KISAHKU DENGAN PARA MANTAN


KISAHKU DENGAN PARA MANTAN


*Suasana Jelang Persidangan, yang lagi mikir: Bro Toni Siswanto

Ia sekarang telah menjadi kuasa hukum Pemohon Banding. Posisinya berada di sebelah kanan depan Hakim Tunggal. Sedangkan di samping Pemohon Banding, di meja lain, Terbanding diwakili oleh satu tim yang terdiri dari dua orang Penelaah Keberatan Direktorat Keberatan dan Banding yang pengalaman dan umurnya jauh di bawah kuasa hukum.

    Walaupun demikian tidak ada hambatan psikologis yang menghalangi Terbanding untuk bersikap profesional melawan mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini. Bahkan naluri paling dasar petugas banding, naluri untuk menang, terasa mendominasi. Ini persidangan acara cepat, persidangan pemeriksaan atas banding yang ditengarai tidak memenuhi ketentuan formal.

Untuk kali itu, permasalahannya adalah Pemohon Banding telat beberapa hari dalam menyampaikan permohonan bandingnya ke Pengadilan Pajak. Perlu pembuktian kalau Kantor Wilayah DJP tidak terlambat dalam mengirimkan surat keputusan keberatan. Jelas sudah pemeriksaan dicukupkan segera setelah beberapa kali persidangan. Tiga pekan kemudian, pembacaan putusan dilaksanakan. Hakim Tunggal memenangkan Terbanding.

Para Mantan

Tidak aneh jika Terbanding berhadapan dengan orang-orang yang paling dikenalnya sewaktu di kampus atau saat masih menjadi bagian dari DJP. Ada teman kampusnya, adik kelasnya, mantan dosennya, mantan teman satu direktorat, mantan kepala seksi, mantan pejabat fungsional, mantan kepala kantor pelayanan pajak, mantan kepala kantor wilayah, mantan pejabat eselon II DJP, mantan Sekretaris DJP, bahkan mantan Direktur Jenderal Pajak.

Tidak ada yang salah saat para mantan tersebut memilih menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Undang-undang memperbolehkan siapapun orangnya untuk menggeluti profesi itu asal memenuhi syarat yang telah ditentukan. Dan setelahnya memenuhi kewajiban sebagai kuasa hukum yakni mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan Undang-Undang Pengadilan Pajak.

Bagi orang awam, ini seakan membuka peluang untuk terciptanya kongkalikong baru karena ada pengaruh yang dijual dari para kuasa hukum mantan pejabat itu kepada para mantan anak buahnya yang menjadi Terbanding atau bahkan yang sudah menjadi hakim. Tetapi pendapat ini terlalu prematur karena seakan meragukan integritas dan profesionalisme para petugas banding dan hakim. Juga ada benarnya agar kesempatan sekecil apapun untuk terjadinya persekongkolan tidak akan terjadi lagi.

Lihat Daftar isi buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Sinopsis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Kalau dengan semangat ini, maka institusi DJP tertinggal satu langkah dari Pengadilan Pajak dalam menciptakan sistemnya. Pengadilan Pajak telah mengatur bagaimana seorang mantan hakim di Pengadilan Pajak tidak diperbolehkan menjadi kuasa hukum selama dua tahun sejak ia berhenti sebagai hakim di Pengadilan Pajak. Apakah perlu seorang mantan pegawai atau pejabat DJP juga diberlakukan yang sama agar tidak ada pengaruh yang dijual. Entah kepada institusi lamanya atau para hakim.

Bicara soal trading influence, maka kantor akuntan publik yang termasuk dalam the big four paling agresif merekrut para mantan pejabat tersebut. Mereka mengincar mantan pejabat DJP yang sekaligus mantan hakim pula apalagi kalau sudah pernah menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Perkawanan masa lalu, senioritas, serta pengalaman tahunan menjadi pejabat dan hakim adalah modal utama dan bernilai tinggi, minimal ‘tidak diabaikan’ saat berkunjung ke kantor pelayanan pajak atau kantor wilayah, juga saat berbicara di hadapan Majelis Hakim.

Salah satu keuntungan merekrut para mantan ini adalah dalam persidangan mereka tahu apa yang wajib dipermasalahkan dari Terbanding yang luput dari pandangan kuasa hukum biasa. Para mantan itu juga mampu menembus birokrasi karena mereka tahu dapur DJP. Tidak segan-segan dan sungkan-sungkan memangkas alur untuk mendapatkan pelayanan excellent. Mantan kepala kantor wilayah yang baru saja pensiun tentu tidak ‘selevel’ jika dilayani hanya sekelas pelaksana, account representative, atau para penelaah keberatan. Maka minimal eselon III yang akan turun tangan.

Pertanyaannya adalah bisakah pejabat aktif DJP juga bersikap adil memperlakukan mereka seperti para pejabat aktif DJP itu memperlakukan kuasa hukum atau konsultan pajak atau Wajib Pajak lain yang bukan mantan pejabat DJP? Akankah terjadi sambutan ramah, pertemuan, atau pelayanan langsung yang diberikan oleh pejabat aktif DJP? Di sinilah profesionalisme diuji.

Kisah Lain

Jelang persidangan, seorang mantan hakim Pengadilan Pajak sekaligus mantan pejabat DJP menghampiri saya. Kami dari Terbanding pernah satu kali berhadapan dengannya di sengketa banding sebelumnya. Kali ini ia menjadi kuasa hukum untuk sebuah perusahaan elektronik milik pengusaha terkenal di Indonesia ini.

Sambil berbisik ia berkata: “Soal transfer pricing itu sebenarnya bangsa kita yang dirampok melulu.” Ia menghela nafas. Dari gesture-nya terlihat seperti tidak rela. “Dik, kalau ada tingkah laku saya yang kurang berkenan, tegur saya yah. Jangan sungkan,” lanjutnya. Kalimat terakhir ini mengingatkan saya saat bertarik urat leher dengan timnya sewaktu melakukan uji bukti. “Jiwa saya tetap DJP,” pungkasnya.

Sembari bangkit dari kursi karena sudah dipanggil masuk oleh Panitera Pengganti, saya pamit, bersalaman, dan membalas acungan jempolnya dengan dengan acungan jempol yang sama. Untuk penegasannya tersebut hanya Allah dan dirinya yang tahu. Waktu yang akan membuktikannya.

Baca satu bab gratis buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

Baca Kata Pengantar buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang.

***

Riza Almanfaluthi

Pegawai Direktorat Keberatan dan Banding

04 Mei 2013

Ini adalah opini yang dimuat di Situs Intranet DJP: Kepegawaian pada tanggal 13 Mei 2013

Pemesanan buku Matanya Bukan Mata Medusa, 41 Life Hacks Menyintas di Negeri Orang: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi

PARADOKS KEBERHASILAN DJP


Paradoks Keberhasilan DJP


Sudah banyak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk berbenah, berubah, dan menjadi institusi baru, institusi modern yang dipercaya masyarakat. Antara lain dengan meninggalkan budaya korup dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak. Tetapi apa lacur, sepertinya semua yang telah diusahakan DJP dengan kerja keras itu sia-sia. DJP tetap menjadi bulan-bulanan dalam stigmatisasi.

Itu kerap muncul saat oknum pegawai DJP ketahuan telah berkolaborasi dengan Wajib Pajak mengecilkan jumlah pajak yang harus dibayar atau pada saat tertangkap tangan menerima uang suap. Opini yang terbangun seakan-akan meruntuhkan bangunan kokoh kepercayaan dalam sekejap. Yang mengemuka, itu semua bukan sebagai sebuah niat baik DJP atau hasil dari bersih-bersih diri, tetapi adanya cap bahwa perangai buruk itu akut untuk bisa disembuhkan.

