GOYANGAN TIGA MODUS OPERANDI
Tadi malam Semarang hujan. Awet lagi hujannya. Seharusnya saya langsung istirahat untuk memulihkan tenaga. Tapi karena perut juga belum diisi bagaimana tenaga akan pulih. Apatah lagi kepala sudah pusing karena keroncongan.
Saudara ipar yang akan menjemput saya di Hotel Santika juga tak kunjung datang. Menunggu sekitar 30 menit barulah ia datang. Tepat pukul 20.15 WIB langsung kami kebut ke simpang lima untuk mencari makan malam. Sop kaki, sate kambing, dan teh hangat jadi pilihan tepat. Heran, setelah makan pusingnya hilang. Ada yang bisa menjelaskan? Tapi bo…harganya mahal. Sekitar enam dolaran. Halah…
Setelah itu kami pergi ke ibu mertua. Untuk bersilaturahim dan minta doa, karena saya dapat kabar dari Ummu Haqi di rumah kalau Kinan sedari pagi rewel terus. Tak lama saya di sana. Langsung diantar kembali ke kamar hotel .
Saya harus mempersiapkan tenaga untuk besok kembali ke Bawen menemui Wajib Pajak lagi. Ya, tapi sampai hotel juga baru jam dua belas malam saya tertidur. Kebiasaan lama kambuh lagi. Enggak bisa tidur cepat di tempat baru.
By the way, anyway, busway…(bahasa alay anak gaul), kami memang harus mengefisienkan waktu yang kami miliki selama tiga hari ini di Semarang. Hari pertama saja—walaupun kami naik pesawat dari Jakarta—baru sampai ke tempat Wajib Pajak jam setengah satu siang.
Lama kami ngobrol dengan direktur salah satu dari dua Wajib Pajak yang kami rencanakan untuk dikunjungi. Mengenai permasalahan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tidak disampaikan dalam bentuk elektronik atau e-SPT. Permasalahan klasik muncul: tidak ada orang yang khusus menangani Wajib Pajak. Jadi untuk kali ini kami harus menentir akuntannya untuk bisa menguasai program e-spt PPN.
Untuk hari pertama itu ( 16/6) kami cukup dengan menginstalasi perangkat lunak e-SPT PPN. Nanti kami berencana datang kembali keesokan harinya untuk khusus memberikan bimbingan cara penggunaan perangkat lunak tersebut. Setelah itu jam setengah empat sore kami langsung ke tempat Wajib Pajak lain.
Untuk yang satu ini, kasusnya lain. Wajib Pajak melaporkan dalam SPT PPN-nya dua transaksi yang terdiri dari transaksi yang dipungut PPN dan tidak dipungut PPN. Padahal dari informasi yang diterima, Wajib Pajak hanya memberikan jasa maklon saja kepada pelanggan atau customer atau buyernya. Sehingga harusnya Wajib Pajak melaporkan seluruh transaksinya ke dalam transaksi yang dipungut PPN. Dengan demikian tentunya harus ada PPN yang disetor ke kas negara. Masalahnya kemana duit pajak itu lari?
Ada tiga kemungkinan. Pertama memang Wajib Pajak memungut PPN dari pelanggan atau pembelinya tapi tidak disetor ke kas negara dikarenakan Wajib Pajak lagi butuh duit untuk bayar yang lainnya dulu. Alasan kuno yang biasa disampaikan adalah untuk bayar gaji karyawan dulu. Pajak nomor ke sekian dalam prioritasnya. Padahal kalau mereka tahu, bisnis mereka bisa lancar juga karena jalanan masih beraspal mulus. Dan pembuatan juga pemeliharaan jalanan itu berasal dari uang pajak rakyat.
Kemungkinan kedua, Wajib Pajak belum setor PPN karena buyer atau pembelinya tidak mau bayar PPN kalau Wajib Pajak tidak menalangi pembayaran PPN terlebih dahulu dan kemudian melaporkannya ke kantor pajak. Baru jika bukti setor ke bank dan lapor ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) itu ada, pembeli akan bayar PPN-nya kepada Wajib Pajak.
