Bulan Sabit


Tetap saja, di suatu malam yang sangit, ketika aku disodorkan sebuah pilihan tentang suka cita pertemuan atau duka lara perpisahan dan yang aku jawab pertama adalah pilihan, ternyata itu tak bertahan lama, sisanya waktu sedemikian tega menyayat dan mengganti isi-isi sel yang memenuhi saluran darah di sekujur tubuh dengan derita jarak itu.

Maka serta merta yang kupikirkan adalah derak-derak roda di atas rel yang menjadi nafas kehidupan cerita-cerita, hingga jam-jam yang tak seberapa itu mampu melarikan diri dari penjaranya. Maka, tidak ada lagi tertawa yang sepanjang perjalanan kurekam di benak melainkan tawa-tawa malam, tawa-tawa bulan, tawa-tawa nokturnal, tawa-tawa kopi, tawa-tawa selimut, tawa-tawa kegelapan lorong kereta, hingga kau membangunkanku dengan mimpimu.

Seketika itu aku menjadi priyayi dengan ring terpasang di jantungnya, meledak, ringnya lepas menggelinding dan melekat di jemarimu. Jari-jari dengan pergelangan dan punggung tangan sejarah yang tak pernah bisa dibenamkan masa. Kuusap bulan sabit, di tempatnya bersemayam, untuk menjadi pagi dan malam yang disiram endorphin ke sekujur tubuhmu, tubuh Puisi.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 27 Agustus 2017

Sehening Sandaran di Sebuah Bahu


Rinai membasahi jendela. Ada yang mengetuk bening-bening kaca yang hening. Sehening sandaran di sebuah bahu. Tapi jantung kita tak pernah bisa hening. Degupnya menggema ke Ankara dan tepian bumi. Mengisyaratkan pertautan sederhana. Antara kau yang hujan dan aku yang tanah kering.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Yogyakarta, 25 Agustus 2017

Sepinggan Sore


Aku sepinggan sore yang dihidangkan waktu, penuh remah-remah cahaya, gemerisik lemah daun yang dibisik angin, awan-awan yang  rambutnya memutih, dan pucuk-pucuk padi menguning dengan bulir-bulir matanya menatap ke langit, setengah merunduk. Aku sepinggan sore yang dahaga matamu untuk segera menatap, sebentar lagi aku menghilang. Tawamu janganlah turut pula. Sisakan secuilnya buatku di esoknya. Aku sepinggan sore yang tabah heningnya dirontokkan gemuruh roda-roda baja kereta api, tetapi tak pernah sabar diluruhkan heningmu di suatu masa. Aku sepinggan sore yang menyisakan sungai di bawah jembatan untuk bercerita panjang lebar tentang tepian-tepian sampai ke muaranya. Ingatlah, tepian itu adalah tebing yang dihajar waktu nan abadi. Kelok-keloknya punya kisah masing-masing yang dirahasiakan. Aku sepinggan sore yang berharap menjadi cameo dalam mimpi-mimpimu yang langka. Malam sebentar lagi tiba.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Di atas Gerbong 7,
25 Agustus 2017
Gambar diambil dari wallpaperscraft.com

Pertemuan di Segelas Teh


Suatu waktu, jari-jarimu memeluk gelas teh hangat yang tak rela kaujauhkan untuk sesaat. Tawamu mengombak, mencoba menepis raihan tangan matahari  yang berusaha merengkuh pundak-pundak kita.

Di ujung persuaan, ada yang bergolak di dada, samudra keheningan yang akan segera tumpah. Muara dari sungai kehilangan. Di situlah, engkau seperti empu: “Mengapa kita harus kehilangan, kalau sesungguhnya kita tak punya apa-apa?”

Engkau mudah begitu. Sedangkan aku, pemilik segala pendakuan, sungguh muskil.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
23 Agustus 2017
Foto Stasiun Jenar

Anak-anak Kesunyian


Jalanan ini mengaduh lirih ketika gerimis menindih, bukan karena mesin-mesin yang melindas tanpa jiwa yang awas, ia memilin kesah dalam setiap madah, menggemakan sekuntum hening yang sebegitu bening.