Semula persepsi masyarakat begitu pekatnya tentang DJP jika terlintas dalam pikiran. Padahal ada banyak titik kulminasi keberhasilan yang telah dicapai. Sebagaimana budaya sogok menyogok yang telah mendarah daging tetapi mampu untuk ditinggalkan walau tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ini patut diapresiasi semua pihak.

Perubahan struktur organisasi dan implementasi teknologi informasi yang berusaha menyentuh kepada kebutuhan dasar Wajib Pajak sebagai customer DJP juga menjadi keberhasilan lainnya yang diraih. Semata-mata agar tak ada lagi kredo: membayar pajak saja susah.

Cobalah tengok pada pelayanan birokrasi lainnya sebagai patok duga (benchmark). Maka selayaknya apa yang telah ditunjukkan DJP menjadi luar biasa bedanya. Semua menjadi mudah buat Wajib Pajak, cukup datang kepada Account Representative untuk tempat bertanya segala. Tidak perlu datang ke banyak meja buat meminta solusi.

Pun, bila ingatan publik disegarkan pada sebuah capaian kuantifikasi penerimaan pajak yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, maka kinerja ini seharusnya tak ada yang dinafikan. Tapi fakta berkata lain.

Perilaku Dasar

Inilah yang disebut sebagai Paradoks Keberhasilan. David Mosby dan Michael Weissman dalam bukunya The Paradox of Excellence (2005), menggagaskan bahwa semakin baik Anda melakukan pekerjaan, semakin tidak terlihat performa Anda—pada segala hal kecuali pada sesuatu yang buruk. Performa yang luar biasa justru akan membunuh Anda.

DJP telah memberikan performa terbaiknya dari tahun ke tahun. Masyarakat tahu ada yang berubah dan diraih DJP. Tetapi seiring berjalannya waktu, masyarakat pun mulai mengharapkan tingkat performa yang tiada terbatas. Kesuksesan yang dicapai sebelumnya menjadi tak terlihat dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Apalagi ketika sesuatu yang buruk terjadi, semua pencapaian itu ditaksir nihil.

Getaran dari pusat gempa Paradoks Keberhasilan ini terdeteksi menggejala dalam bentuk publik hanya melihat lebih pada kekurangan daripada keunggulan atau hal-hal yang utama. Publik mulai sensitif pada semua apa yang dimunculkan DJP, antara lain dalam kebijakan, layanan, dan peningkatan remunerasi.

Satu penyebab utamanya menurut Mosby dan Weissman jika gagasannya diinstalasikan di DJP adalah karena DJP lalai memperkuat nilai yang membedakan, sehingga membuat publik mengevaluasi performa DJP dalam situasi yang memuncak.

Ini terperilakudasarkan pada kebiasaan DJP yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan prospektus daripada dengan publik. Prospektus itu bisa saja dalam bentuk laporan keuangan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atau laporan tahunan kinerja DJP atau grafik diagonal yang menaik dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara. Seringkali itu membius.

Atau DJP menganggap bahwa publik secara otomatis akan memerhatikan peningkatan peforma dan menilainya. Padahal tidak. Anggapan ini pada dasarnya memaksa publik untuk membuat alat ukur sendiri dalam menilai kembali performa DJP, membiarkan mereka menggunakan kriteria penilaian mereka sendiri, dan bisa jadi kriteria itu malah tidak sesuai dengan keinginan DJP. Bila hal ini dibiarkan, kepercayaan dan loyalitas publik akan sirna. Oleh karenanya DJP-lah yang seharusnya memberi mereka konteks.

DJP seharusnya memberikan pemahaman kepada publik bahwa apa yang terjadi sekarang ini—badai penangkapan pegawainya yang terlibat suap—adalah sesuatu yang anomali dan bukan kejadian biasa.

Penguatan Nilai

DJP kiranya harus mempunyai nilai yang unik dan membedakan dengan birokrasi lainnya. Untuk mengatasi Paradoks Keberhasilan, nilai-nilai itu terus-menerus harus dikuatkan.

Sebagai bagian dari Kementerian Keuangan, DJP sudah mempunyai nilai-nilai itu:
integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, kesempurnaan. Tapi sudahkah nilai itu unik dan berbeda? Sudahkah tertanam lekat dalam benak publik?

Sebagaimana orang berpikir tentang mesin pencari, maka orang akan langsung terpikirkan tentang Google, karena ia mempunyai nilai yang unik dan membedakan daripada yang lain yaitu kecepatan dalam pencarian.

Jika kemalaman, tidak tahu jalan, dan butuh taksi maka orang akan memilih taksi berwarna biru ini: Blue Bird. Nilai yang tertanam dalam benak masyarakat tentang perusahaan angkutan itu adalah kepercayaan. Tak ada suatu keraguan pada argo, keamanan, dan kejujuran supirnya.

Siapa yang tak kenal dengan Harvard Business School, sekolah bisnis paling berpengaruh dan sukses di dunia. Nilai yang teradopsi dalam pikiran tentang sekolah ini adalah jaminan mutu. Maka sering kali terdengar para alumnusnya berkata, “Saya bukan lulusan Amerika, tetapi lulusan Harvard.”

Lalu apa yang melekat di benak masyarakat tentang DJP? Inilah yang perlu dikuatkan. Sehingga ketika publik bertemu dengan seorang petugas pajak ia akan langsung teringat pada entah keteguhan integritasnya, semangat profesionalismenya, kualitas pelayanannya, dan lainnya. Bukan lagi teringat pada sosok pegawai negeri sipil muda golongan IIIa tetapi punya rekening puluhan milyar rupiah.

Komunikasikan Nilai

    Langkah selanjutnya ketika DJP sudah fokus pada nilai yang dikuatkan adalah secara maksimal DJP mampu mengomunikasikan nilai-nilai itu. Yang perlu diingat adalah penginformasian ini bukanlah dalam sebuah bentuk promosi diri sendiri.

Karena, mengutip Mosby dan Weissman, Paradoks Keberhasilan bukanlah mengenai kebanggaan diri sendiri; tapi mengenai komunikasi yang jujur dari performa nyata dan penerimaan nilai yang pantas untuk performa itu. Promosi diri sendiri tidak akan menyelesaikan Paradoks Keberhasilan; justru akan semakin membesarkan.

Mengomunikasikan nilai ini adalah dalam rangka membuat DJP terlihat. Sebagaimana Google mampu menginformasikan kecepatan pencariannya pada penggunanya seketika proses pencarian selesai. Ketika kata pajak dicari, Google memberikan data: Sekitar 52.900.000 hasil (0,12 detik).

Kasir toko retail ternama di negeri ini ketika memulai dan mengakhiri menghitung barang belanjaan ia akan memencet tombol jam digital untuk mengetahui seberapa cepat ia melayani satu pelanggan dalam waktu yang telah ditetapkan manajemen serta diharapkan oleh customer. Hasilnya selalu diluar ekspektasi.

Potensi penyebaran informasi performa DJP ini bisa pada setiap lembar penerimaan surat yang diberikan kepada Wajib Pajak, atau lembar produk hukum seperti surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak, surat keputusan keberatan atau lainnya. Atau dengan senyuman dan keramahan tulus pada setiap ujung tombak pelayanan. Inilah yang disebut DJP memberi konteks.

