan dan kafe ini membisu. Padahal kuburan dan kafe: sama saja. Telaga terelok para pecinta menenun kesunyiannya.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Tlogosari, 27 Juni 2017

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.