Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi, Haram?


HUKUM MEMBACA DAN MENULIS CERITA FIKSI,
HARAM?

A. Pendahuluan

Dalam sebuah forum diskusi yang membahas sebuah cerita fiksi, ada sebuah celetukan
yang muncul di sana seperti ini, “Tulisan bohong seperti itu memang bermanfaat?” atau dengan celetukan yang
lain seperti ini, “namanya juga khayalan yang diperhalus dengan kata imajiner.”

Bagi saya, celetukan-celetukan tersebut adalah sesuatu yang wajar, karena tidak
semua orang harus dipaksa untuk dapat menyukai sesuatu apalagi sebuah tulisan. Bahkan dengan keterusterangan yang
dilontarkan oleh yang lain dengan mengatakan ketidaksukaannya pada fiksi, saya anggap sebuah kewajaran juga.

Namun menjadi tidak wajar jika ketidaksukaannya tersebut bercampur dengan sinisme
yang berlebihan sehingga menganggap penulis dan pembaca fiksi menjadi orang-orang yang terlena dan jatuh dalam
kesia-siaan serta kedustaan. Apalagi dilatarbelakangi kebencian terhadap penulisnya karena berbada harakah, atau
penulisnya tersebut adalah bagian dari ahlul bid’ah. Subhanallah…

Sinisme inilah yang nantinya akan menghambat banyak orang atau pemula dalam
kepenulisan yang sudah memutuskan menulis fiksi sebagai alat untuk berdakwah dan menyebarkan kebaikan kepada sesama.
Kalaupun karena adanya fatwa ulama yang melarangnya, maka sudah cukup itu bagi yang memercayainya. Karena ada juga
fatwa yang memperbolehkannya sehingga tidak bisa kita memaksakan pendapat yang satu kepada yang lainnya. Perbedaan
dalam hal ini tidak bisa dilarang. Bila hal itu terjadi maka sungguh kita terjerumus kepada ta’ashub yang
dilarang dalam agama yang mulia ini karena merasa dirinya dan fatwa ulamanya yang paling benar. Semoga kita
terlindung dari hal yang demikian.

Maka izinkanlah saya untuk membedah sedikit terhadap permasalahan ini sebatas
dengan keilmuan saya.

B. Fatwa Pengharaman

Biasanya mereka yang berceletuk demikian mendasarkan pemikirannya pada fatwa
syaikh yang mereka percayai. Akhirnya saya menemukan fatwa tersebut di sebuah blog ini:

http://wiramandiri.wordpress.com/2007/10/23/hukum-membaca-dan-menulis-cerita-fiksi-novel-cerpen-dll/

Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll)

Oleh:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan


Pertanyaan:

Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah
ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?

Jawab:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si
penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan
perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).

Apabila
kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan
ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini
hukumnya makruh.
Dalam
setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk
perkara yang tidak ada manfaatnya.

(Fatwa Syaikh Fauzan di ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu’aasirah – Pages 644-645,
al-Fowzaan – ad-Da’wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416AH)

Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/miscellaneous/0070823.htm

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau dan kelimuannya serta amal
shalihnya yang sungguh amat luar biasa ini izinkanlah pula saya sedikit mengkritisi tentang fatwa beliau yang mulia
ini. Yakni terletak pada kemanfaatan dan ketidakmanfaatan dari kisah fiksi tersebut. Maka pertanyaannya adalah siapa
yang merasakan kemanfaatan dan ketidakmanfaatan dari kisah fiksi tersebut? Tentu mudah sekali untuk menjawabnya yaitu
si pembaca atau penulisnya
sendiri.
Bila sedari awal si pembaca atau penulisnya menyadari bahwa menulis atau membaca fiksi itu
tidak terasa manfaatnya maka sudah layak ia termasuk dalam ruang lingkup fatwa ini.

