MOTOR DILARANG PAKAI PREMIUM: KEBIJAKAN ANTI KERAKYATAN


MOTOR DILARANG PAKAI PREMIUM: KEBIJAKAN ANTI KERAKYATAN

Akhirnya pemerintah berwacana untuk melakukan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi kendaraan motor dua. Artinya yang punya sepeda motor nantinya tidak boleh lagi mengonsumsi premium.

Banyak alasan yang dikemukakan. Mulai dari sebatas subsidi yang membengkak dan memberatkan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), pembatasan laju pertumbuhan sepeda motor, contoh sukses program konversi minyak tanah ke gas, sampai kepada masalah lingkungan.

Walaupun baru sebatas wacana, tetapi jelas ini sudah menghebohkan dan meresahkan.

Kenyamanan Yang Terganggu

Maaf, saya meyakini betul naifnya alasan laju sepeda motor yang spektakuler sebagai biang dari pembengkakan subsidi BBM. Ini sebenarnya dapat dilihat dari kapasitas tangki kendaraan roda dua yang lebih kecil daripada lainnya. Ini hanya sekadar alasan yang dibangun dari kalangan menengah perkotaan untuk menutupi alasan sebenarnya yakni kenyamanan berkendara roda empat di jalanan karena banyaknya sepeda motor.

Dulu waktu Jakarta lagi hangat-hangatnya pemberantasan becak, alasan yang dikemukakan pemerintah DKI adalah dikarenakan becak sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan slogannya saat itu, BMW (Bersih, Manusiawi, dan Wibawa). Tetapi sesungguhnya keberadaan becak menyebabkan laju berkendara mereka yang berkurang dan tentunya kenyamanan mereka terganggu.

Penzaliman kepada yang lemah tampak dari upaya penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan becak dengan cara yang lembut hingga keras. Tetapi Jakarta kualat sampai saat ini jalanan tetap saja macet.

Sekarang dicari penyebab utama kemacetan itu apa? Oh ternyata karena banyaknya sepeda motor. Mulai terpikirlah di dalam otak para pengambil kebijakan di negeri ini untuk memusnahkan moda transportasi yang satu ini. Tetapi dikarenakan tidak sama dengan becak tentunya jelas tak mungkin dilakukan pengusiran, perampasan, dan pemusnahan. Terkecuali pemerintah mau berhadapan dengan revolusi rakyat.

Akhirnya yang gampang adalah bersembunyi dibalik argumentasi sepeda motor terlalu banyak mengonsumsi BBM yang bersubsidi. Naïf sekali.

Konsumsi BBM Merusak Lingkungan

Ini adalah alasan yang dikemukakan oleh pejabat pada saat diwawancarai salah satu TV swasta pagi ini (Jum’at, 28/5) Karena terbatasnya energi yang tidak terbarukan tersebut dan juga dalam rangka penyelamatan lingkungan maka wacana pembatasan subsidi bagi kendaraan motor roda dua dimunculkan.

Pemerintah berani ngotot dengan alasan rusaknya lingkungan sedangkan kerusakan hutan dan lingkungan yang sudah jelas-jelas di depan mata dan batang hidungnya yang dilakukan oleh pemilik modal dengan industri kayu, sawit, dan tambangnya dibiarkan begitu saja. Ini aneh saja bagi saya.

Berkenaan dengan alasan terbatasnya energi terbarukan maka sudah selayaknya pula Pertamina yang dituntut untuk lebih bekerja keras dalam mencari lapangan minyak baru. Jangan ketidakmampuan Pertamina dalam pencapaian target produksi minyak itu dipindahkan kepada rakyat yang sudah berat beban hidupnya ini. Dan selama ini juga masalahnya adalah ada pada persoalan hulu yang tidak bisa diselesaikan Pertamina. Lalu mengapa rakyat kembali dijadikan korban?


Konversi Premium

Ini juga dijadikan argumentasi yang menyakitkan. Karena sejatinya sukses program konversi minyak kepada gas—selain rakyat yang tidak bisa berbuat apa-apa—juga karena pemerintah sendiri telah menyediakan alternatifnya yang tepat dan pemberian tabung-tabung gas gratis. Walaupun kemudian masalahnya berlanjut pada rendahnya kualitas tabung-tabung gas tersebut.

Sekarang? Sudahkan pemerintah telah menyediakan energi alternatif dan siap memberikan secara gratis alat untuk mengonsumsinya kepada rakyatnya? Saya yakin jawabannya belum terpikirkan.

Neolib

Pemerintah ingin mempertahankan prestasinya untuk tidak menaikkan harga BBM setelah sekian lama. Tetapi tuntutan harga minyak dan pembengkakan subsidi menjadi penghalang kesekian dari upaya itu. Maka pemerintah menilai kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini adalah langkah tepat untuk mengamuflase kenaikan harga BBM.

Pemerintah tidak perlu susah-susah menghadapi demo-demo karena faktanya tidak ada harga BBM yang naik. Walaupun prosentase kenaikannya gila-gilaan dengan pengalihan konsumsi itu. Lebih gila daripada sekadar kenaikan BBM secara reguler yang biasa dilakukan pemerintah pada jam 12 malam. Rakyat kebanyakan hanya diminta untuk mengalihkan konsumsi BBMnya dari minyak yang berharga murah. Substansinya sama. Rakyat tidak boleh menikmati subsidi.

Kalau sudah demikian, ini sejalan dengan Konsensus Washington yang menegaskan adanya larangan menyubsidi rakyat yang dibalut dengan argumentasi disiplin fiskal. Cara berpikir neolib yang sangat anti kerakyatan. Kalau pemerintah benar-benar berpikir untuk rakyat tentunya menegasikan cara dan tindakan yang memberatkan rakyatnya. Tapi kali ini tidak.

Solusi

Rakyat Indonesia sebenarnya tidak terlalu banyak menuntut kepada pemerintah asal pemerintah berlaku yang sama kepada mereka. Untuk mengatasi gejolak yang timbul dan sebagai bukti keberpihakan kepada rakyat selayaknya pemerintah juga memikirkan upaya itu diterapkan secara bertahap dan terlebih dahulu kepada para pemilik mobil. Ini agar tampak keteladanan yang bisa ditiru.

Kemudian siapkan komitmen, kebijakan, dan aksi nyata pengembangan moda transportasi masal yang nyaman dan terjangkau bagi rakyat. Masalahnya selama ini pemerintah kurang serius. Monorel dan Busway Transjakarta bisa dijadikan contoh.

Selain itu pemerintah juga harus menyiapkan infrastruktur jalan raya dengan sebaik-baiknya sebagai kompensasi yang diberikan. Karena infrastruktur seperti jalan merupakan modal sosial masyarakat dalam berekonomi serta memiliki keterkaitan yang kuat dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi local.

Pemerintah juga hendaknya menyiapkan terlebih dahulu energi alternatif dan perangkatnya yang bisa menjadi substitusi. Mengapa harus pemerintah? Karena pemerintah mempunyai kebijakan, wewenang, dan kekuasaan untuk menekan para produsen motor ataupun mobil yang terjebak pada kenyamanan dalam angka penjualan yang fantastis di negeri ini untuk turut serta mengembangkan teknologinya.

Karena selama ini setiap penerapan teknologi alternatif selalu beriring dengan pengembangan motor dan mobil nasional. Jelas ini berseberangan dengan kepentingan para industrialis kapitalis itu. Apalagi salah satunya sampai mengatakan untuk tidak bermimpi di siang bolong dalam rencana pengembangan mobil nasional.

