Cukuplah Perang Jawa Menjadi Amsal


Pungutan negara tanpa aturan bukan bernama pajak, melainkan palak. Sekalipun ada aturan, sehingga ia resmi bernama pajak, maka dengan pembiaran dan penekanan kepada rakyat, pajak pun tetap menjadi momok dan memicu rakyat memberontak. Cukuplah Perang Jawa menjadi amsal.

Perang Jawa yang berlangsung dari tahun 1825 sampai 1830 menjadi perang terbesar yang pernah dialami dan hampir membangkrutkan penjajah Belanda. Pihak yang berhadap-hadapan dalam perang ini adalah Belanda dan Keraton Yogyakarta di satu sisi dan Pangeran Diponegoro beserta rakyat di sisi lain.

Perang ini dipicu oleh akumulasi beberapa sebab. Salah satunya karena penerapan pajak gerbang tol. Buku Jejak Pajak Indonesia: Abad ke-7 sampai Tahun 1966 bisa menjadi referensi.

Pajak gerbang tol diberlakukan seperti jika orang ingin bepergian ke suatu tempat dan melewati daerah tertentu, maka pelancong harus membayar pajak atas barang bawaannya kepada penjaga gerbang. Penjaga gerbang menggunakan cat nila yang dicapkan di tangan pelancong sebagai penanda pelunasan pajak. Penjaga gerbang tol berkewajiban meneruskan pajak itu kepada sultan. Pembagiannya bisa sampai 25% untuk penjaga gerbang tol, sisanya untuk sultan.

Pajak gerbang tol ini sebenarnya bukan ide murni Sultan Keraton Yogyakarta. Pajak gerbang tol sudah dipraktikkan VOC di Pantai Utara Jawa. Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta Hamengkubuwono I menerapkan pajak gerbang tol selepas Perjanjian Giyanti pada 1755. Pajak gerbang tol ini dikelola oleh Kapiten Cina bernama To In. Pada 1808, pajak gerbang tol menjadi 40% sumber pendapatan kerajaan.

Thomas Stamford Bingley Rafless dari Inggris menguasai Hindia Belanda pada 1811-1816 sekaligus menguasai Keraton Yogyakarta. Rafless mengambil alih gerbang tol dan pasar di seluruh kerajaan dan menyewakannya kepada etnis Tionghoa.

Etnis Tionghoa dimanfaatkan oleh kolonial karena menyadari jumlah administrator yang terbatas dalam menjaga dan memungut pajak di gerbang tol atau pasar. Belanda menyebut mereka sebagai Bangsa Penjaga Kantor Bea dan Cukai. Orang pribumi menyebut mereka Bangsa Gerbang Cukai.

Pada 1816, Belanda kembali menguasai Hindia Belanda dan meneruskan pemungutan pajak tol untuk menutupi kekurangan pajak pemerintah kolonial.

Di sinilah dimulai penerapan pajak yang memberatkan dan menindas. Tarif pajak dinaikkan sehingga menyebabkan lalu lintas dan aktivitas niaga terganggu. Belanda memungut cukai pada barang rumah, ramuan, makanan sehari-hari, dan pengangkutan hasil bumi di darat atau sungai.

Pemungut pajak gerbang tol banyak menyewakan kontrak mereka (subkontrak)  kepada pihak lain dari etnis mereka sendiri sampai tiga kali. Tentu hal ini membuat penerapan pajak dan cukai menjadi semakin membebani.

Melihat adanya potensi keuntungan, penambahan pendirian gerbang tol semakin banyak dan dalam jarak yang berdekatan. Pada 1821 saja terdapat 187 pasar kecil hanya untuk di wilayah Yogyakarta. Di setiap pasarnya terdapat pos-pos pemungutan pajak gerbang tol. Menjelang meletusnya Perang Jawa, gerbang tol ditemukan hampir di setiap jalan masuk ke kampung dan dusun kecil di Jawa.

Orang kecil dan petani semakin susah. Kegagalan membayar pajak berakibat pada penangkapan dan penahanan secara sepihak yang berujung kepada keresahan sosial di masyarakat pedesaan. Harga bahan makanan meroket disebabkan pajak yang dibayar pedagang pribumi dikalikan jumlah gerbang tol. Harga komoditi pada 1821-1825 yang tinggi menjadikan Yogyakarta rawan gejolak sosial.

Efek samping penerapan pajak zalim ini disadari kolonial Belanda. Tim bentukan dari Residen Surakarta dan Yogyakarta menganjurkan kepada pemerintahan kolonial untuk menghapus semua pos pajak.

“Kami berharap agar mereka (orang-orang Jawa) tidak akan sampai terbangun dari keadaan tidur nyenyaknya ini. Kami, telah memperhitungkan, sebagai sesuatu yang sudah pasti, bahwa kalau gerbang-gerbang tol tetap terus diizinkan melakukan kegiatannya, maka waktunya tidak akan lama lagi. Pada saat itu orang-orang Jawa akan bangkit dengan cara yang mengerikan,” demikian bunyi rekomendasi tim yang sayangnya diabaikan Belanda.