    Akhirnya, saat semua itu terlihat, publik tidak mudah hanyut pada arus utama pemberitaan dan stigmatisasi. Walau disadari itulah harga yang harus dibayar untuk setiap perubahan dan keberhasilan.

***

 

Riza Almanfaluthi

Pegawai di Direktorat Keberatan dan Banding, DJP

Naskah Lomba Dimuat di e-magazine DJP edisi April 2013

THINK BEFORE RECORD, TOLITOLI


THINK BEFORE RECORD, TOLITOLI

 

Islamedia –Lima orang siswi pelaku penistaan agama telah dikeluarkan dari SMA Negeri 2 Tolitoli dan tidak diperkenankan untuk mengikuti ujian nasional untuk tahun pelajaran 2012-2013. Ini merupakan hukuman berat buat para pelaku walaupun mereka masih diperbolehkan untuk mengikuti ujian paket C tahap kedua bulan Juni 2013 mendatang.

Penistaan agama yang dilakukan mereka adalah dengan melakukan praktik gerakan shalat diselingi lagu one more night, memplesetkan surat Al-Fatihah, mengombinasikannya dengan tarian hiphop, ditambah dengan gerakan-gerakan seronok dan tak senonoh. Pelaku mendokumentasikannya dalam kamera telepon genggam lalu mengunggahnya dalam situs jejaring sosial facebook.

Apa yang dilakukan mereka tidak lepas dari gejolak jiwa muda yang tidak memikirkan dampak negatif dan jangka panjang dari apa yang diperbuatnya. Keisengan yang berbuntut pada tuduhan pelecehan agama. Tingkah laku mereka pun menambah daftar panjang perempuan muda sebagai objek di depan kamera. Dengan maksud yang sama, cuma iseng-iseng, rela telanjang dan direkam lalu gambarnya disebarkan oleh orang yang tak bertanggung jawab di berbagai forum diskusi jagat maya. Maka selain jargon think before click layak pula diperhatikan: think before record.

Tidak bisa tidak ini juga merupakan ekses pembangunan dunia informasi dan komunikasi di negeri ini. Kecanggihan telepon genggam, perkembangan internet hingga pelosok, maraknya media sosial, kecepatan unduh dan unggah file, fenomena Gangnam Style dan Harlem Shake, telah mengubah perilaku sebagian generasi mudanya untuk tak malu-malu dan semutakhir mungkin memberitahukan kepada dunia apa yang telah, sedang, dan akan mereka lakukan dalam bentuk teks, gambar, ataupun format video. What’s happening?
What’s on your mind?

Kerja Bareng

Yang paling jelas dari semua itu adalah ketidakmampuan membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Lalu siapa yang harus disalahkan?

Dalam surat elektronik yang dikirimkan oleh pihak SMA Negeri 2 Tolitoli kepada pihak media untuk menjelaskan kronologis peristiwa tersebut, ada dua saran yang mengemuka yakni perlunya pengawasan dari para orang tua dan pendidik kepada peserta didik dalam interaksinya di dunia maya, serta perlunya pembekalan dan bimbingan iman dan akhlak agar ruang gerak mereka terkontrol dengan nilai-nilai ajaran agama.

Ajakan kepada para orang tua dan pendidik untuk ikut serta mengantisipasi agar kejadian tersebut tidak berulang adalah hal yang bagus. Tak ada saling tuduh siapa yang harus bertanggung jawab atas perbuatan para siswi. Daripada sekadar menyalahkan sekolah yang tak mampu mengawasi ataupun para orang tua yang menyerahkan seluruhnya pendidikan dan penanaman nilai-nilai kepada pihak sekolah, ajakan itu meluruhkan ego dan mengafirmasi bahwa sekarang saatnya kerja bareng meluruskan apa-apa yang telah bengkok dan membetulkan apa-apa yang telah salah.

Orang tua dan para pendidik sebagai orang-orang terdekat para siswa perlu menanamkan pemahaman kepada mereka untuk bisa berinternet secara sehat. Jangan pula bosan untuk menanamkan nilai-nilai agama setiap saat kepada para murid. Ditengarai, semakin sibuknya para orang tua dalam mencari nafkah dan semangat kebebasan yang kebablasan pascareformasi menjadi sebab sungkannya para orang tua dalam penanaman nilai-nilai itu. Alasan: “mereka sudah gede” seakan menjadi pembenar bahwa selesailah tugas orang tua dalam mendidik. Padahal tidak.

Bagi penulis, kata ‘sering-seringlah’ menjadi salah satu kiat dalam mendidik anak. Sering-seringlah mengajarkan kepada anak tentang iman dan amal shalih. Sering-seringlah menegur ketika kesalahan terjadi—tentu dengan cara yang baik. Sebuah pendiaman hanya akan menjadi pembenaran akan kesalahan. Jangan bosan untuk mengingatkan mereka tentang kenikmatan surga dan kengerian neraka. Yang paling penting adalah menunjukkan sebuah keteladanan, karena keteladanan lebih berharga daripada 1000 nasehat.

Jangan Dibuli

    Dua hukuman di dunia yang diterima oleh para siswi tersebut adalah hukuman yang berat. Tidak akan ada cerita kelulusan sebagaimana teman-teman mereka yang lain. Keceriaan terampas dengan kesedihan yang menimpa pula kepada orang tua mereka. Sebagai mukallaf
yaitu pribadi muslim yang sudah dikenai hukuman dan bertanggung jawab terhadap dosa-dosanya sendiri, meminta ampunan kepada Allah adalah cara terbaik. Untuk selanjutnya menatap masa depan dengan lebih optimis lagi. Dunia tidak berakhir karena tidak mengikuti ujian nasional.

    Ketika permohonan ampun telah dipanjatkan, penyesalan sudah ditunjukkan, hukuman sudah dijalankan, maka mental para siswi pun perlu dipertimbangkan. Tidak membulinya dalam kehidupan sehari-hari adalah langkah yang elok. Semata mereka adalah bagian dari generasi masa depan Indonesia, bagian dari generasi yang akan mengalami bonus demografi di tahun 2020-2030.

Yaitu bagian dari penduduk Indonesia berusia produktif (15 tahun-64 tahun) dengan beban tanggungan berkurang dalam menanggung penduduk yang tidak produktif. Yang pada akhirnya mampu menjadi penggerak utama ekonomi bangsa, dengan iman dan masa lalu sebagai pondasi dan pelajaran paling berharga. Kita selalu punya harapan.

***

 

Riza Almanfaluthi on Twitter: @rizaalmanfaluth

    18:53 20 April 2013    

    dimuat pertama kali di: http://www.islamedia.web.id/2013/04/think-before-record-tolitoli.html

SANGKUR DAN PAJAK


SANGKUR DAN PAJAK

    Saat rakyat membeli pasta gigi di warung-warung kecil ada pajak yang mereka harus bayar. Mereka berhak juga untuk disebut sebagai pembayar pajak. Uang itu dikumpulkan oleh petugas pajak dengan kerja-kerja mereka—baik dipuji ataupun dicaci-maki—selama ini untuk digunakan membiayai pembangunan, tapi apa daya aset negara yang dibeli dari uang pajak dihancurkan sendiri oleh aparat penjaga republik ini.

    Kejadian di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, menegaskan demikian. Mapolres OKU dibakar puluhan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Artileri Medan (Armed) 15/105 Kodam II Sriwijaya pada Kamis (7/3) pagi. Sebabnya ada anggota TNI yang tewas ditembak oleh anggota Polres OKU sebulan sebelumnya.

