PEKERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI


PEKERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

 

Dua hari ini, saya ditanya tentang kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi bagi orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dan semata-mata dapat penghasilannya dari luar negeri. Apakah tetap mempunyai kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu harus dikembalikan kepada pertanyaan bagaimana perlakuan PPh bagi mereka itu.

Di tahun 2009 tepatnya tanggal 12 Januari 2009 telah dikeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Semua terjawab sudah dengan membaca aturan tersebut.

Dalam aturan itu, yang dimaksud Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Pekerja ini merupakan Subjek Pajak Luar Negeri.

Ditegaskan dalam Pasal 3 aturan di atas, penghasilan yang diterima atau diperoleh pekerja itu sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai PPh di Indonesia.

Nah, jadi sudah jelas bagi para pekerja di luar negeri tidak dikenai PPh di Indonesia asal memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. WNI bekerja di luar negeri;
  2. Lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
  3. Memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaannya di luar negeri;
  4. Telah dikenai pajak di luar negeri;
  5. Tidak dapat penghasilan dari Indonesia.

Kalau sudah memenuhi syarat itu, selain tidak dikenai PPh di Indonesia kewajiban penyampaian SPT Tahunan pun tidak ada.

Nah, berbeda jika syarat nomor lima tidak terpenuhi. Selain mendapatkan penghasilan dari luar negeri ia juga mendapatkan penghasilan dari Indonesia, maka atas penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan sudah pasti kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi harus dilaksanakannya.

Akan elok kalau saya ilustrasikan sebagai berikut:


Seorang dokter gigi asal Jakarta bekerja di rumah sakit terkenal di Malaysia. Ia hanya mendapatkan penghasilan dari rumah sakit itu. Tidak ada penghasilan lain yang diterima dari Indonesia. Ia pun jarang pulang kampung. Namun di tahun 2011, tepatnya di bulan Juni, ia pulang ke Jakarta dan bekerja di salah satu rumah sakit swasta di sana. Bagaimana dengan penghasilan yang diterima dari luar negeri dan dalam negeri tersebut?

Ada dua syarat yang tidak terpenuhi yakni jangka waktu yang kurang dari 183 hari dan penghasilan yang diterima dari Indonesia. Dengan demikian sudah tentu ia punya kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun Pajak 2011 dengan menggunakan formulir 1770—untuk tahun pajak 2010 ia tidak berkewajiban. Penghasilan dari luar negeri dan dalam negeri digabung dan dikenakan tarif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pajak yang telah dipotong di luar negeri bisa menjadi pengurang (kredit pajak). Mudah bukan?

Demikian, semoga teman-teman yang bertanya hal ini bisa memahaminya dengan baik. Masih kurang jelas? Ruang diskusi terbuka lebar-lebar.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

kita punya hidup masing-masing

10.41 pm 25 Maret 2011

 

Tags: pajak penghasilan, pph, surat pemberitahuan, spt, spt tahunan pph orang pribadi, 1770,1770s, 1770ss, pekerja indonesia luar negeri, PER-2/PJ/2009, djp, direktorat jenderal pajak, Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri, dokter gigi, persatuan dokter gigi seluruh indonesia, pdgi, tki, tenaga kerja indonesia, konsultasi perpajakan, konsultasi gratis perpajakan, konsultasi pajak gratis,

 

MATI AKU!


MATI AKU!

“Matek aku…!” serunya sambil membolak-balikkan berkas gugatan yang ada di hadapannya. Pak Aclak—bukan nama sebenarnya dan tidak mempunyai jiwa pemberontak—ini kuasa hukum salah satu penggugat melawan Direktorat Jenderal Pajak sebagai tergugat. Orang sekaliber Pak Aclak yang sudah malang melintang di dunia peradilan pajak saja masih tetap teledor dalam hal pemenuhan masalah formal gugatan. Apa coba?

    Dia telat satu hari memasukkan permohonan gugatannya ke Pengadilan Pajak. Sekali lagi, cuma satu hari. Makanya dia sampai bilang: “Matek aku”, di sidang yang tengah berlangsung. Saya akan bahas kronologis semua ini bisa terjadi.