Masalahnya tidak semua Wajib Pajak punya cash flow yang bagus untuk melakukan itu. Wajib Pajak baru akan bayar PPN-nya terlebih dahulu jika ada uang yang didapat dari sumber lain. Jika tidak? Ya sudah. Alamat tidak ada uang masuk ke kas negara.
Sistem Wajib Pajak harus bayar dulu itu sebenarnya menyalahi aturan. Seharusnya pembeli mau atau tidak mau harus rela dipungut PPN-nya oleh Wajib Pajak penjual barang atau jasa kena pajak tersebut. Tapi seringnya pula si Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak penjual ini tidak menyetorkan dan melaporkan PPN tersebut, jadi pembeli bertindak hati-hati dulu dengan melakukan hal yang di atas.
Ini bisa terjadi jika posisi pembeli punya kekuatan yang hebat. Artinya pembeli merupakan satu-satunya sumber pemasukan duit bagi Wajib Pajak penjual. Sehingga Wajib Pajak penjual tidak punya daya tawar yang kuat. Karena kalau dikerasin, alamat dia tidak dapat order lagi di kemudian hari. Di industri jasa maklon, ini yang sering terjadi.
Dua kemungkinan di atas berkaitan erat dengan kondisi yang dialami oleh Wajib Pajak penjual. Nah kemungkinan ketiga ini berkaitan erat dengan goodwill dari pembeli untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Pembeli benar-benar enggak mau dipungut PPN-nya oleh Wajib Pajak penjual dengan banyak alasan. Tentunya Wajib Pajak penjual enggak mau dong nalangin dulu duit untuk bayar PPN sedangkan dia tidak punya kepastian dari pembeli kapan akan bayar PPN-nya.
Ternyata kemungkinan ketiga inilah yang benar-benar dialami oleh Wajib Pajak yang kami kunjungi di sore hari itu. Dia benar-benar taat bayar PPN kalau buyernya juga taat untuk mau dipungut PPN olehnya. Kalau buyernya enggak mau bayar ya dia juga enggak mau bayar PPN dulu dan enggak mau setor PPN ke kas negara.
Akhirnya dia—dengan bantuan konsultan pajak tentunya—melaporkan PPN-nya dengan taktik demikian: untuk PPN yang sudah dibayar oleh buyer dia laporkan ke dalam transaksi PPN yang dipungut, dengan 3 digit pertama dalam kode faktur pajaknya bernomor 010.
Sedangkan untuk transaksi di mana buyernya belum bayar bayar PPN, maka transaksi itu dimasukkan ke dalam transaksi yang tidak dipungut PPN dengan 3 digit pertama kode faktur pajaknya adalah 070. Padahal kode 070 itu adalah khusus untuk transaksi yang mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut, ditangguhkan, dibebaskan oleh pemerintah. Jadi bukan untuk transaksi di atas tadi.
Ya sudah, modus operandi Wajib Pajak ini ketahuan. Sekitar lebih 200 jutaan rupiah setiap tahunnya duit rakyat masih ketahan oleh salah satu tipe Wajib Pajak seperti ini. Sedangkan sudah ada lima tahun pajak yang ditengarai. Kalikan saja jumlahnya.
Kami Account Representative (AR) tugasnya hanya sekadar melakukan himbauan. Mengetuk kesadaran dari Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Jika tidak mau? Oke, tim auditor yang akan menindaklanjuti. Kalau sudah keluar ketetapan pajak, sanksinya akan tambah berat lagi.
Yah…untuk hari ini (17/6) cukup dulu cerita saya ini. Cerita yang saya sempatkan untuk ditulis di tengah sesi pelatihan e-SPT kepada Wajib Pajak. Ditulis dengan goyangan cukup dahsyat sampai layar komputer dan kursi terguncang-guncang setiap ada orang yang berjalan karena lantai atas ruangan ini hanya dibuat dari lapisan papan saja.
Tapi masih belum sedahsyat goyangan harga sop kaki kambing simpang lima. 🙂 🙂 🙂
Semoga bermanfaat.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11.59 17 Juni 2010
Bagikan Tulisan Ini Jika Bermanfaat:
Like this:
Like Loading...