Syafii Maarif di KPK (Sumber foto: inilah.com)
Dalam acara halal bihalal KPK bersama wartawan di KPK, Kamis kemarin (28/8), Syafii Maarif memberikan pernyataan berkaitan dengan pajak. Setelah itu Republika Online membuat judul berita “Maarif: 70 Persen Hasil Pajak ke Mana?”. Pernyataan Maarif yang dikutip dari laman Republika Online lengkapnya demikian.
Pemerintah dan lembaga penegak hukum harus segara mencari hasil pajak yang hilang. Untuk itu pemerintah dan lembaga penegak hukum harus bersama-sama mengawasi pemasukan dan pengeluaran sektor pajak. Sebab, penerimaan hasil dari wajib pajak belum sepenuhnya masuk ke kas negara.
“Saya dapat informasi dari PPATK, pajak yang disetor wajib pajak itu yang masuk ke negara tahun lalu hanya 20 persen, sekarang 30 persen. Yang 70 persen ke mana?” Untuk itu, kata Buya panggilan akrab Syafii Maarif, potensi kebocoran dari sektor pajak perlu dibenahi.
Buya menjelaskan, selama ini, yang peduli terhadap sektor pajak hanya KPK. Sementara kepedulian Polri dan Kejaksaan belum terlihat. “Karena KPK ini tugasnya terlalu berat,” ujarnya.
Terkait telah terjadinya salah pengutipan mari kita abaikan hal tersebut. Lalu kita sama-sama belajar mekanisme pajak itu masuk ke kas Negara.
Sistem perpajakan kita menganut self assessment system. Sistem yang memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Semua yang dilakukan oleh Wajib Pajak ini dianggap benar sampai pemerintah menyatakan salah.
Setelah menghitung dan mengetahui berapa jumlah pajak yang harus dibayarnya, Wajib Pajak kemudian mengisi Surat Setoran Pajak (SSP). Lalu datang ke kantor pos atau bank persepsi untuk menyetor pajaknya ke kas negara dengan menggunakan SSP itu. Jadi Wajib Pajak tidak datang ke Kantor Pelayanan Pajak untuk menyerahkan uang pajaknya ke petugas pajak.
Otomatis dengan datangnya Wajib Pajak ke tempat pembayaran pajak yang telah ditentukan atau melalui sarana online, semua uang pajak yang disetor Wajib Pajak 100% masuk ke kas negara. Terekam secara langsung ke dalam sistem pembayaran pajak secara nasional yang disebut Modul Penerimaan Negara (MPN).
Apalagi sekarang dengan adanya MPN generasi baru yang disebut MPN G2 yang diluncurkan Kementerian Keuangan pada 27 Februari 2014 silam menjamin fleksibilitas, akurasi, kecepatan, keamanan, dan akuntabilitas kualitas layanan pemerintah di bidang setoran penerimaan negara. Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran di mana saja dan kapan saja melalui ATM ataupun e-banking. Semakin kecil kemungkinan pembayaran pajak Wajib Pajak melenceng ke bukan rekening kas negara.
Lalu bagaimana membaca pernyataan Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah ini? Kita dapat melihatnya dalam ilustrasi berikut.
Wajib Pajak A menghitung sendiri jumlah pajaknya. Didapat jumlah pajak sebesar Rp 100 juta. Karena ada moral hazard, Wajib Pajak tidak menyetor seluruhnya. Cuma disetor Rp 30 juta saja. Sisanya diputar lagi buat bisnis atau mempertahankan jumlah kekayaannya. Negara yang seharusnya mendapatkan Rp 100 juta hanya mendapatkan 30% saja.
Selama negara tidak mengetahuinya, silakan saja Wajib Pajak melakukannya demikian. Loh kok bisa? Ya tentu bisa. Ini karena sistem perpajakan di atas yang kita anut di republik ini dan telah dijamin oleh undang-undang perpajakan kita.
Self assessment system akan berhasil maksimal jika dua variabel ini terpenuhi. Pertama, kesadaran serta kerelaan Wajib Pajak untuk membayar pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang telah ditetapkan. Kedua, pengawasan optimal dari petugas pajak. Di sinilah pentingnya penguatan kelembagaan otoritas pemungutan pajak dalam hal sumber daya manusia, anggaran, dan manajemen organisasi.
Keterbatasan pengawasan karena ketiga hal tersebut di atas yang selama ini dialami Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mudah diatasi jika DJP diberikan kemandirian penuh. Kita semakin yakin otonomisasi DJP, entah penuh ataupun semi, akan membuat sistem perpajakan ini lebih berdaya.
Kelak, dengan kesadaran Wajib Pajak yang semakin meningkat ditambah dengan pengawasan yang semakin menguat, tidak akan ada lagi pertanyaan Maarif di atas. Karena kita semua tahu 70% hasil pajak larinya ke mana. Ke kas negara tentunya.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
30 Agustus 2014
weleh2, panas pajak
LikeLike
hot tax… 🙂
LikeLike
nice artikel om. saya share boleh?
LikeLike
Silakan Mas… 🙂
LikeLike
Kalau DJP dijadikan badan otonom mandiri, bagaimana dengan Pengadilan Pajak?
Seperti kita ketahui, Sekretariat Pengadilan Pajak masih berada di bawah Kemenkeu, bukan di bawah Mahkamah Agung. Padahal Pengadilan Pajak adalah sebuah badan peradilan yang lebih berhak melepaskan diri dari Kemenkeu.
Kalau DJP sendiri lepas dari Kemenkeu bagaimana dengan Pengadilan Pajak yang sebenarnya Kemenkeu tidak memiliki hak di dalamnya?
LikeLike
Peangadilan pajak secara struktur di bawah MA, tetapi kesekretariatannya masih di bawah Kemenkeu. Saya lebih setuju pengadilan pajak justru bergabung dengan pengadilan umum/negeri. jadi, pada saat yang bersamaan pada saat pengajuan kasus pajak, bisa meliputi administrasi maupun pidana. tentu saja, UU KUP, UU Pengadilan Pajak juga harus diubah.
LikeLike
Ok terima kasih. 😀
LikeLike
Sepertinya sudah dijawab oleh Mas Didi. btw terima kasih banyak.
LikeLike
lebih tepat mungkin begini statement nya … “70% potensi pajak larinya kemana, kok belum tergali, ayo kita gali bersama untuk Indonesia yang mandiri” itu sangat pas buat pernyataan seorang buya … 🙂 Salam Bijak … inspiratorbijak.com
LikeLike
Siap Kang…. 😀 Salam bijak.
LikeLike
pentingnya penguatan kelembagaan otoritas pemungutan pajak dalam hal sumber daya manusia, anggaran, dan manajemen organisasi… saatnya menjadi lembaga sendiri setingkat badan atau kementerian kali ya supaya lebih powerfull untuk negara…
wayahe..wayahe
LikeLike
Secara pribadi setuju sekali pak.
LikeLike