    PT Dia Bilang Maaf Jujur Belum (DBMJB) selanjutnya disebut Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan sanksi administrasi tahun pajak 2009 ke DJP. Namun setelah dilakukan penelitian, permohonan tersebut dianggap tidak memenuhi syarat secara material, sehingga permohonan tersebut ditolak dan sanksi administrasi yang diberikan DJP tetap atau tidak dikurangi sama sekali.

    Surat keputusan atas permohonan pengurangan sanksi administrasi tersebut dikeluarkan tanggal 10 Januari 2011 dan dikirim oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada Wajib Pajak melalui pos pada tanggal 12 Januari 2011.

    Wajib Pajak ini masih belum puas atas keputusan itu dan ingin melakukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Maka permohonan gugatan harus diajukan 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat. (Pasal 40 ayat (3) UU 14 Tahun 2002)

    Namun perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan tanggal diterima dalam UU tersebut. Ternyata yang dimaksud dengan tanggal diterima salah satunya adalah tanggal stempel pos pengiriman. Selain itu adalah tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

    Sekarang kita hitung dah, 30 hari sejak tanggal stempel yaitu tanggal 12 Januari 2011. Ternyata jatuh pada tanggal 10 Februari 2011. Nah Pak Aclak ini memasukkan permohonannya secara langsung ke Pengadilan Pajak tanggal 11 Februari 2011. “Matek aku…!”.

Padahal kalau saja Pak Aclak datangnya sehari sebelum tanggal 11 Februari 2011 jelas permohonannya diterima. Atau dikirim via pos di antara tanggal 12 Januari 2011 sampai dengan tanggal 10 Februari 2011 maka permohonannya dianggap diterima walaupun sampai ke Pengadilan Pajak melebihi jangka waktu itu.

Majelis hakim menggambarkan pengajuan gugatan harus “di dalam jangka waktu” itu dengan penjelasan seperti ini: Misal, yang dimaksud tahun 2007 adalah mulai tanggal 01 Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2007. Di dalam jangka waktu itu berarti tanggal di antara tersebut. Maka tanggal 01 Januari 2008 sudah di luar jangka waktu itu.

Akhirnya permohonan gugatan PT DBMJB tidak dapat diterima. Untung kuasa hukumnya cuma bilang begitu, tidak marah-marah. Biasanya yang marah-marah kalau yang datang Wajib Pajaknya langsung. Kami—tim DJP—terkadang dicaci maki juga.

Ah, biarlah. Namanya juga tugas. Risiko pekerjaan.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di sepertiga malam

09.32 23 Februari 2011

 

Tags: pengadilan pajak, majelis hakim, jangka waktu pengajuan gugatan, masalah perpajakan, sengketa pajak,

 

SPT TAHUNAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI 1770, 1770S, 1770 SS TAHUN PAJAK 2010


SPT TAHUNAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI 1770, 1770S, 1770 SS TAHUN PAJAK 2010

 

Diandra Shari

Assalamu’alaikum pak Riza…. maaf sebelumnya saya terpaksa mengirim pertanyaan ttg pajak via FB setelah membaca blog bpk tapi tdk mengerti cara mengirimnya. semoga bpk Riza berkenan. Saya ibu rumah tangga tdk bekerja samasekali dpt surat teguran spt pph 25/29 org pribadi 2009. selama ini saya tdk ngeh kalau punya npwp yg diperoleh krn saya mengangsur apart atas nama saya yg pbb nya sejak 2009 dibayarkan atas nama saya. Apa yg hrs saya lakukan? form apa yg harus saya isi? atas bantuannya saya ucapkan banyak terimakasih. Wass Ketty H

***

Wa’alaikum salam Bu Diandra.

Semoga dalam keadaan sehat selalu. Ibu, sudah kena program ekstensifikasi dari Direktorat Jenderal Pajak. Seperti kalau orang mau beli mobil atau rumah mewah atau mau pinjam duit ke bank maka dia kudu punya NPWP (nomor pokok wajib pajak) dulu. Wajarlah karena mereka dianggap mempunyai penghasilan di atas PTKP (penghasilan tidak kena pajak).

