JAWABAN BUAT ISMAIL HASANI SI PENUDUH


JAWABAN BUAT ISMAIL HASANI SI PENUDUH

Di setiap masanya, Islam selalu digedor oleh musuh-musuhnya. Tidak hanya dari kalangan luar, dari orang-orang yang berwajah atau bernama layaknya nabi pun tidak kalah tangguhnya untuk ikut ramai-ramai menjadi penghancur agama. Minimal punya penyakit bernama kecemasan luar biasa, tidak percaya dan curiga berlebihan yang lazim disebut paranoid.

Tepatnya saat ini sosok paranoid itu ada pada Ismail Hasani, peneliti SETARA Institute, yang menyatakan dalam sebuah diskusi bahwa TKIT (Taman Kanak-kanan Islam Terpadu) dan SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) sebagai sarana pemupuk benih radikalisme Islam. Bahkan dia mengatakan bahwa lagu-lagu jihad Palestina yang biasa dinyanyikan oleh siswa-siswa lembaga pendidikan tersebut mengancam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan bertentangan dengan Pancasila. Diskusi yang mengetengahkan tema tentang deradikalisasi untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan atas nama agama itu diselenggarakan di Hotel Atlet, Jakarta (10/1).

Pernyataan Ismail Hasani sebagian memang tepat. Dulu, di zaman pergerakan nasional, sekolah memang menjadi tempat tumbuhnya sosok-sosok nasionalis radikal dan antikolonial. Ini menjadi dilema bagi penjajah Belanda pada saat itu, di lain pihak sekolah adalah tempat terbaik untuk menghasilkan administratur yang handal buat mereka. Tak bisa dipungkiri bahwa sekolah memang menjadi tempat yang tepat untuk menyuburkan idealisme.

Sayangnya sekarang Ismail Hasani sama seperti orang-orang Belanda puluhan tahun lampau itu. Takut dengan munculnya benih-benih idealisme. Bedanya Ismail Hasani berkulit coklat, mereka berkulit putih. Dulu yang berkulit putih identik sekali dengan penindas.

Dengan pernyataannya, Ismail Hasani terlihat alergi dengan jihad Palestina seberapapun ia menyangkal. Jihad Palestina adalah perjuangan rakyat Palestina untuk memerangi kesewenang-wenangan dan penindasan yang dilakukan oleh para imperialis dan zionis Israel itu. Dan setiap gerakan perlawanan terhadap kesewenangan-wenangan imperialisme, dalam sejarah, disebut juga sebagai gerakan nasionalisme. Lalu apa yang salah dengan pengumandangan lagu-lagu jihad Palestina tersebut?

Atau semuanya bertitik tolak terhadap definisi nasionalisme yang dipakai oleh Ismail Hasani yang terlihat sempit ala Nicolas Chauvin. Semua orang yang ada di luar batas tanah air mereka tidak dipedulikan dan hanya mengurus semua yang berkaitan langsung dengan apa yang ada di dalam batas wilayahnya.

Islam mengajarkan nasionalisme yang lebih luas dari sekadar itu. Berbuhul pada ikatan akidah esensinya. Jika nasionalisme itu adalah cinta, keberpihakan, rindu, berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman ketidakadilan, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera-puteri bangsa, memperkuat ikatan kekeluargaan antar anggota masyarakat, menyatukan diri dalam sebuah keluarga besar yang bernama NKRI dengan tetap turut merasakan apa yang saudara-saudara muslim rasakan di belahan manapun, maka Islam mengakuinya. Dan itulah nasionalisme dengan segala kebaikan yang ada untuk tanah air ini.

Yang tidak dibaca oleh Ismail Hasani juga adalah peran serta, opini serta dukungan dari rakyat Palestina terhadap proklamasi kemerdekaan republik Indonesia yang pada saat itu hanya secara de facto. Butuh pengakuan dari bangsa-bangsa lain untuk dianggap berdaulat dan sejajar dengan bangsa merdeka lainnya.

Terkecuali memang Ismail Hasani sudah memakan mentah-mentah tanpa dikunyah tuduhan Israel dan Ameriksa Serikat terhadap gerakan perlawanan Palestina sebagai gerakan terorisme. Maka wajar ia menyamakan lagu-lagu jihad Palestina itu sebagai lagu perusak NKRI. Dan ia membalas dengan tuba partisipasi rakyat Palestina itu untuk kemerdekaan negeri ini.

Ismail Hasani juga lupa dengan sejarah atau memang pemikirannya yang sudah kena virus deislamisasi penulisan sejarah kalau kemerdekaan republik ini diperoleh dengan keringat dan darah yang dikorbankan para ulama dan santri yang mengobarkan semangat jihad untuk melawan penjajah Belanda. Atau aksi jihad yang dilancarkan seorang panglima besar Soedirman yang merupakan mantan seorang guru Moehammadijah.

Bung Tomo sudah kadung terkenal dengan teriakan takbir dan seruan jihadnya pada 10 November 1945. Tak terlepas 18 hari sebelumnya, kakek Gus Dur—salah seorang badan pendiri SETARA Institute—yang bernama Kiai Haji Hasyim Asy’ari mendeklarasikan resolusi jihad: perang suci melawan Belanda yang ingin kembali menjajah.

Ada sebuah tuntutan terhadap Ismail Hasani sebagai penuduh untuk membuktikan bahwa menyanyikan lagu-lagu jihad Palestina itu bertentangan dengan Pancasila. Sila yang keberapa? Sila pertamakah? Kedua? Atau sila yang mana? Bukanlah pula nasyid-nasyid jihad Palestina adalah juga lagu-lagu perjuangan. Lalu apakah ada jaminan bila lagu-lagu perjuangan selain nasyid yang jika dikumandangkan akan menghasilkan manusia yang pancasilais?

Amir Sjarifoeddin Harahap, mantan perdana menteri RI yang menandatangani perjanjian Renville, sebelum ditembak mati menyanyikan lagu L’Internationale—lagu kebangsaan kelompok Bolsyevik Uni Soviet—dan Indonesia Raya, padahal ia adalah seorang komunis. Lagu-lagu perjuangan diperdengarkan setiap tahun namun Indonesia masih jago dalam hal korupsi. Jadi akan terlalu sempit bila sebatas lagu menjadi ukuran sosok berkarakter kuat pancasilais.

Dan saya meyakini betul, kalau di TKIT dan SDIT itu diajarkan pula tentang lagu-lagu perjuangan, tidak hanya nasyid jihad Palestina yang menjadi pelengkap acara hiburan pada saat pelepasan murid-muridnya.

Pada akhirnya saya hanya khawatir, bahwa Ismail Hasani cuma menjadi kepanjangan suara dari negara-negara barat yang gemar menuduh serampangan kepada mereka yang berseberangan dengan kepentingan besar negara-negara tersebut. Setelah dulu madrasah dan pesantren dituduh sebagai tempat perkecambahan radikalisme. Sekarang TKIT dan SDIT. Lalu besok apalagi?

Si penuduh wajib memberi bukti dan si tertuduh wajib memberikan sumpah. Kaidah elok untuk Ismail Hasani.

Wallohua’lam bishshowab.

***

 

Riza Almanfaluthi

Penulis dan Blogger

dedaunan di ranting cemara

01.30 Citayam 14 Januari 2011

 

Tags: ismail hasani, setara institute, gus dur, hasyim asy’ari, amir syarifuddin harahap, komunis, palestina, nasyid, amir sjarifoeddin harahap, bolsyevik uni soviet, nasionalisme, imperialisme, israel, zionisme, nicolas chauvin, jihad, radikalisme, terorisme, l’internationale

[CATATAN SENIN KAMIS]: BORJUIS MINANGKABAU


[CATATAN SENIN KAMIS]: MERDEKA…!!!

