melamun


Harusnya keluar pintu tol Cietereup, ngelamun, jadi kebablasan sampai pintu tol Sentul. 😥

HARAPAN MAHADAHSYAT


HARAPAN MAHADAHSYAT


Islamedia –Apa yang menyebabkan seseorang ingin terus hidup di dunia? Tentunya karena ada harapan ia akan mendapatkan sesuatu untuk kesenangan dirinya. Dan harapan itu adalah kuncinya. Orang yang tidak punya harapan maka biasa disebut orang yang putus asa. Kalau enggak kuat iman biasanya bunuh diri.

Dalam Islam kita dilarang untuk melakukan bunuh diri, karena dosanya begitu besar. Pun, buat apa bunuh diri karena sebenarnya setiap masalah tentunya selalu ada solusi sebagai pasangannya. Karena pula rahmat Allah yang begitu luas. Maka jangan sekali-kali putus asa dari rahmatNya. Lagi-lagi ini menyangkut masalah iman.

Nah terkait dengan harapan ini, ramadhan bisa juga disebut sebagai bulan penuh harapan. Dengan demikian begitu banyak orang—terutama yang beriman—menyambutnya dengan riang gembira, minimal enggak ngedumel. Mengapa? Karena begitu banyak harapan-harapan yang diberikan Allah kepada orang yang berpuasa. Mulai dari segi kebendaan sampai yang transendental (Memangnya Ulil doang yang bisa ngomong kayak ginian).

Mulai dari sekadar berharap bedug maghrib cepat berbunyi atau juga suasana siang dan malamnya yang berbeda dengan hari-hari biasanya dan ini sering menimbulkan kerinduan yang begitu mendalam. Atau harapan dapat berbuka puasa bersama dengan keluarga dan mendapatkan kehangatan yang menyertainya. Atau dengan mencicipi minuman, makanan, dan masakan yang hanya muncul di bulan Ramadhan itu. Atau keramaian tiada tara di masjid dan musholla bagi anak-anak yang tidak biasa didapatkan di bulan selainnya.

Atau sekadar harapan dapat THR bagi para pegawai dan buruh. Atau dapat bagian beras dan uang zakat bagi para mustadh’afin. Atau harapan bisa mudik yang tidak menyurutkan niat dari jutaan orang para pelakunya walau kesulitan dan kelelahan menghadang didepan. Dan lebaran tentunya. Duh, banyak banget yah harapan-harapan itu. Tetapi itulah yang membuat kita hidup. Apalagi jika semuanya, harapan-harapan itu, bermuara pada kenyataan.

Itu hanya sebatas keduniawian. Padahal ada harapan yang lebih dahsyat dan mahadahsyat lagi. Seluruhnya ada di bagian yang transendental itu. Mulai dari harapan bisa dilipatgandakannya pahala dari semua amal-amal kebaikan yang dilakukan, atau ketenangan jiwa yang begitu banyak dicari oleh orang seantero dunia, atau keberkahan hidup dunia dan akhirat, atau mendapatkan malam yang mulia, malam seribu bulan, malam lailatul qadr.

Atau menjadi orang yang seperti bayi yang baru dilahirkan ke dunia di 1 Syawal. Bersih. Putih. Tanpa noda dan cela apalagi dosa. Atau harapan mendapatkan predikat al-‘abda attaqiyya (orang yang bertakwa)—dan ini sudah jelas dicintai oleh Allah. Atau harapan mendapatkan rahmat, ampunan Allah, dan pembebasan dari api neraka. Atau harapan masuk surganya Allah dari pintu Arroyyan.

 

Dan harapan yang mahadahsyat itu adalah berjumpa dengan Allah Akbar. Sebuah pertemuan kedua setelah pertemuan pertama di alam ruh. Kita begitu merasakan nikmat yang luar biasa hingga mendapatkan sensasi tiada terkira ketika kita berbuka puasa hanya dengan seteguk air dingin atau secangkir teh hangat, seiring itu kita mengucap syukur Alhamdulillah, apatah lagi berjumpa dengan Sang Mahaindah: Allah ‘azza wajalla. Indah nian jika harapan mahadahsyat itu terealisasi.

Berharaplah, teruslah berharap, jangan pernah berhenti untuk berharap di hari-hari Ramadhan yang tersisa ini. Hiduplah, teruslah hidup, jangan pernah berhenti untuk hidup di bulan 1000 harapan ini. Jangan pernah menyerah untuk terus beramal karena Allah, sebagai jalan memuluskan harapan itu menjadi nyata. Jangan pernah untuk lelah lalu kita rehat karena tempat istirahat kita sejatinya cuma ada di sana, di jannahNya Allah.

Semoga, kau dan aku, menjadi bagian dari manusia yang dapat mewujudkan harapan mahadahsyat itu. Agar tak sekadar mimpi.

***

 

Riza Almanfaluthi

Ditulis untuk Islamedia

03.33 pada 20 Ramadhan 1432 H

http://www.islamedia.web.id/2011/08/harapan-mahadahsyat.html

Gambar diambil dari sini.

AYYASY, KINAN, UNTA, KIJANG, DAN RUSA


AYYASY, KINAN, UNTA, KIJANG, DAN RUSA

 

Sabtu malam Ahad sebelum Ramadhan, kami bertiga—saya, Ayyasy, dan Kinan—menjemput Ummu Haqi dari sebuah hotel di Bogor tempat konsinyering sehari penuh itu diselenggarakan. Nama hotel itu adalah Hotel Sahira, tepatnya di jejeran Jalan Paledang. Kalau saya cuma tahu jalan itu identik dengan nama penjara.