Berkenaan dengan surat teguran atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi tahun 2009 maka memang Ibu diminta oleh kantor pajak untuk melaporkan SPT tersebut. Maka laporkanlah segera SPT tersebut sebagai sarana menuntaskan kewajiban sebagai warga negara yang baik.

Tetapi kalau ibu lapor maka jangan terkejut nantinya kalau ibu akan mendapatkan Surat Tagihan Pajak (STP) sebesar Rp100.000,00 sebagai denda atas keterlambatan penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi tahun pajak 2009 yang jatuh tempo pelaporannya adalah pada tanggal 31 Maret 2010 lalu.

Formulir apa yang digunakan tentunya tergantung dari pekerjaan ibu sekarang ini apa. Bila ibu mempunyai penghasilan :

  1. dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
  2. dari satu atau lebih pemberi kerja;
  3. yang dikenakan Pajak Penghasilan Final dan atau bersifat Final; dan/atau penghasilan lain, maka ibu menggunakan SPT Tahunan Orang Pribadi 1770.    

    Ibu bisa juga menggunakan bentuk formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S) jika mempunyai penghasilan:

  1. dari satu atau lebih pemberi kerja;
  2. dari dalam negeri lainnya; dan/atau
  3. yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final.    

    Namun apabila ibu mempunyai     penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan berupa bunga bank dan/atau bunga koperasi maka Ibu cukup menggunakan formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir 1770 SS).

    Sekarang sudah masuk tahun 2011, Ibu juga harus siap-siap dengan mengisi SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tahun pajak 2010 dan laporkan segera paling lambat tanggal 31 Maret 2011 agar ibu tidak dikenakan denda keterlambatan lapor.

    Demikian Bu, semoga dapat dimengerti dan dipahami.

***

Catatan:

  1. Untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2010 lihat ketentuan PER-34/PJ/2010;
  2. Untuk SPT Tahunan PPh orang Pribadi Tahun Pajak 2009 lihat ketentuan PER-34/PJ/2009 yang telah diubah dengan PER-66/PJ/2009.

Cari di Google.

Artikel terkait:

 

Riza Almanfaluthi

malam bukanlah siang

dedaunan di ranting cemara

21.14 WIB

 

Tags: 2008, 2009, 2010, konsultasi gratis, Konsultasi Perpajakan, pajak, pajak penghasilan, PPh, spt, SPT Tahunan, surat pemberitahuan, tax, Taxes, wajib pajak orang pribadi, WPOP, 1770, 1770S, 1770SS, spt op,

SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS Tahun 2009 (Ketiga)


SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS Tahun 2009(Ketiga)

(Setelah membaca artikel ini harap untuk membaca artikel terbaru tentang tema yang sama dengan ini di sini)

Karena adanya peraturan yang berubah-ubah tentang SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS, di bawah ini akan saya tulis kronologis peraturan yang mengatur masalah ini.

Perlu saya beritahukan terlebih dulu, bahwa artikel ini berkaitan dengan artikel saya terdahulu di blog ini. Tepatnya di yang pertama dan yang kedua.

Oke, saya langsung saja. Berikut kronologisnya dari awal sampai akhir:

  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-161/PJ/2007 tanggal 14 Nopember 2007 bahwa yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS  adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:
    • yang hanya mempunyai penghasilan bruto dari satu  pemberi kerja;
    • penghasilan tersebut tidak melebihi Rp30.000.000,00 setahun;
    • tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan dari bunga bank atau koperasi;
    • hanya untuk penghasilan yang didapat selama tahun pajak 2007.

Catatan kecil:

Ketentuan batas penghasilannya telah berubah dengan peraturan terbaru setelah ini.

2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-8/PJ/2008  tanggal 13 Maret 2008 yang isinya menaikkan batas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh memakai formulir 1770 SS menjadi tidak lebih dari Rp48.000.000,00 setahun.

Catatan kecil:

Peraturan ini masih berlaku sampai sekarang hanya untuk pengisian SPT 1770 SS tahun pajak 2007. Jadi kalau Anda memenuhi kriteria di atas pada nomor satu dan dua dan belum melaporkan penghasilan Anda sampai saat ini maka gunakan ketentuan perpajakan ini.