Maka semua ini adalah sebagian kecil dari solusi rakyat yang bisa tersampaikan. Semoga pemerintah paham.

***

Riza Almanfaluthi

Masyarakat Jelata

29 Mei 2010

Aku dan Israel Memang Tanpa Nurani: Siap-siaplah Menjadi Monyet


Aku dan Israel Memang Tanpa Nurani:

Siap-siaplah Menjadi Monyet

Para pemimpin negara Timur Tengah berusaha mewujudkan daerah Timur Tengah sebagai Negara bebas nuklir. Tapi sudah pasti rencana itu ditolak oleh Israel sebagai satu-satunya negara di kawasan itu yang mempunyai senjata nuklir yang siap luncur.

Alasannya itu diperlukan untuk menghadapi kekuatan semua negara Timur Tengah yang dalam bawah alam sadarnya merupakan musuh-musuh sejatinya. Sungguh negara ini benar-benar tak punya nurani.

Kini dunia dipertontonkan oleh arogansi Israel yang dengan semena-mena menembaki kapal relawan asing di perairan Internasional. yang memuat  bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza. Sudah 10 relawan yang telah tewas dalam pembantaian itu.

Israel memberikan alasan bahwa kapal perang mereka dilempari dengan pisau dan kayu oleh relawan. Sehingga sudah menjadi kewajiban mereka untuk mempertahankan diri. Aih…dasar kumpulan orang-orang yang tak mempunyai nurani.

Sebuah alasan yang mengada-ada. Karena bagaikan Dawud melawan Jalut, pisau dan kayu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan baja-baja dari kapal perang Israel itu.Dan kalaupun benar, jika nurani mereka punya, mereka tentu bisa menahan diri untuk tidak terpancing. Tapi ternyata tidak. Mereka tidak punya nurani.

Maka akankah negara-negara barat kembali menutup mata dengan mengebiri kembali nurani mereka yang selama ini mereka lakukan. Tidak berbuat apa-apa?

Akankah negara-negara kaya minyak di Timur Tengah itu pun kembali mempertontonkan sikap mereka yang berlawanan dengan kehendak rakyatnya yang menginginkan para penguasanya tidak sekadar diam saja tetapi ikut berperan serta secara langsung dan efektif membantu rakyat Palestina dan mengusir rasa ketakutan mereka akan kehilangan dunianya ketika mereka melepaskan diri dari himpitan ketiak penguasa dollar?

Akankah momen ini menjadi momen menentukan bagi Umat Islam untuk kembali bersatu setelah sekian lama masih saja mempertengkarkan diri mereka dengan urusan-urusan khilafiah?

Bahkan inikah saat tepat untuk kembali memikirkan dan menyisipkan harapan kepada Allah di antara doa-doa panjang kita untuk saudara-saudara kita di Palestina sana?

Seharusnya ya. Tidak ada kata terlambat untuk itu. Allahummansur mujaahidiina wa ikhwana fi Filistin…Daripada tidak sama sekali.

Atau jika kita memang berpikir sudah tak ada urusannya kehidupan kita yang nyaman ini dengan Palestina pada saat ini, maka yang layak adalah jika kita berbicara pada diri sendiri: “ Aku dan Israel memang tak punya nurani.” Siap-siaplah untuk menjadi monyet. Karena monyet memang licik, rakus, egois, dan narsis.

Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

21:33 31 Mei 2010.

FAKTUR PAJAK STANDARD MASIH BISA DIPAKAI?


APAKAH FAKTUR PAJAK YANG MASIH MENCANTUMKAN KATA STANDARD MASIH BISA DIPAKAI?

Bulan Maret dan April 2010 ini saya sering sekali ditanya oleh Wajib Pajak berkenaan dengan penerapan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terbaru yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 /PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.

Dengan ketentuan tersebut tidak ada lagi pembagian faktur pajak menjadi faktur pajak standard dan faktur pajak sederhana. Masalahnya—seperti yang sering diungkapkan oleh Wajib Pajak—adalah ketentuan tersebut tidak mengakomodir masa transisi buat Wajib Pajak agar dengan mudah menerapkan ketentuan tersebut.

Pada akhirnya banyak Wajib Pajak komplain dan bertanya pada saya masih dapatkah faktur pajak yang lama dipakai? Karena mereka beralasan bahwa cetakan faktur pajak yang lama itu masih banyak. Apalagi buat Wajib Pajak yang dalam penerbitan faktur pajaknya memakai sistem dan terintegrasi dengan sistem keuangan lainnya, sehingga untuk melakukan perbaikannya butuh waktu dan dana yang tidak sedikit.

Jadi mereka bertanya apakah pencantuman kata standard dalam faktur pajak tersebut
akan menyebabkan faktur pajak cacat?

Bagi saya faktur pajak itu tidak cacat dan tidak masalah, walaupun dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-13/PJ/2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur pajak, bentuk faktur pajaknya hanya tertulis dengan judul “FAKTUR PAJAK” tidak ada kata standardnya.

Mengapa menurut saya itu tidak mengapa? Oke saya uraikan sedikit dasr hukumnya sebagai berikut:

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, antara lain mengatur :

  1. Pasal 13 ayat (1), bahwa Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
  2. Pasal 13 ayat (5), bahwa Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
    1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
    2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
    3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
    4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
    5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
    6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
    7. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
  3. Pasal 13 ayat (8), bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Peraturan yang dibawahnya yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 /PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, antara lain mengatur:

  1. Pasal 6 ayat (1), bahwa bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai;
  2. Pasal 7, bahwa Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dan pengisiannya sesuai dengan tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Jadi saya bertitik tolak pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan di atas bahwa bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.

Lalu bagaimana kalau faktur pajak yang masih ada tulisan standardnya tersebut digunakan untuk transaksi dengan Wajib Pajak yang tidak ada NPWP atau alamatnya? Jadi sepertinya terlihat tidak sesuai dengan standardisasinya. Bagi saya tak mengapa pula, karena yang menentukan standard dan tidaknya adalah Pengusaha Kena Pajaknya sendiri. Yang terpenting adalah transaksi dengan Wajib Pajak yang tidak punya NPWP atau alamatnya tidak jelas itu sudah dibuatkan faktur pajak dan telah dinomori.


Jadi berdasarkan ketentuan di atas sepanjang pengisian pada Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN diatas, maka Faktur Pajak tersebut adalah Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan dan tidak dianggap sebagai Faktur Pajak cacat.

Masalahnya adalah Pengusaha Kena Pajak siap tidak untuk menerima penolakan dari kliennya karena khawatir faktur pajaknya itu tidak dapat dikreditkan. Mereka biasanya bersikeras untuk meminta Pengusaha Kena Pajak untuk menghilangkan kata standardnya. Dan biasanya Pengusaha Kena Pajak juga akan mengikuti keinginan kliennya daripada duit tidak masuk…iya enggak.

Penolakan itu terjadi karena klien takut ketika diperiksa oleh pemeriksa pajak untuk mendapatkan restitusi pajaknya akan mendapatkan persepsi yang berbeda dari pemeriksa pajak itu. Nah daripada ngotot-ngototan dengan mereka lebih baik klien cari amannya saja. Terkecuali klien mendapatkan surat penegasan dari Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak bahwa faktur pajak yang mencantumkan kata standard masih diperbolehkan untuk dipakai.