 

    Pada zaman kemerdekaan dulu uluk salam dengan meneriakan kata merdeka dan mengepalkan tangan adalah sebuah kebanggaan. Ada sebuah rasa nasionalisme yang membuncah di dalam dada. Begitupula dengan memakai kopiah atau peci hitam sebagai simbol dari kaum intelektual dan kaum pergerakan nasional. Bahkan seorang komunis pun tanpa rasa segan untuk memakainya.

    Sekarang? “Tak laku…!” teriak bapak saya yang hidup di empat zaman ini: Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Kopiah pun hanya dipakai untuk seremonial belaka. Jika kopiah itu tampak bagus, yang memakainya adalah para pejabat yang baru dilantik atau para lelaki yang habis ijab kabul, entah yang pertama kali atau yang keberapa kalinya. Jika rada-rada kumal, yang pinggirannya terlihat kusam, ini berarti yang memakainya adalah orang yang suka ke masjid.

    Tapi teriakan bapak saya itu tak dapat mengusir pengakuannya bahwa kemerdekaan yang diraih dengan susah payah oleh para pendahulu telah bisa dinikmati oleh banyak kaum di negeri ini. Termasuk dirinya.

Tanpa memungkiri ketidakmerataan pembangunan di sebagian wilayah republik ini, hasil pembangunan benar-benar dirasakan oleh bapak saya dan para pelancong lainnya yang ingin mengisi liburan tahun baruan di tempat-tempat wisata Jawa Barat. Jalanan mulus dan pusat-pusat perbelanjaan penuh dengan pengunjung.

    Terpikir betapa kenikmatan yang dirasakan saat ini bermula dari perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang dan pendiri negara ini. Dan kebanyakan dari mereka yang berjuang itu tak merasakan hasil-hasil pembangunan. Entah karena dimakan usia atau karena nasib yang tak berpihak kepada mereka.

    Sekarang teriakan itu tak akan menggema lagi terkecuali di film perjuangan atau sinetron situasi komedi. Atau sekadar cerita yang didongengkan setiap malam sebagai pengantar tidur. Bahkan keluar dari mulut bau dan badan yang tak pernah mandi selama beberapa tahun di pinggir jalan karena orang menganggapnya “enggak genap”.

Seperti Mao Tse Tung, yang selama 27 tahun tidak pernah mandi dan sikat gigi hingga giginya menghitam. Bedanya adalah setiap hari ia meminta kepada para pelayannya untuk menggosok seluruh badannya dengan air hangat. Mao Tse Tung pun tidak gila. Cuma seorang megalomania tulen yang sanggup mengorbankan puluhan juta rakyatnya untuk memenuhi ambisinya. Teriakannya pun berbeda, yang ada adalah: ” bunuh! bunuh! bunuh!” kepada rakyat ataupun lawan-lawan politik yang mengkritik, melawan, dan membangkangnya.

Semangat yang bersenyawa dalam jiwa Aidit sebagai salah satu murid ideologi Mao. Padahal Aidit adalah pemuda yang disukai Hatta sebelum dirinya mulai beraliran kiri. Dan waktu membalikkan Aidit untuk menghujat Hatta sebagai Borjuis Minangkabau pada pidatonya di dalam sidang DPR, 11 Februari 1957.

Padahal pula ia adalah salah satu yang menculik Dwi Tunggal ke Rengasdengklok. Dan sempat membuat Soekarno marah pada dua hari sebelumnya. Soekarno berkata, “ini batang leherku”, kepada para pemuda yang mengutarakan keinginan dan mendesak agar dirinya segera mengumumkan proklamasi.

Lalu Soekarno, bertahun-tahun kemudian, tak mampu melepaskan ideologi revolusinya dengan tidak mengikutkan PKI sebagai pilarnya. Maka yang terjadi adalah hilangnya kemerdekaan untuk berbicara, berpendapat, dan berkeadilan. Masyumi dan PSI—dua partai anti-PKI—dibubarkan. Pada saat itu, tak cuma teriakan, “Merdeka…!!!”, tetapi juga dengan teriakan lanjutannya: “Hidup Bung Karno…!!!, Hidup Nasakom…!!!, Ganyang Masyumi…!!!”.

Teriakan merdeka sudah teredusir menjadi jargon untuk membasmi saudara sebangsa dan setanah airnya. Bukan lagi untuk penyemangat melawan Jepang ataupun Belanda.

Dan kini, untuk meneriakkannya pun tak lagi sebagai sebuah kebutuhan untuk melepaskan diri dari belenggu perasaan inferior sebagai bekas bangsa terjajah. Tetapi karena teriakan itu: “tak laku…!” kata bapak saya dengan keras. Meski untuk ditukar dengan sepersepuluh liter beras pun. Bahkan mereka yang sering menengadahkan kopiah buluk di jembatan penyeberangan atau lampu-lampu merah, memasang muka memelas sambil berkata: “Pak tolong pak saya belum makan…” adalah lebih mampu untuk mendapatkan berkilo-kilo beras pulen.

Harga diri dijungkirbalikkan oleh waktu tanpa mampu lagi berteriak: “Merdeka…!!!”

 

***

Salam buat kalian berdua: Hadi Nur dan Masyita Nur Palupi.

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

16:47 03 Januari 2010

 

    
 

    Tags: masyumi, Mohammad hatta, soekarno, jepang, belanda, orde lama, orde baru, orde reformasi, aidit, mao tse tung, mao ze dong, psi, pki, dwi tunggal, rengasdengklok.

 

            


 

CATATAN AWAL TAHUN: IZRAILISME


CATATAN AWAL TAHUN:

IZRAILISME

 

Kalau sudah demikian yang hanya dapat mengingatkan adalah malaikat izrail yang sudah mulai cawe-cawe (menyapa): “Halo Bang? Sudah siap?… pelan-pelan atau kasar nih? Bisa dipilih sih, tapi pilihannya bukan sekarang, tapi waktu masih dikasih kesempatan hidup.”

***

01 Januari 2011

    Tadi malam saya bersyukur sekali bisa tidur nyenyak. Tanpa terganggu sedikit pun suara berisik nyanyian kodok dari orang-orang yang membuang-buang duitnya untuk terompet, petasan, dan kembang api.

    Shubuh berjama’ah di masjid hanya dihadiri oleh 5 orang ditambah Ayyasy yang dari jam tiga pagi tidak bisa tidur. Kebanyakan yang bermalamtahunbaruan tidak shalat shubuh di masjid. Kalaupun tidak tahun baruan juga masjid tetap sama kosongnya.

    Pagi ini, ingin sekali saya berangkat ke Salawu, Tasikmalaya. Berkumpul dengan keluarga besar di sana yang lagi hajatan kawinan. Tapi sayangnya kondisi Bapak lagi tidak fit—pagi ini saat saya tengok di kamarnya, asam uratnya kambuh lagi, kakinya bengkak.

Kinan tadi malam panas banget. Setelah dikasih obat penurun panas dan dipeluk dalam ketelanjangan dada Alhamdulillah sebelum adzan shubuh berkumandang, suhu badannya sudah mulai turun. Tapi kembali ini menyurutkan tekad untuk bisa berbondong-bondong pergi ke Salawu dengan semangat 45.

Saya berharap, keluarga di sana bisa memaklumi atas ketidakdatangan saya. Karena saya pun sebenarnya amat rindu dengan Salawu dan kebersamaannya.

Kemarin saya ditanya oleh teman tentang revolusi resolusi diri. Saya diam saja. Tak tahu akan menjawab apa. Tetapi pagi ini saya jadi tertarik untuk mengungkapkan ini. Yang pasti saya berharap dengan harapan yang sama dengan orang-orang lain: tahun depan adalah lebih baik daripada tahun kemarin.

Lebih khusus lagi saya ingin bisa bermanfaat buat orang lain dengan lebih baik. Bisa tetap semangat menulis. Setiap hari. Menjadi petugas banding yang profesional dan punya integritas. Dari semuanya: keluarga adalah tetap nomor satu. Lebih cinta lagi pada Ummu Haqi, Haqi, Ayyasy, dan Kinan. Terbukti saya tidak bisa berpisah dengan mereka sehari pun dengan riang gembira.