3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2008 tanggal 05 Juni 2008 yang isinya antara lain bahwa yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS  adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

  • yang hanya mempunyai penghasilan bruto dari satu  pemberi kerja;
  • penghasilan tersebut tidak melebihi Rp48.000.000,00 setahun;
  • tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan dari bunga bank atau koperasi;
  • hanya untuk penghasilan yang didapat selama tahun pajak 2008 dan seterusnya.

Catatan kecil:

Ketentuan batas penghasilannya telah berubah dengan peraturan terbaru setelah ini. Dan terbukti pula bahwa setelahnya nanti ketentuan ini hanya berlaku untuk penghasilan yang didapat di tahun 2008 saja, tidak untuk seterusnya.

4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-7/PJ/2009 tanggal 02 Februari 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2008 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya.

Isinya antara lain menaikkan batas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh memakai formulir 1770 SS menjadi tidak lebih dari Rp60.000.000,00 setahun.

Catatan kecil:

Peraturan ini masih berlaku sampai sekarang hanya untuk pengisian SPT 1770 SS tahun pajak 2008. Jadi kalau Anda memenuhi kriteria di atas pada nomor tiga dan empat dan belum melaporkan penghasilan Anda sampai saat ini maka gunakan ketentuan perpajakan ini.

5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-34/PJ/2009 tanggal 04 Juni 2009 bahwa yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS  adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

  • yang hanya mempunyai penghasilan bruto dari satu  pemberi kerja;
  • tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan dari bunga bank atau koperasi;
  • hanya untuk penghasilan yang didapat selama tahun pajak 2009 dan seterusnya.

Catatan kecil:

Coba lihat ketentuan ini tidak mengatur batasan penghasilan yang dimiliki Wajib Pajak yang diperkenankan mengisi SPT 1770 SS. Akankah seperti ini? Ternyata tidak,  sudah ada keluar peraturan terbaru mengenai batasan penghasilannya. Supaya Wajib Pajak tidak bingung katanya.

Pun, akankah peraturan ini berlaku untuk tahun pajak 2009 dan seterusnya? Kita lihat saja nanti. Kalau berubah alasan yang akan muncul biasanya adalah dinamisasi peraturan.

6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-66/PJ/2009 tanggal 21 Desember 2009 yang mengubah PER-34/PJ/2009. Dengan peraturan ini maka yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS  adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

  • yang hanya mempunyai penghasilan bruto dari satu  pemberi kerja;
  • penghasilan tersebut tidak melebihi Rp60.000.000,00 setahun;
  • tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan dari bunga bank atau koperasi;
  • hanya untuk penghasilan yang didapat selama tahun pajak 2009 dan seterusnya.

Catatan kecil:

Tentang batas penghasilan yang boleh mengisi SPT 1770 SS ini balik lagi ke PER-7/PJ/2009 yaitu sebesar Rp60.000.000,00 setahun. Dan kalau kita cermati maka di tahun 2009 terdapat tiga peraturan yang mengatur masalah SPT 1770 SS.

Akankah peraturan ini berubah lagi? Kita tunggu saja.

Jadi sekarang Anda tak perlu bingung-bingung lagi, kalau Anda mau melaporkan  SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi tahun pajak 2009 dengan menggunakan formulir 1770 SS maka syaratnya—sekali lagi saya ulangi—adalah:

a. mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja;

b. mempunyai penghasilan dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 setahun;

c. yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi.

Semoga bermanfaat.

Tags: pajak, taxes, tax, pajak penghasilan, pph, wajib pajak orang pribadi, spt, surat pemberitahuan, spt tahunan, WPOP, 2008, konsultasi perpajakan, konsultasi gratis.

dedaunan di ranting cemara

riza almanfaluthi

03:11 09 Januari 2010

SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS (KEDUA)


Penghasilan 60 Juta Rupiah ke Bawah Boleh Pakai SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi 1770 SS

(Lihat artikel terbaru dan berkaitan mengenai ini di sana)

Dulu saya pernah menulis tentang Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi bentuk Formulir 1770 SS di sini. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa yang diperkenankan untuk memakai Formulir 1770 SS salah satunya adalah bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan bruto dari pekerjaan tidak melebihi Rp30.000.000,00 setahun.