Menurut pemikiran saya, Wajib Pajak yang mempersengketakan masalah ini di Pengadilan Pajak akan dimenangkan juga oleh Majelis Hakim, yang penting duit PPNnya sudah masuk ke kas negara. Biasanya begitu.

Jadi, terserah kepada Anda wahai Pengusaha Kena Pajak untuk masih tetap memakai faktur pajak yang ada kata standardnya atau tidak. Keputusan ada di tangan Anda.

***

Catatan penting: Apa yang ditulis di atas adalah merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan pendapat atau keputusan instansi DJP tempat saya bekerja.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

09:55 22 April 2010



TAK SEMUA BEJAT


TAK SEMUA BEJAT

(dimuat di opini detik.com)

di sini

Awalnya saya tidak berusaha mau tahu tentang kasus yang menimpa Gayus Tambunan. Tentang pemberitaannya di media pun selalu saya lewatkan untuk dibaca. Apalagi saya jarang untuk melihat televisi. Biasanya kalau pun ada tema tentang Gayus dalam sebuah ruang diskusi tentang makelar kasus pajak ini saya langsung memindahkan salurannya. Tak peduli. Titik.

Karena bagi saya, kelakuan oknum selalu tidak merepresentasikan keseluruhan anggota organisasi. Yang penting saya tidak berbuat, tetap pada jalur yang benar, menjunjung tinggi kode etik, memegang teguh integritas, maka apapun celaan bahkan pujian sekalipun tak menggoyahkan niat saya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan bersama-sama mencapai tujuan organisasi.

Tapi, Jum’at (26/3) malam saya ditelepon oleh saudara di kampung. Berondongan pertanyaan mengular keluar dari pengeras suara telepon genggam. Siapa itu Gayus? Kenal tidak dengan Gayus? Adik kelasnya saja punya uang milyaran, apalagi kakak kelasnya. Golongan IIIa saja sudah segitu, apalagi pejabatnya.

Saudara saya menanyakan demikian tentu karena kegundahan melihat ketidakberesan ini. Wajar. Tapi ini membuat saya termenung dan tidak bisa tidur. Akhirnya berita tentang Gayus pada banyak koran hari itu saya baca. Layar televisi saya buka lebar-lebar. Di mana-mana ada Gayus. Dari malam sampai paginya lagi.

Mulai dari artis cantik, pengacara klimis, facebooker, pemerhati kepolisian yang lebih garang daripada Densus 88, sampai ketua asosiasi yang katanya fokus mengurusi perpajakan Indonesia tetapi masih saja salah dengan menyebut ada jabatan kepala subseksi di atas Gayus dan bahkan berani menuduh aliran uangnya sampai Menteri Keuangan, semua ikut berbicara. Dan jatuh pada sebuah kesimpulan yang sama: tak bisa membedakan oknum dan tidaknya. Generalisasi yang semena-mena.

Modernisasi DJP

Reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah dirintis sejak tahun 2000. Kemudian sejak tahun 2002 DJP mendirikan kantor pelayanan pajak (KPP) modern dengan adanya KPP Wajib Pajak Besar. Lalu berlanjut memodernisasikan KPP di seluruh Indonesia secara bertahap hingga selesai pada tahun 2008.

Ini adalah reformasi birokrasi jilid I yang bercirikan adanya restrukturisasi organisasi di tubuh DJP, pelayanan yang berorientasi kepada Wajib Pajak, pemberian remunerasi yang tinggi buat pegawainya, penegakan disiplin, pengembangan dan penguatan budaya antikorupsi dengan adanya kode etik.

Semuanya butuh pengorbanan. Semuanya tertatih-tatih mewujudkan niat baik ini. Karena menyadari perubahan adalah sebuah keniscayaan. Yang tidak mau berubah siap-siap saja untuk terlindas zaman.

Pelan-pelan kepercayaan masyarakat tumbuh pada DJP. Para pelaku bisnis pun mengakui adanya perubahan yang tidak main-main. Walaupun di sana-sini masih banyak kekurangan hingga ada saja pegawai DJP yang dipidana dalam kasus penggelapan pajak, tapi diyakini itu hanyalah sebuah proses seleksi dan cuma batu kerikil yang tidak akan menghalangi jalannya mesin perubahan itu. Masyarakat masih menerima.

Sebagian kecil rekam jejak perubahan itu terekam dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh DJP dan diluncurkan pada saat hari ulang tahun keuangan di bulan Oktober 2009, buku Berbagi Kisah dan Harapan: Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak. Buku ini menceritakan tentang upaya keras dari para pegawai pajak sebelum dan setelah modernisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

Mulai dari yang berkejaran dengan waktu demi sebuah mesin absensi, komitmen pada penghasilan yang halal hingga tak sanggup untuk menjenguk anaknya yang sakit karena tak punya uang untuk membeli tiket pesawat terbang, sampai yang menolak dengan tegas semua pemberian Wajib Pajak.

Buku yang bagus dan menjadi bekal untuk menjalani reformasi birokrasi jilid 2. Tapi sebuah ironi, tak lama kemudian kasus Gayus muncul. Ini seperti menuangkan tinta hitam di atas selembar kain putih. Seperti membuat upaya keras modernisasi yang dijalankan DJP itu menjadi tidak berguna lagi. Seperti debu yang diterbangkan angin.

Kepercayaan masyarakat mulai sedikit menurun. Ditambah dengan blow-up yang terus menerus terhadap kasus Gayus hingga politisasinya oleh sebuah televisi yang ditengarai pemiliknya sedang dibidik oleh DJP dalam kasus lain.

Tak Semua Bejat

Celaan yang bertubi-tubi seharusnya tak menyurutkan semangat modernisasi. Pertunjukkan tetap harus jalan. Tak semua pegawai bejat. Karena saya yakin masih banyak pegawai pajak yang jujur-jujur dan mempunyai integritas tinggi. Masih banyak pegawai pajak yang masih ngontrak dan belum punya mobil—kalau memang ukuran kekayaan adalah rumah dan mobil sebagaimana pengacara klimis itu bilang.

Padahal kalau mereka tahu, sebagian orang pajak sekarang memiliki semuanya itu dengan cara kredit bertahun-tahun. Dan remunerasi yang tinggi memungkinkan mereka untuk dapat memiliki kebutuhan dasar itu agar tidak tergoda dengan hal lainnya.

Membangun Kepercayaan

Nasi sudah menjadi bubur. Tak perlu menangisi susu yang telah tumpah. Saatnya saya dan DJP kembali berbenah diri. Mengakui ada salah satu pegawainya yang salah adalah sebuah kejujuran. Orang sekelas Akio Toyoda saja mampu berkata jujur bahwa memang produk Toyotanya ada yang bermasalah. Akhirnya konsumen memberikan apresiasi yang besar kepadanya. Penjualan Toyota hanya turun 9% jauh dari perkiraan pengamat di Amerika Serikat yang memperkirakan sampai 50%.

Account Representative dan Seksi Pelayanan KPP sebagai ujung tombak yang berhadapan dengan Wajib Pajak adalah garda terdepan untuk dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat.

Sekecil laporan ataupun aduan dari masyarakat harus dengan serius untuk ditindaklanjuti. Karena tak ada asap kalau tak ada api. Saya ingat pepatah cina yang ditulis oleh teman saya di dinding Facebook-nya. Ini terekam kuat dalam benak saya. “Bermula dari paku yang lepas dari tapal kuda. Tapal kuda pun lepas. Kuda tak bisa lari. Pesan tak tersampaikan. Pasukan pun kalah.” Jangan biarkan hal yang kecil menjadi besar.

