Antara Kothen, Citayem, dan Perihal yang Tak Pernah Dibayangkan


Ayyasy, berdiri di belakang, kedua dari kiri, bersama dengan teman-temannya di Kothen, Jerman.

Lebaran ini kami tidak mudik dan hanya berempat saja. Mengulang tahun sebelumnya karena kondisi buana yang masih dipenuhi pandemi. Eh, tahun lalu beda kok. Masih ada Ayyasy.

Sekarang Ayyasy ada di Kothen, Jerman. Suasana di sana juga sama masih ada pandemi begitu. Kota kecil ini masih buka tutup menerapkan karantina wilayah.

Baca Lebih Lanjut

Advertisement

[CATATAN SENIN KAMIS]: TELEPON UMUM


[CATATAN SENIN KAMIS]: TELEPON UMUM

Rasanya aneh setelah sekian lama tidak menggenggam gagang telepon umum. Lima hingga delapan tahunan lebih sepertinya. Dan gayanya seperti itu-itu saja. Ada kotak besar. Ada celah sempit untuk memasukkan uang logaman 500-an. Ada celah besar untuk koin yang tak terpakai. Kumpulan tombol angka. Layar untuk menampilkan jumlah uang dan nomor telepon yang dituju. Gagang telepon dengan kabel ulir berwarna perak. Warna biru mendominasi kotak, kubah atas, dan tiangnya.

    Dua uang recehan saya masukkan. Terlihat angka 1000 di layar. Saya mencoba untuk menekan tombol nomor handphone (hp) tujuan. Tapi cuma tiga angka yang muncul. Selanjutnya di layar tidak ada gerakan apa-apa. Saya mencoba bertanya kepada dua anak SMU yang sedang berdiri di kotak sebelah.

    “Teh, telepon umum ini tidak bisa ke handphone yah?”

    “Enggak bisa Bang, kalau warnanya biru tidak bisa,” jawab salah satunya.

    “Maksudnya?”

    “Iya, kalau warna kotaknya oranye baru bisa menelepon ke hp, kalau yang biru enggak bisa.”

    Dan saya melihat tidak ada yang berwarna oranye di jejeran telepon umum Stasiun Citayam ini. Saya baru “ngeh” kalau ada perbedaan-perbedaan seperti itu. Perkiraan saya yang semula bahwa telepon umum sekarang sudah canggih sehingga bisa menelepon kemana saja ternyata salah.

    Tapi ya itu tadi. Sudah lama sekali saya tidak menggenggam gagang telepon umum, karena sejak lama telah tergantikan perannya dengan hp. Saya jadi teringat pada waktu era kejayaan telepon umum di tahun 90-an. Orang antri saat menelepon. Panjang berderet-deret. Apalagi kalau malam minggu, tambah panjang lagi antriannya. Sampai-sampai ada tulisan di atas kotak telepon itu,” Bicara Secukupnya.” Yang tak peduli, biasanya akan mendapat deheman sampai gerutuan dari orang yang dibelakangnya.

    Seiring dengan berjalannya waktu, aksi vandalisme pun menghiasi tempat-tempat di mana telepon umum berada. Mulai coretan nomor telepon “panggil aku”, iklan pijat, cacian jorok, perusakan, sampai mancing pulsa dengan uang logam yang diikat benang. Banyak pula telepon umum yang tak berfungsi.

    Bagi yang tidak mau antri dan pembicaraannya didengar orang lain serta bisa berlama-lama menelepon, Warung Telekomunikasi (Wartel) bisa menjadi solusi. Walaupun masih juga terjadi antrian jika wartel di daerah itu terbatas dan ramai banget. Pada saat itu wartel menjadi alternatif berinvestasi bagi pengusaha kecil. Maka wartel pun tumbuh berkembang bak cendawan di musim hujan.

    Antrian di telepon umum, ramainya wartel, dan kebutuhan untuk selalu berkomunikasi pada masa itu menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi di saat Telkom tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat untuk memberikan sambungan tetap. Apalagi regulasi pertelekomunikasian masih memperkenankan Telkom buat memonopoli bisnis menggiurkan itu.

    Masih diingat, bagaimana perlu waktu yang lama untuk bisa mendapatkan nomor sambungan tetap. Dan sepertinya masyarakat rela untuk antri berjam-jam demi mendapatkan nomor itu. Nomor telepon rumah sepertinya menjadi sebuah alat untuk eksistensi diri bagi masyarakat pedesaan yang agraris dan perkotaan yang baru tumbuh. Atau hanya untuk mendapatkan fasilitas kredit.