Ketentuan itu berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-161/PJ/2007 tanggal 14 Nopember 2007 tentang SPT Orang Pribadi Sangat Sederhana Tahun 2007. Yang kemudian diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-8/PJ/2008 tanggal 13 Maret 2008 yang isinya menaikkan batas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh memakai formulir tersebut menjadi tidak lebih dari Rp48.000.000,00 setahun.

Namun di tahun 2009 ini Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan ketentuan baru yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-7/PJ/2009 tanggal 02 Februari 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2008 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya.

Isi dari beleid itu kembali menaikkan batas penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang diperbolehkan untuk menggunakan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi Formulir 1770 SS yaitu menjadi tidak lebih Rp60.000.000,00 setahun. Jadi dengan adanya peraturan ini maka dapat disebutkan di sini bahwa SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi terdapat tiga bentuk formulir yang kriterianya masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Formulir 1770 dan Lampirannya untuk Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:

  • a. dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
  • b. dari satu atau lebih pemberi kerja;
  • c. yang dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final; dan/atau
  • d. penghasilan lain.

2. Formulir 1770 S dan Lampirannya untuk WAjib Pajak yang mempunyai penghasilan:

  • a. dari usaha atau lebih pemberi kerja;
  • b. dari dalam negeri lainnya; dan/atau;
  • c. yang dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final.

3. Formulir 1770 SS bagi Wajib Pajak:

  • a. yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja;
  • b. yang mempunyai penghasilan dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 setahun;
  • c. yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi

Jadi Anda memakai formulir yang mana itu tergantung dari mana dan seberapa besar penghasilan Anda diperoleh dalam setahun tersebut. Sila untuk menghitung-hitung, memilah, dan memilih.

Semoga bermanfaat.

Tags: pajak, taxes, tax, pajak penghasilan, pph, wajib pajak orang pribadi, spt, surat pemberitahuan, spt tahunan, WPOP, 2008, konsultasi perpajakan, konsultasi gratis.

dedaunan di ranting cemara

riza almanfaluthi

16:35 10 Februari 2009

ASPEK PERPAJAKAN DANA BOS


Ada yang bertanya kepada saya tentang bagaimana aspek perpajakan terhadap dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bagaimana pula pengawasan terhadap bendahara atas pelaksanaan dana BOS tersebut. Insya Allah pada tulisan kali ini akan menjawab dua pertanyaan tadi. Namun sebelumnya agar bisa didapat pemahaman secara utuh terhadap aspek perpajakannya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa-apa yang berkaitan dengan dana BOS.
Dan saya pastikan bahwa dana BOS itu sampai tulisan ini dibuat masih banyak diterima oleh sekolah-sekolah. Hal ini telah saya konfirmasikan kepada salah satu pengurus Sekolah Menengah Pertama Islam di Bojonggede, Bogor. Berikut uraiannya:

I. APA ITU DANA BOS


A. Latar belakang Adanya Dana BOS
Dana BOS adalah implementasi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) di bidang pendidikan yang dimulai sejak bulan Juli 2005. Di mana program tersebut adalah dalam rangka untuk meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan terutama dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Sumber utama dana BOS berasal dari APBN.


B. Penerima Dana BOS
1. SD;
2. MI;
3. SDLB;
4. SMP;
5. MTs;
6. SMPIB;
7. Pondok Pesantren Salafiyah Penyelenggara Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun;
8. Sekolah Agama Non Islam Penyelenggara Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

C. Penyaluran dan penggunaan dana BOS adalah sebagai berikut:
1. Dana BOS ditransfer ke rekening rutin sekolah oleh lembaga penyalur Kantor Pos/Bank;
2. Pengeluaran dana berdasarkan permintaan penanggung jawab kegiatan dan diketahui oleh Kepala Sekolah dan disetujui oleh Komite Sekolah.
3. Penanggungjawab kegiatan harus memberikan pertanggungjawaban kepada Bendahara Guru.