Kemudian dicari format internalisasi kode etik yang tidak sekadar menjadi ritual tahunan dan seremonial belaka. Pemberian reward yang pasti dan tidak termakan inflasi serta pemberian hukuman yang tegas dan seadil-adilnya adalah salah satu jalan lain agar kasus ini tidak terjadi lagi.

Semoga setelah ini, masyarakat kembali dengan tenang dapat menikmati pembangunan dari uang rakyat yang dikumpulkan para petugas pajak.

Maraji’: Apa Kabar Indonesia Malam. TV One, Jum’at, 26 Maret 2010

Riza Almanfaluthi

PNS DJP

Golongan IIIb dua tahun enam bulan rumah masih bocor

dedaunan di ranting cemara

4:23 29 Maret 2010

UANG JUDI TIDAK BERKAH


UANG JUDI TIDAK BERKAH

Bermula dari surat pembaca yang dikirimkan Taufik Karmadi yang dimuat di harian Kontan hari Rabu tanggal 17 Februari 2010 yang tulisan hampir samanya ternyata juga dikirimkan ke harian Bisnis Indonesia dan dimuat pada tanggal yang sama tentang masalah judi, maka karena ini menyangkut masalah yang amat sensitif bagi saya sebagai seorang yang beragama maka saya pun mengirimkan tulisan tanggapan.

Tanggapan itu hanya dikirimkan ke harian Kontan saja. Dan Alhamdulillah dimuat di harian itu pada hari Sabtu tanggal 20 Februari  2010.

Bagi saya ini sudah masuk dalam wilayah perang pemikiran. Dan sudah menjadi kewajiban bersama bagi yang mampu untuk melawannya. Selama tidak masuk pada kekerasan fisik maka perlawanan ini sah-sah saja. Namanya juga negara demokrasi. Tentunya tugas ini sekali lagi bukan tugas saya semata, tapi tugas semua yang merasa sekulerisme adalah hal yang patut dilawan.

Selamat menikmati.

Tanggapan saya yang dimuat di Harian Kontan tanggal 20 Februari 2010.

UANG JUDI TIDAK BERKAH

Ada hal yang perlu ditanggapi dari surat Taufik Karmadi di harian ini (17/2) tentang tuntutan untuk melegalisasi dan melokalisasi judi. Kembali Malaysia menjadi tolok ukur sebagai negara mayoritas muslim dalam kasus ini. Padahal Malaysia bukanlah ukuran kebenaran bagi umat beragama.

Sayangnya juga Taufik Karmadi menuntut bahwa untuk merumuskan kembali masalah judi ini tidak perlu bersentuhan dengan MUI dan masyarakat muslim. Jelas ini menciderai nilai-nilai demokrasi yang memungkinkan mayoritas memengaruhi pengambilan keputusan.

Ia pun menyimpulkan bahwa judi bisa membantu pembangunan bila dikelola dengan benar seperti yang Ali Sadikin lakukan di Jakarta. Bagi seorang muslim, judi itu haram sudah jelas. Pun keberhasilan pembangunan itu tidak hanya dilihat secara kasat mata namun juga ada tidaknya keberkahan. Berkah di sini adalah selalu bertambahnya kebaikan. Kaya tapi tidak berkah itu percuma. Artinya bisa saja kesemrawutan Jakarta saat ini karena dulu pernah dibangun dari harta yang tidak halal dan tidak berkah itu.

Jika dengan alasan tidak dilegalisasinya judi akan menyebabkan maraknya judi liar yang semakin memiskinkan rakyat miskin maka itu bukan pokok permasalahan. Maraknya judi dikarenakan ketidaktegasan dari aparat penegak hukum untuk memberantasnya sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang.

Riza Almanfaluthi

PNS Direktorat Jenderal Pajak

Tinggal di Puri Bojong Lestari Tahap 2, Pabuaran, Bojonggede

Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi, Haram?


HUKUM MEMBACA DAN MENULIS CERITA FIKSI,
HARAM?

A. Pendahuluan

Dalam sebuah forum diskusi yang membahas sebuah cerita fiksi, ada sebuah celetukan
yang muncul di sana seperti ini, “Tulisan bohong seperti itu memang bermanfaat?” atau dengan celetukan yang
lain seperti ini, “namanya juga khayalan yang diperhalus dengan kata imajiner.”

Bagi saya, celetukan-celetukan tersebut adalah sesuatu yang wajar, karena tidak
semua orang harus dipaksa untuk dapat menyukai sesuatu apalagi sebuah tulisan. Bahkan dengan keterusterangan yang
dilontarkan oleh yang lain dengan mengatakan ketidaksukaannya pada fiksi, saya anggap sebuah kewajaran juga.

Namun menjadi tidak wajar jika ketidaksukaannya tersebut bercampur dengan sinisme
yang berlebihan sehingga menganggap penulis dan pembaca fiksi menjadi orang-orang yang terlena dan jatuh dalam
kesia-siaan serta kedustaan. Apalagi dilatarbelakangi kebencian terhadap penulisnya karena berbada harakah, atau
penulisnya tersebut adalah bagian dari ahlul bid’ah. Subhanallah…

Sinisme inilah yang nantinya akan menghambat banyak orang atau pemula dalam
kepenulisan yang sudah memutuskan menulis fiksi sebagai alat untuk berdakwah dan menyebarkan kebaikan kepada sesama.
Kalaupun karena adanya fatwa ulama yang melarangnya, maka sudah cukup itu bagi yang memercayainya. Karena ada juga
fatwa yang memperbolehkannya sehingga tidak bisa kita memaksakan pendapat yang satu kepada yang lainnya. Perbedaan
dalam hal ini tidak bisa dilarang. Bila hal itu terjadi maka sungguh kita terjerumus kepada ta’ashub yang
dilarang dalam agama yang mulia ini karena merasa dirinya dan fatwa ulamanya yang paling benar. Semoga kita
terlindung dari hal yang demikian.

Maka izinkanlah saya untuk membedah sedikit terhadap permasalahan ini sebatas
dengan keilmuan saya.

B. Fatwa Pengharaman

Biasanya mereka yang berceletuk demikian mendasarkan pemikirannya pada fatwa
syaikh yang mereka percayai. Akhirnya saya menemukan fatwa tersebut di sebuah blog ini:

http://wiramandiri.wordpress.com/2007/10/23/hukum-membaca-dan-menulis-cerita-fiksi-novel-cerpen-dll/

Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll)

Oleh:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan


Pertanyaan:

Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah
ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?

Jawab:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si
penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan
perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).

Apabila
kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan
ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini
hukumnya makruh.
Dalam
setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk
perkara yang tidak ada manfaatnya.

(Fatwa Syaikh Fauzan di ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu’aasirah – Pages 644-645,
al-Fowzaan – ad-Da’wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416AH)

Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/miscellaneous/0070823.htm

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau dan kelimuannya serta amal
shalihnya yang sungguh amat luar biasa ini izinkanlah pula saya sedikit mengkritisi tentang fatwa beliau yang mulia
ini. Yakni terletak pada kemanfaatan dan ketidakmanfaatan dari kisah fiksi tersebut. Maka pertanyaannya adalah siapa
yang merasakan kemanfaatan dan ketidakmanfaatan dari kisah fiksi tersebut? Tentu mudah sekali untuk menjawabnya yaitu
si pembaca atau penulisnya
sendiri.
Bila sedari awal si pembaca atau penulisnya menyadari bahwa menulis atau membaca fiksi itu
tidak terasa manfaatnya maka sudah layak ia termasuk dalam ruang lingkup fatwa ini.