Kemudian bila si penceletuk ini mendasarkan pada kalimat yang ditebalkan tepatnya
pada kalimat “Apabila kegiatan membaca
atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya
haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya
makruh.
maka
ini adalah
sebuah kaidah umum yang berlaku pada suatu apapun. Tidak hanya membaca atau menulis kisah fiksi saja tetapi menulis
nonfiksi, buku, artikel, makalah seminar, atau pekerjaan-pekerjaan lain seperti bekerja di kantor, berbicara dan
mengobrol tidak kenal waktu dan membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib dan sunnah maka ia bisa
dijatuhi hukumnya haram dan makruh.

Menulis dan membaca artikel nonfiksi atau ilmiah untuk membantah ahlul bid’ah
tetapi ia juga sampai melalaikan kewajiban shalatnya, itu pun sudah dijatuhi hukumnya haram. Apalagi menulis dan
membaca beratus-ratus halaman sebuah buku nonfiksi dan dianggap ilmiah karena maraji’nya berderet-deret untuk
membantah dan menghujani seseorang atau lembaga-lembaga dakwah dengan celaan-celaan yang banyak, tidak pantas, lagi
keras meskipun pihak yang dicela itu belum tentu layak menerimanya, bahkan sampai merusak persatuan dan kesatuan
ummat yang merupakan hal yang diwajibkan dalam syariat ini, maka sudah barang tentu ini pun hukumnya HARAM (dengan
huruf besar). Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim
sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada
manfaatnya.

Dari fatwa tersebut dapat kita simpulkan pula bahwa terdapat hal-hal yang
bertentangan di dalamnya yaitu dalam paragraf pertama menegaskan pengharaman secara menyeluruh karena kisah fiksi itu
yang ada hanyalah kedustaan dan ketiadaan manfaat buat penulis dan pembacanya.

Sedangkan dalam paragraf kedua dan ditebalkan terdapat pengecualian, ini ditandai
dengan kata “apabila”, maka dapat diartikan bahwa apabila kegiatan menulis dan membaca fiksi itu tidak
melalaikan sesuatu yang wajib dan sunnah maka hukumnya adalah mubah atau boleh. Jadi dalam fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
, semoga Allah
memberikan rahmat dan keberkahan kepadanya, ini sebenarnya bukan sebuah pengharaman mutlak terhadap kegiatan menulis
dan membaca fiksi.


C.
Tanggapan
terhadap Komentar

Fatwa dan para
pengomentarnya dalam blog tersebut pernah saya beri tanggapan, dan tidak lama kemudian tanggapan saya tersebut sudah
hilang. Ya betul, setiap komentar yang masuk ke sana selalu dimoderasi, entah hilangnya tanggapan saya tersebut
adalah sengaja dihilangkan atau sedang dicari jawabannya yang tepat oleh si pemilik blog ini untuk menyanggah saya.

Beberapa
komentar yang ada di sana saya sebutkan di sini:

  1. Nufeeda, di/pada Oktober 25th, 2007 pada 10:11 amDikatakan:

bagaimana jika baik untuk dakwah? bagaimana jika sanggup membangkitkan keimanan dan membuat seseorang
semakin bersemangat untuk mengerjakan amal shaleh?

Tetap
saja dusta, dan menilai baik atau tidaknya dakwah itu dengan contohan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Pernahkah
nabi membuat cerita dusta untuk membangkitkan keimanan dan mengerjakan amal shalih?

  1. sonta, di/pada Oktober 26th, 2007 pada 7:27 amDikatakan:

ehm,tak bisa dipungkiri bahwa kadang ada juga orang yang terinspirasi novel atau cerita.tapi………yang
namanya fiksi ya tetap fiktif atau bohong. Ex seseorang termotivasi berzakat karena ada film yang menceritakan kalau
berzakat lalu mendadak dapat mobil. nah, kalau kemudian ketahuan itu cuma boong, apakah motivasinya gak ilang?