D. Penggunaan Dana BOS
Dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Belanja Barang/Jasa;
2. Pengeluaran untuk Honorarium Guru dan Bantuan Siswa.

E. Bolehkah memakai Dana BOS untuk membeli mobil dinas buat Kepala Kantor? Eit, tentu tidak boleh karena Belanja Barang/Jasa meliputi:
1. Pembelian ATK/bahan/penggandaan dan lain-lain:
a. untuk keperluan pengadaan formulir pendaftaran;
b. untuk keperluan ujian sekolah, ulangan umum bersama dan ulangan umum harian.

2. Pembelian bahan-bahan habis pakai, seperti buku tulis, kapur tulis, pensil dan bahan praktikum;
3. Pembelian bahan-bahan untuk perawatan/perbaikan ringan gedung sekolah;
4. Pembelian peralatan ibadah oleh pesantren salafiyah;
5. Pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan;
6. Pembayaran honor atas jasa tenaga kerja lepas, seperti tukang bangunan atau tukang kebun, untuk pekerjaan perawatan dan pemeliharaan bangunan sekolah;
7. Pembayaran imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan gedung sekolah kepada pemberi jasa berbentuk badan usaha bukan orang pribadi.

F. Lalu jenis Pengeluaran untuk Honorarium Guru dan Bantuan Siswa itu apa saja?
1. Pembayaran honorarium guru honorer (non PNS) dan guru PNS yang merangkap di sekolah swasta;
2. Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin.
Ya, apa-apa yang di sebut di atas adalah apa saja yang berkaitan dengan Dana BOS, kini kita akan melihat aspek perpajakannya sebagai berikut:

II. ASPEK PERPAJAKAN DANA BOS

A. Penanggung Jawab Dana BOS

1. Dalam hal dana BOS diberikan kepada Sekolah Negeri, maka penanggung jawab atau bendaharawan BOS merupakan Pemungut PPh Pasal 22 dan PPN. Penanggung jawab atau Bendaharawan BOS ini harus memiliki NPWP;
2. Dalam hal dana BOS diberikan kepada Sekolah swasta, maka penanggung jawab atau bendaharawan BOS bukan merupakan Pemungut PPh Pasal 22 dan PPN. Penanggung jawab atau Bendaharawan BOS ini tidak harus memiliki NPWP. Untuk kemudahan administrasi mereka dapat menggunakan NPWP sekolah atau yayasan sekolah.

B. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS tersebut, yaitu:
a. Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa honorarium atau gaji;
b. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan penjualan barang, dalam hal penanggunajawab atau bendaharawan BOS merupakan Pemungut PPh Pasal 22;
c. Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa;
d. Pemungutan PPN atas pembelian Barang Kena Pajak dan Perolehan Jasa Kena Pajak, dalam hal penanggung jawab atau bendaharawan BOS merupakan Pemungut PPN.

III. DETIL ASPEK PERPAJAKAN PEMAKAIAN DANA BOS

A. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS untuk pembelian ATK/bahan/penggandaan dan lain-lain (baik untuk keperluan pengadaan formulir pendaftaran maupun untuk keperluan ujian sekolah, ulangan umum bersama dan ulangan umum harian); pembelian bahan-bahan habis pakai, seperti buku tulis, kapur tulis, pensil dan bahan praktikum; pembelian bahan-bahan untuk perawatan/perbaikan ringan gedung sekolah dan pembelian peralatan ibadah oleh pesantren salafiyah:
1. Bagi bendaharawan/pengelola dana BOS pada Sekolah Negeri atas penggunaan dana BOS untuk belanja barang sebagaimana tersebut di atas adalah:

a. Memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai pembelian tidak termasuk PPN dan menyetorkannya ke Kas Negara. Dalam hal nilai pembelian tersebut tidak melebihi jumlah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas pengadaan atau pembelian barang tsb tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22.