Masih banyak lagi yang lain untuk diungkapkan. Tetapi biarlah itu menjadi sesuatu yang privat buat saya. Orang lain biarlah dengan urusannya masing-masing.

Tentang Indonesia? Berharap negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang hanya takut kepada Allah. Bukan yang takut kepada Amerika, Rusia, China, Eropa, Australia, Israel, beserta antek-anteknya. Dengan segala isme-isme yang menjadi jargon dan sesembahannya seperti imperialisme, kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, komunisme, zionisme, stalinisme, leninisme, maoisme, aiditisme, munafikisme, skeptisme, dan ….…… (titik-titik ini buat isme-isme yang berperikebinatangan lain yang tak sempat terpikirkan di pagi ini).

Kalau pemimpin hanya takut pada Yang Diatas, ia tak peduli dengan pencitraan, ia tak peduli dengan topeng, ia tak peduli dengan kroni-kroninya, ia tak peduli mau dipilih lagi atau tidak. Yang dipedulikannya adalah bagaimana negeri ini bisa jadi negeri yang baldatun toyyibatun wa robbun ghoffur. Rakyatnya bisa makan semua. Bisa sehat semua. Bisa sekolah semua. Taqwa semua.

Tentang Indonesia lagi? ya, korupsi enggak ada lagi di muka buminya. Sayangnya para pembenci korupsi selalu berteriak-teriak kepada aparat pemerintah untuk tidak korupsi sedangkan nilai-nilai kejujuran sendiri tidak menjadi sesuatu yang inheren pada diri mereka. Ini sama saja seperti menggarami air lautan. Benahi diri dulu. Introspeksi diri dulu. Sudah jujurkah saya? Kalau sudah dan berkomitmen untuk selalu jujur, bolehlah berteriak. Hancurkan korupsi! Ganyang koruptor!

Pula bagi pengelola negeri ini—pemimpin dan aparaturnya, seberapa keras teriakan para mahasiswa dan rakyat untuk mengingatkan jangan korupsi, ya mbok didengar. Pasang telinga baik-baik. Kalau perlu cek ke dokter THT, untuk memastikan gendang telinganya masih utuh atau sudah bolong. Karena keutuhan gendang telinga menjadi ukuran budek atau tidaknya. Kalau sudah budek, memang dimaklumi untuk tidak mendengar suara-suara itu. Tapi memang enak jadi budek? Apa?! Apa?!

Yang lebih parah lagi adalah kalau nuraninya sudah budek walaupun telinganya tidak budek. Kalau bahasa langitnya adalah buta, tuli, dan bisu. Seberapapun kerasnya peringatan dan teguran untuk tidak korupsi, tetap saja dijabanin untuk hanya dapat memuaskan hawa nafsunya.

Kalau sudah demikian yang hanya dapat mengingatkan adalah malaikat izrail yang sudah mulai cawe-cawe (menyapa): “Halo Bang? Sudah siap?… pelan-pelan atau kasar nih? Bisa dipilih sih, tapi pilihannya bukan sekarang, tapi waktu masih dikasih kesempatan hidup.”

Itu saja. Tak lebih dan tak kurang. Hanya sedikit harapan, yang kata orang sih resolusi diri. Yang pasti saya berkeinginan kepada Allah agar Izrailisme tak menyapa saya pada hari ini.

Semoga terkabul. Amin.

***

 

Riza Almanfaluthi

abdi negara yang lagi belajar jujur

dedaunan di ranting cemara

06.43 01 Januari 2011

 

 

TAGS: imperialisme, kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, komunisme, zionisme, stalinisme, leninisme, maoisme, aiditisme, munafikisme, skeptisme, izrailisme, Ummu Haqi, Haqi, Ayyasy, Kinan, salawu, tasikmalaya.

http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/01/catatan-awal-tahun-izrailisme/

 

FILANTROPI SANG MUKA MONYET


[CATATAN SENIN KAMIS]:  FILANTROPI

Toyotomi Hideyoshi—yang berwajah seperti monyet – adalah tokoh besar Jepang abad XVI yang mampu menyatukan negeri yang tercabik-cabik dalam perang antarklan selama lebih dari 100 tahun, dan mempunyai konsep diri seperti ini: fokus pada memberi.

…hanya sedikit orang yang menangkap kebenaran ini. Kebanyakan lebih memilih untuk menyimpan sebanyak mungkin untuk diri mereka sendiri dan memberi sedikit mungkin. Itulah sebabnya dompet mereka tidak pernah bertambah tebal.

Maka dalam sebuah kesempatan, ia duduk di tumpukan kepingan emas yang hendak dibagikan senilai 1,17 trilyun rupiah—nilai saat ini, di tengah lapang, di luar gerbang selatan Istana Jurakutei, Kyoto. Orang-orang memalingkan muka saat timbunan itu memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan. Ia royal kepada pengikutnya.

**

Semakin banyak membaca tidak menjamin seseorang menjadi tahu segalanya. Semakin menulis pun demikian. Kita kembali menjadi bodoh dan bodoh. Betapa banyak ketidaktahuan yang dimiliki yang pada akhirnya memacu kita untuk merenangi samudra ilmu untuk mengikis daki-daki kejahilan.

Begitu pula dengan kata filantropi yang menjadi sesuatu yang baru buat saya beberapa hari belakangan ini. Diawali dengan notes dalam facebook seorang kawan. Pernah mendengar tetapi tak tahu makna dibaliknya. Aih, ternyata filantropi itu adalah sebuah kedermawanan atau cinta kasih kepada sesama.

Kalau demikian, saya bertambah yakin di balik makna kata itu ada sesuatu yang lebih besar lagi bagi para pelakunya. Bukankah ini adalah keadaan tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah? Masalahnya sebegitu banyak balasan yang dijanjikan—700 kali lipat ganjaran—tidak menggerakkan hati untuk melakukannya. Mengapa?

Jawabannya adalah karena manusia senantiasa terbelit dengan sikap tamaknya hingga bergunung-gunung emas yang ia dapatkan namun kembali ingin merengkuh gunungan emas yang ada nun jauh di sana. Satu lagi karena ini adalah masalah iman. Dan filantropi adalah pembuktian adanya iman di dalam dada.

Maka berbicara tentang keimanan—karena ia adalah sesuatu yang abstrak, tak kasat mata—ia meyakini bahwa filantropi takkan membuat hartanya berkurang sedikitpun. Bahkan ia menetakkan filantropi adalah solusi atas setiap permasalahannya. Membuat hartanya kian banyak dari hari ke hari.

Ada kisah pembuktian sebuah filantropi seorang kawan. Ia mempunyai anak yang sedang mondok di pesantren. Jauh dari rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar anaknya sakit tipus dan harus dirawat di rumah sakit.

Pada saat yang hampir bersamaan, motornya yang diparkir oleh istrinya di depan rumah untuk ditinggal sebentar sholat Maghrib, hilang. Lenyap dicuri. Dan ia mendengar dari pegawainya kalau STNK (surat tanda nomor kendaraan) mobil yang biasa disewakannya hilang. Sudah jatuh tertimpa tangga tertusuk duri. Tiga cobaan menghentakkannya.

Segeralah ia pergi ke pesantren menjemput anaknya untuk dirawat. Kebetulan uang yang dibawa tidaklah banyak. Sebelumnya ia bertekad untuk menyisihkan sebagian uang yang ada untuk diberikan kepada yang membutuhkannya. Ekspresi kefilantropisannya. Walau dera tak kunjung reda.

Dengan nalar kemanusiawiaannya, sudah barang tentu adalah sesuatu yang wajar jika ekspresi itu ditinggalkan sejenak. Pun ia dalam keadaan yang tak memungkinkan untuk berbagi. Tapi ia tidak. Bahkan saat yang sempit adalah sebuah bukti keimanan untuk ditunjukkan. Bukan disembunyikan di balik iba. Saat lapang dan mampu adalah saat yang biasa, wajar, dan tak aneh.