    Para prajurit TNI datang ke Mapolres OKU untuk menanyakan perkembangan kasus itu. Aparat polisi menjelaskan bahwa kasus penembakan itu sudah tinggal dilimpahkan, namun diduga saat dialog terjadi kesalahpahaman sehingga terjadi aksi pengrusakan. Mapolres hancur total. Tak hanya sampai disitu, aksi buas itu berlanjut dengan pengrusakan terhadap mobil patroli dan dua pos polisi yang berada di OKU. Dua anggota polres terluka cukup serius.

    Saat pengrusakan itu terjadi 95 anggota TNI membawa sangkur dan senjata lengkap. Itu alat utama sistem senjata (alutsista) yang dibiayai dari pajak dan dibayar oleh rakyat serta dikumpulkan petugas pajak. Miris.

Anggaran Polri-TNI

    Di tahun 2013 ini ada rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp1.529,67 triliun. Sekitar 68,14%-nya akan dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Ini setara Rp1.042,32 triliun. Lalu berapa bagian untuk Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan TNI dalam struktur APBN 2013?

    Polri telah mengusulkan anggaran ideal untuk institusinya sebesar Rp51,761 triliun. Namun dalam APBN 2013 hanya terpenuhi 88,14% sebesar 45,622 triliun. Dari dana sebesar itu dialokasikan untuk belanja modal sebesar Rp6,821 triliun. Jelas jumlahnya akan berkurang untuk belanja modal yang baru dan telah direncanakan sebelumnya karena sebagiannya digunakan untuk mendirikan bangunan Mapolres OKU yang rusak.

    Sedangkan untuk TNI, pemerintah telah mengalokasikan sebesar 77 triliun. Anggaran terbesar yang melebihi anggaran pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sebagian besar untuk TNI Angkatan Darat sebanyak 40% (artileri.org).

    Anggaran besar untuk TNI tentu mengisyaratkan kepada dunia bahwa kekuatan persenjataan Indonesia tidak bisa lagi dipandang remeh. Tentu hal ini perlu didukung agar pemenuhan alutsista sampai pada taraf yang ideal di tahun 2024 bisa tercapai. Agar alutsista itu dipergunakan sebaik mungkin untuk melawan musuh-musuh dari luar yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan untuk menembaki anak bangsa sendiri.

Sangkur dan Pajak

    Tapi sampai saat ini sepertinya jauh panggang dari api karena esprit de corps yang kebablasan. Kasus bentrokan antara Polri dan TNI selalu berulang. Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sejak 2005 hingga 2012, telah terjadi 26 kali bentrok TNI-Polri yang menewaskan 11 orang, tujuh dari polisi dan empat dari TNI tewas. Korban luka mencapai 47 aparat (Republika, 8/3).

    Ini sangat memprihatinkan. Akar permasalahan harus segera diketahui untuk dicari solusinya. Selain dengan menjalin komunikasi intensif di kedua belah pihak, membuat anggaran yang pro-prajurit sehingga tidak terjadi kecemburuan dari pihak internal dan eksternal, peningkatan kedisiplinan, dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu.

    Rakyat akan melihat dan menilai apa yang akan dilakukan kedua institusi pascakejadian tersebut. Rakyat tidak mau mendengar lagi bahwa pajak yang dibayarnya digunakan untuk membeli alat yang akan membunuh sesama anak bangsa, bahkan untuk menghancurkan aset negara. Di saat negeri ini butuh pembangunan infrastruktur secara besar-besaran untuk meningkatkan perekonomian, di sisi lain ada aparat yang dengan mudah dan ego tingginya menghancurkan infrastruktur. Sayang sekali uang pajak itu. Sayang sekali kerja keras para pegawai pajak. Dan sayang sekali rakyat disuruh membayar pajak untuk sebuah kesia-siaan. Untuk kali ini sangkur dan pajak tidak bisa disatukan.

***

Riza Almanfaluthi

Pegawai Pajak

Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi, bukan cerminan dan pendapat resmi dari institusi tempat penulis bekerja.

08:51 10 Maret 2013

MENJAGA AIR MENJAGA RELIGIOSITAS


MENJAGA AIR MENJAGA RELIGIOSITAS

Haji Salim—sebutlah namanya demikian—tak pernah menyangka alih fungsi kebun miliknya berdampak besar buat para penghuni komplek perumahan lama. Tanah berukuran 1500 meter persegi itu kini telah menjadi komplek perumahan baru yang tidak seberapa besar. Letaknya berada di dataran paling tinggi. Di atas perumahan lama yang sejak tahun 2000 saya tempati, di wilayah Desa Pabuaran, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor.

Sebelum perumahan baru berdiri, kebun itu menjadi tempat menanam buah-buahan. Ratusan batang pohon pepaya hidup dan dirawat oleh Haji Salim. Kebun itu seperti menjadi oase yang menawarkan keteduhan bagi sekitarnya. Adem, apalagi saat hujan. Petrichor, bau tanah dan tumbuhan tersiram gerimis pertama, begitu harum menyengat hidung.

Dulu, itu lahan yang tak pernah bisa dibeli oleh pengembang perumahan lama. Belasan tahun kemudian, Haji Salim tak bisa memungkiri lezatnya harga tinggi yang disodorkan kepadanya. Kebun itu kini telah menjadi kenangan. Hilang. Bersama harta karun terpendam di dalamnya yang tak pernah disadari oleh Haji Salim.

Kekeringan

Sudah dua belas tahun lamanya saya tinggal di rumah ini. Dan baru pada pertengahan tahun 2012 saya merasakan kemarau yang berdampak langsung pada keluarga saya. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan akan air, saya menyedotnya dari sumur pantek berdiameter dua
inci dan berkedalaman enam meter.

Sampai saat itu kami tak pernah merasa kekeringan. Pada saat sumur tetangga sudah mulai kering, sumur kami tidak. Dan para tetangga pun terkadang meminta air kepada kami. Itu dulu. Sekarang tidak lagi.

Dua minggu lamanya saya sabar dengan mesin air yang menyala selama lebih dari lima belas jam seharinya menunggu tetes demi tetes air yang akan memenuhi tandon. Sampai pada suatu titik ketika berjam-jam saya menunggu tidak ada sama sekali air yang keluar dan mesin sudah berteriak nyaring kelelahan, akhirnya saya menyerah.

Saya panggil tukang gali sumur, meminta kepadanya untuk dibuatkan sumur baru. Kali ini dengan kedalaman sepuluh meter dan dengan luas penampang sumur seluas satu meter persegi. Syukurnya penggalian cukup dilakukan hanya pada satu titik lokasi. Tidak ada batu besar yang menghalangi dalam pencarian air ini.

Pada akhirnya, setelah tiga hari menggali, tukang gali sumur merasa cukup untuk menghentikan penggalian ketika air sudah sebatas pinggangnya. Nanti pada waktu musim penghujan ketersediaan air akan melebihi tinggi daripada saat sekarang. Saya lega walau banyak biaya yang keluar untuk mengerjakan semua ini. Tak mengapa, karena atas segala sesuatunya ada harga yang harus dibayar.

Sampah

Kita tahu bersama bahwa air adalah sumber kehidupan. Kita tak bisa berbuat apa-apa jika tanpa air bersih dalam keseharian kita. Untuk minum, mandi, mencuci, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Air menjadi kebutuhan hidup paling hakiki agar selalu tersedia setiap saat.

Bahkan jika pasokannya terhenti entah karena air dari PDAM yang berhenti mengalir, mesin air yang rusak, atau karena sumur yang kering, kita berusaha menyediakannya sedapat mungkin. Kita berkorban tenaga, uang, dan waktu untuk mendapatkannya. Para pekerja kantoran seperti saya akan rela cuti kerja untuk memastikan ketersediaannya.