Hotel itu dekat ditempuh dari stasiun Bogor. Jalan kaki bisa atau naik ojek juga bisa. Hotelnya terlihat bagus. Tampak depan bangunan bercita rasa zaman keemasan kolonial Belanda. Sepertinya juga hotel ini hotel syariah karena ada larangan untuk membawa minuman keras dan pasangan yang bukan mahrom untuk menginap. Di setiap kamarnya ada Alqur’an dan terjemahnya serta sajadah untuk shalat.

Untuk kami disediakan satu kamar buat bermalam sampai besok tetapi karena ada agenda yang tak bisa ditinggalkan oleh saya maka kami putuskan untuk pulang saja. Nah, sebelum pulang itu saya sempatkan untuk menjepret Ayyasy dan Kinan di samping unta yang sedari tadi mematung di lobi hotel yang interior dan pencahayaannya cukup bagus.

Selamat dinikmati saja fotonya. J Omong-omong tentang Bogor banyak sekali tempat eksotik untuk dikunjungi. Bogor bisa disamakan dengan Bandung. Yang membedakan adalah hujan, pohon, kijang dan rusanya. Satu lagi kata orang sih…perempuannya. Ah, ada-ada saja. Suatu saat kami akan sempatkan untuk jalan-jalan di sana. Eksplorasi lebih dalam dan lama.

Ini yang terakhir. Beneran terakhir. Sumpah. Kalau ke Bogor melewati istana Bogor dan di halaman luasnya menemukan banyak binatang mamalia seperti kijang dan rusa maka yang menjadi pertanyaan adalah apa bedanya kijang dengan rusa? Saya tanya saya jawab sendiri. Kalau kijang itu punya totol-totol sedangkan rusa tidak punya. Membedakan jantan dan betinanya bagaimana? Yang jantan itu punya tanduk sedangkan yang betina tidak.

Jadi kalau ada yang bertotol-totol dan tidak bertanduk itu namanya adalah kijang betina. Jangan salah sebut yah…

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

merdekalah kita

11.28 17 Ramadhan 1432 H

 

 

Tags: bogor, paledang, stasiun bogor, kijang, rusa, hotel sahira, kolonial belanda, belanda, istana bogor, bandung, kinan, ayyasy

KATA-KATA ATAU UCAPAN TASYAKURAN KHITANAN (SUNATAN)


KATA-KATA ATAU UCAPAN TASYAKURAN KHITANAN (SUNATAN)

Baca Juga  PORTOFOLIO RIZA ALMANFALUTHI

Di postingan saya tentang ucapan akikah banyak juga yang bertanya tentang ucapan buat besek khitanan. Kebetulan pula kalau hari ini, Ahad 10 Juli 2011, saya juga mengadakan syukuran khitanan anak saya yang pertama. Ya sudah, saya bikin saja ucapan tersebut mendadak di pagi harinya.

    Semoga ini juga bermanfaat buat Anda.

Teriring salam dari kami, telah tertunaikan sebuah sunnah, telah tertinggalkan masa kanak-kanak, telah tertandakan sebuah fase kehidupan berikutnya buat anak kami:

MAULVI IZHHARULHAQ ALMANFALUTHI

(HAQI)

yang telah dikhitan pada hari Ahad, 3 Juli 2011 – 1 Sya’ban 1432.

Senantiasa kami berharap atas doa Bapak/Ibu/Saudara/i semoga anak kami menjadi anak yang sholeh.

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Hormat Kami,

Riza Almanfaluthi/Ria Dewi Ambarwati

 

***

Telah terbit buku saya yang berjudul Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini pada Februari 2020 dan pada saat ini telah memasuki Cetakan Kelima.

Untuk membaca sinopsisnya silakan mengeklik tautan berikut: laman ini.

Untuk pemesanan buku silakan kunjungi: https://linktr.ee/RizaAlmanfaluthi

wp-15890098816839151754546465819424.png

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

10 Juli 2011

Tags: ucapan khitanan, khitanan, sunatan, ucapan sunatan, besek, ucapan buat besek khitanan, ucapan buat besek sunatan, ucapan buat berkat khitanan, ucapan buat berkat sunatan, berkat, berkat sunatan, berkat khitanan, ucapan besek khitanan, ucapan besek sunatan, ucapan berkat khitanan, ucapan berkat sunatan, ucapan aqiqah, contoh ucapan aqiqah, kartu ucapan aqiqah, akikah, akikoh, aqiqah, aqiqoh, contoh aqiqah, contoh kartu aqiqah, contoh kartu ucapan aqiqah, contoh kartu ucapan kelahiran, contoh kartu ucapan kelahiran anak, contoh kartu ucapan kelahiran bayi, contoh tulisan aqiqah, contoh ucapan akikah, contoh ucapan aqiqah, contoh ucapan aqiqah anak, contoh ucapan aqiqoh, contoh ucapan kelahiran, contoh ucapan kelahiran anak, contoh ucapan kelahiran bayi, contoh ucapan syukuran, contoh ucapan syukuran kelahiran anak, contoh ucapan tasyakuran, format aqiqah, kartu akikah, kartu aqiqah, kartu aqiqah anak, kartu kelahiran bayi, kartu ucapan akikah, kartu ucapan aqiqah, kartu ucapan aqiqah anak, kartu ucapan aqiqah bayi, kartu ucapan aqiqahan, kartu ucapan aqiqoh, kartu ucapan kelahiran, kartu ucapan kelahiran anak, kartu ucapan kelahiran bayi, kartu ucapan kelahiran bayi perempuan, kartu ucapan syukuran kelahiran anak, kartu ucapan tasyakuran, kata aqiqah, kata ucapan aqiqah, kata ucapan aqiqoh, kata ucapan kelahiran bayi, kata-kata akikah, kata-kata aqiqah, kata-kata untuk aqiqah, kata-kata untuk kelahiran bayi, kelahiran bayi, selamatan, selamatan kelahiran bayi, syukuran kelahiran anak, syukuran kelahiran bayi, tasyakuran aqiqah, tasyakuran kelahiran anak, ucapan 7 bulanan, ucapan akikah, ucapan akikah anak, ucapan akikoh, ucapan aqikah, ucapan aqiqah, ucapan aqiqah anak, ucapan aqiqah bayi, ucapan aqiqahan, ucapan aqiqoh, ucapan dalam berkat, ucapan dalam besek, ucapan kelahiran, ucapan kelahiran bayi, ucapan kelahiran bayi laki-laki, ucapan kelahiran bayi perempuan, ucapan syukur kelahiran anak, ucapan syukuran, ucapan syukuran aqiqah, ucapan syukuran kelahiran, ucapan syukuran kelahiran anak, ucapan syukuran kelahiran bayi, ucapan tasyakuran, ucapan tasyakuran aqiqah, ucapan tasyakuran kelahiran, ucapan terima kasih aqiqah, ucapan tujuh bulanan, ucapan untuk aqikah, ucapan untuk aqiqah, ucapan untuk kelahiran bayi