kalaupun mau memotivasi dengan cerita..bisa dengan cerita cerita yang valid .dari hadits, ayat al qur’an
dll.Misalkan dulu pernah dengar hadits yang menceritakan kalau seseorang ikhlas infaq karena Alloh, Alloh akan
mengambil infaq nya langsung dari tangannya.(mohon dicek dulu, karena ane aq mendadak lupa-lupa ingat)

Hmm…
memang kaum muslimin semakin meninggalkan Al-Quran dan Hadits, mereka lebih memilih kisah-kisah bohong ini sebagai
bahan motivasi sehingga kita lihat pemuda-pemuda muslim lebih banyak membaca novel-novel dusta daripada membaca
buku-buku hadits seperti Riyadhus Shalihin. Padahal di dalam Riyadhus Shalihin itu terdapat banyak sekali kisah dan
nasehat-nasehat Nabi yang memotivasi kita menjadi lebih baik dunia dan akhirat.

Para
penceramah juga pun nampaknya alergi dengan kisah-kisah dalam hadits, sehingga suatu saya mendengar khotib Jumat
berkhutbah tentang keutamaan ilmu dengan menceritakan Kisah Tarzan di hutan yang punya ilmu bahasa hewan sehingga
bisa hidup di hutan… Edede.. Cerita beginian jadi bahan khutbah Jumat. Innnalillahi wainna ilaihi rajiun.

Catatan: Tulisan miring (italic) di
atas adalah tanggapan si pemilik blog terhadap komentator.

Sedikit tanggapan saya tentang komentar yang pertama, bahwa pendukung fatwa ini
selalu mengaitkan antara fiksi dengan sebuah kedustaan. Tidak melirik dan tidak bisa menolerir sedikit pun terhadap
kisah-kisah perumpamaan. Sehingga wajar saja pelekatan vonis kedustaan terhadap cerita fiksi sangat erat sekali.
Apalagi dikaitkan dengan cara berdakwah dan menyampaikan kebenaran ala Rasulullah SAW.

Bila menganggap cerita fiksi adalah sebuah kedustaan maka sudah barang tentu itu
tidak bisa dikaitkan dengan cara dakwah Rasulullah SAW. Bila tidak menganggap sebagai sebuah kedustaan karena
dikaitkan dengan kisah-kisah perumpamaan yang begitu banyak disebutkan dalam Alqur’an maka cara dakwah ini
termasuk ke dalam makaanul ijtihad (tempat ijtihad) pada uslub dan iqtiraahaat (cara dan
metode) dakwah. Masalahnya penentuan kedustaan dan tidaknya sebuah cerita fiksi adalah sesuatu yang debatable. (Catatan penting
bahwa ketika saya menyebutkan dua kata “cerita fiksi” maka berarti semua cerita diluar kisah fiksi yang
penuh kemusyrikan , sihir, dan pornografi).

Sedangkan tanggapan dari pemilik blog ini pada komentar yang kedua, saya
melihatnya terlalu mudah memvonis. Berkaitan dengan banyaknya kaum muslimin yang memilih novel-novel daripada
buku-buku hadits, tentu tidak bisa kita salahkan kepada para penerbit dan penulis novelnya, karena ini berkenaan
dengan pemahaman seorang muslim kepada agamanya. Pemisalan itu sama saja dengan masih banyaknya orang yang memilih
tidak pergi ke masjid untuk sholat berjama’ah di dalamnya dan lebih baik ngendon di rumah atau menonton televisi. Ini sudah barang tentu tidak bisa kita
salahkan masjidnya, karena ini semua bergantung kepada keimanan orang tersebut.

Tanggapan lainnya juga sama, terlalu mudah menggeneralisir, memvonis dengan kata
alergi, dan meremehkan para ustadz yang mengisahkan kisah-kisah perumpamaan. Seakan-akan para penceramah itu tidak
layak untuk berdiri di atas mimbar untuk mengajak kepada kebenaran dan seakan-akan dirinya (penulis komentar ini)
lebih baik daripada para penceramah tersebut. Wallahul musta’an.