Apa yang terjadi setelahnya?

Sepulangnya dari perjalanan yang jauh hingga memakan waktu kerjanya itu, ia mendengar kabar kalau anaknya sudah mulai membaik. Lalu motornya yang hilang akan diganti dengan yang baru oleh dealer, segera. STNK-nya yang lenyap telah ditemukan oleh seseorang. Itu diketahui dari temannya yang kebetulan mendengarkan pengumuman di sebuah radio.

Sebuah kedermawanan menyelesaikan tiga masalahnya sekaligus, tidak pakai lama-lama. Banyak kisah yang mirip seperti ini. Tak bisa dihitung dengan jari. Masih meragukannya?

Hideyoshi tak sereligius Anda, ia tak meragukannya.

 

***

Bahan Bacaan:

The Swordless Samurai, Pemimpin Legendaris Jepang Abad VXI, Kitamo Masao, Edited by: Tim Clark

 

Salam filantropi untuk rekan-rekan penulis buku Berkah DJP: Rosafiati Unik Wahyuni,  Kholid, Tang Dewi Sumawati,  Tommy, Marihot Pahala Siahaan, Irwan Aribowo , Dadi Gunadi, Eko Yudha Sulistijono, Tjandra Prihandono, Rini Raudhah Mastika Sari , Agus Suharsono,  Andy Prijanto, Ani Murtini, Raden Huddy Santiadji Musiawan Murharjanto, Rony Hermawan, Martin Purnama Putra , Teguh Budiono, Sri Sulton, Yunita, Windy Ariestanti Hera Supraba,  Yeni Suriany, Ari Saptono, Yusep Rahmat, Joko Susanto, Jeffry Martino, Eli Nafsiah , Desi Sulistiyawati , Atjep Amri Wahyudi , Muhammad Halik Amin, Sandi Syahrul Winata , Afan Nur Denta , Prasetyo Aji , Ari Pardono, Suwandi, Nufransa Wira Sakti, Agus Dwi Putra, Hendro Kusumo , Abdul Hofir, Sarbono, Yacob Yahya, Abdul Gani, Oji Saeroji , Ninoy Estimaria , Tutik Tri Setiyawati, Windhy Puspitadewi , Himawan Sutanto

 

 

Diunggah pertama kali di: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/27/filantropi/

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

12:39 27 Desember 2010

[CATATAN SENIN KAMIS]: TELEPON UMUM


[CATATAN SENIN KAMIS]: TELEPON UMUM

Rasanya aneh setelah sekian lama tidak menggenggam gagang telepon umum. Lima hingga delapan tahunan lebih sepertinya. Dan gayanya seperti itu-itu saja. Ada kotak besar. Ada celah sempit untuk memasukkan uang logaman 500-an. Ada celah besar untuk koin yang tak terpakai. Kumpulan tombol angka. Layar untuk menampilkan jumlah uang dan nomor telepon yang dituju. Gagang telepon dengan kabel ulir berwarna perak. Warna biru mendominasi kotak, kubah atas, dan tiangnya.

    Dua uang recehan saya masukkan. Terlihat angka 1000 di layar. Saya mencoba untuk menekan tombol nomor handphone (hp) tujuan. Tapi cuma tiga angka yang muncul. Selanjutnya di layar tidak ada gerakan apa-apa. Saya mencoba bertanya kepada dua anak SMU yang sedang berdiri di kotak sebelah.

    “Teh, telepon umum ini tidak bisa ke handphone yah?”

    “Enggak bisa Bang, kalau warnanya biru tidak bisa,” jawab salah satunya.

    “Maksudnya?”

    “Iya, kalau warna kotaknya oranye baru bisa menelepon ke hp, kalau yang biru enggak bisa.”

    Dan saya melihat tidak ada yang berwarna oranye di jejeran telepon umum Stasiun Citayam ini. Saya baru “ngeh” kalau ada perbedaan-perbedaan seperti itu. Perkiraan saya yang semula bahwa telepon umum sekarang sudah canggih sehingga bisa menelepon kemana saja ternyata salah.

    Tapi ya itu tadi. Sudah lama sekali saya tidak menggenggam gagang telepon umum, karena sejak lama telah tergantikan perannya dengan hp. Saya jadi teringat pada waktu era kejayaan telepon umum di tahun 90-an. Orang antri saat menelepon. Panjang berderet-deret. Apalagi kalau malam minggu, tambah panjang lagi antriannya. Sampai-sampai ada tulisan di atas kotak telepon itu,” Bicara Secukupnya.” Yang tak peduli, biasanya akan mendapat deheman sampai gerutuan dari orang yang dibelakangnya.

    Seiring dengan berjalannya waktu, aksi vandalisme pun menghiasi tempat-tempat di mana telepon umum berada. Mulai coretan nomor telepon “panggil aku”, iklan pijat, cacian jorok, perusakan, sampai mancing pulsa dengan uang logam yang diikat benang. Banyak pula telepon umum yang tak berfungsi.

    Bagi yang tidak mau antri dan pembicaraannya didengar orang lain serta bisa berlama-lama menelepon, Warung Telekomunikasi (Wartel) bisa menjadi solusi. Walaupun masih juga terjadi antrian jika wartel di daerah itu terbatas dan ramai banget. Pada saat itu wartel menjadi alternatif berinvestasi bagi pengusaha kecil. Maka wartel pun tumbuh berkembang bak cendawan di musim hujan.

    Antrian di telepon umum, ramainya wartel, dan kebutuhan untuk selalu berkomunikasi pada masa itu menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi di saat Telkom tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat untuk memberikan sambungan tetap. Apalagi regulasi pertelekomunikasian masih memperkenankan Telkom buat memonopoli bisnis menggiurkan itu.

    Masih diingat, bagaimana perlu waktu yang lama untuk bisa mendapatkan nomor sambungan tetap. Dan sepertinya masyarakat rela untuk antri berjam-jam demi mendapatkan nomor itu. Nomor telepon rumah sepertinya menjadi sebuah alat untuk eksistensi diri bagi masyarakat pedesaan yang agraris dan perkotaan yang baru tumbuh. Atau hanya untuk mendapatkan fasilitas kredit.

    Yang mau cepat untuk mendapatkan nomor telepon rumah, ada juga masyarakat yang beralih ke penyedia layanan telekomunikasi lainnya—perusahaan ini pun harus menjadi partner bagi Telkom—tapi sayang kualitasnya buruk. Karena sinyal telekomunikasi tidak melalui jaringan kabel melainkan melalui jaringan wireless dengan antena khusus sebagai penerima sinyal radionya.

    Zaman berubah. Regulasi berubah. Monopoli Telkom pun dicabut. Berbondong-bondong perusahaan telekomunikasi tanpa kabel melalui jaringan GSM (Global System for Mobile Communications) dan CDMA (Code Division Multiple Access) datang ke Indonesia. Produsen hp dunia pun menjadikan Indonesia sebagai salah satu pangsa pasar yang menggiurkan.

    Kemunculan pertama kalinya ditandai dengan masih mahalnya hp dan nomornya. Bagaimana SIM Card masih menjadi barang yang tak terjangkau. Di sekitar tahun 2000 nomor biasa saja dijual dengan harga 500-ribuan apalagi dengan nomor cantiknya.

Di tahun-tahun sebelumnya hp hanya menjadi tontonan yang ada di sinetron-sinetron Indonesia atau film-film hongkong. Itupun bentuknya seperti balok kayu seukuran setengah lengan orang dewasa. Cukup untuk menimpuk anjing sampai terkaing-kaing.

Yang masih hanya bisa bermimpi mendapatkan hp, pelipur laranya adalah pager. Semacam alat untuk menerima pesan tertulis (SMS). Untuk mengirim pesan ke nomor pager yang lain perlu menelepon operatornya terlebih dahulu. Tidak praktis. Terbukti kemunculan penyedia jasa layanan ini tidak bertahan lama.

