RIHLAH RIZA #26: MEREKA YANG TAK PUNYA KUASA
Kamu, rasa, dan luka seperti tak berjarak, tak terpisahkan.
(Retta Pangaribuan, 22 Agustus 2013)
**
Senin siang itu, rapat yang berlangsung di gedung Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Selatan ini berjalan seru. Sang Bupati di hadapan wakil dari dua perusahaan perkebunan kelapa sawit itu sampai bilang, “Jangan berharap saya akan berada di pihak Anda. Saya dan rakyat Aceh Selatan akan bersama-sama berhadapan dengan Anda.”
Sang Bupati ini mengundang dua pengusaha perkebunan kelapa sawit karena mendengar keresahan dari masyarakat sekitar yang tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dengan keberadaan perkebunan tersebut. Sistem plasma yang tidak berjalan, program Corporate Social Responsibility (CSR) yang tidak pernah direalisasikan, sengketa lahan, pembunuhan satwa langka, Pajak Bumi dan Bangunan terkait penentuan luas lahan dengan kabupaten tetangga adalah beberapa permasalahan yang dibahas dalam rapat itu.
Kebetulan saya bersama DJ-Ono dan Bang Dirman sebagai wakil dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan bisa ikut menghadirinya. Kami diminta menjelaskan data luas lahan kebun sawit dari dua perusahaan ini apakah sudah benar dengan penjelasan mereka. Ikut hadir dalam rapat memberikan gambaran kepada saya tentang bagaimana jalannya rapat bersama orang nomor satu di kabupaten pelosok ini.
Dua wakil perusahaan itu tidak bisa berkata-kata lagi ketika disodorkan fakta-fakta dari Bupati dan jajarannya. Mereka hanya bisa bilang semua akan diteruskan kepada direkturnya masing-masing. “Kalau saya tahu yang datang cuma sekelas manajer, bukan direkturnya langsung, saya tak akan hadiri rapat ini. Direktur Anda yang seharusnya datang ke sini, tidak diwakilkan. Kita adakan pertemuan sekali lagi.”
Wajar saja bupati bisa bilang seperti ini sampai pengusaha termehek-mehek, karena dia punya kuasa. Segala perizinan di tangannya. Saya bisa membayangkan kalau Kepala Kantor Pelayanan Pajak punya kekuasaan seperti ini. Tak ada ceritanya tuh Wajib Pajak tak datang walau sudah diundang berulang-ulang kali untuk membahas penyelesaian utang pajak.
Rapat hampir selesai ketika hp di saku bergetar. Saya intip nomor siapa yang menghubungi saya. Ternyata Ummu Kinan. Belum sempat saya matikan, hp sudah mati sendiri. Low battery. Setengah jam kemudian saya sudah ada di kantor, saya nyalakan hp, dan langsung lemas ketika membaca sms yang masuk pertama kali, “Mas, ibu gak obah meneh.” Ibu mertua yang sudah lama sakit dan barusan saya telepon tadi malam agar ia meminum obatnya dengan teratur meninggal sekitar duha tadi.
Mendengar itu saya langsung mengubah semua rencana. Niatnya nanti malam saya berangkat ke Banda Aceh dengan naik travel untuk mengikuti rekonsiliasi Seksi Penagihan selama hampir sepekan, sekaligus jelajah Sabang di akhir pekannya. Tapi rencana tinggal rencana, semua yang indah-indah buyar seketika.
Saya harus pulang ke Semarang sekarang. Saya harus ke Medan dulu. Tapi pakai apa? Tak ada transportasi di siang bolong seperti ini. Travel ke Medan mulai beroperasi nanti malam. Sedangkan saya sudah ketinggalan pesawat Susi Air yang berangkat jam delapan pagi tadi. Itu pun tidak setiap hari ada. Pesawat Susi Air yang ada di Blangpidie, satu setengah jam dari Tapaktuan, sudah berangkat jam sepuluh pagi tadi juga. Ngompreng pun bukan pilihan tepat, delapan jam perjalanan lebih ke Kualanamu tidak memungkinkan untuk mengejar pesawat terakhir. Barulah saya merasakan seterpencil-terpencilnya Tapaktuan ini pada saat itu. Tak bisa gerak ke mana-mana.