HAQI DIKHITAN


HAQI DIKHITAN

    Sehari sebelum D-Day, hari ini, Ahad 3 Juli 2011, Haqi dikhitan. Sebelum shubuh kami sudah bersiap-siap agar kedatangan kami tepat waktu. Dokter yang akan mengkhitan Haqi tempat praktiknya jauh. Dan ia hanya memberikan waktu dari jam lima sampai jam tujuh pagi.

    Haqi umurnya sudah 11 tahun dan memang tidak kami paksa untuk dikhitan sedari dulu. Maunya dia saja kapan. Tetapi tak jemu-jemu kami menyarankannya untuk berkhitan segera dan paling lambat kelas enam sudah harus dikhitan. Beberapa bulan sebelum ujian kenaikan kelas Haqi ternyata sudah minta dikhitan. Katanya malu karena dari seluruh murid laki-laki di kelasnya cuma ada dua orang saja yang belum dikhitan.

    Ya sudah, kami meminta ia bersiap-siap untuk disunat pada liburan panjang ini. Tadinya kami mau mengikutkan Ayyasy untuk sunat sekalian, ternyata dia enggak mau. Kami bilang sama Ayyasy untuk sunat di tahun depan saja waktu naik ke kelas 5 atau di bulan Desember tahun ini saat di pertengahan kelas empat.

    Ditemani sama omnya Haqi, saya tiba di Pura Medika, tempat dokter Bambang berpraktik, tepat pukul 06.30. Ketika kami sampai, kami sudah berada di antrian nomor 3. Pun, di sana sudah ada yang teriak-teriak. Anak yang dikhitan dan teriak-teriak ini pakai metode laser. Sedangkan Haqi kami niatkan dengan metode smart klamp. Yang metode laser ini lama juga. Sedangkan anak yang kedua dikhitan, juga memakai metode yang sama dengan Haqi. Cukup 15 menit.

    Setelah tiba gilirannya, saya dan omnya Haqi masuk. Sesudah suntik sana dan sini cairan penghilang rasa sakit, kemudian dibersihkan, saatnya dipasang tabungnya. Pada waktu pemasangan tabung inilah tiba-tiba, kepala saya kok pusing, dan perut kok mual . Tanda-tanda waktu kejadian donor darah beberapa tahun yang lampu seperti akan terulang. Saya segera keluar untuk meminum teh hangat yang saya bawa dari rumah—terima kasih buat Ummu Haqi yang sudah menyiapkannya.

    Kemudian setelah tenang sedikit saya kembali masuk. Tak seberapa lama, proses khitan itu selesai. Langsung bisa jalan seperti tidak ada apa-apa. Keunggulan metode smart klamp seperti ini. Bahkan bisa langsung beraktivitas seperti sediakala atau berenang sekalipun.

    Setelah membayar ongkos khitan sebesar Rp500.000,00 dan diberikan obat-obatan kami pun berpamitan dengan dokter untuk pulang ke rumah. Muka Haqi sudah terlihat pucat. Ia memang belum sarapan. Saya memintanya untuk meminum teh hangat. Di dalam mobil ia langsung tidur.

    Saya mengirimkan pesan kepada Ummu Haqi untuk mempersiapkan segalanya karena kami sudah dalam perjalanan pulang. Memang sih, tidak ada rebanaan atau marawisan untuk khitanan Haqi ini. Dan kami tidak berniat mengadakan resepsi khitanan. Cukup dengan syukuran buat ibu-ibu satu RT di pekan yang akan datang. Tetapi penyambutan juga perlu buat Haqi untuk memberikan kesan bahwa Haqi telah melewati satu fase kehidupannya untuk menjadi laki-laki sejati dan muslim yang lebih baik lagi.

    Selamat Nak, semoga jadi anak yang sholeh juga. Dan jangan lupa untuk menjaga sholatnya karena kamu sudah baligh. Tanggal 3 Juli akan selalu diingat sebagai hari istimewa buatmu dan buat Abi.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

08.47 3 Juli 2011.

Tags: Maulvi izhharulhaq Almanfaluthi, smart klamp, laser, sunat, khitan, dr. bambang, pura medika, bojonggede, bogor, pabuaran, D-Day, haqi, maul, maulvi, ayyasy

MISSING LINK DAN MANASIK HAJI MASSAL


MISSING LINK DAN MANASIK HAJI MASSAL

 

Ada sesuatu yang hilang dari sistem pengurusan haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama, dalam hal ini Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Sampai detik ini saya tidak pernah diberitahu secara tertulis tentang tahun pemberangkatan ibadah haji kami.

Seharusnya, sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat tentu tidaklah sulit untuk mengirimkan pemberitahuan tertulis. Bahkan lebih gampang daripada menelepon satu-persatu kepada lebih dari 3000 calon jama’ah haji Kabupaten Bogor.