Sekarang hp murahnya minta ampun. Nomornya apalagi. Noceng (Rp2000,00) juga sudah dapat. Gratis malah kalau kita beli sekalian hp-nya. Dan bagaimana dengan telepon umum, wartel, wireless phone, pager? Ada yang masih bertahan dan juga lenyap sama sekali digilas perkembangan teknologi dan ketatnya persaingan dari para operator telekomunikasi.

Pager hilang ditelan bumi. Telepon umum masih di beberapa tempat. Kebanyakan sudah menjadi rongsokan. Wireless phone mati perkembangannya. Wartel rontok satu demi satu terkecuali di pedesaan yang menara BTS (Base Transceiver Station) operator seluler-nya belum berdiri. Telepon rumah? Sudah jadi onggokan yang jarang dipakai di rumah. Telkom sekarang sudah tak acap menawarkan sambungan tetapnya, yang ada hanya tawaran kepada para pelanggan tetap untuk ikut dalam program sambungan internet dan jaringan CDMA-nya.

Memang sesuatu yang stagnan tidak akan abadi. Ia akan kalah. Itu takdirnya. Untuk memenangkannya adalah pada inovasi yang mendarah daging di setiap karya. Telkom masih tetap eksis hingga kini karena inovasi pada produk layanannya. Sahamnya tetap menjadi blue chip. Ratelindo tak mau untuk mengulangi kegagalannya di masa lalu dengan bertiwikrama menjadi Esia.

Inovasi berpijak pada kemauan dan kemampuan untuk berkembang diri. Dengan kerja keras tentunya. Ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang tak bisa ditinggalkan. Inovasi dan ilmu pengetahuan adalah kepingan yang berkelindan. Tak bisa dipisahkan.

Seharusnya demikianlah pula saya, hingga tak ketinggalan zaman untuk mengikuti perkembangan dari tidak berkembangnya telepon umum. Maka tak perlu untuk menanyakan itu kepada dua anak SMU kiranya saya mengetahui.

“Bang…nih koinnya ketinggalan,” tegur anak SMU itu dari kejauhan.

“Ambil saja…!”

***

Thanks banget buat teman-teman Banding dan Gugatan 2, Direktorat Keberatan dan Banding: AA Yoga, Arya, Rifun, Ipung, Indra Gunawan, Mas Dibjo, Unesa-ja, Kang Awe, Nona Avrida Rombe, Leyjun, Mbak Ana, Mas Bayu, Uda Zai, 3S (Mas Suroto, Sapto, Safar), Chris, TP (Teguh Pambudi), Mbak Dian Angraeni, Elvina, Bro Ton, mas Adiprasetyo, Daeng Idham Ismail, Mas Faisal, AA Widi, AA Iman, AA Heru.

 

 

CATATAN SENIN KAMIS untuk Forum Diskusi Portal DJP

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

08:05 20 Desember 2010

    
 

 

 

 

 

    
 

    

ENEMY OF THE STATE


ENEMY OF THE STATE

 

Kehidupan Robert Dean (diperankan Will Smith) hilang setelah sekelompok agen NSA (National Security Agency) di bawah pimpinan politik korup, Thomas Brian Reynolds (Jon Voight), memburunya. Keluarga dan karirnya lenyap. Asetnya dibekukan. Bahkan tuduhan membunuh pun telah dipersiapkan untuknya.

Ini gara-gara temannya sebelum mati menitipkan rekaman pembunuhan senator yang dilakukan Reynolds. Dikejar ke sana ke mari oleh banyak Agen NSA yang didukung dengan teknologi mata-mata dan pencitraan satelit canggih, Dean telah menjadi enemy of the state.

Dean tak mau menyerah, ia berusaha untuk dapat mengembalikan hidupnya. Untuk itu ia tidak sendiri. Ia dibantu oleh mantan agen rahasia yang bernama “Brill”. Mereka berdua mampu membalikkan keadaan dan menjadi pemenang perseteruan itu.

Itulah sedikit kisah Enemy of the State, film yang dibesut oleh sutradara Tony Scott dan dirilis di tahun 1998. Tetapi bukan untuk mengupas film itu artikel ini dibuat. Apa yang dimunculkan oleh Hollywood bisa dijadikan cerminan yang terjadi di dunia nyata.

Betapa tidak, pembunuhan karakter dan penghilangan kehidupan seorang target dapat dilakukan dengan mudah oleh para pemilik kekuasaan. Untuk dapat menangkap seseorang yang menjadi musuh politik atau membahayakan karirnya, mereka mampu untuk membuat cerita bohong, rekayasa, dan konspirasi rumit.

Contoh gampangnya demikian: saldo rekening banknya tiba-tiba bertambah padahal ia tidak tahu dari mana duit itu bisa mampir ke rekeningnya. Dan tiba-tiba ia mendapatkan tuduhan yang disebar melalui media bahwa ia korupsi. Atau tahu-tahu ayah dan ibunya ditangkap oleh polisi dengan berita yang muncul keesokan harinya: mereka dianggap sebagai pengedar narkoba. Banyak lagi lainnya. Tujuannya cuma satu. Orang yang dijadikan target diharap untuk menyerah dan tidak melakukan apa-apa.

Ini pula yang diterima oleh Julian Assange, pendiri Wikileaks. Situs yang pada bulan April 2010 memposting video serangan helikopter Apache Amerika Serikat (AS) pada 2007 di Afghanistan dan menewaskan fotografer dan supir Reuters. Situs yang pada Juli 2010 menerbitkan sebanyak lebih dari 77 ribu dokumen serangan AS di Afghanistan. Kini 250 ribuan lebih dokumen kawat kedutaan besar AS di berbagai negara siap untuk diunggah di situs itu—sebagiannya sudah.

Julian Assange adalah orang yang paling dicari dan diburu oleh interpol (polisi internasional) atas permintaan pengadilan Swedia. Kalau sudah berkaitan dengan interpol, maka Assange harus berurusan dengan 188 negara anggota di dalamnya. Dugaannya ia telah melakukan kejahatan seksual, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penyalahgunaan kekuasaan. Sebelumnya Assange juga telah ditolak untuk tetap tinggal di Swedia, alasannya persyaratannya tidak terpenuhi.

Akan ada otoritas yang menolak untuk mengaitkan apa yang dialami oleh Assange dengan bocornya sejumlah dokumen rahasia AS ke sejumlah pihak. Seperti otoritas Kejaksaan Swedia yang mengatakan bahwa ada laporan dari pihak yang dilecehkan ke kepolisian atau karena Assange dianggap tidak kooperatif dalam penyidikan yang dilakukan oleh otoritas AS.

Australia pun—tempat Assange lahir dan dibesarkan—melakukan hal serupa dengan memerintahkan otoritas kejaksaan untuk menyelidiki adanya kemungkinan Assange telah melakukan pelanggaran undang-undang.

Assange telah menjadi enemy of the state.

Itulah resiko peniup peluit (whistle blower). Nasib Khairiansyah Salman
dan Susno Duaji hampir-hampir mirip. Tentu dengan kelebihan dan kekurangan mereka. Khairiansyah Salman membongkar kasus korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2005 lalu. Sedangkan Susno Duaji membongkar korupsi besar yang melibatkan banyak profesi.

Setelahnya, dua-duanya mendapatkan penghargaan. Khairiansyah memperoleh Integrity Award 2005 dari Transparency International. Susno dianugerahi Top Newsmaker oleh PWI Jaya. Dan dua-duanya lalu dijadikan tersangka dalam kasus lain. Yang tampak dari ini adalah tiadanya perlindungan hukum buat para peniup peluit itu.

Akankah itu akan menakutkan bagi para peniup peluit yang ada di Direktorat Jenderal Pajak ini? Pun setelah seluruh pegawai dirangsang dengan pariwara untuk menjadi peniup peluit. Alih-alih diberikan penghargaan sebagai orang yang telah menyelamatkan bangsa ini dari penyakit akut yang dideritanya, malah sebaliknya. Masa lalu dibongkar, dijauhi teman sejawat, karir hancur, dan bahkan fitnah yang sebegitu banyaknya.