b. Membayar jumlah PPN atas pembelian barang sebesar 10% dari nilai pembelian dengan cara memungut dan menyetorkannya ke Kas Negara.
c. Mengawasi agar pemenuhan kewajiban pemenuhan Bea Meterai berkaitan dengan dokumen-dokumen, seperti kontrak, Invoice atau bukti pengeluaran uang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Bendaharawan/pengelola dana BOS pada Sekolah Bukan Negeri atau Pesantren Salafiyah adalah tidak termasuk bendaharawan pemerintah sehingga tidak termasuk sebagai pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 dan atau PPN. Dengan demikian kewajiban perpajakan bagi bendaharawan/pengelola dana BOS pada Sekolah Bukan Negeri atau Pesantren Salafiyah yang terkait atas penggunaan dana BOS untuk belanja barang sebagaimana tsb di atas adalah:

a. Tidak mempunyai kewajiban memungut PPh Pasal 22, karena tidak termasuk sebagai pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.

b. Membayar PPN yang dipungut oleh pihak penjual.

c. Mengawasi agar pemenuhan kewajiban pemenuhan Bea Meterai berkaitan dengan dokumen-dokumen, seperti kontrak, invoice atau bukti pengeluaran uang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

B. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS untuk pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan:

1. Bagi bendaharawan/pengelola dana BOS pada Sekolah Negeri atas penggunaan dana BOS untuk pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan adalah:

a. Memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai pembelian tidak termasuk PPN dan menyetorkannya ke Kas Negara. Dalam hal nilai pembelian tsb tidak melebihi jumlah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas pengadaan atau pembelian barang tsb tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22.

b. Atas pembelian buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama, PPN yang terutang dibebaskan.

c. Mengawasi agar pemenuhan kewajiban pemenuhan Bea Meterai berkaitan dengan dokumen-dokumen, seperti kontrak, invoice atau bukti pengeluaran uang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Bendaharawan/pengelola dana BOS pada Sekolah Bukan Negeri atau Pesantren Salafiyah adalah tidak termasuk bendaharawan pemerintah sehingga tidak termasuk sebagai pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 dan atau PPN. Dengan demikian kewajiban perpajakan bagi bendaharawan/pengelola dana BOS pada Sekolah Bukan Negeri atau Pesantren Salafiyah yang terkait atas penggunaan dana BOS untuk pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan adalah:

a. Tidak mempunyai kewajiban memungut PPh Pasal 22, karena tidak termasuk sebagai pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.

b. Atas pembelian buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama, PPN yang terutang dibebaskan.

c. Mengawasi agar pemenuhan kewajiban pemenuhan Bea Meterai berkaitan dengan dokumen-dokumen, seperti kontrak, invoice atau bukti pengeluaran uang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

C. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS, baik pada Sekolah Negeri, Sekolah swasta maupun Pesantren Salafiyah, untuk membayar honor tukang bangunan atau tukang kebun yang melaksanakan kegiatan pemeliharaan atau perawatan sekolah. Semua bendaharawan/penanggungjawab dana BOS di masing-masing unit penerima dana BOS yang membayar honor kepada tenaga kerja lepas orang pribadi yang melaksanakan kegiatan perawatan atau pemeliharaan sekolah harus memotong PPh Pasal 21 dengan ketentuan sbb.:

1. jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima tidak melebihi Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp 1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah), maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong;

2. jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima tidak melebihi Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah), namun jumlah seluruh upah yang diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp 1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah), maka pada saat jumlah seluruh upah telah melebihi Rp 1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah) harus dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5% atas jumlah bruto upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya;

3. jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima lebih dan Rp110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp 1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah), maka harus dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian atau rata-rata upah harian di atas Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah);

4. jika upah harian atau rata-rata upah harian yang diterima lebih dan Rp110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah), maka pada saat jumlah seluruh upah telah melebihi Rp 1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah), harus dihitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong dengan menerapkan tarif 5% atas jumlah bruto upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.