Setelah kejadian itu, saya menyadari ada yang menyebabkannya. Satu sebab adalah tak ada lagi kebun Haji Salim yang selama ini menjadi resapan air. Tak ada lagi cadangan air pada pori-pori tanah di saat kemarau. Dan efeknya luar biasa sekali. Tak hanya saya yang membuat sumur baru, bahkan tetangga-tetangga saya yang lainnya juga turut menambah kedalaman sumurnya lagi. Kami kekurangan air.

Ketika kita menyadari pentingnya air sebagai sumber kehidupan itu maka barulah kita mengerti ada kerja-kerja yang harus dilakukan untuk menjaga ketersediaannya. Apalagi ditengarai bahwa dunia pada saat ini mengalami krisis air bersih sebagai konsekuensi dari pesatnya pertumbuhan penduduk dunia. Masih 800 juta lebih penduduk dunia yang mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih.

Tak perlu jauh-jauh, Kali Pesanggrahan yang berada persis beberapa meter di depan rumah saya adalah cerminan betapa sungai sebagai salah satu sumber ketersediaan air sudah mengalami pengurangan dalam daya dukungnya. Ini akibat menurunnya partisipasi masyarakat dalam menjaga sungai agar tidak tercemari. Kebiasaan membuang sampah di sungai masih sering dilakukan.


Sisi Kali Pesanggrahan depan rumah, Pabuaran, Bojonggede, Bogor.

Ada dua hal penyebabnya. Pertama, kurangnya kesadaran masyarakat itu sendiri betapa sungai merupakan elemen penting dalam mendukung ketersediaan air. Ini direfleksikan dengan laku seenaknya sendiri membuang sampah di sana atau enggan membayar iuran sampah yang telah ditetapkan. Padahal nilai iurannya lebih rendah daripada harga sebungkus rokok, hanya Rp8.000,00 per bulan dengan jadwal pengambilan sampah dua kali seminggu.

Kedua, pemerintah tidak menyediakan tempat pembuangan sampah ataupun tempat pembuangan akhir yang layak, serta tidak menyasar program pengangkutan sampah itu pada masyarakat di luar komplek perumahan. Yang terjadi adalah pinggir kali menjadi tempat penimbunan sampah.

Padahal ketika sampah itu telah mencemari sungai maka yang terjadi adalah kualitas air yang jelas menurun. Air dengan kualitas buruk seperti itu menjadi salah satu penyebab dari menurunnya kualitas kehidupan, bangkitnya epidemi penyakit, dan sudah barang tentu tidak layak untuk menjadi sumber bagi lahan komoditas pertanian.

Kerja-kerja Kecil

Undang-undang telah mengamanahkan kepada pemerintah untuk menyediakan air yang memenuhi kualitas kehidupan dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat. Tetapi dengan keterbatasan pemerintah—anggaran minim dan ketiadaan aksi—yang ada maka masyarakat tidak bisa bersikap pasif. Dan pada faktanya masyarakat memang bersikap mandiri dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut.

Ditambah dengan minimnya pemahaman serta partisipasi sebagian masyarakat dalam memahami pentingnya menjaga ketersediaan air yang memenuhi standar mutu maka mau tidak mau sikap pasif menjadi seteru yang wajib dihilangkan. Maka disinilah kesadaran akan adanya kerja-kerja kecil, aktif, nyata, dan dimulai dari diri sendiri diperlukan bagi setiap individu. Apa yang bisa saya lakukan?

Bagi saya, memastikan keran air di rumah ataupun di masjid telah tertutup dengan rapat dan tidak rusak; menempelkan stiker peringatan hemat air atau tutup keran air dengan rapat juga adalah kerja itu. Ini adalah langkah kecil memastikan tidak ada air yang tersia-sia.


Ilustrasi Keran Bocor

Menanam pohon di lahan tersisa depan rumah dan di bantaran kali; membuang sampah pada tempatnya; membayar iuran sampah tepat waktu; menyiram tanaman dengan air cucian beras adalah kerja itu juga.

Tapi ada kerja lain berkaitan dengan masyarakat Pabuaran yang terkenal dengan semangat religiositasnya itu. Penyadaran akan pentingnya menjaga kualitas air ini dilakukan dengan menyentuh sisi-sisi religiositas mereka dalam kerangka menebar kebaikan melalui media dakwah secara lisan dan contoh. Ini yang dilakukan melalui pengajian yang saya asuh di setiap pekannya.

Ya, salah satu materi yang disampaikan adalah menjaga kualitas ibadah shalat. Ibadah shalat yang benar adalah ibadah yang memenuhi syarat sahnya shalat yaitu suci badan, pakaian, dan tempat. Ini terpenuhi ketika air yang digunakan untuk wudhu, mandi, dan membersihkan pakaian dan tempat itu bersih dan suci. Serta merta keduanya ini memenuhi kualitas air yang baik. Mau tidak mau agar shalatnya diterima maka air harus dipastikan suci dari najis. Dengan demikian masyarakat dituntut untuk menjaga kualitas air sedemikian rupa, setiap saat.

Diharapkan dengan ini tumbuh pemahaman bahwa ketika mereka membuang sampah di sungai, ini berarti setara dengan upaya tidak menjaga shalatnya dengan benar. Setara pula dengan laku berbuat kerusakan. Dan kitab suci telah melarang hamba Allah untuk berbuat kerusakan di muka bumi.

Butuh waktu lama, tetapi sungguh tak ada yang sia-sia. Yang penting bergerak dan bekerja. Masalah hasil diserahkan saja kepada Allah. Bagi saya itu sudah cukup. Pun bagi saya, menjaga kualitas air adalah menjaga kualitas religiositas. Menjaga nilai-nilai kehidupan abadi di atas tanah tempat berpijak manusia. Itu harta karun yang paling berharga.

***

Riza Almanfaluthi

06 Januari 2013

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba Anugerah Jurnalistik 2012 dengan kategori Karya Blogger.

    

[CATATAN SENIN KAMIS]: EUFEUMISME PARADOKSAL


EUFEUMISME PARADOKSAL

 

Bergumul dengan percakapan tadi malam dengan seseorang membuat saya menafsirkan ulang arti dari sebuah permintaan, pernyataan, ataupun penegasan akan sebuah keinginan. Inilah pentingnya memahami arti atau makna yang sebenarnya dari sebuah kalimat yang terlontar. Tanpa ada reduksi arti ataupun distorsi makna.

Pun, karena kita berada di sebuah tatar di mana sebuah kesopanan dijunjung di atas kepala setinggi-tingginya dengan sebuah aforisme 1000 kawan terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak maka yang tampak mengemuka adalah eufeumisme. Penghalusan ungkapan sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih kasar, tidak menyenangkan, ataupun merugikan.

Maka akan banyak sekali kita temukan di negeri sejuta eufeumisme ini, semua penghalusan itu. Mulai dari kematian hingga menyangkut masalah apa yang ditelan manusia. Bahkan menular pada kehidupan perpolitikan negeri ini yang penuh basa-basi dan kehidupan kita sehari-hari.

Sebuah perusahaan ketika ingin memecat seseorang, maka yang dilakukan bukan seperti orang-orang di Barat yang tanpa tedeng aling-aling mudah untuk bicara “You are fired!!!” dengan berteriak di depan durja sang korban, hanya beberapa sentimeter saja jaraknya. Tidak seperti itu. Tetapi cukup dengan sebuah ungkapan “tidak membutuhkan Anda lagi” yang didahului dengan kata maaf.