Diyakini, bahwa ada sistem di instansi ini yang akan memberikan perlidungan—hukum, kenyamanan dalam bekerja—kepada para peniup peluit ini. Masalahnya adalah sudahkah diberikan keyakinan yang 100% kepada para mereka? Jika tidak jangan harap mereka mau menjadi peniup peluit. Karena bagi mereka menjadi peniup peluit sama saja dengan menjadi enemy of the state.

Semoga tidak.

 

Dimuat di situs internal DJP: http://kitsda

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

katak-katak malam itu sekarang telah bernyanyi riang

11.20 06 Desember 2010

WAHAI PEMERINTAH, JANGAN KORBANKAN KAMI


PEMERINTAH… JANGAN KORBANKAN KAMI

Menjelang lebaran haji tahun 2010 ini terasa sekali
oleh saya—sebagai ketua takmir—berat dalam memutuskan sesuatu.
Masalah klasik sebenarnya. Kapan puasa sunnah arafahnya dan kapan shalat Idul Adhanya. Tahun 2007 lalu yang pelaksanaannya berbeda kayaknya tidak ada masalah dan kami enteng-enteng saja melewatinya. Untuk kali ini sepertinya tidak.

Ada Jama’ah yang berpendapat hari Senin puasanya karena sudah menjadi keputusan pemerintah Arab Saudi wukuf di arafah pada hari itu. Jadi shalat Idul Adhanya hari Selasa. Jama’ah yang lain berpendapat bahwa kita kudu ikuti apa kata pemerintah. Pemerintah sudah menetapkan tanggal 10 Dzulhijjahnya pada hari Rabu sehingga Shalat Idul Adhanya jatuh pada hari itu juga dan Puasa Arafahnya pada hari sebelumnya yaitu pada hari Selasa.

Ada lagi jama’ah lain yang berpendapat bahwa kita ikuti penetapan hari raya Idul Adhanya pada hari Rabu namun puasanya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi karena puasa Arafah berpatokan pada pelaksanaan wukuf di Arafah.

Saya harus ambil keputusan karena saya pikir dari kesemua pendapat itu ada banyak ulama yang mendukungnya. Satu yang tetap menjadi pertimbangan saya adalah sesungguhnya menjaga persatuan umat Islam wajib hukumnya. Sedangkan pelaksanaan puasa Arafah dan shalat Idul Adha adalah sunnah. Tentunya mendahulukan yang wajib daripada yang sunnah itu adalah lebih utama.

Karena kebanyakan dari kita terkadang sulit dalam menentukan prioritas. Terbukti kalau shalat Idul Adha ataupun Idul Fitri banyak yang datang berbondong-bondong datang ke masjid padahal sehari-harinya tidak pernah datang sama sekali. Sepertinya shalat ‘Id adalah sebuah kewajiban sehingga kalau tidak melaksanakannya terasa kurang afdol atau gimana gitu

Begitupula dalam penentuan waktunya, perbedaannya akan menjadi pertengkaran yang berujung saling berdebat, membenci, dan timbul benih-benih perpecahan. Padahal puasa Arafah dan shalat ‘Id Qurban hukumnya sunnah belaka (maksimal adalah sunnah mu’akadah, sunnah yang amat dianjurkan). Tak perlu mengorbankan sesuatu yang wajib dengan mengunggulkan yang sunnah. Seperti contoh yang lainnya adalah lebih mementingkan shalat tahajud tapi shalat shubuhnya kesiangan ditambah tidak berjama’ah di masjid.

Dengan pertimbangan kaidah keputusan pemerintah menghapuskan perbedaan maka saya ambil keputusan melaksanakan pendapat yang ketiga. Yakni untuk melaksanakan shalat Idul Adha di Masjid Al-Ikhwan pada hari Rabu dan dipersilakan untuk melaksanakan puasa Arafah pada hari Senin.

Dengan ambil penetapan tersebut saya harap tidak ada masalah bagi yang tetap ngotot berlebaran pada hari Selasa dan tidak mau melaksanakan shalat Idul Adha pada hari Rabu, namun dirinya tetap punya peluang melaksanakan puasa Arafah pada hari Senin. Lebih mementingkan puasa daripada shalatnya dengan alasan balasan yang diberikan Allah sungguh luar biasa. Dihapuskannya dosa kita setahun kebelakang dan satu tahun ke depan. It’s ok.

Pun saya harapkan penetapan ini tidak masalah bagi jama’ah yang berpendapat shalat Idul Adha pada hari Rabu, karena kebanyakan orang juga jarang untuk mengamalkan puasa Arafah terkecuali mereka yang paham dengan agama ini dan sunnah-sunnahnya.

Pertimbangan yang lebih penting lagi bagi saya adalah seperti sedikit diuraikan di atas yakni kaidah disunnahkannya meninggalkan sesuatu yang sunnah demi menjaga persatuan. Di mana apabila terjadi pertentangan antara wajib dan sunnah, maka yang dilakukan adalah yang wajib, walaupun harus meninggalkan yang sunnah. Karena maslahat persatuan lebih besar daripada maslahat melakukan sunnah.

Dr. Abdul Karim Zaidan menukil dari An-Nadawi yang mengilustrasikan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad saw dalam penerapan kaidah ini. Beliau tidak mengubah bangunan Ka’bah, karena dengan membiarkannya seperti yang sudah ada dapat menjaga persatuan.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud tidak sependapat dengan Utsman bin Affan yang melaksanakan shalat dalam perjalanan secara sempurna (itmam). Tetapi ditengah perjalanan Ibnu Mas’ud ra melaksanakan shalat itmam dan menjadi makmum di belakang Utsman ra. Ketika ditanya tentang perbuatannya itu, Ibnu Mas’ud ra berkata, “perselisihan itu buruk.”

Memaksakan shalat Idul Adha pada hari Selasa di tengah pemahaman masyarakat yang mayoritas Nahdliyin dikhawatirkan timbulnya fitnah bagi umat. Yaitu fitnah terjadinya perpecahan. Jika memang dipastikan tidak ada fitnah, maka dipersilakan saja untuk untuk melaksanakan shalat Idul Adha pada hari Selasa. Anda yakin maka silakan pakai kaidah ini: keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan (alyaqiinu laa yazuulu bisysyakki). Dan pada kondisi yang saya alami di sini saya masih ragu.

Jalan dakwah masih panjang. Tujuan jangka pendek tak bisa mengorbankan tujuan jangka panjang. Perlu menghitung kekuatan dan risiko yang timbul. Selagi tetap memaksakan pendapat kita yang menurut kita paling rajih tetapi dengan membuat masyarakat kita lari sedangkan di sana masih terbuka peluang adanya pilihan lain yang syar’i, maka tujuan dakwah yang hendak dicapai akan menjadi semakin panjang lagi. Lalu mengapa kita memaksakan diri?

“Insya Allah tahun depan kita pikirkan kembali,” kata saya kepada para jama’ah yang menginginkan shalat Idul Adhanya pada hari Selasa.

By the way, inilah resiko menjadi rakyat kebanyakan. “Dan resiko memiliki pemimpin yang tidak mengerti agama,” kata seorang ustadz, ahad pagi ini. Ditambah dengan ulama yang takut pada penguasa sehingga tidak menyampaikan sesuatu yang benar kepada pemimpinnya. Karena ditengarai sesungguhnya pemimpin tertinggi di republik ini orangnya terbuka dan mau mendengarkan. Tapi sayangnya kurang tegas.