Untuk tahun pajak 2005, jumlah yang tsb pada angka 1) s.d. 4) sebesar Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) dan Rp 1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah) sesuai dengan ketentuan yang berlaku masing-masing sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

D. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS, baik pada Sekolah Negeri, Sekolah swasta maupun Pesantren Salafiyah, untuk membayar imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan sekolah yang dibayarkan kepada Badan Usaha bukan orang pribadi yang melaksanakan kegiatan pemeliharaan atau perawatan sekolah:
Semua bendaharawan/penanggungjawab dana BOS di masing-masing unit penerima dana BOS yang membayar imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan sekolah yang dibayarkan kepada Badan Usaha bukan orang pribadi yang melaksanakan kegiatan pemeliharaan atau perawatan sekolah harus memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% 2% (ketentuan terbaru PMK NO.244/PMK.03/2008) dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN.
Bendaharawan/penanggungjawab BOS di Sekolah Negeri mempunyai kewajiban untuk membayar PPN sebesar 10% dari jumlah imbalan bruto dengan cara memungut dan menyetorkannya ke Kas Negara. Sedangkan bendaharawan/penanggungjawab BOS di Sekolah Swasta atau Pesantren Salafiyah membayar PPN yang dipungut oleh pihak pemberi jasa.

E. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS, baik pada Sekolah Negeri, Sekolah swasta maupun Pesantren Salafiyah, untuk membayar honorarium guru:
Semua bendaharawan/penanggungjawab dana BOS di masing-masing unit penerima dana BOS yang membayar honor kepada guru harus memotong PPh Pasal 21 dengan ketentuan sbb.:

1. Atas pembayaran honor kepada guru non PNS, atau pembayaran honor kepada komite sekolah jika ada, harus dipotong PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh sebesar 5% dan jumlah bruto honor.

2. Atas pembayaran honor kepada guru PNS Golongan IIIA ke atas harus dipotong PPh Pasal 21 yang bersifat final sebesar 15% dari jumlah honor.

3. Atas pembayaran honor kepada guru PNS Golongan IID kebawah tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.

F. Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana BOS untuk memberikan bantuan transport bagi siswa miskin:
Pada dasarnya pemberian bantuan transport bagi siswa miskin yang bersumber dari dana BOS adalah merupakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada siswa miskin sebagai bentuk kompensasi pengurangan subsidi BBM. Oleh karenanya pemberian bantuan tsb memenuhi kriteria pemberian bantuan yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf a angka 1 UU PPh. Oleh karenanya atas pemberian bantuan tsb diatas tidak dilakukan pemotongan pajak.

IV. PENUTUP

Demikian yang bisa saya sampaikan tehadap permasalahan aspek perpajakan yang terkait dengan dana BOS. Pada dasarnya pengawasan terhadap bendaharawan atau penerima dana BOS tentunya terdiri dari dua yaitu internal dan eksternal. Pengawasan Internal dilakukan oleh Dinas Pendidikan Nasional setempat dan pengawasan eksternal selain dari LSM juga dari aparat pajak itu sendiri yang tugasnya hanya mengawasi aspek perpajakannya saja. Sedangkan diluar dari aparat pajak itulah yang berwenang untuk mengawasi bahwa penggunaan dana BOS sesuai dengan penggunaannya seperti yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku.
Ada beberapa hal yang dilakukan oleh aparat pajak dalam masalah pengawasan dana BOS ini, yaitu senantiasa berkoordinasi dengan Tim Pengelola Dana BOS Tingkat Kabupaten/Kota dan atau masing-masing sekolah penerima dana BOS untuk mendata penanggung jawab atau bendaharawan penerima dana BOS di masing-masing sekolah atau pesantren salafiyah;
Lalu melakukan proses pendaftaran dan pemberian NPWP bagi penanggung jawab atau bendaharawan penerima dana BOS yang belum terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak, kecuali bagi penanggungjawab atau bendaharawan penerima dana BOS di sekolah swasta.
Serta memberikan sosialisasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan atas penggunaan dana BOS kepada pihak-pihak yang terkait.
Semoga bermanfaat atas apa yang saya uraiankan. Janji saya tertunaikan kepada Mbak Ika. Apabila ada yang kurang jelas sila untuk bertanya lagi. Insya Allah akan saya jawab semampu saya.

Maraji’: Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor: SE-02/PJ./2006 tanggal 01 Pebruari 2006.

Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
09.03 21 Januari 2008

SETELAH BACA YANG DI ATAS, HARAP BACA YANG INI