Rinai di Jakarta, di Istanbul, mengalir dari pipi-pipi langit dan menara merah. Rasanya sama, tajamnya beda. Di sini lebih sembilu. Mengiris baja ketangguhan yang pura-pura disuguhkan.

Sekuntum dua kuntum barangkali keniscayaan. Tetapi jika sepanjang malam, telinga siapa yang mampu bertahan mengunyah kesenyapan. Desibel. Resonansi. Gaung. Coba kauhitung gelegarnya. Barangkali bersama gemericik lembaran sajak yang terbakar api.

Jalanan ini mengaduh lirih. Hanya didengar telinga dan hati para pecinta. Di dada mereka, bersemayam anak-anak kesunyian yang dikumpulkan. Kelak mereka akan dewasa. Dan kita tertawa bersama sebagai orang tua yang paling penyayang.

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
APTB, 15 Agustus 2017

 

Lidah Hitam


Lidahmu hitam, taringmu tajam, dan kau jerembapkan di leherku segala kepahitan, lalu kauhisap seluruh kebahagiaan. Relakan aku memeluk diriku sendiri, menghilangkan kepala sebab ia tempat semua kepedihan, salahku apa?

Kata-katamu panah, mulutmu busur, dan kau bidikkan di inti jantungku yang luka, lalu kau teteskan asam cuka. Ikhlaskan aku berbincang-bincang kepada kucing yang sedari tadi melihatku dengan aneh. Aku memang aneh, I’m not okay, salahku apa?

Terima kasih aku ucapkan, sebabmu aku berdamai dengan rasa sakit. Aku adalah harapan, mimpi, dan hati yang tak pernah ada.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Bojonggede, 12 Agustus 2017

 

Apa yang Kaucari Puan?


Puan nan rupawan, sungguh tanpa tujuwankah? Sehingga Puan tabah berpusing-pusing singgahi waktu dan tempat. Apa yang kau cari, Puan? Sedangkan lama sudah sejarah membeku jadi cerita yang ingin dikisahkan hanya kepada satu orang.

O, Puan, entah kemana lagi aku hendak mencari tahu, sedangkan lidah membeku, di titik bawah 0 derajat celcius yang jauh, jauh, jauh, dan jauh, antartika saja tak sebeku ini, Puan.

O, Puan bukankah tanpa tujuwan adalah tujuwan itu sendiri? Maka bertanyalah kepada ibu arah karena ia muasal dari segala tujuwan.

O, Puan, kapankah akan berhenti, dan dengan apa jarak tak bertambah lagi? Dengan apa Puan?

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Commuter Line, 11 Agustus 2017

Januari 2018


:untuk Machdalena Siregar

Musala berdinding bambu
​p​unya telinga dan mata
​u​ntuk lelaki yang menjelma stevan
pemilik ​hakiki kehilangan
dan harapan yang renta
untuk tali tak tersimpul

Rantai membelenggu
menggusur hasrat
tak boleh ada janur
kuning melengkung
dua kali dalam setahun
karena syariat
kau tak mau lama menjadi penanti

Aku berbaju biru di hari rabu
punya telinga dan mata
untuk lelaki yang menjelma stevan
pemilik gundah yang tak bisa disembunyikan
dari setiap tatapan dan perasaan

ada yang menusuk-nusuk jantung stevan
perihnya ingin ia bagi kepada siapa
tak bisa di rahasia
agar dada ini menjadi terang
tanpa gerhana dan langit mendung
lelaki yang mau menanti sampai Januari 2018

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10 Agustus 2017

Dua


Gerimis dengan desau yang purba sabar menghujani lekuk tubuh tanah berbatu. Kita menghitung derainya satu-satu. Meski hanya menemukan dua dengan sayang dan rindu yang sungguh terlalu. 

 

***

Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
29 Juli 2017

Menyisa


Air panas yang menyiram serbuk kopi lalu menetes ke cawan serupa bisik puisi yang dilemparkan ke jurang.  Selalu menyisa gema. Di dadaku menyiksa tanya. Sedang apa kau di sana?

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
31 Juli 2017
gambar dari : Shutterstock