Saya berharap bahwa kengototan pemerintah untuk tetap berlebaran pada hari Rabu bukan didasari karena tidak mau mengubah hari libur, nasionalisme yang sempit, pemikiran sekuler yang hinggap di tubuh kementerian yang mengurusi agama di republik ini, yang ujungnya tidak mau sehaluan dengan orang-orang yang menurut mereka berpemahaman transnasional, atau tak mau mengubah protokoler yang sudah disiapkan para pembantu pemimpin itu. Namun semata-mata karena pertimbangan fikih yang matang.

Singapura yang sekuler dan mayoritas nonIslam saja mau menggeser hari liburnya di hari Selasa lalu mengapa kita yang mayoritas tidak bisa?

Saya berharap pula di tahun-tahun mendatang tidak terjadi perbedaan lagi. Karena yang repot kita-kita di bawah ini. Setiap tahun berdebat lagi. Setiap tahun memberikan penjelasan lagi. Bila tidak ditangani dengan baik khawatirnya umat menjadi bercerai-berai. Pemerintah tak perlu mengorbankan kita lagi untuk hal ini.

Katanya satu atau dua tahun ke depan pemerintah mengusahakan untuk dapat menyamakan cara penghitungan penentuan tanggal hari raya antarormas Islam. Syukurlah kalau begitu.

“Oleh karenanya pilihlah pemimpin yang mengerti agama dan isilah parlemen dengan orang-orang yang tak sekadar KTP-nya Islam,” tambah ustadz kami menutup pengajian shubuh ini. Betul juga sih kata ustadz itu, pemimpin yang mengerti agama akan dengan mudah fleksibel dan juga tegas dalam berprinsip. Orang-orang yang mengerti agama dalam parlemen pun akan bisa saling nasehat menasehati dalam kebaikan kepada pemerintah. Pastinya produk undang-undang yang dihasilkan selalu membela kepentingan umat. Insya Allah.

Wallohua’lam bishshowab. Hanya Allah yang Mahacerdas lagi Maha Mengetahui.

 

Maraji’:

100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, Dr. Abdul karim Zindan, Penerjemah: Muhyiddin Mas Rida, Lc., Penerbit Pustaka al-Kautsar, Cet. I, Februari 2008

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

07.48 12 November 2010

MENTARI BERSINAR DI KEMENTERIAN PERDAGANGAN


MENTARI BERSINAR DI KEMENTERIAN PERDAGANGAN

Ribut-ribut test Calon Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Perdagangan yang memuat soal lagu Pak Presiden bagi saya itu adalah hal kecil yang dibesar-besarkan. Namanya juga pengetahuan umum ya silakan saja memuat soal tentang apapun. Kata “umum”nya sudah menjadi tanda ketidakkhususan.

Bagi yang sering melihat-lihat dan mengerjakan soal pengetahuan umum akan menjumpai banyak soal yang lebih remeh-temeh dari sekadar itu. Seringkali soal pengetahuan umum ini dibuat berdasarkan kondisi atau berita terkini yang beredar di media-media. Kebetulan pula bulan-bulan ini Pak Presiden sedang mempromosikan lagu karangannya sendiri yang berjudul Mentari Bersinar.

Terus terang saja, kalau disodorkan soal itu saya belum tentu bisa menjawabnya. Kalaupun betul, itu keberuntungan saja karena hasil menghitung kancing atau suara tokek yang tiba-tiba terdengar pada saat ujian. Karena sampai hebohnya berita ini saya tidak tahu apa judul dari lagu Pak Presiden.

Liriknya saja pun saya tidak tahu. Bahkan saya dengan asal menulis lirik ini disaat ditanya teman saya lirik lagu Mentari Bersinar itu seperti apa:

Oh, my love my darling I’ve hungered for your touch a long lonely time and time goes by so slowly and time can do so much are you still

Atau seperti ini:

Mentarimentari. Alangkah Indahmu merah kuning hijau dilangit yang biru

Barulah ketika media memberitakannya dengan menayangkan pilihan yang harus dipilih dengan jawaban yang betul, saya ngeh, oh…lagunya Pak Presiden itu toh.

Tetapi namanya juga hidup. Namanya juga selebritas perpolitikan di tanah air. Namanya tokoh publik. Segalanya disorot. Besar dan kecil tindakannya diteropong. Ditunggu celah kecilnya untuk ditembak. Ini salah satunya.

Kalaulah dikatakan pembuat soal di Kementerian Perdagangan dianggap punya mental penjilat sungguh tidak tepat. Apa coba manfaat yang ia peroleh? Kalau mau menjilat tentu sekelas eselon satu atau menterinya yang dekat dengan Presiden.

Mau menanamkan pengaruh di alam bawah sadar peserta ujian sebagai modal kampanye? Ah..biasa saja lagi. Yang ikutan test CPNS itu orang-orang intelektual (minimal sarjana). Tidak begitu mudahnya di-brainwash.

Terus terang, cara memblow-up masalah ini bagi saya kurang elegan. Asal seruduk. Saya sepakat bahwa Pak Presiden adalah sosok bukan malaikat yang perlu dinasehati ketika salah dan perlu dikritik ketika mengeluarkan kebijakan yang tidak pro rakyat, namun ya mbok tidak seperti itu. Media terlalu membesar-besarkannya.

Yang perlu diperhatikan dengan seksama seharusnya adalah proses penerimaan CPNS-nya. Bersih, jujur atau tidak? Pakai duit atau tidak? Pakai joki atau tidak? Ada kolusi dan nepotisme atau tidak? Itu! Agar nanti tidak ada lagi birokrasi yang mental pejabatnya bobrok. Segalanya dihitung dengan 3 hal yaitu duit, duit, dan duit. Tidak mau bekerja kalau tidak ada duitnya. Segala sesuatu yang seharusnya bisa dipermudah jadi dipersulit. Wadaw…kalau semuanya seperti itu? Mau dibawa kemana bangsa yang besar ini?

Kalau berita tentang baju presiden yang dananya milyaran rupiah setahun? Nah itu baru bagus. Ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menjadi pemantik, kemudian media memblow-up (walaupun masih dengan cara langsung memvonis tanpa terlebih dahulu mengklarifikasinya), lalu Pak Presiden memberikan penjelasan. Clear…selesai. It’s be done.

Mari…kita letakkan segalanya dengan proporsi yang benar. Negara ini jangan diributkan dengan hal-hal kecil seperti ini.

Mentari…mentari…alangkah indahnya..

Eit salah yah…ada yang bisa beritahu saya lagunya seperti apa?

 

***

 

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

07.18 16 Oktober 2010

SAAT SAYA JADI KETUA PSSI


SAAT SAYA JADI KETUA PSSI

Tentunya bagi Anda yang tak pernah melepaskan pandangannya dari Piala Dunia 2010 tahu Jorge Larrionda. Ia adalah wasit asal Uruguay yang tak mengesahkan tendangan Frank Lampard menjadi gol walaupun bola sudah melewati garis berdasarkan tayangan ulang yang dipertontonkan kepada penikmat sepakbola di seluruh dunia.

Satu lagi adalah Roberto Rosetti, wasit Italia yang mengesahkan gol Carlos Tevez ke gawang Meksiko walaupun ia dalam posisi offside. Terlepas dari keputusan kontroversi yang dilakukan dua wasit itu, para pemain dan official tim—walaupun dengan kecewa berat dan gerutuan tentunya—tidak ada yang mengintimidasi wasit apalagi sampai mendorong dan memukulnya.

Kecepatan mengambil keputusan dan ketegasan memang diperlukan oleh wasit dalam memimpin pertandingan. Dan upaya wasit—terlepas dari kesalahan yang diperbuatnya—itu dihargai oleh semuanya. Itu semua agar pertandingan bisa berjalan lancar, pemain bisa terlindungi dari kekerasan, peermainan terhindar dari upaya-upaya licik yang hanya akan menciderai fair play yang selama ini dikampanyekan FIFA.