D. Fatwa Pembolehan dengan Syarat

Maka setelah panjang lebar saya uraikan (kritisi) tentang fatwa dan tanggapan
komentar yang melarang membaca dan menulis kisah fiksi ini maka dapat kiranya saya uraikan pendapat yang membolehkan
menulis dan membaca cerita fiksi ini.

Saya ambil pendapat tersebut dari Pusat Konsultasi Syariah/Sharia Consulting Center (SCC)
yang
beralamatkan di
http://www.syariahonline.com sebagai
berikut
:

Ustadz- Semoga Allah menjaga dan memuliakan Anda

Bismillahirrahmaanirrahiim

Pertanyaan saya:

bolehkah kita membuat cerita2 fiksi ” islami” untuk dijual sekaligus utk dakwah?

Abdullah Arif

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Cerita fiksi adalah cerita yang tidak berdasarkan fakta kejadian yang nyata. Dalam
hal ini bisa terbagi menjadi fiksi realistis dimana setting dan alur ceritanya logis dan masuk akal. Selain itu ada
yang dibuat imajinatif dan tidak masuk akal.

Yang paling baik tentu saja bila based on
true story
, fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Misalnya kisah para pahlawan Islam, para ulama dan ilmuwan
Islam ataupun kisah-kisah orang terdahulu yang memang mengandung hikmah dan pelajaran yang bagus.

Meski demikian, sebuah cerita/ kisah memang tidak harus didasarkan pada kisah
nyata. Boleh saja cerita itu merupakan karangan penulisnya. Namun alur cerita dan isinya harus bersifat logis dan
masuk akal, atau minimal ada keterangan ilmiyahnya. Sehingga unsur pendidikannya bisa jelas dirasakan.

Dan tentu saja tidak boleh mengandung unsur kemusyrikan dan sihir. Sehingga
dongeng seperti Harry Potter, Pinokio, Cinderella, Peter Pan, Peri dan sejenisnya tidak sesuai dengan aqidah Islam.
Karena isinya menceritakan tentang sihir, alam ghaib, syetan dan segala bentuk kemusyrikan. Memang secara aqidah kita
mengenal fenomena sihir dan segala keajaibannya, namun menurut aqidah Islam, semua itu adalah perbuatan syetan yang
jahat yang harus dihancurkan, bukan dijadikan tontonan. Sehingga menyuguhkan cerita syetan bukanlah ide yang benar.

Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Quran sering menggunakan permisalan untuk lebih
menjelaskan suatu duduk perkara. Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Quran itu merupakan ilustrasi dari sebuah pesan yang
ingin disampaikan kepada pembacanya.

Beberapa diantaranya adalah ayat-ayat berikut :

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api , maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat.” (QS. Al-Baqarah : 17)

“Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil
binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja . Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak
mengerti.” (QS. Al-Baqarah : 171)

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing
jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya . Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.”.(QS. Al-A`raf : 176)

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka
tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(QS. Al-Jumuah :
5).

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al-ankabut : 43).

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quraan ini setiap
macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”(QS. Az-Zumar : 27).

Berangkat dari gaya bahasa Al-Quran yang banyak menggunakan perumpamaan itu, maka banyak para
ulama pendidikan yang mencoba meniru gaya Al-Quran dengan membuat kisah-kisah perumpamaan. Kisah-kisah ini tidak
harus kejadian nyata, tetapi bisa saja sebuah kisah fiktif yang mengandung unsur pendidikan, baik berkaitan dengan
aqidah, akhlaq, sopan santun, etika, ilmu pengetahuan, patriotisme dan sebagainya.

Wallahu a`lam bis-shawab.

