Perhelatan pemilihan presiden 2014 sebagiannya telah usai. Sebagian yang lain masih berujung di Mahkamah Konstitusi. Tim kampanye masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden juga sudah melaporkan penerimaan dan penggunaan dana kampanyenya. Ini kewajiban sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 17 Tahun 2004. Selanjutnya akan dilakukan audit Laporan Dana Kampanye (LDK) melalui audit kepatuhan dan penerapan prosedur yang disepakati oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Momentum penyampaian LDK ini bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan saat yang tepat untuk mengumpulkan bahan pengawasan pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Terutama Wajib Pajak yang memberikan sumbangan kepada salah satu pasangan calon. Pengumpulan bahan itu dapat dilakukan dengan mengakses secara langsung laman KPU karena KPU telah mengunggah sebagian LDK.
Sampai dengan tanggal 6 Juli 2014 berdasarkan informasi di laman KPU pasangan calon nomor urut satu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memeroleh dana kampanye sebesar Rp 108 milyar sedangkan pasangan calon Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebesar Rp 295,1 milyar. Suatu jumlah yang sangat besar.
Tiga Pandangan
Dari LDK tersebut dapat dilihat siapa-siapa saja yang telah memberikan sumbangan untuk membiayai kegiatan kampanye pemilihan pasangan calon. Walaupun tulisan ini belum berbicara aspek perpajakan pada sisi penggunaan dan hanya berdasarkan pada sisi penerimaan dana kampanye, maka setidaknya terdapat tiga pandangan terkait bagaimana DJP mampu menjaring pajak dari para penyumbang dana kampanye pilpres.
Pertama, dana kampanye yang diberikan merupakan kategori sumbangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, sumbangan kepada pasangan calon dalam pemilihan presiden 2014 termasuk sumbangan yang tidak boleh menjadi pengurang dari besaran penghasilan kena pajak.
Dengan demikian, DJP perlu meneliti ulang sumbangan tersebut pada saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2014 dari para penyumbang berbentuk badan maupun perseorangan. Jika Wajib Pajak Badan ataupun perseorangan tersebut dalam SPT Tahunannya mengurangkan biaya sumbangan tanpa dilakukan penyesuaian fiskal positif maka Wajib Pajak tersebut harus membetulkan SPT Tahunannya.
Kedua, LDK dapat menjadi sarana menjaring Wajib Pajak baru dari para penyumbang perseorangan. KPU mensyaratkan bahwa informasi yang wajib disampaikan untuk sumbangan perseorangan adalah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila ada. Dari daftar penyumbang yang diberikan pasangan calon terlihat tidak semua penyumbang mencantumkan NPWP. Tidak menutup kemungkinan bahwa para penyumbang perseorangan tersebut memang tidak memiliki NPWP walaupun mempunyai kemampuan menyumbang yang nilainya di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Dalam daftar para penyumbang perseorangan dengan nominal besar biasanya tercantum alamat penyumbang. Informasi alamat penyumbang ini adalah informasi yang wajib disampaikan. Dengan demikian memudahkan pengindentifikasian penyumbang sudah memiliki NPWP atau belum sesuai dengan basis data yang dimiliki oleh DJP. Jika belum maka alamat itu bisa membantu dalam pelacakan langsung ke lokasi tempat tinggal penyumbang.
Ketiga, LDK menjadi sumber informasi untuk disandingkan dengan basis data utang pajak Wajib Pajak yang dimiliki DJP. Sebenarnya ketika perseorangan ataupun badan usaha memberikan sumbangan kampanye wajib membuat surat pernyataan. Salah satu isi dalam surat pernyataan adalah tidak mempunyai tunggakan pajak. Basis data yang dimiliki oleh DJP perlu disandingkan dengan daftar penyumbang tersebut. Jika ternyata masih memiliki utang pajak maka ini kesempatan besar bagi DJP untuk menagih. DJP mengimbau para penyumbang bahwa masih ada kewajiban bernegara yang masih harus mereka tunaikan. Menyumbang kampanye capres adalah hak, tentu prioritasnya di bawah daripada kewajiban bernegara yang mereka miliki.
Kewajiban KPU
Tidak semua data LDK ditampilkan dalam laman KPU. Jika dirasa belum mencukupi untuk menggali informasi lebih detil dan dalam maka DJP perlu meminta data dan informasi lebih lengkap kepada KPU dengan menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang sesuai Pasal 35A Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP). Dalam pasal tersebut setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Sayangnya DJP masih terkendala aturan. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan sebagai turunan dari Pasal 35A UU KUP mengatur bahwa penetapan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain yang wajib memberikan data dan informasi ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Sampai dengan saat ini Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.03/2013 yang merupakan perubahan ketiga dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2013 masih belum memuat KPU sebagai lembaga negara yang wajib memberikan data dan informasi tersebut.
Pada akhirnya, ke depan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan perlu mengubah Peraturan Menteri Keuangan yang ada dengan memasukkan KPU sebagai pihak yang wajib memberikan data dan informasi terkait perpajakan. Terkait pula bahwa data dan informasi tersebut tidaklah termasuk data ataupun informasi berkategori rahasia. Oleh karena itu koordinasi kelembagaan antara DJP dengan KPU perlu dilakukan segera. Semoga tidak menjadi barang mahal di negeri ini, di saat ini. Bukan untuk kepentingan siapa-siapa, melainkan kepentingan rakyat banyak. Karena pajak itu penting.
***
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
12 Agustus 2014
Opini ini dimuat di situs Pajak.go.id tepatnya dikopi dari sini.