    Yang mau cepat untuk mendapatkan nomor telepon rumah, ada juga masyarakat yang beralih ke penyedia layanan telekomunikasi lainnya—perusahaan ini pun harus menjadi partner bagi Telkom—tapi sayang kualitasnya buruk. Karena sinyal telekomunikasi tidak melalui jaringan kabel melainkan melalui jaringan wireless dengan antena khusus sebagai penerima sinyal radionya.

    Zaman berubah. Regulasi berubah. Monopoli Telkom pun dicabut. Berbondong-bondong perusahaan telekomunikasi tanpa kabel melalui jaringan GSM (Global System for Mobile Communications) dan CDMA (Code Division Multiple Access) datang ke Indonesia. Produsen hp dunia pun menjadikan Indonesia sebagai salah satu pangsa pasar yang menggiurkan.

    Kemunculan pertama kalinya ditandai dengan masih mahalnya hp dan nomornya. Bagaimana SIM Card masih menjadi barang yang tak terjangkau. Di sekitar tahun 2000 nomor biasa saja dijual dengan harga 500-ribuan apalagi dengan nomor cantiknya.

Di tahun-tahun sebelumnya hp hanya menjadi tontonan yang ada di sinetron-sinetron Indonesia atau film-film hongkong. Itupun bentuknya seperti balok kayu seukuran setengah lengan orang dewasa. Cukup untuk menimpuk anjing sampai terkaing-kaing.

Yang masih hanya bisa bermimpi mendapatkan hp, pelipur laranya adalah pager. Semacam alat untuk menerima pesan tertulis (SMS). Untuk mengirim pesan ke nomor pager yang lain perlu menelepon operatornya terlebih dahulu. Tidak praktis. Terbukti kemunculan penyedia jasa layanan ini tidak bertahan lama.

Sekarang hp murahnya minta ampun. Nomornya apalagi. Noceng (Rp2000,00) juga sudah dapat. Gratis malah kalau kita beli sekalian hp-nya. Dan bagaimana dengan telepon umum, wartel, wireless phone, pager? Ada yang masih bertahan dan juga lenyap sama sekali digilas perkembangan teknologi dan ketatnya persaingan dari para operator telekomunikasi.

Pager hilang ditelan bumi. Telepon umum masih di beberapa tempat. Kebanyakan sudah menjadi rongsokan. Wireless phone mati perkembangannya. Wartel rontok satu demi satu terkecuali di pedesaan yang menara BTS (Base Transceiver Station) operator seluler-nya belum berdiri. Telepon rumah? Sudah jadi onggokan yang jarang dipakai di rumah. Telkom sekarang sudah tak acap menawarkan sambungan tetapnya, yang ada hanya tawaran kepada para pelanggan tetap untuk ikut dalam program sambungan internet dan jaringan CDMA-nya.

Memang sesuatu yang stagnan tidak akan abadi. Ia akan kalah. Itu takdirnya. Untuk memenangkannya adalah pada inovasi yang mendarah daging di setiap karya. Telkom masih tetap eksis hingga kini karena inovasi pada produk layanannya. Sahamnya tetap menjadi blue chip. Ratelindo tak mau untuk mengulangi kegagalannya di masa lalu dengan bertiwikrama menjadi Esia.

Inovasi berpijak pada kemauan dan kemampuan untuk berkembang diri. Dengan kerja keras tentunya. Ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang tak bisa ditinggalkan. Inovasi dan ilmu pengetahuan adalah kepingan yang berkelindan. Tak bisa dipisahkan.

Seharusnya demikianlah pula saya, hingga tak ketinggalan zaman untuk mengikuti perkembangan dari tidak berkembangnya telepon umum. Maka tak perlu untuk menanyakan itu kepada dua anak SMU kiranya saya mengetahui.

“Bang…nih koinnya ketinggalan,” tegur anak SMU itu dari kejauhan.

“Ambil saja…!”

***

Thanks banget buat teman-teman Banding dan Gugatan 2, Direktorat Keberatan dan Banding: AA Yoga, Arya, Rifun, Ipung, Indra Gunawan, Mas Dibjo, Unesa-ja, Kang Awe, Nona Avrida Rombe, Leyjun, Mbak Ana, Mas Bayu, Uda Zai, 3S (Mas Suroto, Sapto, Safar), Chris, TP (Teguh Pambudi), Mbak Dian Angraeni, Elvina, Bro Ton, mas Adiprasetyo, Daeng Idham Ismail, Mas Faisal, AA Widi, AA Iman, AA Heru.

 

 

CATATAN SENIN KAMIS untuk Forum Diskusi Portal DJP

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

08:05 20 Desember 2010