Kemudian bila si penceletuk ini mendasarkan pada kalimat yang ditebalkan tepatnya
pada kalimat “Apabila kegiatan membaca
atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya
haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya
makruh.
maka
ini adalah
sebuah kaidah umum yang berlaku pada suatu apapun. Tidak hanya membaca atau menulis kisah fiksi saja tetapi menulis
nonfiksi, buku, artikel, makalah seminar, atau pekerjaan-pekerjaan lain seperti bekerja di kantor, berbicara dan
mengobrol tidak kenal waktu dan membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib dan sunnah maka ia bisa
dijatuhi hukumnya haram dan makruh.

Menulis dan membaca artikel nonfiksi atau ilmiah untuk membantah ahlul bid’ah
tetapi ia juga sampai melalaikan kewajiban shalatnya, itu pun sudah dijatuhi hukumnya haram. Apalagi menulis dan
membaca beratus-ratus halaman sebuah buku nonfiksi dan dianggap ilmiah karena maraji’nya berderet-deret untuk
membantah dan menghujani seseorang atau lembaga-lembaga dakwah dengan celaan-celaan yang banyak, tidak pantas, lagi
keras meskipun pihak yang dicela itu belum tentu layak menerimanya, bahkan sampai merusak persatuan dan kesatuan
ummat yang merupakan hal yang diwajibkan dalam syariat ini, maka sudah barang tentu ini pun hukumnya HARAM (dengan
huruf besar). Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim
sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada
manfaatnya.

Dari fatwa tersebut dapat kita simpulkan pula bahwa terdapat hal-hal yang
bertentangan di dalamnya yaitu dalam paragraf pertama menegaskan pengharaman secara menyeluruh karena kisah fiksi itu
yang ada hanyalah kedustaan dan ketiadaan manfaat buat penulis dan pembacanya.

Sedangkan dalam paragraf kedua dan ditebalkan terdapat pengecualian, ini ditandai
dengan kata “apabila”, maka dapat diartikan bahwa apabila kegiatan menulis dan membaca fiksi itu tidak
melalaikan sesuatu yang wajib dan sunnah maka hukumnya adalah mubah atau boleh. Jadi dalam fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
, semoga Allah
memberikan rahmat dan keberkahan kepadanya, ini sebenarnya bukan sebuah pengharaman mutlak terhadap kegiatan menulis
dan membaca fiksi.


C.
Tanggapan
terhadap Komentar

Fatwa dan para
pengomentarnya dalam blog tersebut pernah saya beri tanggapan, dan tidak lama kemudian tanggapan saya tersebut sudah
hilang. Ya betul, setiap komentar yang masuk ke sana selalu dimoderasi, entah hilangnya tanggapan saya tersebut
adalah sengaja dihilangkan atau sedang dicari jawabannya yang tepat oleh si pemilik blog ini untuk menyanggah saya.

Beberapa
komentar yang ada di sana saya sebutkan di sini:

  1. Nufeeda, di/pada Oktober 25th, 2007 pada 10:11 amDikatakan:

bagaimana jika baik untuk dakwah? bagaimana jika sanggup membangkitkan keimanan dan membuat seseorang
semakin bersemangat untuk mengerjakan amal shaleh?

Tetap
saja dusta, dan menilai baik atau tidaknya dakwah itu dengan contohan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Pernahkah
nabi membuat cerita dusta untuk membangkitkan keimanan dan mengerjakan amal shalih?

  1. sonta, di/pada Oktober 26th, 2007 pada 7:27 amDikatakan:

ehm,tak bisa dipungkiri bahwa kadang ada juga orang yang terinspirasi novel atau cerita.tapi………yang
namanya fiksi ya tetap fiktif atau bohong. Ex seseorang termotivasi berzakat karena ada film yang menceritakan kalau
berzakat lalu mendadak dapat mobil. nah, kalau kemudian ketahuan itu cuma boong, apakah motivasinya gak ilang?

kalaupun mau memotivasi dengan cerita..bisa dengan cerita cerita yang valid .dari hadits, ayat al qur’an
dll.Misalkan dulu pernah dengar hadits yang menceritakan kalau seseorang ikhlas infaq karena Alloh, Alloh akan
mengambil infaq nya langsung dari tangannya.(mohon dicek dulu, karena ane aq mendadak lupa-lupa ingat)

Hmm…
memang kaum muslimin semakin meninggalkan Al-Quran dan Hadits, mereka lebih memilih kisah-kisah bohong ini sebagai
bahan motivasi sehingga kita lihat pemuda-pemuda muslim lebih banyak membaca novel-novel dusta daripada membaca
buku-buku hadits seperti Riyadhus Shalihin. Padahal di dalam Riyadhus Shalihin itu terdapat banyak sekali kisah dan
nasehat-nasehat Nabi yang memotivasi kita menjadi lebih baik dunia dan akhirat.

Para
penceramah juga pun nampaknya alergi dengan kisah-kisah dalam hadits, sehingga suatu saya mendengar khotib Jumat
berkhutbah tentang keutamaan ilmu dengan menceritakan Kisah Tarzan di hutan yang punya ilmu bahasa hewan sehingga
bisa hidup di hutan… Edede.. Cerita beginian jadi bahan khutbah Jumat. Innnalillahi wainna ilaihi rajiun.

Catatan: Tulisan miring (italic) di
atas adalah tanggapan si pemilik blog terhadap komentator.

Sedikit tanggapan saya tentang komentar yang pertama, bahwa pendukung fatwa ini
selalu mengaitkan antara fiksi dengan sebuah kedustaan. Tidak melirik dan tidak bisa menolerir sedikit pun terhadap
kisah-kisah perumpamaan. Sehingga wajar saja pelekatan vonis kedustaan terhadap cerita fiksi sangat erat sekali.
Apalagi dikaitkan dengan cara berdakwah dan menyampaikan kebenaran ala Rasulullah SAW.

Bila menganggap cerita fiksi adalah sebuah kedustaan maka sudah barang tentu itu
tidak bisa dikaitkan dengan cara dakwah Rasulullah SAW. Bila tidak menganggap sebagai sebuah kedustaan karena
dikaitkan dengan kisah-kisah perumpamaan yang begitu banyak disebutkan dalam Alqur’an maka cara dakwah ini
termasuk ke dalam makaanul ijtihad (tempat ijtihad) pada uslub dan iqtiraahaat (cara dan
metode) dakwah. Masalahnya penentuan kedustaan dan tidaknya sebuah cerita fiksi adalah sesuatu yang debatable. (Catatan penting
bahwa ketika saya menyebutkan dua kata “cerita fiksi” maka berarti semua cerita diluar kisah fiksi yang
penuh kemusyrikan , sihir, dan pornografi).

Sedangkan tanggapan dari pemilik blog ini pada komentar yang kedua, saya
melihatnya terlalu mudah memvonis. Berkaitan dengan banyaknya kaum muslimin yang memilih novel-novel daripada
buku-buku hadits, tentu tidak bisa kita salahkan kepada para penerbit dan penulis novelnya, karena ini berkenaan
dengan pemahaman seorang muslim kepada agamanya. Pemisalan itu sama saja dengan masih banyaknya orang yang memilih
tidak pergi ke masjid untuk sholat berjama’ah di dalamnya dan lebih baik ngendon di rumah atau menonton televisi. Ini sudah barang tentu tidak bisa kita
salahkan masjidnya, karena ini semua bergantung kepada keimanan orang tersebut.