Yang lebih halus lagi adalah ketika pinta itu direpresentasikan dengan hal-hal yang kontradiktif dari kalimat yang terucap—melanjutkan contoh di atas—misalnya, “Anda sepertinya butuh waktu untuk istirahat, dan kami dengan senang hati memberikannya kepada Anda.” Sebuah tawaran yang teramat baik dan terpuji. Tetapi dibaliknya adalah: “Kau dipecat!!!” Ironi. Paradoks. Menyakitkan.

Inilah eufeumisme paradoksal.

Hakim di Pengadilan Pajak sedang meneliti syarat formal pengajuan gugatan yang diajukan Penggugat. Dalam hal ini Penggugat kebetulan mencantumkan dua keputusan yang digugat dalam satu surat gugatan. Maka Majelis Hakim menilai bahwa gugatan ini tidak dapat diterima. Majelis hakim mengatakan kepada Penggugat, “Gugatan Penggugat tidak dapat diterima.” Sebenarnya itu cukup tapi terkadang ditambah dengan kalimat, “Lebih baik perbaiki saja surat gugatan ini.”

Padahal sia-sia saja untuk diperbaiki karena biasanya pemeriksaan gugatan dilakukan setelah batas waktu pengajuan 30 hari terlampaui. Penggugat tak akan bisa lagi mengajukan gugatan karena jatuh tempo pengajuan itu telah lewat. Dengan kata lain, “Percuma!” Tawaran hakim Inilah yang bisa disebut eufeumisme paradoksal.

Suatu malam di ujung telepon sana, atau di sudut layar telepon genggam, atau di layar putih surat elektronik, atau dalam gerak cepat layar chat box, seorang laki-laki menerima pesan terucap atau tertulis seperti ini, “Maukah kau melupakanku dari hidupmu, karena kau terlalu baik buatku. Tetapi aku tetap menjadi kawan atau adik terbaik buatmu.”

Laki-laki ini terkejut, hatinya karut seiring langit yang memuntahkan angkaranya dengan petir membahana. Ia tahu perempuan itu cuma mau bilang, “Kau, aku, selesai!” Sebuah pernyataan tentang kemuakan, kebencian, ketakbergunaan, tak perlu diingat lagi kepada laki-laki itu. Tetapi dibalut dengan eufeumisme “maukah kau melupakanku dari hidupmu.” Yang sebenarnya adalah “Gua empet lihat muka elo!” Plus paradoksal, “karena kau terlalu baik buatku.” Yang sejatinya terkatakan adalah: “Iblis bermuka nabi”. Inilah eufeumisme paradoksal.

Yitzak Rabin di tahun 1992 adalah Perdana Menteri baru buat Israel. Ini kali kedua setelah ia menjabat pertama kalinya sebagai Perdana Menteri di tahun 1974-1977. Ia dikenal dengan tangannya yang berlumuran darah rakyat Palestina.

Tahun 1948 ia melakukan teror dan pengusiran terhadap puluhan ribu rakyat Palestina dari tanah mereka. Ratusan ribu lainnya menyusul di tahun 1967. Pada saat gerakan intifadhah selama 4 tahun yang dimulai tahun 1987, Israel dibawah kendalinya sebagai Menteri Pertahanan melakukan pembunuhan, penyiksaan, pemotongan anggota badan, pemenjaraan, dan pengusiran terhadap bangsa Palestina.

Dan apa yang ditawarkan setelah ia menjabat sebagai Perdana Menteri Israel kala itu: menawarkan keinginan dan visi perdamaian. Tetapi sejalan dengan itu Rabin tetap memerintahkan penyelesaian 11 ribu unit perumahan yang belum jadi di Tepi Barat, menolak setiap kompromi terhadap kota Yerusalem, dan menolak pemberian kewarganegaraan Israel bagi orang-orang Palestina yang hidup di tanah pendudukan tersebut. Di tahun 1994, ia dianugerahi Nobel Perdamaian hanya gara-gara ia mau berdamai dengan Palestina di tahun 1993.

Tangan kanan Yitzak Rabin menyerukan salam perdamaian kepada rakyat Palestina dan dunia namun tangan kirinya tetap dengan cambuk yang siap untuk dilecutkan. Inilah eufeumisme paradoksal. Bahkan diabadikan sampai sekarang oleh seluruh penerusnya.

Rwanda di akhir abad 20 adalah contoh getir dari ketiadaan harga nyawa manusia dan pembiaran dunia internasional atau impotennya negara-negara pengoar-ngoar demokrasi dan hak asasi manusia.

Rwanda dengan mayoritas Hutu yang tambun, bulat, berkulit gelap, dan petani dengan minoritas Tutsi yang ramping, tinggi, berkulit kurang gelap, dan peternak. Berkaitan dengan benang sejarah lampau antara Hutu yang sahaya dengan Tutsi yang penguasa. Namun di awal tahun 90-an itu Rwanda dipegang oleh Hutu. Tentu dengan semangat penuh kebencian dan kemarahan warisan kolonialisme Belgia kepada minoritas Tutsi. Sebagian Tutsi kuat diluar perbatasan Rwanda melalui RPF (Front Patriotik Rwanda) dan siap merongrong pemerintahan Hutu yang berkuasa.

November 1992, Leon Mugessera—kuasa Hutu dalam pidatonya, menyerukan untuk mengirim Tutsi ke Ethiopia—karena menurutnya Ethiopia adalah negara sebenarnya buat Tutsi dan bukan Rwanda—melalui sungai Nyabarongo. Inilah eufeumisme paradoksal itu. Di tahun 1994, faktanya Nyabarango penuh dengan Tutsi, benar-benar penuh, hingga sampai ke Danau Victoria. Tapi dalam wujud bangkai. Genosida selama 100 hari—6 April hingga 18 Juli 1994—itu memakan korban sekitar 800 ribu orang terbunuh. Atau rata-rata 5 orang per menitnya.

Lima tahun berikutnya karena benci telah menemukan tempat strategisnya, Ambon pun membara. Tapi lidah kelu untuk bicara dan mengisahkannya karena banyak tikungan tragedi di sana. Atau ah, kalimat terakhir tadi cuma eufeumisme paradoksal untuk sekadar berkelit bahwa sesungguhnya saya memang ketiadaan pengetahuan tentangnya. Bisa jadi.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

geretap daun kena hujan

00.42 7 Juni 2011

 

Tags: eufeumisme, paradox, eufeumisme paradoksal, pengadilan pajak, rwanda, ethiopia, genosida, ambon, leon mugessera, danau Victoria, nyabarongo, hutu, tutsi, belgia, rpf, yitzak rabin, nobel perdamaian, palestina, yerusalem,

 

 

 

 

 

 

 

SIGAP TERHADAP AIB, GAGAP TERHADAP KELEBIHAN


SIGAP TERHADAP AIB, GAGAP TERHADAP KELEBIHAN

By: Riza Almanfaluthi

        

IslamediaKetika saya ditanya seorang teman tentang tiga kelemahan dirinya, saya dengan cepat dan sigap menyebutnya satu persatu. Tetapi ketika kemudian saya ditanya lagi tentang tiga kelebihan dirinya, maka mulut saya seperti Aziz Gagap. Ehhhh…ehhhh…Lola. Loading Lambat. Berpikirnya lama. Sambil bertanya-tanya, “apa ya?”