Atau sebenarnya saya sudah ditelepon melalui handphone atau telepon rumah tetapi tidak tahu dan pas kebetulan tidak ada di rumah. Yang pasti pada bulan Januari 2011 itu ada selebaran dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) tentang penawaran untuk mengikuti bimbingan mereka. Tidak kami ambil karena kami memang berniat untuk menjadi jama’ah haji perseorangan atau mandiri.

Berarti kalau sudah ada penawaran maka seharusnya sudah ada daftar siapa-siapa yang akan berangkat haji tahun 2011 ini. Pun, sebenarnya waktu proses pendaftaran awal, kami sudah diberitahu oleh petugas Bank Mu’amalat dan petugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor bahwa untuk nomor porsi yang kami miliki akan diberangkatkan tahun 2011. Namun itukan secara lisan dan tidak bisa dipegang.

Sebenarnya cukup dengan mengirimkan surat pemberitahuan kepada para calon jama’ah haji maka tidak ada lagi missing link dari sistem pengurusan haji di Kabupaten Bogor. Ditambah dengan menyediakan nomor hotline yang bisa dihubungi oleh para calon jama’ah haji jika mereka ingin menanyakan informasi haji.

Mungkin hal ini tidak akan terjadi kalau ikut KBIH karena KBIH sering mendapatkan informasi lebih cepat dan awal dari petugas Kantor Kementerian Agama tentang segala pernak-pernik haji. Memang merepotkan untuk memberitahu satu persatu. Makanya petugas Kantor Kementerian Agama cukup dengan memberitahu KBIH.

Tetapi ya itu tadi, yang ikut KBIH ataupun tidak mempunyai hak yang sama dalam pelayanan haji. Perlu dipikirkan cara efektif dan efisien agar semua informasi bisa tersalurkan kepada seluruh calon jama’ah haji.

Dan saya tahu bahwa kami menjadi peserta haji di tahun ini karena saya mempunyai teman di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bojonggede. KUA adalah ujung terdepan Pemerintah dalam pengurusan haji karena merekalah yang akan memberikan bimbingan manasik haji. Dari teman saya itulah saya diberitahu bahwa kami akan menjadi calon jama’ah haji untuk pemberangkatan tahun 2011. Sekalian juga diberitahu informasi akan adanya manasik haji massal se-Kabupaten Bogor.

Nah, urgensinya mengikuti manasik haji massal adalah karena di sana tempat segala informasi penting bagi jama’ah haji perseorangan. Karena lagi-lagi kalau yang mengikuti KBIH tentu semuanya sudah diinformasikan dan akan diurus oleh KBIH.

Manasik haji massal diselenggerakan empat kali. Dua kali sudah terlaksana di hari sabtu akhir bulan Mei 2011 lalu dan di awal Juni 2011. Dua kali lagi nanti pada saat praktik manasik massal di alun-alun depan Gedung Tegar Beriman Komplek Pemda Cibinong.

Di manasik haji massal diberitahu informasi berupa apa-apa yang perlu dipersiapkan oleh calon jama’ah haji, tata cara pembuatan passport, jadwal manasik haji, informasi kesehatan, dan jadwal pemeriksaan kesehatan. Akan saya tulis di tulisan yang lain tentang tata cara pembuatan passport, Insya Allah bila ada kesempatan.

Ini saja yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat buat para calon jama’ah haji Kabupaten Bogor terutama jama’ah mandirinya. Beberapa kata kunci buat para jama’ah haji perseorangan atau mandiri: aktiflah bertanya.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

16.53 11 Juni 2011

 

Baca ini:

  1.  

 


Kementerian Agama, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji, KBIH, jama’ah haji perseorangan, jamaah haji mandiri, Bank Mu’amalat, nomor hotline, kua, kantor urusan agama kecamatan bojonggede, bojonggede, manasik haji, manasik, manasik haji massal, Gedung Tegar Beriman Komplek Pemda Cibinong, bogor, kabupaten bogor.

SALAH LAGI, SALAH LAGI


SALAH LAGI, SALAH LAGI

 

Hari ini memang aneh. Saya merasa diberikan pelajaran berharga sama Yang Di Atas. Untuk benar-benar ingat pada-Nya dan tak melulu dunia saja. Betapa tidak, Allah takdirkan saya untuk mengalami dua kejadian berturut-turut di pagi dan malamnya. Apa? Salah naik angkutan.

Pagi hari, setelah turun dari Kereta Rel Listrik (KRL) Pakuan Ekspress tujuan Tanah Abang di Stasiun Sudirman, saya seharusnya naik Metromini 640 Tanah Abang-Pasar Minggu. Metromini yang biasa saya naiki untuk sampai di depan kantor.

Di Stasiun Sudirman itu ada tiga bus yang biasa berhenti di sana. Satu Kopaja dan dua metromini M640-M15. Kopaja bisa dilihat dari warna hijaunya yang berbeda. Yang menyarukan memang dua metromini itu. Kalau tidak awas dengan nomor di bagian depan maka kita bisa keliru. Tetapi bagi yang jeli dan sudah terbiasa naik dari sana seharusnya tidak akan keliru.

Tapi pagi itu, saya yang memang mengalami kejadian ini. Dapat SMS dari teman, ingin langsung membalasnya, tetapi tak awas dengan metromini yang saya naiki. Pantas saja sedikit yang ikut dalam metromini itu. Tetapi baru sadar ketika di Semanggi, bus tipe sedang itu tidak belok ke arah kiri tetapi lurus untuk kemudian naik ke atas Semanggi dan menuju ke arah Slipi.

Segera saya berteriak, “Kiri…kiri…Pak!!!” Di atas jembatan Semanggi dan di tengah banyaknya polisi yang berada di pinggir jalanan, metromini itu tidak mau berhenti dengan sempurna untuk menurunkan saya. Setengah meloncat saya turun dan syukurnya masih bisa berdiri tegap di permukaan bumi.