Hasil sebesar satu juta gulden dari penerapan pajak itu memang menggiurkan walau membuat perdagangan macet dan suasana desa-desa di Jawa seperti api dalam sekam. Di saat itulah Pangeran Diponegoro masuk dan memimpin perlawanan.

Sampai kemudian Perang Jawa selesai dengan pembuangan Pangeran Diponegoro ke Manado pada 1830.  Namun, pemberontakan rakyat karena pajak masih tetap berlanjut. Suhartono (1993) mencatat belasan perlawanan muncul di Surakarta dan Yogyakarta sampai 1905. Laporan-laporan yang disampaikan ke Batavia masih tak mempercayai bahwa pemberontakan dan perlawanan berasal dari pemungutan pajak yang semena-mena.

Di sinilah kesadaran muncul, pajak yang tinggi, pemerintahan yang zalim, dan rakyat yang tak mendapat imbal balik menjadikan pajak hanya sekadar alat untuk memalak rakyat dan menggelembungkan perut para pejabat.

 

Menjadi Republik

Setelah Indonesia merdeka dan menjadi republik, kesadaran itu dibawa dalam konstitusi negara. Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 23 ayat (2) menegaskan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Artinya, sebelum memajaki rakyat, pemerintah harus memiliki aturan yang harus disetujui oleh rakyat dalam hal ini anggota parlemen sebagai representasi rakyat.

Konstitusi dasar tidak lagi UUD 1945 ketika Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Namun Pasal 171 Konstitusi RIS masih senada dengan UUD 1945 tentang pajak, “Tidak diperkenankan memungut pajak untuk kegunaan kas federal, kecuali dengan kuasa undang-undang federal.”

Kedudukan RIS tidak berlangsung lama. Pada 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi Republik Indonesia dengan UUD Sementara RI sebagai konstitusi negara. Pasal 117 UUD Sementara menyebutkan demikian tentang pajak: “Tidak diperkenankan memungut pajak, bea dan cukai untuk kegunaan kas negara, kecuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang.”

UUD Sementara berlaku hampir sembilan tahun lamanya. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya mengganti UUD Sementara dengan UUD 1945. Ini berarti konstitusi ekonomi tentang pajak kembali kepada format ketika republik ini awal didirikan. Redaksinya berubah, substansinya tidak berubah: pajak harus berdasarkan undang-undang.

UUD 1945 tetap dipakai sampai Orde Lama dan Orde Baru tumbang pada 1966 dan 1998. Kemudian pada penyelenggaraan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1999, saat UUD 1945 diamandemen, tidak ada yang berubah pada Pasal 23. Begitu pula pada penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR 2000 yang mengamandemen UUD 1945 untuk kedua kalinya.

Barulah pada penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR 2001, perubahan ketiga UUD 1945 menyentuh Pasal 23. Pasal pajak menjadi pasal tersendiri yaitu Pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Pasal 23A ini ajek ketika Sidang Tahunan MPR diselenggarakan pada 2002 dan mengamandemen  UUD 1945 untuk keempat kalinya.

A.M. Fatwa memotret latar belakang perubahan Pasal 23A UUD 1945 dalam bukunya berjudul Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Ia menulis, perubahan ketentuan Pasal 23A berdasarkan pertimbangan bahwa sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, pemerintah tidak boleh memaksakan berlakunya ketentuan bersifat kewajiban material yang mengikat dan membebani rakyat tanpa disetujui terlebih dahulu oleh rakyat itu sendiri melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pungutan selain pajak demikian adanya yaitu pungutan yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara harus diatur dengan undang-undang atau peraturan daerah yang mendapat persetujuan dari wakil rakyat. Negara dilarang membebani kekayaan tiap-tiap orang warga negara, dalam bentuk apa pun dan berapa pun nilainya kecuali berdasarkan ketentuan undang-undang (Jimly Asshiddiqie:2010).

Di republik ini, rakyat yang menjadi penguasa sejatinya. Tidak lagi para feodal yang berlindung di balik ketiak penjajah dan memanfaatkan etnis—minoritas dan lain—tertentu sebagai bumper menghadapi amukan rakyat yang marah.

Cukuplah Perang Jawa menjadi sejarah. Dari sana kita terus menerus berkaca dan belajar. Benarlah adagium yang mengatakan, “Mereka yang tidak kenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.”

 

***
Riza Almanfaluthi
Editor: Devi Isnantiyasari
dedaunan di ranting cemara
Artikel di atas telah dimuat dalam Majalah Intax Edisi Ketiga Tahun 2020.
Gambar dari inikebumen.net

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.