Tanggapan lainnya juga sama, terlalu mudah menggeneralisir, memvonis dengan kata
alergi, dan meremehkan para ustadz yang mengisahkan kisah-kisah perumpamaan. Seakan-akan para penceramah itu tidak
layak untuk berdiri di atas mimbar untuk mengajak kepada kebenaran dan seakan-akan dirinya (penulis komentar ini)
lebih baik daripada para penceramah tersebut. Wallahul musta’an.

D. Fatwa Pembolehan dengan Syarat

Maka setelah panjang lebar saya uraikan (kritisi) tentang fatwa dan tanggapan
komentar yang melarang membaca dan menulis kisah fiksi ini maka dapat kiranya saya uraikan pendapat yang membolehkan
menulis dan membaca cerita fiksi ini.

Saya ambil pendapat tersebut dari Pusat Konsultasi Syariah/Sharia Consulting Center (SCC)
yang
beralamatkan di
http://www.syariahonline.com sebagai
berikut
:

Ustadz- Semoga Allah menjaga dan memuliakan Anda

Bismillahirrahmaanirrahiim

Pertanyaan saya:

bolehkah kita membuat cerita2 fiksi ” islami” untuk dijual sekaligus utk dakwah?

Abdullah Arif

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Cerita fiksi adalah cerita yang tidak berdasarkan fakta kejadian yang nyata. Dalam
hal ini bisa terbagi menjadi fiksi realistis dimana setting dan alur ceritanya logis dan masuk akal. Selain itu ada
yang dibuat imajinatif dan tidak masuk akal.

Yang paling baik tentu saja bila based on
true story
, fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Misalnya kisah para pahlawan Islam, para ulama dan ilmuwan
Islam ataupun kisah-kisah orang terdahulu yang memang mengandung hikmah dan pelajaran yang bagus.

Meski demikian, sebuah cerita/ kisah memang tidak harus didasarkan pada kisah
nyata. Boleh saja cerita itu merupakan karangan penulisnya. Namun alur cerita dan isinya harus bersifat logis dan
masuk akal, atau minimal ada keterangan ilmiyahnya. Sehingga unsur pendidikannya bisa jelas dirasakan.

Dan tentu saja tidak boleh mengandung unsur kemusyrikan dan sihir. Sehingga
dongeng seperti Harry Potter, Pinokio, Cinderella, Peter Pan, Peri dan sejenisnya tidak sesuai dengan aqidah Islam.
Karena isinya menceritakan tentang sihir, alam ghaib, syetan dan segala bentuk kemusyrikan. Memang secara aqidah kita
mengenal fenomena sihir dan segala keajaibannya, namun menurut aqidah Islam, semua itu adalah perbuatan syetan yang
jahat yang harus dihancurkan, bukan dijadikan tontonan. Sehingga menyuguhkan cerita syetan bukanlah ide yang benar.

Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Quran sering menggunakan permisalan untuk lebih
menjelaskan suatu duduk perkara. Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Quran itu merupakan ilustrasi dari sebuah pesan yang
ingin disampaikan kepada pembacanya.

Beberapa diantaranya adalah ayat-ayat berikut :

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api , maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat.” (QS. Al-Baqarah : 17)

“Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil
binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja . Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak
mengerti.” (QS. Al-Baqarah : 171)

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing
jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya . Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.”.(QS. Al-A`raf : 176)

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka
tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(QS. Al-Jumuah :
5).

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al-ankabut : 43).

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quraan ini setiap
macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”(QS. Az-Zumar : 27).

Berangkat dari gaya bahasa Al-Quran yang banyak menggunakan perumpamaan itu, maka banyak para
ulama pendidikan yang mencoba meniru gaya Al-Quran dengan membuat kisah-kisah perumpamaan. Kisah-kisah ini tidak
harus kejadian nyata, tetapi bisa saja sebuah kisah fiktif yang mengandung unsur pendidikan, baik berkaitan dengan
aqidah, akhlaq, sopan santun, etika, ilmu pengetahuan, patriotisme dan sebagainya.

Wallahu a`lam bis-shawab.

E. Imajinasi

Ada yang pelu
digarisbawahi pada pada paragraf ketiga dari fatwa tersebut tepatnya pada kalimat:

Meski demikian, sebuah cerita/ kisah
memang tidak harus didasarkan pada kisah nyata. Boleh saja cerita itu merupakan karangan penulisnya. Namun alur
cerita dan isinya harus bersifat logis dan masuk akal, atau minimal ada keterangan ilmiyahnya. Sehingga unsur pendidikannya bisa jelas dirasakan.

Bahwa cerita
fiksi harus mempunyai alur cerita, isinya harus bersifat logis, dan masuk akal, atau minimal ada keterangan
ilmiyahnya. Singkatnya, menurut istilah Harris Effendi Thahar, adalah cerita fiksi atau imajinasi harus masih dalam
batas-batas kausalitas yang diperlukan.

Harris Effendi
Thahar pernah menulis:

Bahwa cerita fiksi (termasuk cerpen) merupakan ramuan fakta dan imajinasi.
Berimajinasi atau berfantasi adalah salah satu kelebihan manusia yang dianugerahkan Sang Khalik dibanding makhluk
lain. Sejak kecil manusia telah diperkenalkan dengan dongeng, sampai pada suatu waktu, ia pun mampu mendongeng dengan
gayanya sendiri. Dengarlah teman, tetangga, atau siapa saja yang kita kenal bercerita tentang dirinya atau tentang
orang lain, pasti dibumbui fiksi di sana-sini. Anda sendiri pun, tak luput dari hal itu. Sering melebih-lebihkan
fakta! Nah, bukankah itu rekayasa imajinasi?

“Berimajinasi dalam menulis cerita adalah suatu keniscayaan, akan tetapi
harus tetap dalam koridor hukum kausalitas, yakni hukum sebab-akibat,” lanjut Thahar. Karena cerita yang diluar
nalar dan jauh dari hukum kausalitas maka cerita itu adalah cerita mengada-ada.

F. Penutup

Dari apa yang saya utarakan di atas bisa jadi salah dan pendapat yang lain benar,
bisa jadi pendapat saya benar dan yang lain salah. Saya meminta ampun kepada Allah atas segala kekurangan saya. Dan
saya berkesimpulan sebagai berikut:

1. Selama tidak mengandung cerita
kemusyrikan dan sihir tidaklah mengapa membuat cerita fiksi;


2.
Apabila kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang
hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang
hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh
. Tetapi ini
tidak hanya berlaku untuk menulis dan membaca cerita fiksi saja tetapi menulis dan membaca nonfiksi pun bisa berhukum
haram atau makruh jika sampai melalaikan kewajiban dan sunnah.

3. Yang paling baik tentu saja bila
based on true story, fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Misalnya
kisah para pahlawan Islam, para ulama dan ilmuwan Islam ataupun kisah-kisah orang terdahulu yang memang mengandung
hikmah dan pelajaran yang bagus.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan sebagai upaya memberikan hak kepada yang
berhak, memberikan jawaban terhadap orang-orang yang seringkali meremehkan orang lain dan mudah untuk mengeluarkan
tuduhan, serta menghukumi seseorang. Yang sangat bersuka cita jika menemukan suatu kesalahan saudaranya. Sungguh
akhlak salafushshalih tidaklah sedemikian rupa.