Jam di tangan masih menunjukkan waktu yang lapang untuk bisa sampai di kantor tepat waktu. Dengan tas ransel di punggung dan tas jinjing berisi berkas-berkas di tangan kanan, saya songsong matahari dan memeluknya. Hangat sekali terasa. Lebih kurang 15 menit berjalan menyusuri Semanggi, Komdak, dan Plaza Mandiri akhirnya saya sampai di kantor dengan mengeluarkan banyak keringat. Ada hikmahnya: saya jadi bisa berolahraga. Ini kejadian pertama.

Kejadian berikutnya. Jakarta pukul 17.05. Semanggi macet. Sebelumnya sempat hujan memang. Begitulah Jakarta, hujan sedikit sudah membuat kemacetan. Saya kembali naik Metromini 640 menuju Sudirman. Saya pikir kemacetannya tak seberapa, ternyata tak biasanya hingga membuat saya sampai di Stasiun Sudirman dengan melewati dua jadwal kereta yang menuju Bogor. Yang menyakitkan adalah KRL 17.40 berangkat ketika saya sedang antri tiket.

Ya sudah, saya harus menunggu KRL Bojonggede Ekspress satu jam berikutnya. Sebelumnya saya Sholat maghrib dulu di sana. Lalu menuju Peron 1 untuk menanti KRL Bojonggede Ekspress. Saya sengaja ke Peron 1 untuk naik kereta yang menuju Tanah Abang dulu agar bisa duduk. Stasiun Sudirman memang terdiri dari dua peron. Peron 1 adalah untuk jalur kereta dari Manggarai menuju Tanah Abang, sedangkan Peron 2 sebaliknya.

Ketika ada pengumuman bahwa KRL Bojonggede Ekspress akan segera tiba dari Manggarai untuk menuju Tanah Abang terlebih dahulu, segera saya bersiap. Dan ketika pintunya berhenti tepat di depan hidung saya, segera saya meloncat ke dalamnya. Dan syukurnya saya dapat tempat duduk. Tidak panjang lebar saya kemudian buka ipod dan buku. Sesekali—atau berulang kali—balas sms teman.

KRL kemudian menuju Stasiun Tanah Abang dan berhenti sekitar 4 menit untuk kembali ke Stasiun Sudirman dan stasiun berikutnya. Seluruh pengumuman yang keluar dari pengeras suara dengan desibel tinggi tentang kereta yang saya naiki ini tidak mampu merubah persepsi saya bahwa KRL ini adalah benar KRL Bojonggede Ekspress. Sedikitnya orang yang naik dan tampangnya yang tidak familiar pun tidak merubah persepsi saya juga.

Barulah saya menyadari kalau saya salah naik KRL ketika KRL ini berhenti di stasiun yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. “Stasiun Klender…” kata penumpang sebelah saya kepada temannya. Saya tersentak dan alarm pertahanan diri mulai menyala.

Saya bertanya, “Bu, ini ke Bogor kan Bu?”

“Bukan, ini yang ke Bekasi,” jawabnya. Saya langsung tepuk jidat betulan. Geleng-geleng kepala. Kok bisa-bisanya saya sampai tertukar KRL. Dan ini sudah menjadi takdir saya kali yah, ketika saya sodorkan tiket kepada petugas dengan posisi terlipat dan tertutup, tiket ke Bogor itu tidak dibuka sama petugas dan langsung dilubangi begitu saja.

Saya pun turun di Stasiun Kranji kurang lebih setengah delapan malam. Segera ke loket untuk membeli tiket KRL Ekonomi AC menuju Stasiun Kota yang sebentar lagi akan tiba. Tak sampai tiga menit kereta itu datang. Saya masuk ke dalamnya. Dan banyak bangku yang kosong melompong. Sedikit sekali penumpangnya.

KRL melewati Stasiun Jatinegara, Pasar Senen, lalu berakhir di Stasiun Kota tepat pukul 20.05. Menuju loket lagi untuk membeli tiket. Ada dua pilihan jadwal yaitu KRL Ekonomi yang terakhir pukul 20.45 atau KRL Pakuan Ekspress jam sembilan malam. Saya pilih yang pertama. Waktu setengah jam lebih jelang keberangkatan, saya gunakan untuk menuliskan cerita ini. Dengan menggunakan laptop tentunya.

Kemudian KRL Ekonomi dari Bogor tiba di Peron 12, segera saya naik ke dalamnya. Kondisi penuh karena sudah diisi penumpang dari stasiun sebelumnya. Alhamdulillah saya masih diberikan kesempatan untuk menyelipkan tubuh di kursi yang tersisa satu di deretan itu.

Kini alarm sudah saya siapkan agar tidak terjadi keteledoran lagi. Apa coba keteledoran yang kemungkinan akan terjadi? Kebablasan sampai Stasiun Bogor, karena stasiun terakhir saya adalah Stasiun Citayam—puluhan kilometer sebelum kota Bogor. Makanya saya tidak tidur. Walau kantuk dan capai mendera. Tidak ada aktivitas yang bisa saya lakukan kecuali mengutak-atik hp. Membaca buku jelas tak mungkin karena temaramnya lampu kereta kelas ekonomi ini. Terima saja nasib ini.

Lebih dari 45 menit perjalanan menuju Stasiun Citayam. Pada akhirnya sampai rumah jam sepuluh malam. Lima jam perjalanan hanya untuk pulang. Rumah sudah sepi. Di ruang tamu saya menyudutkan diri. Mengulang fragmen-fragmen yang berputar seharian ini. Mencoba menandai berapa banyak kelalaian yang telah dibuat. Sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki tak mampu mencukupi.