E. Imajinasi

Ada yang pelu
digarisbawahi pada pada paragraf ketiga dari fatwa tersebut tepatnya pada kalimat:

Meski demikian, sebuah cerita/ kisah
memang tidak harus didasarkan pada kisah nyata. Boleh saja cerita itu merupakan karangan penulisnya. Namun alur
cerita dan isinya harus bersifat logis dan masuk akal, atau minimal ada keterangan ilmiyahnya. Sehingga unsur pendidikannya bisa jelas dirasakan.

Bahwa cerita
fiksi harus mempunyai alur cerita, isinya harus bersifat logis, dan masuk akal, atau minimal ada keterangan
ilmiyahnya. Singkatnya, menurut istilah Harris Effendi Thahar, adalah cerita fiksi atau imajinasi harus masih dalam
batas-batas kausalitas yang diperlukan.

Harris Effendi
Thahar pernah menulis:

Bahwa cerita fiksi (termasuk cerpen) merupakan ramuan fakta dan imajinasi.
Berimajinasi atau berfantasi adalah salah satu kelebihan manusia yang dianugerahkan Sang Khalik dibanding makhluk
lain. Sejak kecil manusia telah diperkenalkan dengan dongeng, sampai pada suatu waktu, ia pun mampu mendongeng dengan
gayanya sendiri. Dengarlah teman, tetangga, atau siapa saja yang kita kenal bercerita tentang dirinya atau tentang
orang lain, pasti dibumbui fiksi di sana-sini. Anda sendiri pun, tak luput dari hal itu. Sering melebih-lebihkan
fakta! Nah, bukankah itu rekayasa imajinasi?

“Berimajinasi dalam menulis cerita adalah suatu keniscayaan, akan tetapi
harus tetap dalam koridor hukum kausalitas, yakni hukum sebab-akibat,” lanjut Thahar. Karena cerita yang diluar
nalar dan jauh dari hukum kausalitas maka cerita itu adalah cerita mengada-ada.

F. Penutup

Dari apa yang saya utarakan di atas bisa jadi salah dan pendapat yang lain benar,
bisa jadi pendapat saya benar dan yang lain salah. Saya meminta ampun kepada Allah atas segala kekurangan saya. Dan
saya berkesimpulan sebagai berikut:

1. Selama tidak mengandung cerita
kemusyrikan dan sihir tidaklah mengapa membuat cerita fiksi;


2.
Apabila kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang
hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang
hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh
. Tetapi ini
tidak hanya berlaku untuk menulis dan membaca cerita fiksi saja tetapi menulis dan membaca nonfiksi pun bisa berhukum
haram atau makruh jika sampai melalaikan kewajiban dan sunnah.

3. Yang paling baik tentu saja bila
based on true story, fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Misalnya
kisah para pahlawan Islam, para ulama dan ilmuwan Islam ataupun kisah-kisah orang terdahulu yang memang mengandung
hikmah dan pelajaran yang bagus.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan sebagai upaya memberikan hak kepada yang
berhak, memberikan jawaban terhadap orang-orang yang seringkali meremehkan orang lain dan mudah untuk mengeluarkan
tuduhan, serta menghukumi seseorang. Yang sangat bersuka cita jika menemukan suatu kesalahan saudaranya. Sungguh
akhlak salafushshalih tidaklah sedemikian rupa.

Mereka berakhlak mulia, memelihara kerhomatan diri, menahan marah, memaafkan
manusia, menunaikan hak-hak
persaudaraan
, tidak menghina, tidak mencela, tidak memanggil dengan gelaran buruk, menghina,
berprasangka buruk, hatinya lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosanya kepada Allah. Indah
nian akhlak yang mereka punyai.

Semoga bermanfaat.

Maraji’:

1. Alqur’aanul Kariim;

2. Harris Effendi Thahar, Sulit
Memulai?
, Annida, Ummionline, Jumat, 28 Januari
2005;

3. Konsultan Pusat Konsultasi Syariah,
Hukum Cerita
Fiksi,
http://www.syariahonline.com, 2006;

4. Wira, Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll), http://wiramandiri.wordpress.com, Selasa, 23
Oktober 2007;