Jalanan ini mengaduh lirih ketika gerimis menindih, bukan karena mesin-mesin yang melindas tanpa jiwa yang awas, ia memilin kesah dalam setiap madah, menggemakan sekuntum hening yang sebegitu bening.
Rinai di Jakarta, di Istanbul, mengalir dari pipi-pipi langit dan menara merah. Rasanya sama, tajamnya beda. Di sini lebih sembilu. Mengiris baja ketangguhan yang pura-pura disuguhkan.
Sekuntum dua kuntum barangkali keniscayaan. Tetapi jika sepanjang malam, telinga siapa yang mampu bertahan mengunyah kesenyapan. Desibel. Resonansi. Gaung. Coba kauhitung gelegarnya. Barangkali bersama gemericik lembaran sajak yang terbakar api.
Jalanan ini mengaduh lirih. Hanya didengar telinga dan hati para pecinta. Di dada mereka, bersemayam anak-anak kesunyian yang dikumpulkan. Kelak mereka akan dewasa. Dan kita tertawa bersama sebagai orang tua yang paling penyayang.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
APTB, 15 Agustus 2017
👍
LikeLiked by 1 person
Makasih…
LikeLike