Sampai pada episode salah naik angkutan di pagi dan malamnya membuat saya terhenyak dan baru teringat kalau saya lalai di hari itu untuk melakukan dua hal. Infak dan baca doa ini: Allahumma arinal haqqa haqqa war zuqnattiba’ah wa arinal baathila baathila war zuqnajtinabah. Ya Allah tunjukilah kepada kami, yang benar itu benar dan dekatkanlah kami padanya, dan tunjukilah kepada kami yang salah itu salah dan jauhkanlah kami dari itu. Bukankah infak mencegah musibah? Pun dengan do’a ini agar tak terjadi salah ambil jurusan. Apalagi salah-salah lainnya.

Sampai di sini, sampai hitung-hitungan ini, salah-salah itu semakin bertumpuk. Dan saya tak mampu untuk menghitungnya.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Selasa 23.14 31 Mei 2011

 

Tags: Kereta Rel Listrik Pakuan Ekspress, krl, pakuan ekspress, tanah abang, metromini, kopaja, 640, 15, stasiun sudirman, stasiun tanah abang, stasiun kranji, stasiun jatinegara, stasiun senen, stasiun kota, pasar minggu, semanggi, slipi,komdak, plaza mandiri, bojonggede ekspress, manggarai, stasiun bogor, stasiun citayam

 

 

    

Sehari Dengan Dua Sungkawa


Sehari Dengan Dua Sungkawa

 

Dua kabar duka membuat hari Sabtu ini menangis. Habis shubuh, saya sudah mendapatkan berita meninggalnya Ustadzah Yoyoh Yusroh—anggota DPR RI dari Fraksi Keadilan Sejahtera yang getol sekali mengusulkan pembolehan pemakaian jilbab buat perempuan anggota TNI. Ia meninggal setelah mobil yang ditumpangi dari Yogyakarta itu mengalami kecelakaan di Cirebon, Jawa Barat.

Satu kabar lagi adalah meninggalnya tetangga satu RT saya. Pak Syamsiar namanya—mantan ketua RT 11, RT kami. Ketika itu jam sepuluh pagi kurang. Saya dikejutkan dengan berita pingsannya dia. Maka saya bergegas ke rumahnya dan melihat kalau ia sedang dimasukkan ke dalam mobil oleh tetangga yang lain dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Adik ipar yang menyetir, saya disampingnya, dan istri beliau di belakang memangku kaki suaminya. Badannya masih hangat. Saya tidak panik karena sudah pernah mengalami hal ini, sewaktu mengantarkan bapak yang kondisinya lebih buruk darinya. Kami akan mengantarnya ke rumah sakit. Ada dua pilihan: Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Depok atau Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong.

Bu Syamsiar—karena pernah mendapatkan pelayanan yang kurang memuaskan dari RSUD Cibinong—menginginkan untuk segera menuju ke RS Mitra Keluarga Depok tetapi karena jalanan Citayam menuju Depok selalu macet maka kami sepakati menuju RSUD Cibinong terlebih dahulu. Dekat dengan komplek Pemerintah Daerah (Pemda) Cibinong. Bu Syamsiar hanya pasrah dan menyerahkan segala urusannya kepada kami.

Dari kursi depan saya memegang tangan Pak Syamsiar dan terasa hangat. Sepanjang perjalanan, kami berempat hanya memanjatkan dzikir dan doa pada Allah agar tidak terjadi sesuatu apapun pada Pak Syamsiar.

Ketika sampai di Unit Gawat Darurat (UGD) RSUD Cibinong, barulah kami tahu bahwa ia sudah tidak bernafas lagi dari dokter jaga yang memeriksanya. Menurut istrinya, pagi itu suaminya memang mengeluhkan sakit di ulu hati namun tidak dihiraukan sampai ia duduk-duduk di kursi teras rumah. Barulah ketahuan kalau kemudian ia sudah tak sadarkan diri.

Saya segera menelepon pengurus RW, RT, dan Masjid Al-Ikhwan. Di komplek kami itu, kalau ada kejadian begini, maka sudah ada tugasnya masing-masing. Pengurus RW mengurus urusan pemakaman mulai dari mengontak ambulan, tukang penggali kuburan, dan pengurus Tempat Pemakaman Umum (TPU). Sedangkan Pengurus RT mengurus persiapan di rumah duka, dan pengurus masjid menyiapkan tim pengurusan jenazah, tempat pemandian, proses pemandiannya juga, pengafanan, dan penyolatannya.

Pulangnya saya duduk di kursi depan ambulan sebagai penunjuk arah. Setelah sampai di rumah duka segera menghubungi tim pengurusan jenazah supaya siap-siap bertugas setelah sholat dzuhur. Masker dan sarung tangan sudah ada. Kami bertiga dari tim ini lalu mulai menggunting kain kafan dan mempersiapkan semuanya sebelum mulai memandikan. Kalau urusan membuat rangkaian kembang dengan daun pandan itu urusannya ibu-ibu. Setelah itu kami memandikan jenazah almarhum dan syukurnya kami dibantu pihak keluarga sehingga prosesi pemandian dapat berjalan cepat.

Kemudian kami mulai mengafani. Tidak ada hambatan pula. Sekarang tinggal menunggu waktu ashar. Kami akan menyolatkannya di Masjid Al-Ikhwan. Lalu langsung menuju pemakaman di TPU Pondok Rajeg. Setelah semua selesai, kami segera ke TPU walau diiringi insiden ambulan mogok, ternyata hanya karena kehabisan bensin.

Rangkaian penunaian hak terhadap saudara seiman itu akhirnya selesai saat jenazah Almarhum Pak Syamsiar diturunkan ke liang lahat lalu dikuburkan. Sudah. Urusan mendoakan bisa di tempatnya masing-masing.