    Jelas sudah, ini tabiat manusia. Kalau dengan kelemahan, keburukan atau aib seseorang pikiran kita dengan cepat mengumpulkan informasi itu. Atau sebenarnya memori terdalam kita sudah lama menjumput semua kelemahan-kelemahan orang lain seperti kita mengukir di atas batu. Tetapi jika dengan kebaikan seseorang kita mudah untuk melupakannya seperti menulis di atas air.

    Padahal di saat kita menimbang-nimbang kelemahan orang lain, sudah menunggu begitu banyak kelemahan diri yang perlu untuk dihitung-hitung. Inilah yang sering diungkap dalam sebuah pepatah yang mengatakan, “semut di seberang lautan tampak tetapi gajah di pelupuk mata tak tampak.”

Maka sebenarnya jika diri kita mampu untuk mengevaluasi diri, tidaklah akan sempat kita untuk menghitung-hitung dan mencari-cari kelemahan atau aib orang lain. Pun karena takut, kalau-kalau Allah akan mengungkap aib kita kelak. Tidak hanya itu, Al Qarni dalam sebuah ungkapan menyebutkan bahwa evaluasi diri mampu menjadikan harapan kita kepada orang lain lebih seimbang (tak berlebihan) dan membuat kita menjadi simpatik kepada orang yang berbuat kesalahan.

    Setiap orang punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Itu sudah pasti. Dan untuk menjadi timbangan penilaian adalah sebanyak apapun kelebihan seseorang tetaplah ia bukan malaikat yang tak pernah berbuat kesalahan. Saat melihat kelemahannya maka kita memaklumi bahwa Ia hanya manusia yang tak sempurna, tempatnya lalai dan dosa.

Atau dengan kata lain, dengan ukuran apa seseorang itu sudah dapat disebut sebagai orang yang baik atau orang yang buruk. Tentu ukurannya adalah sejauh mana banyaknya kebaikan itu dapat menutupi keburukannya atau sebaliknya. Contohnya Kita lihat pada sosok yang satu ini.

Sosok Hajjaj bin Yusuf. Ia yang telah mengalungkan kepada Anas bin Malik—ahli hadits dan sahabat nabi terkemuka—dengan sebutan yang sangat menghina. Lebih sadis lagi adalah apa yang pernah ia lakukan beberapa tahun sebelumnya dengan mengirim kepala Abdullah bin Zubair di atas nampan kepada junjungannya, Abdul Malik bin Marwan, yang berada di Damaskus.

Tangan yang berlumuran darah dan membersitkan amisnya itu tak mampu menahan mantan kepala sekolah di Thaif ini untuk mengambil peran dalam kejayaan tamadun Bani Umayyah. Reformasi ortografinya berupa pengembangan tanda baca untuk menghindari kesalahan dalam membaca Alqur’an menjadikannya monumental. Apakah kebaikannya lebih dikenal daripada keburukannya? Sudah barang tentu kekejian dan kesadisannya lebih dikenal daripada peran pentingnya itu.

Seseorang ulama yang sudah dikenal dengan pengabdiannya kepada umat, buku-bukunya yang sudah tersebar ke seantoro dunia, kelurusan akidah serta moderatnya dalam fikih yang sudah diakui pula, ketika melakukan satu kesalahan—bisa jadi berawal dari perbedaan pendapat dalam ijtihad yang diambil—apakah itu akan menghancurkan dan menutupi seluruh kebaikannya untuk umat itu? Tidak, sungguh tidak adil jika kita mengabaikannya. Kesalahan—jika masih disebut seperti itu—yang dilakukannya malah membuktikan bahwa dia adalah manusia yang tak sempurna.

Tinggal bagaimana saudara seakidahnya ini dapat menutupi aib yang ada atau memberikan pemakluman kepada ulama itu. Karena masih ada 999 alasan lainnya untuk kita berlapang dada dengan kelemahan yang dimilikinya.

Saya teringat perkataan salah satu orang besar dunia, “Lupakan kesalahan orang lain seperti kita melupakan kebaikan yang pernah kita lakukan dan jangan pernah untuk melupakan kebaikan orang lain.”

“Ayo cepat, sebutkan segera tiga kelebihan saya untuk diisi dalam formulir ini,” tanya teman saya lagi.

“Ee…eh,” saya masih saja tergagap-gagap.

Dasar.

 

***

Riza Almanfaluthi

ditulis untuk Islamedia

dedaunan di ranting cemara

Lantai 9 Pengadilan Pajak

10.42 21 April 2011

 

http://www.islamedia.web.id/2011/04/sigap-terhadap-aib-gagap-terhadap.html

 

 

 

 

 

 

 

 

 

    

TAK MAU SEKELAS ARWAH GOYANG KARAWANG


TAK MAU SEKELAS ARWAH GOYANG KARAWANG

 

Dalam Islam sastra harus dibatasi. Tak bisa bilang sastra untuk sastra. Atau berpijak pada kebebasannya semata. Bahkan seperti yang Albert Camus katakan bahwa sastra tak boleh memihak siapapun.

Sastra—dalam Islam—harus memegang teguh apa yang diperbolehkan dan tidak dalam nilai-nilai yang terkandungnya. Semua muncul dari ajaran wahyu dan fitrah insani. Ini yang menjadi ukuran. Bacaan yang memancing syahwat dan tulisan yang menggedor nilai-nilai keimanan sudah jelas dilarang untuk diciptakan. Dalam puisi pun demikian.

Siang tadi, saya membuat puisi yang sekarang berjudul agar tak ada namanya. Draf awal berbeda sekali
dengan yang sekarang sudah jadi. Saya tulis di atas kertas draf itu seperti ini:

Rabb, bisukan aku agar tak ada namanya yang tersebut dalam igauanku.

Rabb, tulikan aku agar tak ada suaranya yang terdengar dalam telingaku.

Rabb, butakan aku agar tak ada rupanya yang tergambar dalam ratusan mimpiku.

Rabb, ambil pikiranku agar tak ada ruang yang ada untuk mengenangnya.

Aha…saya tinggal mengetikkannya di layar komputer. Tapi jari-jari tak mampu untuk melakukannya. Apa sebab? Nurani saya menentangnya dan dengan sekuat tenaga menghentikan apa yang akan dilakukan oleh jari-jari saya. Karena? Bait-bait itu adalah bait-bait do’a. Mengapa mendoakan keburukan untuk diri saya?

Akhirnya saya corat-coret kembali kertas putih itu. Dan kembali mengulang dari awal untuk membuatnya namun tetap dalam tema besar yang sama: tak sempat untuk memikirkan yang lain. Loh, itu kan cuma kata-kata yang bisa jadi pembacanya sendiri punya penafsiran lain. Bukankah Anda sendiri yang bilang bahwa pengarang itu telah mati?

Ya betul, saya tetap konsisten dengan pernyataan itu. Tetapi saya tak ingin penafsiran itu muncul sekalipun dalam benak para pembaca. Bahkan apalagi kalau sudah benar bahwa itu yang dimaksudkan oleh pengarangnya sendiri sebagai sebuah do’a. Maka dalam Islam tak sembarangan untuk membuat nama buat putra dan putri mereka. Karena nama adalah do’a.

Inilah yang membuat saya berpikir, sebebas-bebasnya saya berekspresi tetap ada nilai yang membatasi. Tak bisa tak. Kalau memang mengaku sebagai orang yang beriman. Mungkin ini akan berbenturan dengan proses kreatifitas yang selalu saya pegang dalam menulis, terutama bagi mereka yang berniat untuk bisa menulis yaitu menulis tanpa beban dan seliar mungkin.

