Langit Cibinong mulai gelap di pagi itu. Tapi keramaian di Jalan Tegar Beriman Pemda Cibinong masih tampak. Jalanan yang bersih dari pedagang sekarang, banyak memberi ruang kepada para pengguna jalan terutama mereka yang mau berolah raga di pagi minggu ini.
Pemuda-pemudi jalan-jalan santai. Aroma parfum menguar kalau saya melewati serombongan dari mereka. Ke mal atau olah raga? Bisa dihitung dengan jari yang benar-benar olah raga atau lari.
Beberapa di antara mereka berkehendak untuk lari, “Ayo lari,” kata salah satu dari mereka dan mereka pun berlari menyusul saya. Tapi itu tak akan lama seperti biasanya. Seratus meter mereka akan berhenti di hadapan saya. Dan benar, mereka berhenti. Jalan-jalan santai adalah kemestian, lari ya sekuatnya. Itu lebih baik daripada yang tidak bergerak sama sekali.
Langit pun menumpahkan deritanya. Tangisnya rintik-rintik. Lari di bawah rintik hujan bukan buat gaya-gayaan. Tapi ini memang jadwalnya buat lari dengan kenyataan yang sebenarnya: langit gelap. Mulanya cukup 10K saja. Tapi kok ini nafas masih kuat, kerongkongan masih belum panas, ya sudah lanjut saja 15K. Sebuah jarak yang jarang saya tempuh. Terakhir dan itu sekali-kalinya 10 bulan lalu. Di bulan Maret 2015 silam.
Ketika sudah mencapai 7,5K dan hampir sebentar lagi sampai ke Jalan Raya Bogor saya putar balik dan mulai memikirkan buat mengulang 15K. Niat sudah dicanangkan, sekarang realisasinya saja. Kecepatan hanya saya jaga di 6 menit/km. Memang mampunya saya segitu.
Di kilometer 14 barulah langit tak malu-malu lagi menangis. Hujannya deras banget. Hahaha…berasa gimana gitu lari-lari waktu hujan. Yang tadinya haus sekarang tak haus lagi. Saya cukup buka mulut saja. Air hujan itu masuk membasahi kerongkongan saya.
Enaknya lari enggak bawa gadget ya begini. Saya tak perlu takut dengan hujan dan tak perlu meneduh. Enak lari tidak bawa headset—alat yang bikin tidak fokus dan perhatian kita sering teralihkan. Lari cukup bawa uang secukupnya yang saya selipkan di sepatu buat beli air minum. Lari cukup bawa jam tangan lari. Praktis.
Dan di garis finis di gerbang kompleks sebelah saya berhenti. Tepat di 15,02K. Masih finis dengan kuat alhamdulillah. Tidak haus dan tidak ngos-ngosan. Kaki belumlah juga memberikan sinyal-sinyal tubuh yang lelah berupa kram.
Dan di finis 15K ini waktunya 26 menit lebih cepat daripada 10 bulan yang lalu yang sampai 2 jam 4 menit. Sekarang berhenti di 1 jam 38 menit. Personal best baru buat 15K.
Insya Allah sebenarnya bisa yah mengulang kembali cerita lama tentang 21K. Tinggal 6K lagi tapi saya ingat Kinan di rumah menunggu bubur ayamnya. Saya mampir di tukang bubur ayam dan memesan satu porsi bubur ayam.
Asap masih mengepul dari bahu saya. Reaksi pertempuran hawa panas dalam tubuh dan hawa dingin luar tubuh. Hujan juga kebetulan sudah berhenti.
Kayaknya kalau memang mau lari 21K dengan finis masih kuat ya perlu dicari momen yang tepat, saat mendung, dan ketika matahari disembunyikannya. Saat gerimis. Saat hujan. Running in the rain. Jadi ingat sebuah puisinya Leon Agusta.
Gerimis Waktu
**
Gerangan di manakah?
Langkahnya selalu seperti bergegas
Entah mendekat atau menjauh tak bisa beda
Antara mereka yang selalu berbagi keriangan
Benderang cahaya jadi simfoni
mengembara mengiringi perjalanannya
Musim berganti datang dan pergi
menyimpan pesan dalam gerimis waktu
akankah keriangan sempat kembali
untuk berbagi?
*****
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 24 Januari 2016