Saya jadi teringat suatu saat Kanjeng Nabi pernah mengatakan kalau hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menengoknya jika sakit, mengantarkan jenazahnya, memenuhi undangannya, dan menjawab seorang yang bersin. Dalam perkataannya yang lain Kanjeng Nabi menambahkannya dengan jika meminta nasehat maka nasehatilah.

Sabtu itu, Insya Allah sudah banyak salam yang terjawab. Syukurnya pula tak ada teman dan tetangga yang kabarnya sedang sakit, sehingga tak ada yang perlu ditengok. Kalaupun ada semoga cepat sembuh dan saya diberikan kekuatan oleh Allah untuk dapat menengoknya. Belum ada undangan hajatan atau syukuran yang datang ke rumah, jika pun ada semoga Allah memberikan kesempatan yang luas kepada saya untuk bisa menghadiri undangan tersebut. Namun di depan saya tak ada yang bersin, jadi tak bisa bilang Alhamdulillah.

Mengantarkan jenazah sudah dikerjakan di Sabtu ini. Amalan ini terbagi dua tahap kata ulama. Mengantarkan jenazah dari rumah sampai selesai dishalatkan di masjid. Lalu mengantarkan dari masjid sampai selesai dikuburkan.

Dan yang terakhir jika meminta nasehat maka nasehatilah. Hari itu tak ada yang meminta nasehat kepada saya. Dan seharusnya tak perlu mereka meminta itu, karena saya seharusnya yang banyak-banyak dinasehati. Banyak lupa, lalai, dan apalagi dosa. Seharusnya pula seharian mendengar duka dan mengurusi kematian ini menjadi nasehat yang besar buat saya. Kalau nasehat besar saja tak sampai ke hati bagaimana pula dengan nasehat-nasehat biasa?

“Za, kau dengar?” terdengar suara dari Nur’aeni nurani.

Saya cuma bisa terdiam.

***

 

Selamat jalan Ustadzah Yoyoh Yusroh dan Pak H. Syamsiar.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

count the chapter flattered

03.42 22 Mei 2011

 

 

 

 

Tags : Fraksi keadilan sejahtera, yoyoh yusroh, syamsiar, RSUD Cibinong, pemda cibinong, pengurusan jenazah,

COKLAT, KARTINI, DAN SEJATINYA PEMIMPIN


COKLAT, KARTINI, DAN SEJATINYA PEMIMPIN

 

Jalan-jalan ke Cikini

Jangan lupa membeli duku

Hari ini Hari Kartini

Jangan abang lupakan daku

 

Nb:

ini hasil karya aye, makasih ya bang ye

ude dikasih kesempatan untuk

berkarya di luar rumah

            Salam kompak

            –Mpok Kartini—

**

Rabu petang, di lorong Kereta Rel Listrik (KRL) Pakuan Ekspress Tanah Abang Bogor, sambil duduk di kursi lipat, sempat juga saya tertidur dan bermimpi memberikan seseorang sepotong coklat dan mawar yang saya letakkan ke atas meja, “Itu buat kamu,” kata saya.

Keesokan harinya, 21 April 2011, Hari Kartini, saya salah kostum. Saya hanya memakai kemeja biru dan bawahan hitam. Harusnya memakai baju batik. Soalnya kemarin itu dari Pengadilan Pajak saya kembali ke kantor sudah sore. Jadi tidak tahu ada pemberitahuan semua pegawai laki-laki memakai batik. Tahunya kalau teman-teman perempuan diminta untuk memakai kebaya. Saya pakai kebaya? Enggak gue banget gitu loh… Ya sudah, tak mengapa. Namanya juga tidak tahu.

Pagi itu di ruangan lantai 19, sudah terjejer banyak kursi. Akan ada acara rupanya pada peringatan Hari Kartini ini. Pukul setengah delapan pagi lebih, pemberitahuan acara akan segera dimulai berkumandang. Kami disuruh kumpul segera di sana. Kami tidak disuruh untuk duduk, tapi berdiri di bagian depan jejeran kursi itu. Kepada kami disodorkan kertas kecil yang ternyata adalah bait-bait gubahan lagu Ibu Kita Kartini. Inilah bait-bait itu:

Ibu kita tercinta, Bu Catur Rini

Pemimpin yang bijak dan baik hati

Ibu kita tercinta,Bu Catur Rini

Walau banyak berkas, tetap semangat

Wahai ibu kita tercinta

Ibu Catur Rini

Sungguh besar kasih sayangmu

Bagi kami semua

 

Ibu kita tercinta, Bu Catur Rini

Pemimpin yang bijak dan baik hati

Pemimpin yang bijak dan baik hati

*

    

    “Nanti kalau Bu Direktur datang baru kita sama-sama menyanyikannya,” kata salah seorang teman. Ya, sebuah kejutan buat Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak Ibu Catur Rini Widosari. Tepat ketika beliau tiba di ruangan, kami pun mulai menyanyikannya.

     Apa yang ada di dalam bait itu tidak dilebih-lebihkan. Menurut saya memang apa adanya. Tercinta, bijak, baik hati, semangat, dan besar kasih sayangnya. Kalau digabungkan, semuanya itu berkumpul pada satu kata: keibuan. Dan sifat itu memang seharusnya ada pada sosok-sosok Ibu, sosok-sosok Kartini masa kini.

    Betapa tidak baru kali ini—selama 13 tahun bekerja—saya mendengar dari sosok Ibu ini, yang mengatakan kepada kami pada saat Outbond November 2010 lalu bahwa: “yang penting adalah usaha keras yang kalian lakukan, bukan semata-mata hasilnya.” Jarang loh yang mengatakan demikian. Dapat dimaklumi sih, kenapa begitu. Soalnya kerja kami—pegawai DJP—selalu dibebani target penerimaan pajak. Sudah barang tentu, hasil akhir tercapainya penerimaan itu menjadi yang terdepan dalam penilaian di segala hal.