Ya tanpa beban dan seliar mungkin. Itu yang selalu katakan. Semua berawal menulis dengan menggunakan otak kanan, tetapi nanti setelah selesai barulah pakai otak kiri. Dan nilai-nilai Islam inilah yang menjadi batasan saat kita menggunakan otak kiri dalam mengedit dan memperbaiki tulisan yang kita buat seliar mungkin itu.

Oleh karenanya sampai sekarang saya belum mampu untuk menyelesaikan cerita pendek “Beranak Dalam Kubur” hasil proses menulis cepat dan seliar mungkin selama 30 menit pada saat workshop menulis yang diselenggarakan oleh BP School of Writing dan DJP. Karena ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Untuk apa dan mau dibawa kemana? Adakah hikmahnya?

Kalau tidak dapat menjawab pertanyaan semacam itu bisa jadi cerpen tersebut hanya sekelas film Arwah Goyang Karawang. Oh…tidak bisa. Saya tak mau.

Jadi Pak..Bu…, semua itu ada batasnya.

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

malam ahad malam pendek

11.42 26 Februari 2011

diunggah pertama kali di: http://bahasa.kompasiana.com/2011/02/27/tak-mau-sekelas-arwah-goyang-karawang/

tags: arwah goyang karawang, BP School of Writing, DJP, Beranak Dalam Kubur, albert camus, puisi

RESEARCH IN [MOSES] MOTION


RESEARCH IN MOSES MOTION

 

Semalam saya bangun. Tepatnya menjelang tengah malam. Tidak tidur hingga dua jam ke depannya. Mengambil komputer. Menuju ke ruang tengah. Menyalakannya dan membiarkan layar putih kosong di depan saya hingga setengah jam lamanya.

Saya ditemani seekor kecoa yang satu kaki belakangnya lemah tak berdaya. Terseret-seret tubuhnya yang tetap mengilap walau tak pernah mandi seumur hidupnya. Sudah beberapa kali dia lagi-lagi memutar di depan saya–menyusuri tembok. Dia tak pernah mau jauh-jauh dari dinding. Mengapa? Jika ia terjungkal dan jatuh terlentang ia masih dengan mudahnya menggapai dinding itu untuk kembali tegak.

Terdengar suara berisik dari arah dapur. Ternyata si belang yang tak tahu diri sedang menjilati remah-remah makanan di atas piring kotor. Sebenarnya tidak ada celah buat dia masuk ke rumah ini. Kecuali satu hal: jendela di kamar atas terbuka. Ya, betul sekali. Dari sana ia masuk.

Saya pernah berbicara baik-baik dengannya untuk tidak masuk ke rumah ini. Kalau mau makanan lezat silakan untuk mempersiapkan kupingnya yang berpendengaran tajam itu bila ada panggilan dari saya. Bolehlah ia masuk. Eh, dasar kucing. Sudah dibilang baik-baik, dengan atau tanpa panggilan, ia tetap masuk. Ndableg… Ini karena ia—seumur hidupnya—tidak pernah makan bangku sekolahan. Kasihan.

Dan malam itu saya cuma bisa menulis beberapa paragraf seperti ini:

Apa yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan anaknya menunggangi keledai seorang diri? Apa pula yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan dirinya seorang diri menunggangi hewan itu? Apa kemudian yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan dirinya dan anaknya menjadi dua beban berat di punggung hewan yang dikenal bodoh itu?

Tak bermuara sampai di situ. Apa yang diterima oleh sang ayah yang membiarkan hewan yang diciptakan di dunia sebagai tumpangan manusia itu dibiarkan sempurna melangkah dengan tegak tanpa beban berat di atasnya? Dan apa yang diterima oleh sang ayah yang bersama dengan anaknya menggotong keledai sehat wal afiat itu di punggung-punggung mereka bergantian?

Komentar tiada henti yang berujung dengan celaan. Ya, itulah nasib yang diterima mereka. Seperti nasib yang diterima oleh banyak orang yang berusaha untuk mewujudkan sesuatu yang berguna untuk orang lain, minimal untuk diri mereka sendiri.

Semula penduduk dusun itu tak pernah membayangkan mereka mendapatkan kelimpahan air setelah apa yang dilakukan oleh salah satu lelaki dari mereka. Sebelumnya mereka harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Lelaki itu dengan penuh ketekunan membuat lubang yang menembus dua bukit hanya untuk mengalirkan air dari mata air ke dusun. Sedikit demi sedikit usaha besar itu dikerjakan dengan diiringi rasa skeptis yang melanda para tetangganya. Cemoohan sudah barang tentu menjadi laku keseharian yang diterima. Setelah bertahun-tahun upaya itu dijalankan, setelah mereka melihat air yang begitu berharga membasahi persawahan mereka maka barulah penduduk dusun mengakui kerja lelaki itu. Syukurnya tidak ada azab yang menimpa mereka para pencemooh itu. Kebahagiaan menjadi milik mereka bersama.

Ini berbeda dengan para pengolok yang mengejek apa yang dilakukan Nuh di saat ia membuat sebuah perahu besar di tengah gurun. Laut jauh darinya. Maka silangan di dahi kepada Nuh menjadi sebuah tingkah dari para lawan ideologinya, pun dengan anaknya yang menjadi bagian mereka. Tak dinyana itulah akhir dari mereka. Bah raksasa menggilas semuanya. Menyisakan perahu yang membawa Nuh dan pengikutnya dari kalangan manusia dan faunanya.

Sejatinya ejekan itu hanyalah perantara turunnya ikab. Ada yang lebih dahsyat lagi: ketika syahwat menduakan Tuhan merajalela. Ini sekadar model dari berlabuhnya sebuah azab. Tanpa ada peringatan.

Namun Tuhan masih pemurah kepada bangsa Yahudi yang sering berbuat kerusakan di muka bumi walau banyak perintah-perintah-Nya didera pengkhianatan. Agar mereka taat dan ingat dengan perjanjian yang mereka buat, maka Tuhan mengangkat Bukit Thursina di atas kepala mereka. Benar-benar di atas kepala yang membuat mereka bergidik tentunya. Taati atau azab ini menimpa. Pun dengan itu, mereka tetap dengan karakter aslinya sebagai pembangkang tulen.

Berpuluh abad kemudian, karakter—mencela, mengejek, membangkang, tak bersyukur—itu seringkali mengemuka. Hatta di tengah banyak musibah yang menimpa bangsa ini. Di suatu saat ketika petinggi negeri ini berkutat menekan perusahaan asing untuk memenuhi keinginan pembagian yang lebih berpihak kepada lokal yang salah satunya adalah dengan memblokir segala konten yang berbau porno, maka bau-bau yahudi itu menjelma dengan salah satu kicauan ejekan seperti ini: “baru aja mencoba akses situs porno via laptop dgn jalur Telkom, lancar abiss!!!! Klo #RIM dtutup diskriminasi tu nmnya.”

*

Malam semakin larut. Komputer sudah saya tutup. Sejenak saya merenung. Dunia sudah renta. Hukuman Tuhan saat ini buat umat Muhammad masih belumlah seberapa dengan yang diterima Bani Israil pada saat itu sebagai bentuk pertaubatan dari penyembahan sapi atas perintah Samiri. “Sebagian dari kalian membunuhi sebagian yang lain.” Hingga Ia memerintahkan Musa untuk menghentikan penebusan dosa mereka itu saat statistik menunjukan angka tujuh puluh ribu jiwa.

Saya bergidik. Dan kecoa di depan saya itu masih terkapar, melonjak-lonjak untuk bangkit.

***

 

Riza Almanfaluthi

penulis dan blogger

dedaunan di ranting cemara

09.11 12 Januari 2011