Makanya kita senantiasa dapat menikmati pertandingan bola di Piala Dunia 2010 ini dengan nyaman. Wasit tak membiarkan tekel-tekel berat dan ringan ataupun handsball bahkan memaki tanpa ada peluit yang menjerit. Kartu kuning dan kartu merah bisa dikeluarkan kepada para pemain yang tak mengindahkannya. Dan sampai sejauh ini wasit aman-aman saja. Memangnya pemain berani melawan wasit terkecuali kalau karir persepakbolaannya akan tamat.

Nah, kalau dua wasit itu memimpin pertandingan di liga Indonesia, jangan harap kepalanya utuh. Minimal benjut atau mukanya berdarah kena pukul pemain dan pelatih ataupun kena lemparan botol dari suporter.

Lah iya…pertandingan liga di negeri ini tak ada bedanya dengan pertandingan tarkam (antarkampung). Terlihat betul kasarnya pemain menekel lawan yang kalau itu terjadi di liga –liga Eropa ataupun piala dunia sudah pasti pemain itu diberi kartu merah. Masalahnya ketika wasit mau bertindak tegas, mau mengkartukuningkan atau mengkartumerahkan, para pemain berani memprotes, mendorong wasit, memukulinya, dan meludahinya.

Wasit tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kemudian hanya bisa mencari perlindungan kepada aparat keamanan yang belum tentu bisa melindunginya dari lemparan suporter. Eh sudah demikian, komisi disiplin PSSI hanya memberikan hukuman ringan kepada para pemain yang berani melawan wasit itu. Menyedihkan memang. Terlihat enggak ada efek jeranya buat pelaku.

Kita semua ingin bahwa negara besar ini punya tim sepakbola yang bagus. Disegani negara lain. Bisa berkompetisi dan berprestasi di Piala Dunia. Punya liga reguler yang enak untuk ditonton. Tentunya banyak faktor untuk mewujudkan itu. Wasit adalah salah satunya.

Nah, kalau saya jadi Ketua PSSI menggantikan Nurdin Halid, saya akan mengganti orang-orang lama yang sudah puluhan tahun di sana dengan orang-orang muda yang punya kepedulian lebih dengan persepakbolaan Indonesia. Lalu saya pilih orang-orang yang berada di komisi disiplin PSSI dengan orang-orang yang punya integritas dan keberanian.

Saya akan menjadikan wasit sebagai profesi yang dihargai, profesional, dan berwibawa. Tentunya saya akan menaikkan gaji dan tunjangan wasit agar tidak mudah disuap. Saya memberikan jaminan kepada wasit untuk bertindak tegas di lapangan. Wasit diberikan rasa aman dari ketakutan.

Tentunya ketika ada pemain yang berani menyentuh, mendorong, dan memukul wasit, wasit harus berani memberikan kartu kuning atau kartu merahnya langsung. Begitu pula kalau ada perkelahian antarpemain. Komisi Disiplin PSSI juga punya peran di situ untuk menghukum pemain, pelatih, dan suporter. Tentunya hukumannya harus lebih berat daripada yang diberikan sekarang.

Itu saja dulu. Tentunya ini pemikiran saya sebagai orang awam yang gemas dengan persepakbolaan Indonesia. Faktor selain wasit tidak akan saya bahas di sini. Saya yakin sih, sebenarnya banyak orang yang berpikiran seperti saya ini. Ide-ide itu mungkin sudah kuno bagi para pengurus PSSI sekarang. Tapi entah mengapa kalau itu adalah ide bagus kok tidak pernah dilakukan PSSI? Apa kendalanya? Jawabannya butuh keterbukaan dari pada pihak terutama PSSI.

Yang pasti saya masih punya harapan kalau suatu saat saya bisa menonton liga Indonesia dengan enak seperti saat menonton liga Spanyol dan Inggris bahkan berkualitas seperti Piala Dunia. Pemain respek pada sesama, hormat pada wasit, wasit adil dan profesional, pelatih punya jiwa besar, suporter yang tak seperti hooligans dan bonek, manajemen terbuka dari PSSI, serta pemimpin PSSI yang tahu diri. Kapan?

Entah…

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Saat Felipo Melo di Kartu Merah

11.26 02 Juli 2010

FPI, ULIL, DAN MEREKA


FPI, ULIL, DAN MEREKA

Front Pembela Islam (FPI) teriak-teriak demo menuntut penutupan tempat maksiat tetapi belum tentu tempat maksiat itu segera ditutup. Tapi orang sekelas gubernur DKI Jakarta seperti Sutiyoso dengan hanya bermodal torehan tinta hitam di atas surat keputusannya, tempat maksiat sebesar apapun, sementereng apapun, dengan bekingan siapapun bisa ditutup dalam waktu semalam.

    Tanpa meremehkan apa yang telah dilakukan FPI dalam pemberantasan kemaksiatan di tanah air, fakta bahwa kekuasaan merupakan sarana paling efektif untuk merubah sesuatu adalah hal yang sulit terbantahkan. Maka banyak orang sangat ingin berkuasa, entah untuk merubah sesuatu ke arah yang lebih baik atau sebaliknya.

    Ini yang dilakukan oleh salah satu pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Absar Abdilla, setelah kalah dalam ajang perebutan kepemimpinan di Nahdhatul Ulama (NU) beberapa waktu yang lalu. Ulil sepertinya nyaman diajak bergabung ke partai penguasa, Partai Demokrat pimpinan Anas Urbaningrum. Dan yang pasti Ulil tahu betul kalau dekat-dekat dengan partai penguasa ia akan memperoleh keuntungan. Minimal untuk menyebarkan ide-ide pluralismenya secara lebih luas.

     Terbukti, pada saat ada momen pengusiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ribka dan Rieke, dalam sebuah pertemuan di Banyuwangi yang dilakukan oleh ormas Islam salah satunya FPI, maka Ulil langsung berteriak kencang dan melakukan penggalangan opini untuk membubarkan musuh ideologi lamanya itu. Menurut dia, FPI adalah ormas yang sering melakukan kekerasan secara sistematis dalam setiap kegiatannya. Sehingga pewacanaan pembubaran FPI harus terus menerus digaungkan.

    Kini Ulil sudah punya tempat strategis agar suaranya bisa didengar lebih kencang lagi. Dulu mungkin hanya kalangan tertentu saja—baik kawan atau lawan—yang tahu begitu rupa tentang Ulil dan pemikirannya. Dengan bergabungnya dia dengan lingkaran kekuasaan dia dapat bebas dan mudah untuk semakin menggalang kekuatan melalui jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kiri dan liberalnya. Yang berarti pula Ulil semakin dekat dengan media yang akan sering menjadikannya narasumber. Ini semakin tidak mudah buat para pegiat Islam yang sering bertarung pemikiran dengannya.

    Maka bagi para muslim yang biasa bergerak dalam dunia pergerakan Islam, selayaknya untuk merapatkan barisan, konsisten dalam mewujudkan visi dan misinya, tak perlu berselisih dan saling melontarkan kecaman serta menuduh pergerakan Islam lainnya telah keluar dari garis perjuangan.

Tak perlu alergi dengan kekuasaan. Karena bila kekuasaan berada di tangan orang-orang yang sholeh tentunya kekuasaan itu diarahkan kepada perbaikan. Maka memperbanyak orang-orang sholeh dalam dan dekat dengan pusat kekuasaan menjadi sebuah kemestian.

Mereka yang telah berada dalam sistem kekuasaan itu diharapkan semakin bekerja lebih keras lagi dalam membumikan nilai-nilai Islam pada setiap kebijakan yang akan diambil, menunjukkan kebersihan dan kepeduliannya pada mustad’afin (orang-orang lemah). Mereka yang berada di luar sistem tentunya harus lebih dapat memberikan pencerahan kepada umat, membangun jaringan, mengalirkan semangat persatuan para qiyadah (pemimpin) setiap pergerakan kepada akar rumput dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya.

Maka jika itu benar terwujud, tak perlu khawatir FPI akan dibubarkan dan terserah Ulil mau ngomong apa.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di tengah Paraguay kesulitan menjebol gawang Jepang

11.07 29 Juni 2010