Pengarahan ibu yang satu ini membuat saya semakin menaruh hormat padanya. Artinya Bu Direktur tetap ada upaya menghargai dan mengakui kerja keras anak buahnya. Tidak menyepelekan dan memandang ringan. Tidak ada kesan untuk mengatakan “kerja elo ngapain aja“. Seperti yang pernah saya dapatkan dulu waktu jadi account representative (AR).

Tambah respek lagi adalah ketika dalam suatu pengarahan di pagi hari dalam suatu format acara yang saya lupa, ia mengatakan, “saya mohon untuk senantiasa menjaga integritas kalian.” Kata mohon itu diucapkannya berulang-ulang kali. Bahkan sempat tertanyakan, “apakah perlu saya untuk memohon kepada kalian setiap harinya?”

Sempat tertegun mendengarkan apa yang diarahkannya. Tidak dengan memakai bahasa kekuasaan ketika ia berkata. Misalnya seperti dengan mengucapkan, “awas jangan sampai kejadian Gayus terulang lagi kembali di sini.” Atau dengan berkata, “Saya tidak mau ada kejadian itu terulang di masa saya memimpin.”

Terasa bedanya loh. Jika dengan bahasa kekuasaan maka yang didapat adalah adanya ketidakpercayaan pimpinan kepada bawahan. Padahal untuk bisa bekerja dengan baik bawahan butuh adanya modal percaya yang diberikan atasan kepada dirinya.

Dan walau kata “percaya” sudah menjadi menjadi bagian dari ilmu dan teori manajemen yang diajarkan di bangku-bangku kuliah dan seminar peningkatan kemampuan kepemimpinan, sedikit juga yang bisa memahaminya dengan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka yang ada hanyalah ia bisa menjadi good manager tetapi belum bisa menjadi good leader.

Acara itu belum selesai, tetapi saya harus bergegas untuk segera pergi mempersiapkan berkas-berkas yang harus dibawa ke Pengadilan Pajak. Oleh karena itu saya kembali ke meja kantor dan menemukan benda ini di atasnya: COKLAT!.

Coklat yang dibungkus dengan kertas keemasan, disusun sedemikian rupa hingga membentuk deretan kepingan uang emas, dibungkus dengan plastik transparan yang diujungnya diikat dengan tali hias dan terdapat kertas yang bertuliskan bait-bait seperti di awal tulisan ini. So, sweet…

 

Zoom:

 

    Menerima itu berasa gimana gitu? Dalam mimpi saya menjadi pemberi, sedangkan pada nyatanya saya menjadi penerima coklat. “Hei Za, itu buat kamu…”.

    Ya, terima kasih atas semuanya juga Mpok, atas semua warna yang telah kau goreskan pada kanvas hidup kami. Yang penting bagi kami, seimbanglah. Di dalam dan di luar rumah. Itu saja.

***

 

Riza Almanfaluthi

kau tetap menjadi kartiniku

dedaunan di ranting cemara

mulai ditulis 22 April 2011 selesai 02.45 28 April 2011

 

 

tag: direktorat keberatan dan banding, direktorat jenderal pajak, djp, catur rini widosari, lantai 19, kartini, batik, 21 april,

MENIKMATI KESENDIRIAN


MENIKMATI KESENDIRIAN

 

Sejak berada di tempat baru akhir September 2010 lalu ini, saya tak pernah sekalipun sarapan di ruangan yang memang khusus disediakan untuk itu. Tak pernah. Namun pagi ini anehnya, saya ingin menikmati betul sarapan di tempat itu. Sambil menikmati semburat cahaya pagi yang tak sopan menerobos jendela. Makan nasi uduk yang di beli di Stasiun Sudirman. Menikmati ketinggian dari lantai 19 memandang gedung pencakar langit di sebelah atau padatnya arus lalu lintas Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta.

Setelah semalamam digedor dengan sesuatu yang melelahkan fisik dan mental, saya ingin menikmati kesendirian itu. Sebelumnya saya biasa sarapan di depan komputer sambil baca-baca berita dan email. Banyak banget sebenarnya ajakan untuk sarapan bersama di ruangan itu oleh teman-teman. Tapi saya bergeming. Enakan juga makan sendiri di depan benda mati yang seolah-olah hidup ini.

    Herannya pagi ini entah kenapa nasi uduk yang saya santap tidak senikmat hari-hari kemarin? Ada yang dipikirkan? Tentunya ada. Tak perlu diungkap di sini. Walau demikian nasi uduk itu habis juga meskipun saya kunyah perlahan-lahan.

    Hari ini berat sepertinya, tidaklah seperti Kamis yang Ringan yang dulu pernah saya ungkap. Karena sisa semalam masih menumpuk, dua berkas persidangan, jadwal menunggu yang lama, dan waktu yang berjalan lambat. Apa coba yang bikin hidup elo tambah hidup hingga waktu berjalan cepat dan tidak terasa?

    Teori Relativitas Einstein menyadarkan saya tentang dimensi waktu. Sedetik memegang cawan panas seperti waktu dihentikan tak pernah bergerak, dan satu jam melakukan sesuatu atau bersama yang kita cintai seakan satu detik saja. Lebih rumit sedikit adalah tentang dimungkinkannya kita untuk bergerak lebih lambat atau lebih cepat daripada kecepatan cahaya tetapi tidak mungkin dapat bergerak sama dengan kecepatan cahaya itu sendiri. Tak mengerti? Ya sudah abaikan saja…

    Apapun itu, pagi ini saya menikmati kesendirian itu. Sampai kapan?

 

***

 

Riza Almanfaluthi

presisi yang sia-sia, giza runtuh

dedaunan di ranting cemara

07:49 17 Maret 2011