Marhaban Ramadan


Sebentuk luka dalam sukma dan raga bersimpuh di hadapan waktu. Barangkali persuaan bisa menjadi obatnya. Selamat datang Ramadan. Peluk aku dengan erat di selingkung berkahmu. Dalam munajat sepenuh tabah. Mohon maaf lahir batin.

 

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

26 Mei 2017

Malam Ramadan


 

Di masa yang penuh serpihan-serpihan sujud, sujud-sujud yang pura-pura atau setengah khusyuk, atau dengan sungai air mata, seharusnya aku ingat dengan ribuan lalai yang mengelilingi perasaan para pendosa. Di atas hamparan yang sama, para pendosa menjelma menjadi pendoa, menaikkan kata-kata ke langit untuk menjadi apa yang sering kausebut rinai bahagia tak henti-henti, beternak hening, menanam tenang, dan membuang hama cemas dalam ladang kalbu dan jenak pikiran. Terberkatilah kita semua.

 

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

4 Juni 2017

Yang Tabah Dipeluk Embun


Sebentuk niscaya pada mekarnya kembang malam dengan kelopaknya yang satu-satu jatuh menjadi butiran-butiran cahaya. Untuk sebuah ketekunan yang melebihi para pengimla kisah-kisah sejarah, malam adalah rajanya. Sekaligus singgasana untuk para pengigau, perutuk, dan pecinta. Tak lama, butiran cahaya itu kelak menjadi tabah untuk dipeluk embun.
***

 

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

7 Juni 2016

Derita Abadi


 

Tanah pesisir memanggil hujan,
dari langit jatuh pesan-pesan perdamaian, basah, dingin,
angin gemetar, daun tunduk
Kota diam sepenuh takluk

Yang tak kausadari itu doa sepenuh hati
dari penyair yang cuma punya sekerat
kenangan yang tak bisa dihancurleburkan
Ia yang mengaku paling menderita.
Derita yang tak mau dibagi.
Ia takut, kalau deritanya habis dibagi,
ia tak bisa menggembala segerombolan huruf,
sekelompok kata, dan beberapa ekor bait yang ada di kepalanya
untuk dijadikan puisi nan cantik dan imut.
“Jangan menjadi seorang penyair, kalau kau tak mau menderita,”
kata penyair pada murid-murid.
Kehilangan adalah derita abadinya.

***

Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
10 Juni 2016
Sumber gambar: IG @awesome.earth

 

Duduk


 

untuk mengenang apa yang perlu dikenang,

naiki sampan yang kaupunya,

dayung ke tengah telaga,

bacakan untuk angin yang berembus

sajak-sajak 8 kwatrin

seperti ada yang datang,

seperti ada yang hilang,

seperti ada yang kembali,

seperti ada yang pulang,

duduk saja,

:bersajaklah disampingku.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

10 Juni 2016

Sumber gambar: IG @awesome.earth

Budak


 

Pagi adalah cerita tentang bangkitnya sukma dari perbudakan mimpi. Menjadi yang terbebaskan maka ia memelihara embun dan menghapus kabut dari sela-sela mata. Rumput-rumput yang dingin lalu menghangat, seperti Nurhayati yang menerima sepucuk surat dari Zainuddin. Tetapi kau tahu seringkali apa yang terlihat seonggok mata tidaklah mesti itu apa adanya. Karena saat ini dia bukan pagi. Tapi senja. Maka bersiap-siaplah kau kembali menjadi budak mimpi. Budakku… .

 

 

 

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

12 Juni 2016

Stasiun



Stasiun seringkali jadi cawan persinggahan sementara isi kepala dan dada. Di kepala, ia yang bernama kenangan. Di dada, ia yang bernama renjana. Yang diperlukan adalah semenjana untuk keduanya.

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

9 Juni 2016

Sarang


Di suatu bus yang membawa penumpang dengan segala penat. Mereka tidak tahu ada yang berjingkat-jingkat dalam kebisuan dan kelelapan mereka: kenangan yang enggan menyerah untuk dilupa. Dan satu perihal: pagi yang cepat menjelma menjadi senja: sarang dari segala induk kenangan.

***

Riza almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

6 Juni 2017

Gambar dari pinterest.com

Jeda


18812389_362995950769861_2463093538720579584_n

Di sore ini, di sebuah stasiun, banyak orang singgah untuk melahirkan anak kembar sekaligus: jeda dan duka. Kamu tahu apa itu jeda? Sebuah keterpisahan dan ketakberdayaan kata-kata. Ia adalah anak jadah dari waktu yang menghamili arah: ibu segala tujuan. Dikandung selama sembilan bulan dan lahir ke muka dunia dari rahim kenangan. Kamu tahu duka itu apa? Kata seorang penyair, duka adalah mentega yang meleleh di penggorengan yang panas. Untuk ke sekian kali, kau mentega, aku adalah api yang menghanguskan segala kesementaraan.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

8 Juni 2017

Mengintip Hujan Bersembunyi


sore ini,
hujan dan segala alasannya meluluhlantakkan tanah kerontang,
ia turun dari daun-daun pohon nangka, pohon jambu, pohon pisang
lalu mengalir ke pinggir tebing untuk didekap sungai pesanggrahan. .

kau tahu cara deranya saat ia merajam tanah ingatan?
memencil dari semua yang terlihat,
membisu dari semua yang berbisik,
meruar dari segala yang mewangi,
lalu meleleh ke hulu jantung untuk dirangkul sungai kenangan.

***

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
11 Juni 2016

Gambar dari: 1freewallpapers.com