Jam delapan malam, travel menjemput. Alhamdulillah saya dapat tempat duduk di sebelah supir. Selain saya dan supir ada empat orang lainnya. Salah satunya mau dibawa ke rumah sakit di Medan karena sedang sakit jantung. Perjalanan darat berjam-jam itu disertai erangan yang menyedihkan.
Sampai di Stasiun Kereta Api Medan jam enam pagi pas. Saya salat subuh dulu. Padahal kereta api yang menuju Bandara Kualanamu sebentar lagi berangkat. Sepertinya saya harus melewatkan jadwal terdekat ini. Saya menunggu kereta api berikutnya yang akan datang satu jam kemudian.
Di pagi yang sama, jenazah Almarhumah ibu telah siap-siap diberangkatkan ke Magelang untuk dikuburkan di sana. Ini sebuah tanda kalau saya tak bisa melihat ibu mertua untuk yang terakhir kali. Saya tak akan bisa ikut menyalatinya, menggotong kerandanya, mengantarkannya ke kuburan, atau menerima tubuhnya dari bawah liang kubur. Sepertinya cukup dengan mendengar suaranya saja di malam sebelumnya itu. Sedangkan Ummu Kinan dan anak-anak sudah sampai di Semarang semalam dengan menggunakan kereta api Jakarta Semarang.
Singkat cerita saya terbang dari Bandara Kualanamu menuju Jakarta dengan pesawat jam dua siang. Ini pun setelah delay berjam-jam. Sampai di Jakarta menunggu berjam-jam kembali pesawat yang akan membawa saya ke Semarang. Baru jam setengah delapan malam saya meninggalkan Jakarta. Dua jam berikutnya barulah saya bisa sampai di rumah. Tepar sudah. Perjalanan 25 jam lebih itu membuat lelah raga dan jiwa saya. Saat itu, hanya air wudhu, selembar sajadah, dan salat menjadi sebaik-baik sarana untuk rehat serehat-rehatnya. Menumpahkan segala. Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fu’anha.
Di situlah saya menyadari bahwa manusia bisa berencana, tetapi Allah swt yang punya kehendak. Dia yang punya kuasa. Dia maha segala-galanya. Kita boleh saja merencanakan dengan detil apa yang akan kita lakukan lalu membayangkan kenikmatan-kenikmatan yang akan dirasakan tetapi tak akan pernah terjadi kalau Allah tidak menghendakinya. Di sanalah, perlunya sikap tawakal atas semua yang telah dan akan terjadi.
Setelah kejadian ini, harap terbesar ketika saya berada di Tapaktuan, Ummu Kinan, anak-anak, dan Bapak sehat-sehat saja. Lahir dan batin mereka. Tidak ada luka dan pilu. Harapan sama dari semua teman-teman saya di DJP yang sedang berpisah dengan keluarganya. Entah itu pelaksana ataupun yang sudah eselon II. Entah mereka yang sedang belajar atau bertugas. Mereka juga sama-sama manusianya. Tidak punya kuasa sama sekali.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tapaktuan, 06 Februari 2014.
* Mas, Ibu gak obah meneh = Mas Ibu sudah tidak bergerak lagi.
terharu bacanya, perjuangan itu amsih berlanjut ki dalang. semoga ALlah memudahkan semua urusan ki dalang.
LikeLike
Amiin. Terima kasih Mas Icang. Semoga kebaikan yang banyak buat antum yg telah berempati.
LikeLike
llahummaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fu’anha. Allahumma aamiin
LikeLike
Amiiin. jazaakumullah.
LikeLike
Aaamiiiiin…
InsyaAllah kesabaran kita akan berbuah kelak. Entah kapan… tapi ia akan berbuah…
Semoga senantiasa diberikan kemudahan, kesabaran, dan keberkahan dalam setiap gerak pak Riza…
LikeLike
Amin….terima kasih banyak Mbak Nina.
LikeLike