Mereka berakhlak mulia, memelihara kerhomatan diri, menahan marah, memaafkan
manusia, menunaikan hak-hak
persaudaraan
, tidak menghina, tidak mencela, tidak memanggil dengan gelaran buruk, menghina,
berprasangka buruk, hatinya lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosanya kepada Allah. Indah
nian akhlak yang mereka punyai.

Semoga bermanfaat.

Maraji’:

1. Alqur’aanul Kariim;

2. Harris Effendi Thahar, Sulit
Memulai?
, Annida, Ummionline, Jumat, 28 Januari
2005;

3. Konsultan Pusat Konsultasi Syariah,
Hukum Cerita
Fiksi,
http://www.syariahonline.com, 2006;

4. Wira, Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll), http://wiramandiri.wordpress.com, Selasa, 23
Oktober 2007;

IBROHIM DAN MARIA OZAWA


IBROHIM DAN MARIA OZAWA
Belum hilang dari ingatan kita jenazah Ibrohim—salah satu pelaku pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton—ditolak untuk dikuburkan di kampung halamannya oleh berbagai pihak. Begitu pula dengan Urwah, pelaku terorisme yang ditembak mati oleh Densus 88, jenazahnya sempat ditolak untuk dikuburkan di tempat keluarga besarnya berada.
Penolakan itu diiringi pula dengan adanya demo-demo baik yang pro maupun kontra dari berbagai elemen kemasyarakatan yang ada di Solo dan Kudus. Yang menolak menyandarkannya pada argumentasi daerahnya tidak mau disebut-sebut sebagai sarang teroris.
Pada hari-hari ini juga masyarakat kita disibukkan dengan adanya penolakan kedatangan Miyabi atau Maria Ozawa yang dikenal sebagai bintang film porno di Jepang sana. Walaupun kedatangan Miyabi ini bukan untuk main film esek-esek tetapi untuk berperan di film komedi, rencana kedatangannya sudah disambut dengan demo dari berbagai kalangan yang perhatian betul dengan dunia moral dan pendidikan. Terutama dari Majelis Ulama Indonesia dan Front Pembela Islam.
Tak luput banyak pula komentar mendukung kedatangan Miyabi bersileweran di media massa dan mengecam pelarangan-pelarangan tersebut. Ada yang dari artis, praktisi perfilman, pegiat hukum, bahkan menteri sekalipun. Yang terakhir ini sempat berkomentar bahwa secara legal dan kepantasan, pemerintah tidak berhak melarang orang yang tidak melakukan kesalahan hukum datang ke Indonesia selaku wisatawan. Bagus betul…?!
Nah berkaitan dengan kasus Ibrohim dan Miyabi ini ada sesuatu yang perlu dicermati bersama. Ibrohim sudah terlanjur dikenal oleh masyarakat sebagai ikon terorisme. Sedangkan Miyabi sudah dikenal sebagai ikon sekitar perdadaan dan perselangkangan.
Praktis tak ada artis, pegiat hukum, bahkan menteri sekalipun berkomentar terhadap penolakan penguburan jenazah Ibrohim yang dilakukan oleh masyarakat di sana. Walaupun secara legal dan kepantasan tidak ada satu aturan pun di negeri yang bernama Republik Indonesia ini yang melarang pemakaman jenazah para penjahat sekelas apapun di kampung halamannya.
Semuanya diam tak bersuara. Hening. Kata orang Betawi: “kagak urusan gue.” Tapi kalau masalah Miyabi, karena ini menyangkut masalah kenikmatan purba manusia, semuanya bersuara. Kata orang Betawi lagi: “nyang eni baru urusan gue.” Meskipun suara dari hati nurani yang paling dalam itu berusaha diperhalus dengan bahasa hukum, intelek, dan seberadab-adab mungkin.
Terorisme adalah sebuah kejahatan. Begitu pula dengan pornografi sebagai anak kandung dari kapitalisasi, komersialisasi, dan industrialisasi aurat. Dua-duanya sama-sama menjadi zat adiktif yang berbahaya bagi otak dan tubuh. Setahun tidak ngebom seluruh tubuh menjadi sakau, gelisah, dan pusing-pusing. Pemuasannya dengan melakukan pengeboman yang pada akhirnya memberikan ketenangan dan kebahagiaan melihat simbahan darah dan tangisan para korban dan keluarganya.
Pornografi tidak sekasar itu. Tetapi daya rusaknya sama saja. Kecanduannya membuat otak tak mampu berpikir siapa dan apa yang perlu untuk disetubuhi (maaf beribu-ribu maaf). Banyak penelitian yang membuktikan ini.
Kesamaan lainnya, keduanya sama-sama membidik anak-anak muda sebagai penerus ide dan gerak (baca aksi) dari isme-isme itu. Bedanya, terorisme “mudah” untuk diberantas. Sedangkan pornografi sebaliknya. Karena masalahnya adalah pada kontradiksi asasi keduanya. Terorisme menyakitkan tubuh dan rasa aman. Sedangkan pornografi menikmatkan rasa purba manusia. Apatah lagi kenikmatan itu disokong 100% dengan kerja iblis dan para prajuritnya.
Kalau sudah demikian wajib ‘ain kalau dua-duanya ditolak sebagai upaya penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—argumentasi yang juga biasa dipakai oleh pendukung kedatangan Miyabi—sekaligus Miyabi sebagai ikonnya. Karena melindungi moral generasi mendatang adalah modal utama NKRI.
Kalau tidak? Coba pakai uji etika ini. Setujukah Anda jika ibu Anda, saudara perempuan Anda, atau anak perawan Anda menjadi generasi penerus Miyabi sebagai bintang pornografi Indonesia?

https://dirantingcemara.wordpress.com
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
09:19 14 Oktober 2009

KPU BERBENAH SETELAH DITERIAKI


KISRUH DPT BOM WAKTU MASA LALU

Setelah banyak yang memprotes tentang Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu legislatif (Pileg) 2009 dan dituduh bersekongkol dengan penguasa bahkan akan ada upaya gugatan kepadanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai berbenah diri. Untuk pemilihan presiden nanti KPU akan berusaha memperbaiki DPT-nya dengan cara memberikan kesempatan seluas-luasnya bahkan semudah-mudahnya agar mereka yang berhak mengikuti pesta demokrasi dapat benar-benar ikut secara riil berpartisipasi.

Antara lain dengan melibatkan Ketua RW dan Ketua RT dalam penyusunannya. Yang semula hanya stelsel aktif, yang berarti pemilih secara aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih ke kelurahan, kini KPU berusaha pula menggunakan stelsel pasif yaitu dengan melibatkan para Ketua RT dan RW tersebut untuk mendatangi para calon pemilih yang belum terdaftar. Bentuknya adalah dengan menyebarkan formulir yang harus diisi oleh calon pemilih tersebut. Dan untuk menyukseskannya KPU akan menyosialisasikannya kepada masyarakat melalui spanduk-spanduk. Diharapkan dengan hal ini tidak lagi ada suara-suara miring terhadap DPT untuk pemilihan presiden nantinya.

Apa yang dilakukan oleh KPU perlu diapresiasi oleh semua pihak. Walaupun yang tampak di hadapan publik adalah KPU mulai bergerak setelah adanya banyak protes dari berbagai pihak. Karena jikalau tidak ada yang bersuara keras tentang hal ini KPU bisa jadi tidak akan berusaha untuk memperbaiki DPT.

Bila ini terjadi walhasil adik saya yang tinggal serumah dengan saya dan telah mempunyai kartu tanda penduduk sebagai bukti sah keberadaannya sebagai masyarakat di daerah itu dan telah mempunyai hak pilih akan tercerabut haknya dan dipaksa untuk golput sebanyak 7 kali. Karena Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Bogor—tempat kami tinggal—sebagai kepanjangan tangan dari KPU tidak melakukan apa-apa untuk memperbaikinya.

Ini bisa dihitung, yaitu pada saat Pilkada Kabupaten Bogor putaran pertama dan lanjutannya adik saya tidak terdaftar di DPT. Tetangga-tetangga saya pun demikian. Pula pada saat Pileg 2009 lalu yang diberi hak untuk memilih 4 calon untuk DPR Pusat, provinsi, kabupaten, dan DPD. Atau jika masih terulang di Pilpres 2009 ia bisa dipaksa untuk tidak ikut lagi.

Jadi kisruh tentang DPT ini sebenarnya tidak hanya berlangsung di pusat saja dan pada saat Pileg 2009. Tetapi sudah menjadi bom waktu sejak diselenggarakannya pilkada-pilkada di banyak daerah—contoh DKI dan Jatim—yang momentum tumbukannya terjadi di Pileg 2009. Dan tidak meledak pada saat itu hanya karena menjadi wacana lokal yang tidak menyangkut kepentingan secara nasional dan banyak pihak. Juga tak punya nilai jual berita di banyak media.

Akhirnya saya berharap, KPU harus mengambil banyak pelajaran dari peristiwa ini. Hujatan dan cercaan menjadi pemicu untuk memperbaiki diri. Inisiatif mendatangi pemilih sebagai niat baik KPU Pusat juga harus didukung sepenuh hati oleh seluruh KPUD dan para pemegang kepentingan lainnya seperti pemerintah pusat, Departemen Dalam negeri, dan pemerintah daerah.

Satu paradigma yang harus dipatri kepada mereka yang saya sebutkan di atas tadi adalah: “Anda-anda ini selayaknya memosisikan diri sebagai pelayan rakyat, “jongos”-nya rakyat. Bukannya tuannya rakyat. Maka layanilah rakyat dengan baik.”

Saya yakin kalau posisi tuan itu ada pada Anda-anda wahai tuan-tuan, maka kisruh DPT tidak akan pernah berakhir. Maka akan dibawa kemana bangsa kita karena setiap hari dicekoki sengketa para elit politik yang memanfaatkan isu ini?

Saya berharap tidak.

Riza Almanfaluthi

18 April 2009

Dimuat di www.inilah.com

USTADZ DAN KELEDAI


USTADZ DAN KELEDAI

 

Malam ini saya bangun tidak biasanya. Pukul 01.40 WIB. Mungkin ini dikarenakan saya tidur tidak terlalu larut. Ada yang saya pikirkan memang. Sesuatu yang amat mengganjal dan ingin saya tuliskan di sini. Sebuah fenomena seminggu jelang pemilu 2009 yang dilakukan oleh para ustadz, guru, kyai, habib atau panggilan kehormatan lainnya dalam strata masyarakat kita kepada orang yang mempunyai kapasitas mengajarkan kebaikan atau nilai-nilai agama.

    Tidaklah masalah bila mereka mengajak orang untuk memilih calon anggota legislatif (caleg) yang menurut mereka ideal. Karena banyak para caleg mendompleng ketenaran mereka. Ada poster caleg dari salah satu partai politik yang menampilkan tokoh-tokoh keagamaan mereka. Tidak masalah sih. Tapi sungguh ironi jika dengan menggencet saudara-saudara muslim lainnya. Dengan menyeru untuk tidak memilih partai ini dan partai itu. Orang ini dan itu. Dibilang pemerkosalah, antimaulidlah, antiyasinanlah, antitahlilanlah, munafiklah, dan masih banyak lagi yang lainnya di hadapan ribuan jama’ahnya.

Fitnah, cacian, makian, hinaan, gossip, ghibah pun bertaburan keluar dari mulutnya yang senantiasa menyenandungkan dzikir-dzikir maulid Nabi SAW. Apatah lagi dengan serius menyebarkan selebaran-selebaran fitnah itu di angkot-angkot kepada masyarakat umum. Ya Allah ya Robbi.

    Aih…entah kemana ayat-ayat Al-Qur’an yang ia hafal dan ia berusaha transfer untuk ditiru oleh jama’ahnya. Bukankah seorang ulama hendaknya menunjukkan keteladanan dan ketinggian akhlak? Kalau saya jadi ustadz itu saya takut untuk melakukannya? Mengapa? Karena beberapa sebab ini:

Saya takut dengan apa yang saya lontarkan dari mulut saya dan belum jelas kebenarannya itu nanti akan menyebabkan banyak orang yang tersakiti dan terzalimi. Dan doa’ dari orang-orang yang terzalimi tidak ada hijab antara dirinya dengan Rabbnya.

Bukankah ayat-ayat Al-Qur’an sudah banyak menjelaskan cara-cara yang terbaik dalam menerima suatu berita, fatabayyanu, periksalah dengan teliti agar tidak terjadi suatu penyesalan.

Bukankah pula dalam kitab mulia itu kita sesama saudara beriman dilarang untuk merendahkan segolongan saudara-saudara kita yang lain dikarenakan belum tentu kita lebih baik dari mereka bahkan bisa jadi kita lebih buruk dari mereka.

Bukankah sudah dibilang pula bahwa kita kudu menjauhi kebanyakan purba sangka, karena sebagian purba sangka adalah dosa Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kita yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kita merasa jijik kepadanya.

Saya khawatir ketika saya melakukan semua fitnahan itu, cacian itu, hinaan itu, ejekan itu maka ketika itu tidak benar dengan apa yang saya tuduhkan maka semuanya akan kembali kepada diri saya lagi. Na’udubillah.

Sahabat Ibnu Umar ra berkata: Rasulullah saw pada suatu ketika naik mimbar, lalu dengan suara lantang beliau memanggil: “Wahai orang yang beriman hanya dengan lisan, dan perkataan iman itu tidak sampai di hati, janganlah kamu menyakiti kaum muslimin dan jangan pula membuka rahasia mereka. Barangsiapa membuka rahasia sesama muslim, maka Allah akan membuka rahasia dirinya. Dan barangsiapa suka membuka rahasia orang lain, pasti rahasia dirinya akan terbuka dengan lebih keji sekalipun rahasia itu berada di dalam perut binatang kendaraannya.” (HR. Tirmidzi).

Dan terakhir yang saya takutkan adalah hisab di yaumil akhir, ketika optimis tiket ke surga sudah ada di tangan dan tinggal berusaha melangkahkan kaki saya ke surga-Nya Allah ternyata dihambat dengan tuntutan dari banyak orang yang disakiti dengan lisan saya waktu di dunia. Akhirnya pengadilan yang sebenar-benarnya pengadilan itu akan bertambah lama lagi di sana. Satu hari di sana seperti 1000 tahun di dunia. Allah Karim.

Ya Allah saya hanya meminta kepada-Mu janganlah engkau jadikan aku keledai yang menggendong banyak kitab di atas punggungnya, atau seperti manusia yang banyak hafalan ayat Alqur’an dalam tempurung otak tetapi tidak diamalkan. Bukankah murka-Mu sungguh besar?

Hasbunallah wa ni’mal wakiil… Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.

    Ni’mal maula wani’mannashiir… Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.

 

***

Maraji’: 3-173 dan 8:40 serta 22:47

 

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

catatan sepertiga malam terakhir

03:00 04 April 2009